Sabtu, 23 Maret 2013

KALAH

Perasaan apa yang terbersit saat mendengar kata 'kalah'? Tentu sedih, pilu, merana, dan segala turunannya. Aku baru saja merasakannya.

Ceritanya begini. Tasaro, penulis favoritku itu, mengadakan Kelas Menulis Online. Aku pun ikut lah. Suatu hari, ada PR tentang teknis penulisan sebuah novel. Ada 7 pertanyaan yang harus dijawab. Siapa tokoh Anda? Apa goal hidupnya? Apa kendalanya? Dsb Dsb.

Meski terhege-hege, aku ikut mengumpulkan PR. Eternyata, Pak Guru Tasaro yang baik hati itu, memberikan kesempatan untuk PR yang mendapat 'Yes' akan diikutsertakan dalam ajang pencarian novel dari Proyek Antitesa Mizan, lalu pemenangnya akan memperoleh beasiswa bimbingan penulisan selama 6 bulan. Wuih.. keren yaa..

Pembahasan PR pun digelar ala X-Factor Indonesia. Setelah pembahasan usai, akan ditetapkan apakah karya tersebut mendapat 'Yes' or 'No'. Tak disangka tak dinyana, PR-ku mendapat 'Yes'. Duhai, betapa girang hatiku.. :)

Menulis novel memang menjadi obsesiku. Aku ingin mewujudkannya. Dan aku berharap inilah awal yang baik. Terlepas nanti akan lolos atau tidak di ajang pencarian novel paling antitesa dari Mizan.

Aku mulai menata harap, mengumpulkan baris demi baris doa. Walau sejujurnya, terbersit rasa minder karena merasa proposal naskahku itu terlalu biasa. Tapi teman-teman, termasuk Tasaro, menyemangatiku.

Tibalah pengumuman edisi 1, tahap 20 besar. dan.. namaku tak ada. Lemaslah rasaku. Kecewa. Pedih. Terhempas.

Ah, tidak.. aku tidak boleh menamakan ini sebagai kekalahan. Aku bukan kalah. Naskahku bukan berarti kalah dibanding naskah lain. Hanya, bukan di sanalah tempatnya. Insya Allah kelak ia akan menemukan jodohnya.

Aku tetap akan melanjutkan merampungkannya. Entah nanti akan berlayar ke mana ia. Mungkin ajang lomba yang lain. Atau langsung menuju penerbit. Yang penting niatku untuk berbagi kebaikan, telah kutunaikan. Aku ingin tulisanku akan menginspirasi dan memotivasi orang-orang pada kebaikan. Kalimat-kalimat yang berbaris mengandung hikmah. Tak ada kesia-siaan di dalamnya. Ia bertenaga. Menggerakkan pada nilai-nilai kebaikan.

Aku jadi teringat pada tulisan temanku yang bertajuk, "Keberuntungan Tidak Jatuh Dari Langit". Ya, keberuntungan harus diusahakan, harus diperjuangkan. Aku baru beranjak menjadi penulis. Masih harus banyak belajar, perlu terus mengasah ketajaman pena. Agar tulisan yang lahir dari hasil jerihku tidak menyisakan apapun kecuali kebaikan.

Di sela aneka kewajiban yang musti kulakukan, menulis dan membaca harus menjadi agenda harian yang tak boleh ditinggalkan. Meski masih tertatih-tatih untuk istiqomah pada agenda tersebut, aku harus terus bersemangat. Walau cucian setumpuk, setrikaan menggunung, lantai belum disapu dan dipel, empat anak yang harus diurus, rupiah yang harus dijemput.. bla.. bla.. bla..

Subhanallah.. dengan terus bermunajat kepadaNya, tentu tak ada yang sulit dilakukan. Selama tetap menjaga niat. Selama niat senantiasa lurus.

Bismillah..

Benar kata orang, boleh jadi kekalahan adalah sukses yang tertunda. Maka bersiaplah menyambut kemenangan sejati dari kekalahan tersebut.

Senin, 18 Maret 2013

Yakinlah.. Allah Maha Kuasa..

