Minggu, 29 Desember 2013

Keajaiban Melalui Cara Sederhana



 Judul Buku                :  Menciptakan Keajaiban Finansial
Penulis                        :  Innuri Sulamono
Penerbit                      :  Indah Setya
Terbit                         :  Cetakan Pertama, Maret 2013
Tebal Buku                :  236 halaman
Ukuran                       :  12 x 18 cm
ISBN                           :  978-602-17304-1-6
Harga                         :  Rp. 50.000

Keberadaan blog pada masa kini tidak sekadar wadah menulis yang bisa dinikmati oleh sesama blogger. Beberapa penerbit melirik blog-blog yang menarik, lalu membukukannya, dan.. wow.. buku tersebut mendapat sambutan meriah dari pembaca. Sebut saja buku-buku Raditya Dika yang berseri-seri karena demikian digemari, dan ‘Perempuan Pencari Tuhan’-nya Rindu yang juga ada lanjutan seri-nya sebab seri pertama yang direspons dengan sangat baik oleh pembaca.

Belum lama ini hadir pula buku ‘Menciptakan Keajaiban Finansial’ yang berangkat dari kumpulan blog berisikan tulisan-tulisan ringan namun bertenaga. Adalah Innuri Sulamono yang bertutur tentang pengalaman dalam episode kehidupannya saat terpuruk secara finansial. Langkah-langkah yang ditempuhnya untuk bangkit, sikap yang dilakukannya, pemikiran yang dikembangkannya, semua terangkai dalam kalimat-kalimat sederhana yang terasa mengena dan mudah dipahami.

Buku ini terdiri dari lima bab. Bab pertama, bertajuk “Terlepas dari Jerat Hutang” yang berisi empat tulisan. Berkisah tentang episode terlilit hutang yang membuat hidup seakan terasa beraat. Namun sungguh mencengangkan bagaimana penulis menyikapinya. Jangan punya keinginan hutang itu segera lunas, tapi tumbuhkan keinginan untuk memperoleh ridha Allah saja (halaman 13). Untuk meraih ridho Allah itu haruslah diawali dari diri kita sendiri yang senantiasa merasa ridho dengan segala pemberianNya. Apa pun kondisi yang dialami, kita harus rela, harus suka, meski kondisi itu tidak menyenangkan. Termasuk di dalamnya kondisi berhutang.

Bab dua, diberi judul “Keajaiban Finansial”. Di dalamnya mengulas formula yang dilakukan penulis dalam geliat tumbuh kembang bisnisnya yang bangkit dari keterpurukan. Lalu Bab 3, berjudul “Kebaikan”, tentang bagaimana penulis konsisten (istiqomah) berbagi dan memanage kebaikan. Pada Bab 4, memuat “Kisah Inspirasi”. Ada kisah seorang buta huruf dengan 600 pekerja, perampok yang bertobat, juga bagaimana dulu penulis ‘menuhankan’ suaminya sendiri, serta beberapa kisah menyentuh lainnya. Terakhir, Bab 5 berisi “Renungan”, bagaimana kita menempatkan diri dalam hidup, sebagai hamba Allah-kah, atau sebagai hamba materi?

Saya betu-betul bersyukur bisa mendapatkan buku ini. Alhamdulillah hadiah lomba resensi. Tapi pertama kali mengetahui keberadaan buku ini dari tulisannya Mbak Leyla Hana di blognya tentang resolusi 2014, yang menukil buku ini. Pada waktu itu saya sudah tertarik, dan subhanallah.. Allah menghadiahkannya untuk saya melalui tangan Mbak Eni Martini.

Lembar demi lembar saya telusuri, seluruh tulisannya bernada inspiratif. Gaya penyampaiannya santai, tidak menggurui, tapi mengandung kompor alias memotivasi. Mengambil contoh-contoh dari kisah keseharian yang dekat dengan kita, tentang pengamen, tukang sayur, tetangga yang doyan ngutang, pedagang asongan, pun tak ketinggalan interaksinya dengan anak-anak dan suaminya.

Banyak quote bertaburan dalam buku ini. Lagi-lagi kalimat yang sederhana, tak berhias diksi yang penuh aksi. Semisal: Merugikan orang lain berarti merugikan diri sendiri, menolong dan membantu orang lain berarti menolong diri sendiri (halaman 78). Sederhana, bukan? Lalu diiringi dengan pemaparan peristiwa yang berkenaan dengan quote tersebut. Terasa mengena dan membukakan mata serta hati. Diajaknya pembaca mengikuti keajaiban-keajaiban yang menyertai peristiwa tersebut. Betapa Maha Kuasa Allah, maha mengejutkan anugerah dan rezeki yang dilimpahkan kepada hambaNya yang senantiasa ikhlas berbuat kebaikan.

