Minggu, 25 Agustus 2013

Galau? Emang Gak Boleh?

Kayaknya galau lebih sah dipake buat anak-anak muda bangsanya para abegeh ya. Terus, yang model amak-amak macam aku nih, apa dong namanya? Padahal kita, para emak, ngalamin juga lho.. (“kitaa..? elo aja ‘kalai..” para emak riuh menyangkal)

Emang sih, tema kegalauannya pasti beda lah yaw. May be para abegeh lebih didominasi sama urusan cinta-cintaan, temen-temen, cita-cita, konflik sama ortu, de-es-be. Nah, kalau emak-emak ya, seputar dunia rumah tangga lah, urusan anak, dapur, suami, atau karier di kantor.

Aku nih juga rasanya sampe sekarang masih dihinggapi si galau itu. Kan galau itu 11-12 sama bingung, geje, resah gelisah gundah gulana, tho? Tema besarnya ya.. apalagi kalau bukan urusan keluarga sama jalan hidup aku.. jiaah.. gayane, segala jalan hidup..

As U know, aku kan ceritanya mendadak jadi penulis, pas awal-awal punya akun fb. Gegara tulisan perdanaku lolos di audisinya proyek antologi Tias Tatanka-Gola Gong. Gimana aku gak tercengang-cengang coba, trus efeknya aku jadi kedemenan nulis dan nulis lagi.

Lama-lama, gabung di komunitas penulis, ngobrol-ngobrol dan interaksi lainnya sama mereka, memberi pengalaman berbeda buat aku. Aku dapet pencerahan banyak. Dan berjumpa dengan beragam karakter, meski pada dasarnya kalau di dumay mah rata-rata pada baek sih. Alhamdulillah, belom (dan jangan sampe) nemuin yang aneh-aneh.

Saking pada baiknya temen-temen aku itu, tulisanku sering bertaburan puja dan puji dari mereka. Trus, karena tingkat kepedean aku emang malah sering terjun bebas, gegara susah nembus media, aku jadi kepikir jangan-jangan pujian itu adalah semacam bentuk penghormatan atau penghiburan sesama teman.

Nah, beberapa jam yang lalu, naskahku (lagi-lagi) sukses terlempar . Kali ini dari audisi novel di salah satu penerbit yang bekerja sama dengan sebuah tim pencari bakat yang keren. Betapa.. kalah itu pedih, Jendral..

Sebenernya aku udah hafal banget sama kalimat-kalimat: setiap naskah akan menemui jodohnya, semua akan ada waktunya, kali ini belum saatnya, jodoh naskah ini ada di tempat lain, etc, etc. Tapi teuteup aja, aku berasa pilu dan.. galau.

Yup! Galau.. apakah memang tulisanku demikian amatlah buruk? Apakah sesungguhnya aku gak bisaan jadi penulis? Mungkinkah tempatku bukan di dunia tulis menulis? Hohoho.. konyol gak sih..? Padahal banyak hal yang harus aku pikirin ya, kok sempet-sempetnya pake acara galau segala.. :P

Jadi ya macam begini lah, di awal nulis berasa galau, tapi seiring aliran ceritaku, nanti di ujung-ujungnya sih aku nyadar. Sebenernya bukan nggak boleh kali ya, berasa galau.. cuman jangan lama-lama, jangan kebablasan, sampe ngeganggu stabilitas aktivitas.

Yo wes lah, nulis mah nulis aja, kerja juga teuteup kerja, pan butuh rupiah atuh supaya anak-anakku teuteup bisa makan dan sekolah. Soal lolos atau nggak tulisan-tulisanku, biar waktu yang bicara aja kali yaa.. Kalau blog aku sunyi senyap sepi sendiri, no problemo lah.. aku mah teuteup nulis.


Tapi, masalahnya itu cucian piring numpuk, setrikaan segunung, lantai belom disapu dan dipel, halaman juga kotor, yg ngerjain sapaa..? hahaha.. ini galau edisi lain.. Nulis ya nulis, tapi jangan lupa sama posisi sebagai upik abu.. :)

Jumat, 23 Agustus 2013

LARA PRILA

“Maaf, Bu Prila.. anak saya mau pindah ke kelas B saja…”

Itu masih bagus ada basa-basinya, ada juga yang langsung main tarik tangan anaknya lalu memindahkan ke kelas B. Bu Prila bergeming. Memandang diam, lalu tersenyum getir. Hatinya dirundung lara.

Ingin rasanya Bu Prila berontak dari keadaan ini. Tiba-tiba ia harus mendapati dirinya mengajar di sekolah yang masih, mohon maaf, agak kurang maju. Para orangtua murid masih memegang paradigma lama tentang model pendidikan anak usia dini. Kepala sekolah yang kurang inisiatif. Rekan kerja yang masih belum disiplin dalam menerapkan konsep. Aarrgh..

