Kamis, 30 Mei 2013

Kesetiaan Melewati Batas-batas Tanah Air

Judul Buku                : Always be in Your Heart
Penulis                        :  Shabrina Ws
Penerbit                      :  Qanita (imprint of Penerbit Mizan)
Terbit                         :  Cetakan I, Februari 2013
Tebal Buku                :  236 halaman
ISBN                           :  978-602-9225-77-8
Peresensi                    :  Linda Satibi

Menengok sejarah lalu negeri ini, ketika propinsi termuda melepaskan diri dari pelukan tanah air, ada banyak kisah terserak di sana. Perpisahan yang terjadi karena dua pilihan: tetap menjadi bagian dari merah putih atau berdiri sendiri sebagai negara merdeka. Pertikaian dan bentrok senjata yang menelan korban jiwa tidak sedikit.  Akibatnya, anak-anak yang kehilangan ayah, istri yang ditinggal suami tercinta, sahabat-sahabat yang terpisah, juga pasangan kekasih yang tercerai berai, merupakan bagian yang tak terhindarkan dan menorehkan luka yang dalam.

Novel “Always be in Your Heart-Pulang ke Hatimu” mengangkat latar pra dan pasca refendum ke dalam sebuah kisah cinta yang mengalun lembut dengan aroma yang manis. Kisah cinta Marsela dan Juanito, yang bermula dari persahabatan keduanya sejak kecil. Cinta bertumbuh dalam diam, lalu mengakar dan menguat. Hingga akhirnya mereka bersepakat untuk menikah. Namun apa daya, rencana pernikahan terhambat oleh kondisi politik yang tidak menentu. Pihak keluarga menundanya, menunggu sampai situasi cukup reda (halaman 69).

Sayangnya, prinsip kedua keluarga itu berbeda. Bagi ayah Marsela, sampai kapan pun merah putih adalah pilihannya. Sementara bagi Juanito, Timor Leste adalah tanah kelahiran yang tak akan ditinggalkannya (halaman 70). Marsela kemudian ikut bersama ayahnya mengungsi ke Atambua.

Sepuluh tahun pun berlalu. Banyak hal yang terjadi. Apakah penantian Marsela berujung bahagia? Apa yang terjadi pada Juanito? Berangkatkah ia menyusul Marsela? Lalu, siapakah Randu, pemuda yang dijumpai Marsela di pengungsian?

Kita punya cinta yang sama, tetapi memilih jalan yang berbeda
Aku selalu menunggumu dari matahari di timur hingga matahari di barat
Aku telah melewati musim yang berganti berulang kali
Namun, kau tak pernah hadir di sini
Kini, ketika aku ingin pulang ke hatimu, masihkah pintunya terbuka untukku?
(halaman 5)

Sebagaimana novel romance, novel ini memuat jalinan cinta yang menyentuh dan menghanyutkan. Ia mengajak pembaca merenungkan makna kesetiaan. Saat kesetiaan menjadi ujian. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Dalam rentang waktu itu apa pun bisa terjadi. Banyak hal yang bisa saja berubah. Namun apakah hal itu juga berlaku untuk hati dan rasa?

Novel pemenang ketiga Lomba Romance-Qanita ini, menampilkan setting yang apik, tentang bumi timur Lorosae. Lengkap dengan petikan bahasa Tetun, bahasa asli orang Timor. Suasana alam, meliputi keadaan tanah, hewan dan tumbuhan khas, hingga makanan khas, hadir sangat alami. Begitu pun suasana kota sebelum dan sesudah referendum. Dibutuhkan riset yang serius, sehingga latar tidak tampak sebagai tempelan belaka.

Selain menghadirkan kisah cinta yang menawan, novel ini mengingatkan pembaca bahwa sebuah konsekuensi sejarah yang menyakitkan akhirnya diderita oleh masyarakat sipil yang bahkan tidak mengerti pergulatan masalah politik yang sebenarnya terjadi. Mereka harus menerima kepahitan demi kepahitan, tanpa daya untuk menolak.