Demikian yang mengalir dalam tulisan-tulisan seorang Innuri. Tidak sarat dengan teori-teori yang membuat kening berkerut. Meski ada menyelipkan nukilan pendapat para pakar, semisal: Quantum Ikhlas-nya Erbe Sentanu, Hukum Newton III, dan lainnya, namun bahasanya tetap membumi. Tak ketinggalan pula petikan ayat-ayat Al-Quran yang relevan dengan topik yang sedang dibahas. Semua menjadi lengkap, seperti sajian empat sehat lima sempurna.

Dari keseluruhan tulisan yang menyentuh dan menyemangati ini, saya paling terkesan pada tulisan yang berjudul “Tertipu Angka-angka”. Tulisan ini benar-benar menonjok saya, dalam pengertian positif. Betapa seringkali angka-angka itu menipu dan membuat susah.

Dalam tulisan tersebut diceritakan bahwa penulis mendengar keluh kesah seorang penjual nasi pecel yang terlilit hutang sebesar lima juta rupiah. Setelah itu penulis bertemu dengan temannya yang mengalami kebangkrutan parah. Tanahnya yang ‘berceceran’ di mana-mana, serta rumah megah laksana istana, harus direlakan demi melunasi hutang dan itu masih belum cukup. Sementara penulis sendiri hutangnya mencapai ratusan juta. Nah, bagi tukang pecel, hutangnya demikian menyulitkan, sedang bagi penulis jumlah segitu tidak sebanding dengan hutangnya yang ratusan juta. Namun bagi teman penulis, tentu hutangnya yang bermilyar rupiah itu pastilah paling berat. Ini membuat saya tercenung. Apalah arti angka-angka itu, karena sesungguhnya yang harus diyakini adalah Allah memberikan ujian itu sesuai dengan kapasitas masing-masing hambaNya. Yang penting kita yakini bahwa sebaik-baik penolong hanyalah Allah. Mau hutang seberapa pun jumlahnya, semua kecil saja bagi Allah. Apa sulitnya bagi Allah, menjadikan hutang itu lunas.

Saya lekas beristighfar. Teringat ketika pertama kali mengetahui buku ini, Mbak Leyla bilang, ini penulisnya terbebani hutang besar tapi mampu bangkit. Lalu ketika saya tahu hutangnya ratusan juta, sebuah pikiran buruk melintas, “Ooh.. baru ratusan juta.. belum M seperti keterpurukanku...” Astaghfirullah... betapa saya mengutamakan jumlah angka, merasa memiliki beban lebih berat, padahal bagi Allah, jumlah sebanyak apa pun bukan hal yang berat untuk menjadikannya lunas.

Setelah itu, saya jadi selalu teringat dan memegang contoh keikhlasan penulis dalam menyerahkan segenap permasalahan hutangnya kepada Allah. Sebuah lantunan kepasrahan yang indah: Ya Allah, aku sungguh tidak sanggup menyelesaikan hutangku, tapi Engkau bisa. Aku pasrahkan semua hutangku kepadaMu, terserah bagaimana Engkau menyelesaikannya. Biarkan aku bersenang-senang dengan banyak mensyukuri nikmatMu dan ijinkan aku berbuat kebaikan karenaMu (halaman 11-12).

Ajaib, saya pun menjalani hidup dengan lebih tenang. Setiap hari melakoni pekerjaan dengan lebih bahagia. Karena toh berkeluh berkesah tak mengubah masalah. Sekarang saatnya memantaskan diri di hadapan Allah. Apa yang ada dinikmati, disyukuri. Sehingga tumbuh rasa tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik, mempersembahkan yang terbaik di hadapanNya.

Himpitan persoalan itu memang perlu kita alami, agar kita punya pengalaman bahwa Allah itu selalu menolong dan hanya Dia satu-satunya penolong (halaman 22). Subhanallah... dalam masalah yang begitu rumit dan pelik, di sana ada pertolongan Allah. Tak akan pernah Allah membiarkan kita terjerat masalah berat, tanpa campur tangan bantuanNya di dalamnya, asal kita sungguh-sungguh bergantung dan memohon dengan segenap ketundukan. Dalam kungkungan masalah, toh saya masih dapat berpikir, dapat mengatur langkah, menyelamatkan anak-anak, dan lainnya. Bukankah itu bentuk pertolongan Allah?

