Kamis, 11 Februari 2016

Kisah Sepenggal Sore



Gambar diambil dari sini
           Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada perjalanan hidup seseorang. Seiring lipatan waktu, acap ditemui gesekan, benturan, hingga yang terberat serupa goncangan badai. Kesemuanya bisa dikategorikan ujian atau bisa juga hukuman, yang kejadiannya timbul dari sebuah sebab-akibat.
Seorang kawan, Runa namanya, tetiba ditimpa amuk badai dalam kehidupan rumah tangganya, yang berujung pada perpisahan. Kejadiannya sesungguhnya tidak tiba-tiba juga, karena ia bermula dari letupan-letupan kecil yang kemudian berakumulasi,hingga tak tertahankan yang berakibat pada perceraian.
Sore itu, kala langit membiru cerah bertabur awan, aku lihat dia duduk termangu. Pandangannya menerawang jauh. Menatap burung-burung yang mengepak di kejauhan. Perlahan  kuhampiri. Kami duduk bersisian. Sejenak senyap merayap. Lalu tanpa kuminta, ia menyodorkan androidnya. Sambil sedikit bingung, aku klik dan terbukalah linimasa twitternya. Terlihat dia me-retweet promtweet dari host sebuah buku. Buku itu berjudul “Sayap-Sayap Mawaddah” karya duet Afifah Afra dan Riawani Elyta.
        

“Baca!” ujarnya, lemah.
Aku membaca satu persatu status yang menginformasikan isi buku tersebut. Di situ dijelaskan tentang mawaddah. Bahwa mawaddah adalah salah satu pilar penting dalam menjaga kelanggengan sebuah rumah tangga. Mawaddah itu sendiri artinya cinta yang khusus terjalin antarsepasang manusia yang berlawanan jenis, yang telah sah sebagai suami istri. Pilar ini penting untuk dipahami, karena secara manusiawi, manusia memiliki hasrat terhadap lawan jenis. 
Selanjutnya, ulasan tentang urgensi mawaddah dalam menjaga api cinta agar tetap menyala. Disebutkan bahwa rumah tangga tanpa mawaddah akan menimbulkan suasana yang kering kerontang sehingga bukan nikmat yang didapat namun sengsara berkepanjangan.
“Tak ada mawaddah itu dalam hidupku.” Runa bergumam.
Aku menatapnya, menarik napas panjang kemudian. Memang tampak ada yang salah dalam pernikahan kawan baikku itu.
“Seharusnya dulu aku membaca buku itu,” lanjut Runa.
Dan mengalirlah kata-kata dari mulut Runa. Tak terbendung. Katanya, kalau saja dulu membaca buku itu, tak akan ia menelan pil pahit dalam kehidupan rumah tangganya. Karena di buku itu dibahas bahwa mawaddah merupakan cinta penuh gairah antara suami istri, sehingga hadirnya mawaddah dalam kehidupan berumah tangga merupakan sebuah faktor wajib dalam membangun rumah tangga yang harmonis dan menyenangkan. Mawaddah kemudian akan melahirkan rahmah atau perasaan kasih sayang. Dari sanalah, cinta mengabadi dalam rumah tangga yang langgeng.
Runa menyadari, pernikahannya dulu tak didasari cinta sebagaimana cinta yang terjadi di antara muda-mudi yang berpacaran. Tapi bukankah cinta akan muncul bila seseorang mau membuka hati lalu mengalirkan cinta pada pasangannya?
Begitu banyak pasangan yang mengawali pernikahan tanpa proses pacaran. Mereka berpacaran setelah menikah, dengan suami/istrinya yang halal. Perasaan cinta tumbuh seiring kebersamaan yang tulus ikhlas. Kata Runa, dalam buku itu dipaparkan detail bagaimana mencintai pasangan dengan show and prove your love. Itu yang nggak aku lakukan, sesalnya.
Komitmen, rasa percaya, dan tanggung jawab, ternyata tak cukup dalam sebuah rumah tangga. Harus tercipta romantisme di dalamnya. Di promtweet itu diuraikan bahwa romantisme bukan berarti selalu tindak dan aksi yang bikin pasangan melting. Hal-hal sederhana berupa perhatian tulus dan sedikit kejutan kecil pun bisa dikategorikan sebagai romantis. Seperti romantisnya Rasulullah kepada istri-istrinya. Sederhana tapi so sweet. Di buku itu diceritakan bagaimana indahnya romantisme Rasulullah dalam kehidupan rumah tangganya.
Selain kisah tentang Rasulullah, kata Runa, ada juga kisah tentang kisah cinta para shahabat yang bisa diambil hikmahnya. Dan yang tak kalah menarik, ada juga kisah nyata dari 5 orang kontributor yang bertajuk “Miracle of Love in Marriage”.
“Riwayat pengalaman seksual dalam pernikahanku juga dulu tidak sehat,” tukas Runa, tanpa tedeng aling-aling. Dalam buku itu rupanya dibahas juga tentang seksualitas dalam konteks mawaddah, oleh seorang narasumber yang capable dan tepercaya, yaitu dr. Ahmad Supriyanto. Wah, benar-benar buku yang lengkap, pikirku.
Menurut host promtweet itu, buku “Sayap-sayap Mawaddah” menggunakan bahasa yang relatif ringan dan mudah dicerna. Jadi, walaupun pembahasannya berat, nggak bikin kening berkerut-merut. Makanya, buku ini asyik dibaca.
“Aku mau bilang sama adik-adik dan keponakan-keponakan, sebelum nikah harus baca buku ini,” ucap Runa, pasti. Aku mengiyakan. Seketika Runa menoleh, “Hei, kamu juga harus baca, biar rumah tangga kalian makin mesra dan samara senantiasa.” Aku tersenyum.
Kulihat pandangan Runa kembali menerawang. “Semoga penulis buku ini juga nanti akan menerbitkan buku untuk pasangan yang telanjur gagal seperti aku. Mungkin judul bukunya “Sayap-sayap yang Patah”, lirihnya penuh harap.

“tulisan ini diikutsertakan dalam GA promtwit Sayap-sayap Mawaddah”
tema ke-2 :
Mengapa buku Sayap-sayap Mawaddah perlu dimiliki sebagai bekal pernikahan dan bekal menjalani rumah tangga