Pesan lain yang tersirat dari novel ini adalah menggugah kesadaran pembaca akan nasib saudara-saudara sebangsa setanah air yang tinggal di pengungsian. Apakah kecintaan pada tanah air dengan memilih tinggal di wilayah Indonesia, terbayar dengan kehidupan yang layak? Tidakkah nasib mereka masih terlunta-lunta?

Rangkaian peristiwa dalam perjalanan sebuah bangsa, memang kerap menimbulkan jejak luka. Namun hendaknya, hal tersebut semakin diminimalisir pada masa mendatang, dengan perencanaan dan pemikiran yang lebih matang.


Rabu, 29 Mei 2013

MY AVILLA

Sebentuk Cinta dalam Sebuah Pencarian
Judul Buku                :  My Avilla
Penulis                        :  Ifa Avianty
Penerbit                      :  Afra Publishing (imprint of Indiva Media Kreasi)
Terbit                         :  Cetakan I, Februari 2012
Tebal Buku                :  184 halaman
ISBN                           :  978-602-8277-49-5
My Avilla, novel drama cinta yang indah, karya Ifa Avianty. Penuturannya yang mengalir dengan bahasa yang ringan, khas penulis ini, membuat pembaca akan larut terhanyut dalam kisah cinta yang cukup mengaduk emosi. Namun ada yang berbeda kali ini. My Avilla, tidak sekadar menghadirkan kisah cinta. Di dalamnya tergambar sebuah pencarian. Pencarian akan Tuhan, dengan segenap pertanyaan yang berkelindan. Perlukah sebuah agama untuk mengenal Tuhan? Apakah seseorang harus menentukan satu jalan saja untuk menuju Tuhan? Apakah tidak bertuhan merupakan salah satu pilihan jalan?
Jangan membayangkan ini sebuah novel berat dan serius, yang dipenuhi kajian kritis yang akan membuat dahi berkerut. Novel ini mengisahkan kakak beradik dengan karakter berbeda. Margriet yang lembut dan serius, sedang adiknya, Trudy, gadis populer yang selalu tertantang pada sebuah kompetisi. Mereka mencintai lelaki yang sama, Fajar. Cowok ganteng yang pendiam, serius, dan pemalu.
Cerita bergerak flashback. Diawali dengan prolog dari sudut pandang Trudy dan Margriet. Kemudian mengalir dari masa remaja hingga ujung cerita dalam kehidupan berumah tangga. Ifa Avianty, seperti dalam karya-karyanya yang lain, selalu berhasil menghadirkan banyak  tokoh dengan karakter yang kuat. Tokoh-tokoh itu berbicara bergantian, membentuk jalinan cerita yang runut.
Kisah cinta segitiga, Margriet-Fajar-Trudy, bukan rentetan cerita yang meledak-ledak. Margriet yang empat tahun lebih tua dari Fajar, berusaha menyangkal perasaannya. Sedang Trudy, dengan caranya sendiri, melampiaskan kekecewaan akibat mengalami penolakan telak dari Fajar. Sementara Fajar, tak peduli pada bilangan usia yang terpaut jauh, ia sudah benar-benar jatuh ke kedalaman cinta oleh pesona Margriet. Bahkan ia punya panggilan istimewa untuk Margriet: My Avilla. Maka, jalinan cerita mengalun manis dan lembut, begitu soft dan feminine, khas penulis ini.
Fajar yang bingung mencari jalan Tuhan, merasa klop bertanya dan berdiskusi dengan Margriet. Keduanya sama, dalam kegelisahan menuju jalan Tuhan. Namun Margriet lebih mantap bermuslimah, sementara Fajar gamang dalam kebimbangan bermuslim di tengah Mama dan kakak yang Katolik. Ia Islam karena Papanya seorang muslim.Yang jelas, keinginan Fajar sangat kuat untuk melayani Tuhan. Namun apakah dengan berkhidmat dalam dzikir kepada Allah, atau menempuh jalan selibat di hadapan altar Al-Masih? Fajar sungguh bingung.
Diskusi-diskusi tentang pencarian Tuhan, dikemas ringan. Seperti yang diakui penulis, bahwa ia bukan ahli ilmu perbandingan agama, maka jangan berharap dalil-dalil memadati buku ini. Tapi kalimat-kalimatnya tetap bernas karena menampilkan pemikiran-pemikiran cerdas dengan sedikit teori-teori dari buku karya filsuf barat.
Lalu, di tengah perjalanan kisah, muncul Phil. Ia rekan kerja Margriet, sesama dosen di sebuah universitas internasional di Jakarta. Seorang atheis yang kemudian memilih menjadi muslim dan menemukan kedamaian di dalamnya. Meski awalnya demi menunjukkan kesungguhan cinta kepada Margriet, namun secara alami Phil menemukan makna mencintai dalam hidupnya, mencintai Tuhan.
Buku ini memiliki dua sisi yang berkombinasi dengan baik. Sebuah pencerahan tentang kesadaran bertuhan. Tentang makna keimanan. Keimanan nggak bisa ditukar semudah menukar pakaian hanya karena kita merasa nggak cocok. Keimanan adalah sebuah konsekuensi logis dunia dan akhirat yang kita tidak bisa mengambil sebagiannya dan membuang sebagian yang lain (halaman 54).
Pada sisi lainnya, buku ini menyuguhkan pemaknaan sebentuk cinta. Betapa cinta adalah sesuatu yang indah dan berefek pada kebahagiaan. Ia tidak rumit, karena kebahagiaan itu sesungguhnya sederhana. Dia ada di dalam hati yang bersyukur, dan ketulusan mencintai serta memaafkan (halaman 182).