Ada lagi satu point yang saya garisbawahi dari buku ini, yaitu tentang bersedekah. Meski saya belum bisa seperti penulis yang ketika punya uang lima ratus ribu, sedekahnya empat ratus ribu. Pernah saya mengalami kebingungan, ketika masih di awal bulan, uang tinggal dua ratus ribu, lalu bismillah saya sedekahkan seratus ribu. Dan benar yang dikatakan penulis bahwa pertolongan Allah kemudian berjatuhan, penuh keajaiban dan kadang tidak masuk akal.

Maka buku ini benar-benar hadiah dari Allah untuk saya. Ia mengajarkan banyak hal dengan caranya yang sederhana namun menghunjam. Mencerahkan tapi tidak menyilaukan. Seperti judulnya yang mengandung kata keajaiban, saya pun kecipratan keajaiban itu. Dan semoga Anda pun mendapatkan keajaiban setelah membaca buku ini. 

*) Resensi ini diikutsertakan dalam Lomba Resensi Buku "Menciptakan Keajaiban Finansial"

Kamis, 26 Desember 2013

Menghimpun Repihan Hati yang Terserak


 
Judul Buku                :  Cinta yang Membawaku Pulang
Penulis                        :  Agung F. Aziz
Penerbit                      :  Indiva Media Kreasi
Terbit                         :  Cetakan Pertama, September 2012
Tebal Buku                :  296 halaman
Ukuran                       :  19 cm
ISBN                           :  978-602-8277-49-5
Harga                         :  Rp. 42.000
Adakalanya suatu peristiwa pahit yang tak terelakkan menjadi garis takdir yang harus dijalani. Ia hadir mengubah segala yang indah. Kehidupan yang nyaman, ayah-bunda yang penuh kasih, adik yang menyenangkan, suami sang pelindung dan penyejuk jiwa, anak si buah hati yang menggemaskan, tiba-tiba terenggut dan raib dari pandangan. Entah itu tersebab musibah amukan alam, seperti banjir, gempa tsunami, dsb, atau letusan perang yang membuat negeri tercinta remuk tak jelas bentuk.
Hal yang disebut terakhir itulah yang menimpa Shabana Ahmas, seorang perempuan Afghanistan yang menjadi tokoh utama dalam novel “Cinta yang Membawaku Pulang” karya Agung F.Aziz.  Shabana Ahmas yang terlunta, melanjutkan hidupnya di tanah kelahiran yang telah koyak itu dengan siraman kasih sayang pasangan Farrukhzad-Yasir yang dianggapnya sebagai pengganti orangtuanya. Ibu Shabana meninggal dalam kondisi mengenaskan di kamp pengungsian, sementara ayah, adik, suami, dan putra semata wayangnya, tercerai berai entah di mana.
Hingga suatu hari, tiba kabar yang menyebutkan bahwa ayah Shabana, Massoud Kamal, ternyata bermukim di Makkah. Kabar itu menerbitkan asa yang indah. Dan harapan berjumpa dengan sang ayah semakin membuncah ketika Shabana beroleh uang hasil penjualan tanah ayahnya, yang cukup sebagai ongkos untuk bertolak ke Makkah.
            Setibanya di Makkah, Shabana mendapati lebih dari yang diharapkan. Tak hanya informasi keberadaan ayahanda tercinta, namun tercium pula jejak adik, suami, dan putranya di sana. Shabana pun gegas menghimpun repihan belahan jiwanya yang terserak.
Bagaimana kisah perburuan Shabana demi berjumpa dengan keluarganya? Siapkah ia dengan banyaknya perubahan yang terjadi pada orang-orang tercintanya?
Kisah Shabana ini dikemas apik dalam jalinan konflik yang kerap meletup tak terduga. Penulis dengan cerdas menebar plant harvest di mana-mana, lalu ‘dipanen’ pada saat yang tepat. Tidak ada plot hole. Alur dibangun dengan rapi. Dialog dan narasi, berkombinasi dengan cantik. Bahasa yang digunakan kadang dihiasi dengan kiasan yang menawan, semisal:  Shabana merasa bulan seakan berdetak di dalam dadanya. Entah bagaimana dia harus melukiskan perasaan bahagia yang melambung-lambung (halaman 81), Sepasang mata perempuan Pakistan itu seakan mau mencuat dari rongganya (halaman 139), Tangis kakak beradik itu pecah menyobek langit (halaman 276).
Tokoh-tokoh yang hadir cukup banyak, namun tidak saling berebutan muncul. Penulis ‘memberi tugas’ kepada setiap tokohnya untuk menempati porsi yang mendukung jalan cerita, dan bukan menguasai semaunya. Karakter masing-masing pun terdeskripsikan dengan baik, melalui gambaran perilaku dan gesture yang ditampilkan.