Kisah-kisah yang mengalir seputar perjalanan suci ke Baitullah selalu menarik. Ada yg mengharukan, membahagiakan, menyentak, membelalakkan, hingga mengiris hati.

Beberapa hari lalu, sahabat baikku, Hesti, baru saja pulang umrah dari tanah suci. Dan.. apa yang dituturkannya, sungguh mencengangkan, mencerahkan, menyadarkan jiwa. Betapa kuasa Allah demikian hebatnya.

Ceritanyanya begini. Hesti, seperti halnya umat muslim lain, betapa amat sangat mendamba pergi ke tanah suci, bersujud di depan Ka'bah, berziarah ke makam Rasulullah, dan rangkaian ibadah lain di Mekkah dan Madinah. Pada saat tabungannya menipis-pis-pis, karena tersedot aneka pengeluaran ini-itu (pernikahan adik, anak masuk skolah, silaturahmi ke Jakarta-Hesti tinggal di Samarinda), namun tiba-tiba Allah mencurahkan rezeki melalui bonus awal tahun dari kantor suaminya, yang jumlahnya cukup untuk berumroh berdua.

Singkat cerita, didapatlah jadwal keberangkatan ke sana. Namun, olala, ternyata tanggalnya bertepatan dengan jadwal haidnya. Duh, bagaimana mungkin pergi ke tanah suci dalam keadaan haid? Sementara tujuan ke sana tentu untuk banyak-banyak melakukan ibadah.

Akhirnya, atas saran tenaga medis, Hesti minum obat penunda haid dua minggu sebelum berangkat. Agar bisa berangkat dengan tenang tanpa mengalami haid. Dan.. apa yang terjadi kemudian, Teman..? Empat hari sebelum hari'H', darah haid malah mengalir deras. Hesti panik bukan kepalang. Siklus haidnya biasa berlangsung 10 hari-an, berarti.. ? Oh, tidaaak! jeritnya dalam hati.

Gegas langkahnya menuju dokter SPOG. Tidak cukup satu, ia datangi dokter lain untuk second opinion. Hasilnya, sama saja, Teman. Hesti memang positif haid. Konon reaksi tubuh seseorang itu berbeda-beda terhadap obat tersebut. Nah.. Hesti ni' malah sel telurnya menjadi lekas matang sehingga lekas haid lah akibatnya.

Hesti pun berurai air mata.Menghiba dengan sangat di hadapan Sang Maha Kuasa. Dihimpunnya seluruh doa dari ayahbunda, sanak-saudara, sahabat dan kerabat. Tak lupa senantiasa menggemakan prasangka baik di hatinya atas segala kehendakNya.

Hingga duduk di pesawat dan perlahan meninggalkan tanah air, kondisi belum berubah. Hesti bermohon agar perjalanan ini memakan waktu lebih lama dengan asumsi haidnya bisa berhenti dalam rentang waktu yang panjang itu. Di dalam pesawat, setelah di-cek beberapa kali, haidnya masih saja ada.

Kebayang ya, betapa sulitnya posisi Hesti saat itu. Rasanya ingin putus asa. Tanah Arab akan dijelangnya tak lama lagi. Tapi ia harus sabar menghadapi kenyataan tidak bisa langsung menginjakkan kaki di masjid nabawi. Sementara kawan-kawannya seperjalanan penuh sukacita menyambut landingnya pesawat, Hesti masih merana.

Setelah melewati proses imigrasi di bandara, Hesti menuju toilet. Dan.. tak dinyana tak diduga.. bersiiih! Subhanallah.. betapa gegap gempita hati sahabatku itu.

Dalam perjalanan menuju Madinah, ada juga kesempatan mampir, dan lagi-lagi setelah di-cek, Hesti benar-benar bersih. Subhanallah.. Maha Kuasa Allah yang telah menguji kesabaran sahabatku. Dan salutku kepada Hesti yang benar-benar ikhlas dengan haidnya yang seperti tak kenal kompromi.