Sepanjang satu dasa warsa, Bu Prila menjadi kepala sekolah. Terbiasa memenej dan memimpin. Seketika saat ini harus menjadi pelaksana. Berhadapan dengan kondisi, di mana bila ia berada dalam kondisi tersebut di sekolah yang lama, tentu ia sudah bersegera merapikannya. Segera menginstruksikan kepada para guru tentang apa yang harus dilakukan bersama. Namun, saat ini, apa daya. Sebagai orang baru, tak elok rasanya bila terlalu banyak mengatur dan campur tangan.

Bu Prila mendapat amanah memegang kelas A di sekolah baru. Anak-anak yang masih imut. Tentu pendekatannya berbeda dengan kelas B yang dipersiapkan untuk masuk SD. Namun, di sekolah baru, usia anak-anak kelas A ternyata amat beragam. Dari yang batita hingga balita. Bayangkan, anak-anak usia kelompok bermain, bahkan ada yang masih belum 2 tahun, berada bersama-sama dalam satu kelompok di kelas. Sudah barang tentu, anak-anak yang imut itu belum bisa diharapkan untuk mampu berkonsentrasi untuk jangka waktu lama. Bukan masanya mereka duduk tenang dan diam.

Hanya dalam hitungan 1-3 hari, manalah mungkin bisa tampak hasil pada anak-anak. Mereka masih dalam proses adaptasi. Tapi orangtua murid sukanya instan. Mereka spontan mengeluh, anaknya hanya bermain-main. Lha, anak kecil memang masanya bermain, Buu..

“Kalau mengikuti kata hati, rasanya ingin aku hengkang dari sekolah itu. Aku ingin berkhidmat menjadi penulis,” gumam Bu Prila. Sayang disayang, Bu Prila masih sangat hijau sebagai penulis. Mentah tak terkira. Perlu perjuangan, butuh latihan, untuk menempatkan dirinya sebagai penulis yang berkemampuan baik. Pilihan katanya masih terbata-bata. Penguasaan tekniknya masih di bawah rata-rata. Masih harus belajar, belajar, dan belajar. Bu Prila merasa sanggup untuk memacu dirinya dalam proses belajar. Ia haus ilmu. Ia mau bersungguh-sungguh belajar.

Poor Bu Prila… dengan kondisi seperti itu, tidak tepat kiranya bila menjadikan profesi penulis sebagai matapencaharian utama. Yup! Bu Prila memiliki 5 anak yang harus ditanggungnya. Dan ibu yang mana, yang tidak sayang anaknya. Bu Prila pun rela mengorbankan hasratnya. Agar anak-anak tetap bisa makan dan bersekolah. Agar masih ada rumah untuk mereka bernaung. Ia harus membagi waktunya dengan rupa-rupa kewajiban. Mencari nafkah, mengurus rumah, menjadi upik abu, mendampingi anak-anak, dan di sela itu harus pandai mencari celah waktu untuk kesukaannya belajar menulis. Beberapa PR menulis, tersendat. Buku-buku yang akan diresensi masih berjajar. Sementara keinginan menulis novel masih terus tertunda. Hiks.. Dengan kondisi fisik yang tidak biasa bekerja keras sebelum ini, maka proses adaptasi tubuhnya butuh waktu. Hingga kini masih terhuyung dan terseok. Keinginan untuk bisa banyak menulis, harus dipendam kuat-kuat.

“Mungkin aku egois, sok tahu, atau post power sindrom..? what? Post power sindrom? Hahaha.. maksudnya ga mau menjadi bawahan? No.. no.. bukan itu!” Bu Prila memulai racauannya. Hasrat menulis yang menggebu, terus bermain di benaknya. Tapi… ingatannya hinggap pada peribahasa ‘berharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan’.

Ternyata galau bukan saja milik para abegeh. Bu Prila, yang parahnya masih suka merasa beda tipis sama abegeh, pun dihinggapi kegalauan. Mungkinkah ini tantangan baginya? Saatnya berjibaku berada jauh dari zona nyaman? Sanggupkah dirinya berpantang untuk sederet keluh kesah? Mampukah berdamai dengan takdir?

Air mata masih selalu saja menjadi kawan baik Bu Prila. Kadang hatinya serasa ingin meledak. Pita suara ingin berteriak. Mengapa di saat gundah, tak boleh bilang lelah? Mengapa di kala letih, harus menahan untuk merintih?

Jalan hidup memang misteri. Siapa nyana tiba-tiba berada di suatu ruas kehidupan yang penuh belukar? Betapa ajaib seketika digempur gelombang badai.

