Kamis, 17 April 2014

Keajaiban Itu Ada

Hai Day, aku lagi terbengong-bengong setelah beberapa saat lalu, mendapat sms dari kakakku yang tinggal nun jauh di Pekanbaru sana. Nda, besok mau ditransfer, itu bunyi smsnya. Bener-bener takjub, betapa Allah menurunkan pertolonganNya sungguh di saat yang persis tepat banget.

Kalimat 'Allah akan memberikan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka' memang sudah sangat familiar. Tapi ketika saat terdesak itu tiba, aku kok selalu lupa pada kalimat itu. Maka aku sibuk bergumam sendiri, bagaimana caranya bisa memperoleh rupiah demi mememenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dompet isinya tinggal beberapa lembar warna abu-abu dengan wajah Pangeran Antasari yang berwibawa. Aku termangu. Hari-hari ke depan, anak-anak sekolah ongkosnya bagaimana? Kalau beras masih ada, karena biasa beli untuk jatah sepekan. Buat teman nasi, ada telur yang baru aku beli kemarinnya, cukup banyak sebagai persediaan. Berarti masalah perut, aman.

Nah, ketika aku sedang termenung itu-lah, sms itu tiba. Subhanallah.. siapa coba yang menggerakkan hati kakakku untuk transfer uang buat aku dan anak-anak. Terbukti banget kan, Allah itu tidak tidur, tidak akan mungkin menzhalimi hambaNya. Dari kemarin, nggak kepikir sama kakak yang satu itu, karena jarak yang memisahkan kami, sehingga komunikasi nggak se-intens kakak-kakak yang ada di sini. Tapi ternyata, dia-lah yang Allah pilih sebagai jalan untuk pembuka rupiahku,

Allah maha tahu sepak terjangku. Aku hanya berusaha berjuang sekuat yang aku bisa. Meski sejujurnya, kadang aku merasa kurang gambatte. Acap aku kurang keras pada diri sendiri. Aku sering mengalah pada tubuhku. Menyerah pada kantuk, sehingga percepatan menulisku kedodoran. Tak berdaya pada letih dan pegal anggota badan.

Aku nggak tahu Day, ujung kisah terpurukku ini akan memiliki ending seperti apa. Jelas aku tak ingin selamanya hanya menadah tangan di bawah. Kamu nggak pernah bisa ngebayangin kan, Day.. gimana rasanya menjadi orang yang diberi sedekah oleh orang lain?

Tapi aku yakin, keajaiban itu ada. Aku harus yakin itu. Kekuatanku mengandalkan doa. Berharap aku-lah yang akan mendapat keajaiban mengesankan dariNya. 

Minggu, 13 April 2014

Catatan Harian

Dari dulu hingga sekarang banyak orang yang suka menuliskan apa pun yang dirasakan, dialami, dan diidamkannya dalam tulisan. Bentuk yang paling sederhana adalah dalam buku harian atau diary.

Aku juga dulu punya buku harian. Kusimpan baik-baik, kurahasiakan, jangan sampai ada orang lain yang membacanya. Setelah menjadi emak, kegiatan itu sudah aku stop sama sekali. Entah aku sudah kehilangan gairah mungkin ya, soalnya dulu diary-ku banyak bercerita tentang 'dia'.. hihi.. Dan beberapa hari sebelum menikah, aku menutup kisah laluku dengan membakar semua diary-ku, tak bersisa. Hingga mungkin semangat menulis diary pun ikut terkubur bersama abu diary-ku. Oh ya, namanya Dayri.

Berbilang tahun kemudian, ketika aku mulai melek pada dunia sosmed, aku mulai tergerak untuk kembali menulis. Termasuk keinginanku untuk menulis diary. Aku kangen si Dayri.

Males aja kan, kalau harus menulis dengan pulpen seperti dulu. Maka aku pun mulai berpikir untuk menulisnya di komputer, di sebuah ruang yang orang lain tidak bisa melihatnya. Sepertinya, blog bisa menjadi Dayri-ku.

Ternyata eternyata aku melihat bahwa blog itu dengan leluasa dikunjungi orang-orang. Siapa pun bisa membaca. Hmm.. akhirnya aku setengah-setengah menulis ala diary di blog. Tulisanku beraneka, ada resensi, ada cerpen, ada tulisan lomba-lomba, dll. Belakangan, resensi dah ada blog tersendiri. Laluu.. sekarang aku mulai memikirkan untuk mulai ngobrol lagi sama Dayri-ku. Ah, aku tak hirau dengan orang-orang, karena kukira blogku ini sunyi senyap, siapa pula yang mau melirik. So, aku akan mulai menuliskan apa yang terjadi dalam dunia sekitarku.