See, ketika seseorang ikhlas dan berserah sambil tak henti berprasangka baik terhadapNya, maka reward istimewa yang sungguh membuncahkan bahagia, akan didapat. Hesti menjalankan rangkaian ibadah dalam kenikmatan yang lebih-lebih-lebih dahsyat, karena sebelumnya seakan kesempatan itu bakal luput sebagian. Tersungkur ia dalam sujud syukur dengan bahagia yang mengepung hati tiada henti.

Subhanallah.. Ya Allah, betapa Maha Kuasa Engkau.. Kami sungguh tiada daya di hadapanMu.

Terkadang kita merasa sesuatu akan lepas. Nah.. pada saat itu, bila hati benar-benar ikhlas, maka dalam detik-detik terakhir, justru sesuatu itu menjelma, dan boleh jadi dalam bentuk yang lebih baik dari perkiraan semula. Namun jika kita sarat dengan gerutu  dan keluh kesah, maka boleh jadi sesuatu itu benar-benar lepas dan tak kembali.. :'(

Ya Allah.. dalam aneka kesempatan, Kau tampakkan kuasaMu agar kami lebih mengingat siapa diri kami. Namun adakalanya hati kami tertutup selaput rupa-rupa. Selaput kecemasan, kesangsian, kesombongan, kemarahan, keputusasaan..
Astaghfirullah..

Sudah tidak boleh lagi ada keraguan tentang kemahakuasaan Alah. Ini sungguh nyata. Skenario yang indah dariNya.

#Trimakasih ya, Hest.. sudah berbagi bersamaku. Kisahmu benar-benar memukau.



Kamis, 14 Maret 2013

Kisah Ibu Muli

Ini cerita seorang teman. Sebut saja Ibu Muli. Wanita baik hati ini adalah seorang guru. 

Pada tahun 2008 Ibu Muli bagai mendapat durian runtuh. Namanya tercantum sebagai guru penerima tunjangan sertifikasi dari pemerintah. Setelah mengikuti sesi pelatihan selama kurang lebih 2 pekan, yang diakhiri dengan test tulis dan test praktik mengajar, beberapa bulan kemudian Ibu Muli memperoleh sertifikat pendidik sebagai guru profesional dengan spesifikasi: guru kelas.

Pada tahun berikutnya, senyum mengembang di bibir Ibu Muli karena rekeningnya terisi oleh dana tunjangan sertifikasi secara berkala. Nilainya setara gaji PNS Gol.IIIA. Sungguh, rasa syukur tak henti dipanjatkannya kepada Yang Maha Kuasa, atas rezeki yang tak disangka-sangka ini.

Belum lama ini, Ibu Muli pindah tempat tinggal. Semula di Kabupaten A, sekarang bermukim di Kabupaten B. Maka Ibu Muli mengurus kepindahannya, termasuk urusan sertifikasi. Dibuatnya surat pengajuan permohonan mutasi sertifikasi. Dilengkapi pula berkas lain yang mendukung.

Setelah sempat tersendat beberapa waktu, akhirnya surat pengantar dari Kabupaten A untuk Kabupaten B, diterima Ibu Muli. Dengan langkah mantap penuh harap, Ibu Muli menuju kantor kementrian tempat lembaganya bernaung di Kabupaten B. Tanpa syak wasangka, Ibu Muli berpikir tunjangan sertifikasinya akan berlanjut karena beliau mengajar di lembaga yang sejenis dengan kabupaten asal.

Seluruh dokumen disimpannya rapi dalam satu map. Ibu Muli pun menghadap pejabat yang berwenang. Disimaknya butir-butir kalimat yang meluncur dari ucapan si bapak pejabat. Ibu Muli ternganga. Terhenyak kemudian.

