Sabtu, 10 Oktober 2015

Aku Nonton Bokep Sejak Kelas 2 SD!

Ini benar-benar harus menjadi perhatian para orang tua. Anak-anak kita.. oh, anak-anak kita yang lucu, baik, ceria, dan pintar, ternyata mereka mengalami hal yang sungguh di luar dugaan.

Saat itu, saya sedang asik ngobrol dengan anak-anak laki-laki kelas 7. Cerita demi cerita bergulir. Akhirnya saya tergelitik untuk melontarkan pertanyaan pancingan, "Kalau nonton bokep, udah pernah?"

Anak-anak itu ada yang tergelak, ada yang senyam-senyum. Satu sama lain saling pandang. Lalu meluncurlah cerita seputar pengalaman mereka menonton film-film yang tak pantas itu. Sejujurnya, saya mendengarkan sambil menahan debur pilu yang berdentum-dentum. Bayangkan, anak-anak di usia sekecil itu, berbicara fasih tentang situs-situs porno dan bagaimana cara mencari film-film itu dengan menyebutkan beberapa kata kuncinya.

Sepanjang mereka bercerita, saya berusaha tetap datar agar mereka leluasa terus bicara. Hampir semua mengawali nonton itu karena diajak teman. Dan itu dilakukan saat mereka masih duduk di bangku SD! Setelah sekali nonton, lalu ada yang kedua kali, ketiga kali, dst. Biasanya setelah rame-rame sama temen, mereka akan mengulanginya saat sendiri di kamar.

Setelah mereka banyak bercerita, saya mulai sisipkan pelan-pelan tentang bahaya besar yang akan menimpa mereka kalau kebiasaan ngebokep itu terus dilakoni. Saya katakan juga, Allah tidak suka perbuatan maksiat itu. Mereka rata-rata mengerti. Semua mengangguk-angguk. Katanya, sudah tahu. Tapi kalau lagi nggak ada kerjaan, di kamar sendirian, suka iseng ngeklik itu lagi, trus keasyikan. Duh, Gustiii...

Jangan terburu-buru menyalahkan orang tua, dengan mempertanyakan, "Itu ayah ibunya pada kemana sih?"
Beberapa dari mereka nggak sibuk-sibuk banget, kok. Mereka juga cukup perhatian sama anak-anak. Dari kalangan baik-baik dan rajin mengaji. Lalu, kenapa? Karenaa.. para orangtua itu sama sekali nggak terpikir bahwa anaknya yang imut akan melakukan hal menjijikkan seperti itu. Mungkin mereka hanya mengira, hp berada di tangan anak-anak dihabiskan untuk main games atau chatting sama teman saja.

Yang membuat dada saya sesak adalah, salah satu dari mereka bilang, "Aku kenal film bokep sejak kelas 2 SD!" Lemas rasanya seluruh persendian saya. Anak saya yang bungsu, duduk di kelas 2 SD. Nggak kebayang, anak sekecil itu melahap film biru.. :'(

Ketika saya katakan bahwa kebiasaan ngebokep itu bisa menimbulkan kerusakan atau gangguan otak, anak itu menukas, "Tapi aku tetep pinter! Nggak kenapa-kenapa!"

Believe it or not.. anak itu memang pinter. Terutama pada pelajaran matematika dan sains, sering mendapat nilai seratus. Pelajaran lain juga tetap bagus. Bahkan hafalan Al-Qurannya pun sudah melewati juz 30, dan sudah hafal beberapa surat di juz 29.

Nah, itulah yang mengecoh. Anak-anak itu tampak seperti baik-baik saja. Orangtua tidak curiga. Mereka memberikan hp atau gadget tanpa pengawasan. Bukan karena tidak perhatian, tapi karena ketidaktahuan. Bahwa kewaspadaan perlu ditingkatkan berkali lipat.

Tanpa diketahui, saat jam istirahat, ada juga beberapa anak yang 'praktik' di dalam kelas. Pintu kelas ditutup. Guru-guru tidak ada yang melihat, karena mereka pun beristirahat pula di ruang guru.

Kini saatnya kita semua bergerak. Orang tua, guru, keluarga, dan siapa pun, mari lindungi anak-anak kita. Tingkatkan pengawasan terhadap anak-anak. Waspadai gadget di tangan mereka. Pelajari tips cara mudah blokir situs porno. Tips-tips tersebut bisa di-search di Google. Jangan kalah canggih dengan anak-anak. Para orang tua sudah waktunya melek internet.