My Avilla sukses membuat saya tersenyum dan menitikkan airmata. Ia menyadarkan untuk dua sisi yang saya sebut di atas. Membuat saya bergegas menujuNya, meraih cintaNya. Dengan bekal itu saya pun lebih ikhlas menjalani cinta bersama pasangan yang telah dipilihkanNya untuk saya. Semoga Anda pun demikian, setelah membaca buku ini. Buku favorit saya. It’s so recommended book.

Jumat, 24 Mei 2013

PRIHATIN PADA FATIN

Berita kemenangan Fatin cukup gegap gempita. Ada yang bersuka cita karena jagoannya menang, ada pula yang kecewa. Yang kecewa, bisa tersebab ia lebih mengunggulkan Novita, tapi boleh jadi juga karena memang tidak suka dengan kemenangan ini. Tidak suka pun pasti ada alasan yang melatarinya. Bisa sedih, kecewa, khawatir, miris, dan semacamnya. Saya termasuk yang mana?
Ketika awal-awal muncul X-Factor, saya sudah mendengar kabar tentang Fatin, yang video penampilannya saat masih proses seleksi, konon dilihat ribuan orang. Waktu itu saya masih belum tertarik melihatnya. Sampai ketika berita tentang Fatin semakin santer, akhirnya saya melihat acaranya di TV. Entah waktu itu itu penampilan yang keberapa, yang jelas saat itu Fatin mengenakan semacam gaun selutut, cukup lebar, dengan celana dalaman yang ketat. Kerudungnya pendek dimodifikasi sesuai trend mode jaman kini.
Entah kenapa, saya seketika disergap rasa sedih. Fatin cantik, tersenyum, bernyanyi… menjadi ‘santapan’ khalayak ramai. Wajahnya dinikmati jutaan orang. Bagi saya, muslimah bukan selayaknya demikian.
Huu.. pasti saya diprotes orang-orang nih. Apalagi kaum muda. Saya seperti mewakili kaum yang kolot, anti kemajuan.
Jadi begini, saya sebetulnya mengagumi bakat Fatin. Suaranya bagus. Tapi, seorang muslimah bukan di sana tempatnya. Kata anak saya, kan Fatin menyanyi juga untuk berbakti sama orangtua, uang hasil kontes mau dipakai untuk biaya berhaji. Oke.. tapi untuk mendapatkan uang banyak demi melunasi ONH tidak harus dengan cara itu kan?
Pertanyaan anak saya lagi (usia ABG), lalu bakat Fatin menyanyi buat apa dong? Jawab saya, ya digunakan untuk menyanyi, tapi bukan di panggung spektakuler macam X-Factor itu. Yang di-elu-elukan banyak orang, videonya di Youtube di-download banyak orang. Maka, menyanyinya harus dalam koridor syariat Islam. Lagunya yang menggugah kesadaran untuk mengingat Allah dan mengagungkan Rasul. Bukan yang memperlihatkan kemolekan paras pula kecantikan tubuh.
Saya diprotes lagi nih.. hehe.. Suara-suara lain bilang, kan bagus ada muslimah yang maju bersaing dalam kancah bergengsi.. penampilannya sopan kok.. jangan lihat negatifnya dong.. ini langkah positif agar muslimah percaya diri.. bisa menjadi motivasi untuk muslimah lainnya agar berprestasi.. bla.. bla..