Sekarang kita bicara setting, salah satu unsur yang membetot perhatian dari novel ini. Tampak penulis cukup cerdik memainkannya. Ketika ide utama adalah mengangkat kasus perang Afghanistan, namun setting Afghanistan justru tidak menonjol. Yang mendapat porsi lebih banyak malah kota Makkah dan sekitarnya. Maka jangan berharap novel ini akan mengajak kita menelusuri Afghanistan seperti pada novel “The Kite Runner” karya Khaled Hosseini. Pun suasana perang tidak tercium tajam. Hanya ada ilustrasi sekilas-sekilas, seperti pada sebuah peristiwa mencekam yang tak mau pergi dari ingatan Sabhana, saat dua tentara mujahidin secara bergantian menodai kehormatan ibunya dengan cara yang sangat keji, di hadapan mata kepalanya sendiri (halaman 29-30).
Boleh jadi penulis pernah menunaikan ibadah haji atau umroh di tanah suci, atau mungkin pernah tinggal di sana, maka setting Makkah dipilihnya untuk lebih dominan ketimbang Afghanistan. Karena, lagi-lagi mungkin, penulis belum pernah menginjakkan kaki di tanah Afghanistan, sehingga merasa cukup riskan bila menyoroti wilayah ini sebagai setting utama. Penggarapan setting dengan hanya mengandalkan googling akan jauh berbeda hasilnya dibanding dengan merasakan sendiri berinteraksi serta menghirup udara di tempat yang bersangkutan.
Suasana Makkah yang pekat dengan unsur ritual, dituturkan dengan takzim. Pembaca dibuat terhanyut dalam kemegahan Kabah serta Masjidilharamnya, Masjid Nabawi, dan tempat-tempat suci lainnya, dalam kesyahduan ritual haji. Tak ketinggalan suasana hiruk pikuk para pengemis dan pedagang di sekitar Makkah. Berbagai titik area yang bersinggungan dengan sejarah Rasulullah, disampaikan menyentuh penuh keagungan. Kesemuanya terpampang dalam deskripsi yang cukup detil.
Karena yang menjiwai sekujur kisah ini adalah perjalanan Shabana di Makkah, maka setting Makkah yang mendominasi, menjadi tidak janggal. Sementara setting Afghanistan sebagai pokok cerita ini bermula, hanya muncul di awal, dan tepercik ke dalam beberapa bab di tengah dan akhir, sebagai penguat. Setting Afghanistan, tidak hanya hadir sebagai latar tempat, namun juga dalam informasi mengenai bentuk tradisi dan kebiasaan yang dianut. Salah satu yang menarik adalah, di Afghanistan ternyata yang dilabeli sebagai pemilik sikap cengeng bukan perempuan, tetapi laki-laki. Perempuan justru merupakan sosok yang kuat. Seperti yang diucapkan Shabana kepada adiknya,  Kau tidak boleh bicara seperti itu, Maryam. Jadilah perempuan kuat. Kau tidak boleh cengeng menghadapi kenyataan hidup. Sebab, cengeng adalah sikap laki-laki (halaman 292). Mungkin itu sebabnya, Shabana yang didera oleh cobaan bertubi-tubi, tidak serta merta menjadi wanita pemurung. Sesekali ia tampak ceria dan terlihat luwes bercanda.
Dengan segala kelebihannya, pepatah ‘tak ada gading yang tak retak’ berlaku jua pada novel ini. Dengan setting luar negeri yang diampunya, penulis sedikit abai pada penjelasan mengenai beberapa sapaan yang berlaku di negeri Afghanistan. Mungkin penulis berpikir bahwa pembaca bisa saja mudah mengira-ngira, dan boleh jadi sebagian pembaca pun merasa tidak masalah dengan berbagai sapaan asing: khanum, khali, kaka, agha, dan lain-lain. Namun alangkah baiknya bila disertai dengan penjelasan yang bisa dipahami. Jikapun tidak melalui catatan kaki, dapat juga disampaikan dalam narasi. Seperti penjelasan tentang bachem pada halaman 198, ketika Shabana merasa senang dipanggil bachem oleh Aafia. Sayangnya, penjelasan itu pun tidak begitu terang.
Beberapa typo masih ditemui, meski tidak terlalu signifikan, sehingga tidak begitu mengganggu. Walau demikian, tentu akan lebih nyaman bila membaca sebuah buku yang bersih dari typo.
Cover buku ini Shabana sekali. Ilustrasi perempuan cantik dengan gurat khas Timur Tengah, dihiasi bunga-bunga, dalam nuansa warna pastel yang lembut. Sepertinya akan terasa lebih Afghanistan jika ditampilkan latar negeri yang muram akibat perang, dalam ilustrasi samar.
Sejatinya sebuah tulisan, ia membawa pesan kebaikan di dalamnya. Novel ini tampak jelas menyuarakan pesan perdamaian. Betapa perang berkepanjangan, konflik nan tak bertepi, hanya menyisakan lara. Dan yang membedakan novel ini dengan “The Kite Runner” adalah sikap yang diambil tokoh utama pada pilihan menjalani hidup masa depannya. Shabana tidak memilih Makkah, meski negeri itu menjanjikan keamanan, ketenangan, juga harapan. Ada alasan tak terbantahkan yang menggiringnya untuk pulang. Di tanah kelahiran itu, ada cinta yang menantinya. 