Bu Prila kemudian mengerti. Ini jalan yang sudah ditetapkanNya. Hanya kepadaNya segala kesah tertumpah ruah. Ia harus bersegera menujuNya. Tersungkur dalam sujud panjang di keheningan malam.


Namun sebagai manusia biasa, Bu Prila butuh jua melepas penat. Kadang hatinya bergerak memuntahkan segala rasa, yang kemudian harus ditelannya kembali. Ia pun lantas bermohon kepadaNya untuk diberi kekuatan. Berharap ditunjukkan jalan kala merasa berada di persimpangan. Maka doa-doa pun membubung menuju langit. Di antara larik-larik doa itu, adakah doa milikmu juga?

Selasa, 20 Agustus 2013

Gimana Gak Percaya, Kalau Allah Maha Baik?

Dalam lingkaran perjalanan hidup manusia, semua mafhum bahwa perputaran roda akan mempergilirkan kondisi susah-senang, lara-bahagia, sedih-gembira, tangis-tawa. Semua dalam kadar berbeda-beda. Agar kita bisa melihat keragaman, mampu memaknai rupa-rupa keadaan. Maka, seterpuruknya seseorang, jika matanya menyalang, ia akan melihat bahwa dirinya tak sendiri, bahkan boleh jadi orang lain lebih lagi tersuruk dalam kepedihan.
Untuk kondisi duka, biasanya berderet-deret kalimat pelipur lara akan bertaburan demi menghibur pula menyemangati. Bersabarlah, karena Allah beserta orang-orang yang sabar. Ujian kesedihan ini adalah bentuk kasih sayang Allah. Kalau sekarang mampu melewati ujian ini, artinya sukses naik kelas menuju tingkat kualitas yang lebih baik. Allah akan mengangkat derajat, melalui ujian ini. Etc, etc.
Demikian pun yang aku alami. Seketika berada dalam kondisi yang tak terbayangkan sebelumnya. Begitu banyak yang berubah. Serba kehilangan. Butuh adaptasi yang amat sangat. Mau tak mau harus bekerja keras. Zona nyaman menjauh. Rasanya terhuyung-huyung, terseok-seok, tersaruk-saruk..
Pada saat itu, Subhanallah, terasalah kasih sayang orang-orang terdekat. Mereka menghujaniku dengan aneka penyemangat, peluk hangat, ukhuwah  erat. Meski terkadang yang diucapkan terdengar klise, walau terkadang muncul dalam benak bahwa ucapan itu mengawang karena mereka tak sungguh mengalami kepahitan yang terjadi. Namun semua sungguh benar adanya.
Satu yang pasti dari sekian banyak ucap itu, bahwa Allah tiada mungkin mendzalimi hambaNya. Ternyata benar, Allah ingin kita dekat. Dan nyata betul, Allah tidak meninggalkan kita bila kita bersandar hanya kepadaNya. PertolonganNya seringkali hadir tak terduga. Membuat ingin rasanya mendekapNya. Di antara beban yang menghimpit, selalu ada ‘tanganNya’ yang seketika memapah dan membimbing, membuat hati lega lalu senyum tercipta.
Fabiayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz dzibaan. Bersyukur. Bersyukur. Bersyukur.
Kerap tak terlintas, tiba-tiba kemudahan datang. Meski mungkin kecil buat orang lain, namun terasa sangat besar dan berarti bagiku. Rupanya Allah pun suka memberi kejutan yang manis. Aih, indah nian.
Suatu hari, aku mendapati bagian tubuhku membutuhkan obat. Sayangnya, harga obat itu aku tahu cukup mahal untuk ukuranku saat ini. Tapi kupikir kesehatanku tentu juga amat penting. Maka tak kuhiraukan rupiahku akan berkurang, aku melangkah mantap menuju apotek. Alhamdulillah, di sana sang apoteker sedang datang berkunjung. Ia sahabat yang masih terhitung kerabat dekat. Kuutarakan maksudku mencari obat. Setelah mencarinya, ia mengangsurkan obat tersebut seraya berkata, “Persediaan kami tinggal yang ukuran besar ini. Mau?”
Terbayang rupiah yang tentu lebih besar tersebab ukuran obat dalam volume lebih banyak. Namun kumantapkan untuk mengangguk. Saat kutanya berapa harganya, tiba-tiba, “Ambil aja,” ucapnya tulus. Subhanallah, rupanya Allah telah membisikkan ke telinganya agar obat itu digratiskan saja buatku. Kukira sungguh dalam hitungan detik, bisikan itu menghampirinya. Tak direncanakan sebelumnya.
Setelah menyampaikan terima kasih yang dalam, aku meninggalkan apotek dengan penuh syukur. Merasa masih ingin berterima kasih, kulayangkan pesan singkat yang isinya lagi-lagi ucapan terima kasih. Dan tahukah kau, apa jawaban saudaraku?
“Itu dari Allah.”
Subhanallah.. Betapa Maha Baiknya Allah, mendekatkanku kepada orang yang baik.
Lalu, pernah juga saat transaksi lainnya, si pedagang tiba-tiba memberikan potongan harga yang cukup signifikan. Rupanya ia dibisikiNya juga untuk menolongku. Itu terjadi bukan sekali dua.
Siapa bisa menduga, seseorang ‘kan tergerak untuk melakukan kebaikan kepada kita, tanpa campur tangan Dzat Yang Maha Kuasa untuk menggerakkan hati seseorang?
Betapa Maha Baiknya Allah. Aneka cara diperlihatkan, rupa-rupa jalan ditampakkan. Agar mata hati ini terbuka. Agar syukur tak henti melantun di lisan, tak jeda menggema di hati.
Terima kasih Yaa Allah… untuk segala kejutan yang manis… dan tentu untuk telah memberiku sahabat-sahabat yang baiik… yang meski terbentang jarak di antara kami, yang meski tak sekali pun kami bersitatap, namun Kau dekatkan hati kami, hingga doa-doa para sahabat yang satu demi satu menyerbu langit, menjadi pendukung dan penyemangat bagiku.