Pendapat-pendapat itu tidak salah. Tapi… saya ada pengalaman dengan seorang ABG laki-laki. Dia seriiing banget melihat video dari Youtube, penampilan seorang artis penyanyi muda yang cantik. Dia pandangi video itu berulang-ulang. Ketika diingatkan, dia tersinggung. Saya kan cuma melihat biasa, ga pake nafsu! Lha, saya tidak bilang soal nafsu kok, saya hanya mengingatkan supaya tidak melihat sering-sering. Kok ngerasa ya..?
Nyatalah mengapa Islam mengatur agar hubungan laki-laki dan wanita dengan ghadul bashar (menundukkan pandangan). Berkata Al-‘Ala’ bin Ziyad, “Janganlah engkau mengikutkan pandanganmu pada pakaian seorang wanita. Sesungguhnya pandangan menimbulkan syahwat dalam hati.”
Seperti pada kasus ABG yang saya ceritakan di atas. Dia sendiri mungkin pernah mengalami, awalnya dari pandangan sahaja, selanjutnya.. hmm.. hmm.. Malah yang membuat miris, waktu itu teman di fb pernah cerita tentang hebohnya para pria di twitter. Sampai ada yang mengumpamakan pingin ngemut Fatin, saking Fatin itu manis kayak permen..
Duh..
Maka, dunia artis yang glamour itu memang bukan tempat bagi muslimah. Sangat sulit untuk tidak terwarnai. Bagaimana menangkal budaya yang sudah biasa berlaku di dunia itu? Saat kemenangan Fatin, dia dipeluk dicium oleh lawan jenis. Tak ada daya untuk menolak. Cipika cipiki laki perempuan sudah biasa toh?
Ini tulisan sekedar ungkapan pikiran dan perasaan saya belaka. Sangat mungkin terasa tidak sedap bagi sebagian orang. Tapi inilah suara saya. Saya merasa, ada yang tengah terbahak menyaksikan muslimah menjadi tontonan yang bebas dinikmati siapa pun. Umat Islam bergeser cara pandangnya terhadap sebuah prestasi. Apakah menjadi tetap menjadi prestasi, bila ada nilai-nilai Islam yang secara haluus dikikis? Prestasikah bila menjadi juara adalah juga menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah?
Penonton Indonesia banyak yang tidak menyadari hal ini. Mereka, pria wanita, tua muda, berlomba ‘menolong’ Fatin dengan mengirim sms dukungan sebanyak-banyaknya. Tanpa sadar mereka telah mendukung upaya-upaya yang secara halus disusupkan untuk memudarkan nilai-nilai Islam. Agar kaum muda terlena. Semua terbius oleh semangat menjadi juara, yang merupakan perlambang kesuksesan. Duhai, siapakah yang sukses?

Wallaahu’alam.



Selasa, 21 Mei 2013

IMAJI DALAM DUNIA MIMPI


Judul Buku                :  Nathan : Mimpi Merah Muda
Penulis                        :  Ary Nilandari
Penerbit                      :  Tiga Ananda (creative imprint of Tiga Serangkai)
Terbit                         :  Cetakan I, Februari 2012
Tebal Buku                :  165 halaman
ISBN                           :  978-979-084-583-1