Semoga bisa setiap hari. Jadi aku punya catatan yang terdokumentasi, yang mungkin suatu saat akan berguna. Tentang Ghulam, sulungku yang merasa punya suara merdu, atau Zidan, anak keduaku yang sering bolos sekolah, atau Nadia, my princess, yang masih sulit untuk nggak ngompol kalau malam, dan terakhir bungsuku, Salman, yang aku nggak bisa nggak untuk memanjakannya.

Oh ya, mungkin juga aku akan menulis tentang murid-murid di sekolahku, murid-murid les bahasa Inggrisku, proyek menulisku, tetanggaku, saudara-saudaraku, dan siapa juga apa saja.

Ok, Dayri.. sampai ketemu nanti yaa.. :)

Sabtu, 12 April 2014

Ibu Macam Apah Akuh?

Dinihari tadi aku membaca tulisan temanku. Ia bercerita tentang ibunya yang single mom. Ayahnya menikah lagi, meninggalkan ibunya dengan anak-anaknya yang mesih kecil. Temanku masih sekitar 5-6 tahun usianya saat kejadian itu. Lalu mengalirlah cerita temanku tentang ibunya yang berjibaku demi kelangsungan hidup mereka. Ibunya yang kuat, tegar, dengan setiap tetes cinta dalam peluh lelahnya.

Aku tercenung seiring titik air yang meluruh dari pelupuk membasahi pipi. Temanku demikian membanggakan ibunya. Ibu yang tangguh dengan kasih sayang tak terbilang.

Selalu ada yang bergetar di hati setiap membaca tulisan seorang anak tentang ibunya. Aku ibu macam apa? Tetiba aku merasa jaauuuh belum melakukan seperti yang ibu temanku lakukan. Meski aku merasa terengah-engah, terseok-seok, terhuyung-huyung. Tapi aku belum bekerja sekeras yang dilakukan para ibu, yang senasib denganku, harus mengepak dengan satu sayap.

Secara kebetulan juga, selesai aku membaca tulisan temanku, aku nge-chat dengan teman, yang tanpa disetting sebelumnya, temanku bercerita tentang ibunya yang single mom dengan 5 anak. Lagi-lagi beliau ibu yang luar biasa.

Duhai, betapa yang aku lakukan masih belum ada apa-apanya. Menjadi single mom itu sesuatu banget. Meski.. yaa.. bukan single mom pun, keluarga komplet sekali pun, mereka tetap ditimpa masalah toh?

Aku harus bekerja keras lagi. Bekerja keras secara fisik, mencari nafkah. Pun bekerja secara psikis, mengendalikan emosi. Di tengah tekanan pekerjaan di sekolah, proyek-proyek menulis, dan segala urusan domestik, emosi tegangan tinggi acap sulit dihindarkan. Dengan beragam hal yang harus dilakukan, aku tidak jarang merasa sulit menentukan skala prioritas.

Harapanku, anak-anakku bisa merasakan betapa aku menyayangi mereka. Bahwa apa yang aku lakukan tiada lain hanya untuk mereka. Tak ada keinginan rasanya untuk diriku sendiri, semua semata demi mereka. Rasanya aku tidak butuh apa-apa lagi setelah semua kegagalan ini. Aku hanya ingin anak-anak meraih kebahagiaan sejati, jangan sampai mereka mengecap bagian pahit seperti yang kurasakan sekarang. Bahwa semua kecerewetan dan kebawelanku, sama sekali bukan karena aku marah, melainkan demikian sayangku kepada mereka. Anak-anakku harus mandiri dan punya tanggung jawab. Mereka harus 'menjadi'.

Semoga kenangan mereka tentangku kelak, meninggalkan hal yang menyenangkan dan baik-baik. Kalaupun ada hal yang terasa menyebalkan, lantas mereka sadari itu sebagai proses pendewasaan. Hanya doa-doa panjang kurajut demi kebahagiaan hidup anak-anakku, karena apalah setitik keringat yang muncul dari kulit jangat, tak lain tempat bergantung hanyalah Allah..