Dilontarkannya beberapa pertanyaan. Lalu jawaban yang membuatnya terperanjat, yang diterima. Tentu kau ingin tahu, Kawan, apa penjelasan yang didapat Ibu Muli?
Pengusulan nama Ibu Muli sebagai guru penerima tunjangan sertifikasi di Kabupaten B tidak dapat diproses pada saat itu. Apa pasal? Pendataan sertifikasi untuk non PNS seperti Ibu Muli, dihitung berdasarkan satminkal (satuan administrasi pangkalan) yang baru. Maka Ibu Muli dianggap pengalamannya masih nol tahun, sebab dihitung dari satminkal atau sekolah yang baru. Sehingga masih disebut sebagai GTT (Guru Tidak Tetap). Sedangkan menurut peraturannya, seorang guru menjadi GTY (Guru Tetap Yayasan) apabila telah mengajar selama 2 tahun secara terus menerus di sekolah yang bersangkutan. Dan konon masih menurut peraturan pula, tunjangan sertifikisasi hanya diberikan kepada GTY.

Demi mendengar penjelasan tersebut, lemaslah Ibu Muli. Harus menunggu 2 tahun untuk turunnya dana tunjangan sertifikasi bagi dirinya. Sementara di sekolah yang baru, Ibu Muli tidak menerima gaji, dengan asumsi bahwa beliau telah menerima ‘gaji’ dari pemerintah. Dan ternyata asumsi tersebut meleset.

Dengan kenyataan pahit yang diperolehnya, Ibu Muli berpesan kepadaku untuk menyampaikan hal ini kepadamu, Kawan. Berhati-hatilah bagi para pendidik yang telah tersertifikasi dan hendak bermutasi lintas kota atau kabupaten. Informasi yang jelas dari kedua pihak harus benar-benar digali. Mencari teman yang kenal baik dengan pejabat terkait, akan sangat membantu. Sang teman dapat menghubungkan langsung dengan pejabat terkait tersebut, sehingga urusan kita akan lebih mendapat perhatian.

Tapi Kawan, tak usah khawatir dengan nasib Ibu Muli selanjutnya. Insya Allah beliau tetap semangat menjalani hidup. Meski betapa Ibu Muli membutuhkan sangat, kucuran dana tunjangan sertifikasi tersebut, demi kelangsungan hidupnya dan anak-anaknya, namun berdosa bukan, bila Ibu Muli lantas merasa mendapat kiamat duluan? Maka senyum Ibu Muli tetap melengkung manis. Mungkin ini saatnya bagi Ibu Muli untuk berkarya dan berprestasi di ranah yang lain. Mohon doanya ya.

Jumat, 01 Maret 2013

Cerita Sunat Salman


Anakku, Salman (5,5 thn), beberapa hari terakhir selalu merengek minta disunat. Agak mengherankan juga, karena sebelumnya dia menolak keras pada wacana ‘sunat’. Selidik punya selidik, ternyata, sepupunya alias keponakanku alias putranya kakakku, bilang sama Salman bahwa sunat itu lebih enak kalau masih kecil, karena kalau udah besar bakal sakit banget sebab disunatnya menggunakan golok.

Salman bersikeras pingin segera disunat karena khawatir dia akan keburu gede, lalu golok lah yang akan mengeksekusinya saat disunat. Aku berusaha menenangkan bahwa dia masih kecil, masih TK, jadi tenang saja. Tapi Salman tetap was-was tampaknya. Kubilang lagi, kalau sudah SD, itu baru anak yang udah gede, tapi kalau masih TK mah masih kecil.

Salman: “Jadi kapan aku disunatnya?”
Aku: “Nanti ya Sayang, kalau liburan..”
Salman: “Kapan liburannya?”
Aku: “engh.. nanti bulan Juni..”
Salman: “Masih lama gak?”
Aku: “Iya sih.. masih lama..”
Salman: “Kenapa sunatnya harus lagi liburan?”
Aku: “Kan nanti Mama harus jagain Salman. Tapi karena Mama kerja, ngajar di sekolah, jadi supaya bisa temenin Salman pas disunat, kan enaknya pas liburan..”

Percakapan masih terus berlanjut. Akhirnya kucari waktu terdekat yang ada libur agak lama, dan ketemulah tgl.29 Maret. Maka aku pikir, disunatnya tgl 28 aja. Jadi aku bisa menemani Salman 3 hari kemudian, hari Jumat, Sabtu, dan Minggu.