Jika Dora Emon punya pintu ajaib yang bisa mengantar masuk ke negeri mana saja, maka Nathan punya kemampuan bisa masuk ke mimpi siapa saja. Mimpi itu seperti gelembung sabun. Ketika sedang tidur dan bermimpi, Nathan berada di dalam gelembungnya sendiri. Saat itulah, ia bisa melihat gelembung-gelembung mimpi orang lain. Nathan bisa mendekati salah satu gelembung mimpi itu dan masuk ke dalamnya (halaman 13).
Anak-anak memiliki daya imajinasi dan fantasi yang khas, sesuai dunianya. Orang dewasa tidak pantas menghakiminya dengan menyebut kesenangan itu sebagai sesuatu yang berbahaya atau sia-sia. Maka, memperoleh kesempatan untuk berfantasi dan berimajinasi merupakan hak setiap anak. Mereka membutuhkannya demi eksplorasi kemampuan diri dalam ragam kecerdasan yang majemuk. Ary Nilandari, membidik tepat point ini. Karyanya yang dituangkan dalam serial Nathan, amat kaya dengan unsur fantasi yang mengasyikkan.
Nathan: Mimpi Merah Muda, adalah judul kedua, dari rencana Trilogi Nathan. Pada buku kedua ini, Nathan sudah mulai bisa menerima takdirnya sebagai penjelajah mimpi. Bahkan Nathan memetik kebaikan dari kemampuan ajaibnya ini. Nathan pernah memasuki mimpi teman-teman yang sedang menghadapi masalah. Mereka bercerita kepada Nathan dalam mimpi. Kadang Nathan memberikan saran, kadang hanya mendengarkan. Teman-teman pun terbantu menyelesaikan masalah mereka (halaman 20).
Pesan-pesan moral dalam buku ini menyusup halus, jauh dari kesan menggurui. Pun nilai-nilai Islam yang tampak, semisal tentang sholat. Ary Nilandari memang selalu  menyisipkannya, seperti pada novel fantasi anak-nya yang lain, yaitu: “Lorong Seratus Hari” dan “Gua Seribu Mata” (Talikata, 2011).
Dalam petualangannya kali ini, Nathan mengalami mimpi buruk dari mimpinya sendiri. Tentang anak lelaki sebayanya yang dijatuhkan Kuda Bengis. Ternyata memang ada dua anak yang mengalami koma setelah jatuh dari kuda. Apa yang terjadi pada kedua anak itu? Berhasilkah Nathan memasuki mimpi mereka untuk menolong keduanya dari koma? Lalu mengapa mimpinya kemudian bernuansa merah muda?
Tak hanya petualangan seru, buku ini pun menyuguhkan pengetahuan yang tak jauh dari unsur fantasi. Ada wacana Dunia Mimpi yang memiliki lapis pertama dan lapis kedua, ada Isio-si makhluk Dunia Mimpi, ada pula informasi tentang kepercayaan masyarakat tradisional Hawaii dalam hal mimpi. Hadir juga ide-ide unik, seperti nama-nama tokoh yang unik, dan ada gerakan unik yaitu: gerakan merah muda.

Sayangnya, pemilihan usia Nathan terlalu muda. Untuk anak kelas 1 SD, terlalu dini memiliki sikap dewasa seperti yang ditunjukkan Nathan. Tetapi mungkin penulis memiliki pandangan lain. Bahwa anak-anak jangan terlalu dianggap sebagai anak kecil. Mereka sebetulnya mampu mencerna hal-hal hebat.  Maka, buku ini tidak hanya layak direkomendasikan untuk anak-anak, namun disarankan juga dibaca orang dewasa, agar memahami dunia anak dengan imajinasinya yang kaya dan kemampuan pengembangan kepribadiannya yang baik.     

#Resensi ini diikutsertakan dalam Lomba Resensi yang diselenggarakan oleh: 
Forum Penulis Bacaan Anak, memperingati Milad-nya yang ke-3

Senin, 13 Mei 2013

SEWINDU, TAK MELULU BICARA RINDU


SEWINDU, TAK MELULU BICARA RINDU



Judul Buku                :  Sewindu
Penulis                        :  Tasaro GK
Penerbit                      :  Metagraf (creative imprint of Tiga Serangkai)
Website                      :  http://www.tigaserangkai.com/
Tebal Buku                :  x + 382 halaman
ISBN                           :  978-602-9212-78-5
Peresensi                    : Linda Satibi