Gambar diambil dari sini



SENJA *)





        Senja membayang. Bola raksasa dengan campuran warna merah-orange tersenyum cerah dalam bulatnya yang sempurna. Angin semilir menyapa ramah. Namun suasana di rumah itu tampak tersaput mendung. Sebuah rumah tua nan asri.
        “Rumah ini dijual saja!"
        Mak Iyoh membeku. Mata cekungnya menyorot pilu. Air mukanya mengeruh. Anja, anak bungsu dan lelaki satu-satunya, menatap menunggu jawab. Namun Mak Iyoh tetap bergeming. Kata-katanya mengumpul di ujung bibir, tak mampu dilepaskannya
        “Mak setuju tidak?” tanya Anja, hati-hati.
Mata Mak Iyoh menerawang. Di dinding, seekor cicak tanpa ekor merayap cepat lalu menyelinap di balik bingkai. Mak Iyoh menghela napas. Bingkai itu memajang foto dirinya bersama suami tercinta, yang telah berpulang ke haribaanNya, setahun silam.
        “Mak pikir-pikir dulu ya...” lirih Mak Iyoh.
        Sepasang anak kembar, usia lima tahun, berlarian dari arah luar, berceloteh ribut.
       “Nini jadi ikut ke rumah kita, kan?”
       “Nini nanti tidur sama kita, ya!"
        Masing-masing lengan Mak Iyoh diguncang-guncang. Perempuan usia enampuluhan itu tersenyum penuh kasih kepada cucu-cucu tersayangnya.    
        “Nini jadi ikut kaan..?” si kembar mengulang pertanyaan.
        “Iya, Nini ke rumah kita, tapi enggak sekarang. Nanti, bulan depan!" tegas Anja.
        “Yaah..!” si kembar memandang kecewa kepada ayahnya.
        Di sudut ruangan, Teta, istri Anja, tenang menyuapi adik si kembar, tak terpengaruh keadaan.

*****

        Mak Iyoh meluruskan kaki kurusnya. Mata tuanya mengelilingi ruangan 2x2 meter yang kini menjadi kamarnya. Sebuah lemari plastik baru, berdiri tegak di samping ranjang yang sedang didudukinya. Aku harus betah di sini, demi anak cucu, tekadnya.
        Kamar baru Mak Iyoh terletak di bagian belakang rumah Anja. Dulunya kamar pembantu. Karena tidak ada lagi ruangan lain, Mak Iyoh tidak keberatan menempati kamar sempit itu.

       Malam belum beranjak tua. Mak Iyoh masih membaca Al-Qur’an dengan suara perlahan. Dari ruang keluarga terdengar gelak tawa. Anja dan keluarganya tengah asyik menyaksikan tayangan komedi dari televisi layar datar di ruangan tersebut.
       Mak Iyoh mengakhiri bacaan Qur’annya saat kaki mulai terasa kesemutan. Ia selalu menjaga sikap. Kaki yang berselonjor, menurutnya adalah posisi yang tidak patut bila sedang mengaji. Maka ditutuplah Qur’an usang miliknya. Hening menyergap. Seketika Mak Iyoh teringat malam-malam sepinya di kampung yang kadang ditingkahi suara jangkrik atau senandung burung hantu. Sebuah simfoni malam yang tak tergantikan keindahannya oleh orkestra mana pun.
        Kepindahan Mak Iyoh ke rumah Anja, kadang masih menyisakan tanya dalam benaknya sendiri. Tepatkah langkah ini? Namun segera dikuatkannya hati. Ini demi anak cucu.
        Teta, bekerja di bank swasta ternama. Ia sangat membutuhkan seseorang untuk menjaga anak-anaknya selama ia tidak di rumah. Pembantu yang ada sekarang, hanya datang pagi pulang sore, dan tidak jarang mangkir karena rupa-rupa alasan. Mak Iyoh diminta untuk menjaga cucu-cucunya. Maka, dipenuhinya permintaan itu, dengan meninggalkan segenap kenangannya di kampung.

*****

       Matahari belum mencapai ubun-ubun, namun kegarangannya mulai tampak. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit. Seperti hari-hari kemarin, langkah kaki Mak Iyoh mengayun perlahan menuju taman kanak-kanak tempat cucunya bersekolah, memenuhi permintaan mereka.
       "Ni, jemput kita, ya! Aku nggak mau sama Mbak Lis lagi, ah!"
       “Iya, Ni.. Dia suka ngobrol lama di warung bakso Mas Acoy. Males banget!
       Ibu-ibu berkerumun di luar pagar sekolah sambil asyik bicara ngalor-ngidul. Saat tertangkap retina, sosok Mak Iyoh berjalan di kejauhan, seorang ibu membuka topik baru, dan segera disambut sahut menyahut.
        “Kasihan ya, neneknya Rani-Rina, tiap hari berpanas-panas ngejemput cucunya."
        “Malah paginya, sambil ngegendong adik si kembar, ikut antre di Mpok sayur. Tangan satu ngegendong, satunya lagi bawa kantong belanja!"
        “Orangtua, kok, dijadiin pembantu, ya? Ih, amit-amit!
        Padahal Bu Teta kan punya pembantu."