Salman senang sekali jadwal sunatnya dimajukan. Tapi tak urung setiap hari dia terus menerus bertanya, “Berapa hari lagi aku disunat?” Duh, aku trenyuh juga mendengarnya.

Untuk sang eksekutor, aku sudah cari-cari info. Ada teman suaminya rekan kerjaku, seorang tenaga medis di RS Assyifa, yang juga dulu mengkhitan putranya. Ok, aku sepakat, beliau saja nanti yang mengkhitan Salman.

Tiba-tiba kakak iparku membawa info bahwa di RS Assyifa ada khitanan massal. Temannya menjadi panitia di sana. Kupikir, mungkin ini jalan kemudahan dariNya untuk Salman. Waktu itu hari Senin sore, sedang hari ‘H’ nya adalah hari Jumat. Akhirnya hari Rabu aku daftar, karena Selasa aku ke Bogor untuk suatu urusan lain yang juga sangat penting.

Tak terkira gembiranya Salman, saat tahu bahwa disunatnya tinggal hitungan hari. Lalu.. hari itu pun tiba. Kami tiba di RS sebelum pukul 7. Dalam surat pemberitahuan disebutkan, peserta khitanan massal tersebut harus hadir pada pukul 7. Namun apa yang terjadi? Panitia baru membereskan kursi-kursi untuk ruang tunggu kami. Sound system pun baru diangkut-angkut. Termasuk kamar-kamar tempat khitanan berikut bed dan peralatannya pun baru disiapkan.

Akhirnya acara dimulai sekitar pukul 07.50. Setelah dibuka dan disambut oleh Bapak Direktur RS, acara khitanan pun dimulai. Peserta no.1, 2, 3, dipanggil. Salman dapat no.9.
Begitu peserta awal masuk ruangan, tak lama terdengarlah jeritan membahana dari setiap kamar tersebut. Aku segera membawa Salman keluar untuk berjalan-jalan. Aku khawatir, suara tangisan peserta lain akan mempengaruhi semangatnya.

Ketika aku lihat peserta awal itu sudah selesai dikhitan, tangisan mereka masih belum berakhir. Untunglah Salman sedang asyik menggambar bersama kakaknya, Nadia. Jadi tidak terlalu memperhatikan.

Singkat cerita, tibalah giliran Salman. Aku sudah siap membawa rupa-rupa hadiah yang akan kugunakan untuk mengalihkan perhatian Salman saat dia ‘dikerjai’ oleh para tenaga medis. Tapi rupanya dari sejak awal dan selama proses khitan berlangsung, Salman terus berteriak-teriak kesakitan. Duh, hati ibu yang mana yang tahan melihat anaknya demikian menderita?  Aku terus berusaha mengajaknya bercerita tentang hadiah-hadiahnya. Namun rasa sakit lebih mendominasi Salman. Sepertinya obat bius belum bekerja, sehingga anakku selalu menjerit histeris saat jarum jahit menusuk kulit penisnya.

Selesai dikhitan, Salman masih terus menangis. Hal yang sama terjadi juga pada peserta lain. Bahkan sampai rumah pun tangisan Salman tak berkurang. "Sakiiit.. sakiiit.. Aku gak mau disunat..!" erangnya.
Aku tidak bisa beringsut sedikit pun dari sisi Salman. Duh.. piluu rasanya melihat anakku kesakitan sedemikian rupa.

Menjelang sore, Salman mulai menampakkan dirinya yang dulu. Celotehnya menderas, bawelnya mulai kelihatan lagi. Subhanallah.. leganya..  APalagi saat melihat senyum dan tawanya mulai menghias wajahnya. Salman pun sudah bisa menikmati permainan baru hadiah sunatnya dari aku.



Rupanya dalam hal Salman disunat berlaku peribahasa "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian."  Hingga melewati magrib sampai masuk waktu Isya, tak ada lagi sisa-sisa potret tadi pagi-siang. Tidurnya pun lelap sampai pagi...  Zzzzz...