Sungguh aku percaya, betapa Maha Baiknya Engkau, Yaa Allah…

Selasa, 13 Agustus 2013

Setelah Ramadan... #Renungan tentang Sholat

Hampir selalu berulang. Saat Ramadan berlalu, yang mengendap adalah lapisan sesal. Berapa lapis..? Ratusan.. ! Hiks..

Aku pun coba menghibur diri. Ya sudah.. tilawah tak bertambah, hafalan masih hanya sekian, infak kurang banyak, shalat sunnah seperti yang sudah-sudah.. tapi yang sedikit itu haruslah terus menjejak selama 11 bulan ke depan. Intinya.. istiqomah.

Yang pertama.. sholatnya dulu. Betapa urusan sholat yang sangat mendasar ini masih saja belum bisa aku lakukan dengan khidmat. Apalagi ketika membaca buku: "Dan Sholat pun Mengadu..." Ya Allah, sungguh hamba masih lalai di hadapanMu.

Inilah golongan orang yang terkadang memajukan dan mengundurkan. Mereka tidur, pula bermalas-malasan. Mereka bermain-main seraya bersenda gurau. Mereka shalat jika mereka terbangun. Mereka shalat jika mereka selesai dari canda mereka. 

Duhai, aku sadari.. aku masih berada dalam golongan itu. Suara azan tak membuatku bersegera seketika mengambil wudlu. Alarm sepertiga akhir malam menjerit-jerit hanya menggerakkan tanganku untuk segera membungkamnya. Padahal aku sudah hafal benar bahwa shalat lebih baik daripada tidur.

Astaghfirullah... aku ingin betul bisa menghayati panggilan azan dengan baik. Ingin betul bersegera untuk shalat demi menghadapMu. Mematikan hp, laptop, televisi, lalu menghidupkan hati. Merasakan panggilanNya. Menyambut seruan meraih kemenangan.

Asy-syahid Hasan Al-Banna berkata: "Bergegaslah untuk mengerjakan shalat ketika kamu mendengar suara adzan dalam keadaan seperti apa pun". Setelah itu, sabda Rasulullah: "Kerjakanlah shalat dengan perasaan tenang dan penuh rasa hormat".

Benar-benar dibutuhkan keikhlasan hati dalam menunaikan sholat. Ketika panjang waktu yang digunakan, terasa merenggut waktu untuk berkegiatan, sesungguhnya bila waktu yang terambil itu benar-benar diikhlaskan, maka berkah waktu akan terasa nikmat. Tak ada yang terambil, tak ada yang sia-sia. Waktu yang terlewat itu, sama sekali tak akan merugikan. Kuncinya, ikhlas.

Namun, berat nian mengunci ikhlas dalam hati. Hawa nafsu dan bisikan syaithan gigih pula menguntit. Berupaya menggelincirkan. Maka tak ada jalan selain mohon ampun dan mohon lindunganNya.

Betapa iman naik turun. Betapa iman harus terus dijaga dan diperbaharui. Karena itulah, doaku senantiasa selepas shalat adalah: Ya Allah, tetapkan hatiku dalam keimanan kepadaMu.

Bismillah.. semoga.. 11 bulan ke depan, catatan amal ibadahku tidak turun drastis, tidak terjun bebass.. Dan aku bukan sekedar menjadi umat Ramadhaniyah, tapi menjadi hamba Rabbaniyah.