*) Resensi ini diikutsertakan dalam "Lomba Menulis Resensi Buku Indiva 2013"

Minggu, 22 Desember 2013

Ketika Cinta Dikupas Tuntas






Judul Buku                  :  Kitab Cinta & Patah Hati
Penulis                         :  Sinta Yudisia
Penerbit                       :  Indiva Media Kreasi
Terbit                           :  Cetakan I, Juni 2013
Tebal/Ukuran              :  381 halaman/19 cm
ISBN                           :  978-602-8277-99-0
Harga                          :  Rp. 49.000
Cinta, selalu menjadi perbincangan hangat. Ia tak lekang oleh zaman. Pembahasan tentangnya meliputi berbagai aspek. Dan tak selamanya cinta bicara bahagia, karena patah hati bisa menjadi takdir pahit yang harus dijalani.
Sinta Yudisia, penulis produktif dengan latar pendidikan ilmu psikologi, meramu tulisan tentang cinta dan patah hati, dalam “Kitab Cinta dan Patah Hati”. Pembahasan dipaparkan melalui pendekatan ilmiah, dari sisi medis, bahasa, sosiologi, psikologi, juga religi. Dilengkapi dengan  contoh kisah-kisah klasik tentang cinta yang melegenda, dari zaman Nabi Muhammad, zaman Dinasti Mughal, zaman Dinasti Tang, zaman Raja-raja dan Kekaisaran Eropa, hingga artis Marilyn Monroe. Beragam kisah ini sangat mengesankan dan cukup menjadi daya tarik tersendiri.
Pada lembar pembuka disampaikan bahwa cinta melibatkan sekian ragam fungsi otak yang akan mengaktifkan adrenalin, sekian hormon, serta neotransmitter yang akan berpengaruh pada perilaku seseorang. Cinta melibatkan pula kognisi, sehingga apa yang diperbuatnya sangat mencerminkan apa yang sesungguhnya berada dalam bilik pemahamannya. Dan, cinta melibatkan juga serangkaian aktivitas sosial, sehingga beberapa studi menemukan keanekaragaman budaya dalam mengungkapkan sisi hati yang paling menarik ini. (halaman 5-6)
Buku ini terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama, tentang Cinta. Pada bagian ini, pembahasan memuat berbagai teori.  Dalam Interpersonal Attraction, terdapat beberapa bentuk emosi yang dirumuskan para psikolog sosial, seperti suka (liking), persahabatan (friendship), kekaguman (admiration), nafsu (lust), dan cinta (love). Sedangkan menurut Robert Stenberg, dalam teori Triangular Love-nya, tiga komponen dalam cinta adalah: Intimacy, Passion, Commitment, yang kemudian dijabarkan dalam tabel yang mengurai delapan model tipologi cinta. Lalu Zick Rubin, peneliti dari Harvard University, mengemukakan skala cinta yang secara sederhana digunakan untuk mengukur apakah cinta, rasa suka yang mendominasi, ataukah keduanya? (halaman 23-53)
Pemaparan lengkap tentang bagaimana otak bekerja dalam urusan cinta, hadir dengan detil. Juga perilaku cinta yang dipengaruhi oleh aneka faktor. Setelah mengetahui itu semua, lalu bagaimana rumusan cinta sejati? Yaitu cinta yang berlandaskan cinta kepada Tuhan. Dalam Islam, cinta kepada sesama manusia, yang bersandar pada kalimat tauhid (pengesaan Tuhan), akan menuntun pada rambu-rambu yang menyelamatkan. Sebab cinta kepada lawan jenis, memiliki rambu-rambu yang harus dipatuhi. Pun cinta kepada orangtua dan kepada sesama muslim, dipenuhi oleh kelemahlembutan. Maka cinta dalam celupan cintaNya, akan memurnikan cinta dari noda dan dosa.