        “Pembantu ganjen! Pacaran mulu sama si Acoy tukang bakso."
        Dia sih enak,  datengnya jam delapanan.  Rumah sudah rapi, si kecil sudah dimandiin, disuapin. Malah yang masak juga sering Mak Iyoh itu."

*****

       Mak Iyoh baru saja mengucap salam pada rakaat terakhir shalat Ashar saat terdengar pintu kamarnya diketuk. Mbak Lis muncul, lalu tanpa dosa pamit pulang, sambil menitipkan jemuran.
       “Roni sudah dimandikan, Mbak?” tanya Mak Iyoh.
       “Belum Ni, masih nyenyak tidurnya. Si kembar juga belum, tuh, dari tadi anteng main Barbie,” jawab Mbak Lis, enteng, seraya berlalu.
        Mak Iyoh menghela napas. Diraihnya Al-Qur’an, lalu memulai tilawah. Belum satu halaman dirampungkan, terdengar tangis Roni memecah sore. Mak Iyoh melangkah tergesa. Rupanya, Roni bangun dalam keadaan mengompol. Sambil menenangkan tangis, Mak Iyoh mencopoti baju yang bau pesing itu lalu menuntun Roni ke kamar mandi. Selesai mandi, Roni minta digendong menuju kamarnya. Bocah tiga tahun berbobot sembilanbelas kilogram itu pun digendong.  Rasa sakit menjalari kaki yang kerap dirasakan Mak Iyoh, ditahannya kuat-kuat.
        Tiba-tiba dari arah halaman belakang, si kembar riuh berseru, "Hujaan.. Ni.. hujaan!"
        Teringat jemuran yang tadi dititipkan Mbak Lis, tanpa memedulikan rasa sakit pada kakinya, Mak Iyoh langsung tergopoh-gopoh menuju jemuran dan menyambar semua pakaian. Lalu semuanya ditaruh dalam boks plastik di ruang setrika. Yang masih agak basah, dipilih dan digantungnya pada gantungan berbentuk lingkaran. Sementara itu, hujan tanpa aba-aba terus mengalir deras.  Saat keluar dari ruang setrika, Mak Iyoh tercekat. Rani-Rina-Roni sempurna basah kuyup, sukses bermain hujan.

*****

       Teta menarik termometer dari ketiak Rina.
       “Hmm.. sama dengan Rani, 38 derajat!" gumamnya dengan nada gusar, memasukkan termometer ke dalam wadahnya.
        Mak Iyoh tertunduk lesu. Tangannya dengan kulit yang mengisut itu memijat lembut kaki Roni yang tertidur pulas di sofa.  Tidak demam seperti kakaknya, suhu Roni setelah diukur 'hanya' 36,5 derajat.
        Teta menyiapkan sirup penurun panas, “Kalian minum obat sekarang!” suaranya ketus.
       “Nini bantu minum obatnya,” Mak Iyoh beringsut dari kursi.
        Teta tak bereaksi. Raut mukanya tetap masam. Disodorkannya sesendok sirup penurun panas kepada putri kembarnya.
       “Kalau sudah minum obat, cepat tidur, supaya panasnya cepat turun!" ujar Teta dingin, tepat saat Mak Iyoh dengan lunglai kembali ke kamarnya.

*****

       Rasa sakit yang menusuk-nusuk kaki semakin ngilu dirasa oleh Mak Iyoh. Balsem yang membaluri sekujur kakinya tidak lagi berarti. Barangkali aku harus minum obat, pikirnya. Mak Iyoh pun membulatkan niat untuk mengungkapkan rasa skit yang dideritanya, namun selalu disembunyikannya itu. Hari Sabtu begini kan libur, mungkin anakku mau mengantar ke dokter, harap Mak Iyoh dalam hati.
       Saat tiba di ruang keluarga, terlihat Teta dalam penampilan rapi dan modis tengah sibuk membujuk si kembar. Sementara si bungsu asyik menonton film anak-anak dari TV Kabel.  Anja, dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans trendy yang membungkus tubuh atletisnya, mengenakan kaos kaki sambil berujar ringan,
      “Mak, aku mau mengantar Teta ke acara reuni temen-temen kuliahnya. Titip anak-anak di rumah, ya!”
       Teta berhasil membujuk Rani-Rina, kemudian mematut diri di depan cermin besar di atas bufet, memperbaiki letak bros, dan tanpa beban menambahkan,
       “Si kembar masih agak anget badannya. Nanti habis makan, suruh pada minum obat, terus langsung tidur!"
       Mak Iyoh mengangguk. Tatapan matanya meredup mengiringi kepergian anak dan menantunya. Ada sesak yang menggumpal di dada.
       Di luar, senja mulai turun. Lukisan alam akan berganti dengan semburat jingga yang anggun. Kehadirannya singkat saja. Ia penghujung waktu yang pantang disiakan, sebelum sang malam menutup hari.

*****

*) Cerpen ini menjadi Pemenang II Lomba Cerpen Majalah Ummi Tahun 2012