Setelah cinta didapat, tugas selanjutnya adalah menjalani dan mempertahankannya. Ini bagian yang tak kalah sulit, namun bila diikuti langkah-langkahnya, dihindari jebakan-jebakannya, bukan mustahil kebahagiaan sejati akan direngkuh.
Sayangnya, tak semua manusia dapat dengan mudah mendapatkan cinta. Keelokan fisik, harta melimpah, otak yang jenius, bukan jaminan untuk mempermulus jalan meraih cinta. Dalam buku ini, dibeberkan kiat-kiat syar’i saat berada di fase tersebut, agar tak mengalami gundah berkepanjangan tersebab jodoh belum kunjung tiba.
Penutup bagian kesatu adalah untaian kisah cinta indah penuh hikmah. Cinta yang agung, cinta yang penuh pengorbanan tulus, cinta yang lekat pada kesetiaan, mengabadikan kisah-kisah pasangan yang menjalani hidup dengan penuh cinta berbuah bahagia.
Bagian kedua tentang Patah Hati. Meski tak ada yang menginginkannya, namun kehadirannya tak mungkin dapat ditolak. Patah hati jangan diikuti dengan patah semangat, karena ia ada obatnya. Ada obat secara ruhani, mental, batiniah atau psikis, pun obat secara fisik. Keduanya harus dilakukan bersamaan, agar patah hati optimal terobati.
Pada bagian ini juga, ditampilkan kisah-kisah cinta klasik yang berujung duka. Selain kisah nyata, hadir pula karya sastra dalam fiksi cinta yang melegenda, seperti kisah Layla Majnun, The Phantom of The Opera, dan lainnya.  Tak sekadar menghibur, kisah-kisah tersebut membawa pada perenungan yang dalam.
Uraian cinta dari berbagai aspek, menjadikan buku ini sangat tebal. Covernya yang cantik dan lembut, sepertinya dimaksudkan agar bisa diterima di kalangan remaja. Namun untuk remaja, pada beberapa bagian tampaknya akan dilewati karena bahasanya yang sangat ilmiah. Penjelasan mengenai struktur otak, susunan syaraf, dan berbagai organ sensori lainnya, cukup membuat kening berkerut. Pada bagian tersebut dibutuhkan konsentrasi penuh agar penjelasan bisa dipahami. Namun pada bagian lain, bahasanya cukup ramah awam, maksudnya mudah diterima oleh kalangan remaja dan awam.
Terlepas dari beberapa bagian yang mengandung bahasa yang ‘berat’, buku ini recommended karena kompletnya. Selain penjelasan dari ilmu umum yang akan memperluas wawasan, penjelasan dari sisi Islam pun sangat memadai. Kisah-kisah Rasulullah dalam berbagai moment dan para shahabat turut mewarnai, dilengkapi dengan petikan hadits yang menguatkan. Tak ketinggalan nukilan ayat-ayat Al-Quran yang selaras dengan materi yang disorot.
Dari pembahasan lengkap dalam Kitab Cinta dan Patah Hati ini, tergambar bahwa cinta bisa dikupas tuntas dari beragam sisi. Namun pada hakikatnya, cinta bermuara dari hati. Bahagia atau derita adalah konsekuensi dari pilihan dalam skenario cinta. Yang harus menjadi sandaran adalah cinta kepada Ilahi. Demikian pula tatkala patah hati menerpa, jangan serta merta membuat semangat ikut patah. Sebab Tuhan menjadi tempat kembali untuk berserah diri. 

*) Resensi ini diikutsertakan pada Lomba Menulis Resensi Buku Indiva 2013