Rentang perjalanan manusia tak mungkin berada pada satu titik yang konstan. Ia senantiasa bergerak. Memasuki fase demi fase. Sepandai apa seseorang mampu memaknai setiap fase yang dilewatinya, bergantung dari tingkat kesiapan dan kematangan pribadinya. Boleh jadi,  dua orang yang melampaui fase yang sama, menghasilkan kualitas hidup yang berbeda. Yang satu, kala nasib berubah buruk,  semangatnya turut remuk, hidupnya pun jadi terpuruk. Namun yang satu lagi, saat hidup terasa runtuh, ia berjuang bersimbah peluh, menempa jiwa menjadi tangguh, nasib baik pun tidak lagi menjauh.
Kemampuan memaknai lakon yang terjadi, lalu menangkap hikmah di dalamnya, dapat digali melalui perenungan dan senantiasa mengasah hati. Keberserahan diri kepadaNya, pun menentukan proses penerimaan setiap babak dalam kehidupan. Karena tidak ada penerimaan, tidak ada keikhlasan, tanpa melewati sebuah proses.  Sebuah proses yang dalam perjalanannya akan memperlihatkan seberapa baik ia mampu meng-up grade kualitas diri.
Adalah Tasaro GK, penulis cerdas asal Gunung Kidul, menuturkan proses perjalanan hidupnya dalam buku bertajuk “Sewindu”. Bilangan delapan tahun ini merupakan usia pernikahannya dengan seorang bernama Alit Tuti Marta, yang dengan penuh cinta disebut Tasaro sebagai wanita terpilih baginya. Panjang atau singkatkah rentang usia tersebut, menjadi tidak penting, karena justru ruh dari perjalanan itulah yang memiliki nilai lebih. Maka, “Sewindu” bukan melulu bicara tentang rindu, ia mengajak pembaca memaknai hikmah dari setiap fragmen kehidupan, di dalamnya memuat spirit mengisi hidup dengan semangat kebaikan. Dan semua itu bermuara pada satu titik: Cinta.
Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian Satu, mengisahkan periode awal pernikahan Tasaro. Masa-masa beradaptasi sebagai pasangan baru, menjalani hubungan jarak jauh, menumpang di rumah mertua, hingga akhirnya menempati rumah baru, lalu berinteraksi dengan tetangga baru. Sedang Bagian Dua, merupakan refleksi kurun sewindu dengan beberapa nostalgi turut mewarnai.
Pada babak awal pernikahannya, Tasaro-Alit berjibaku dengan keterbatasan finansial. Mereka pun beradu dalam perbedaan-perbedaan yang kemudian mendewasakan. Tanpa aksi yang muluk, Tasaro memperlihatkan kepada pembaca bahwa pada ujungnya cinta yang bicara, meski lewat jalan yang sederhana. Sejatinya, demikianlah cinta. Ia menjadi payung yang meneduhkan dan melindungi.
Semangat yang Tasaro bagi melalui episode demi episode yang dilalui, terasa menggebu dalam derap mimpi-mimpinya. Kegigihannya belajar mengaji Quran yang dimulai pada usia yang tak lagi muda, sungguh patut digarisbawahi. Bayangkan, ketika anak-anak usia SD sudah lancar mengaji, Tasaro baru mulai belajar huruf hijaiyah pada usia 22 tahun! Benar-benar mengeja ‘alif, ba, ta’. Setahun lewat, saat mengaji mulai tertata, meski masih acap tertukar antara huruf ‘nun’ dan ‘ba’, Tasaro mendaftar di Fakultas Syariah di sebuah sekolah tinggi agama Islam, demi memenuhi ghirah-nya yang sedang bergejolak. Konon seperti dagelan saja. Sementara kawan-kawannya kebanyakan alumni pondok pesantren yang fasih berbahasa Arab, ia baru bisa bilang ‘ana’ dan ‘antum’(halaman 105).
Bahwa lingkungan memegang peranan penting dalam pembentukan seseorang, itu yang dipegang Tasaro. Ia tidak ambil pusing soal ketertinggalannya, namun ia nekat masuk fakultas syariah dengan alasan agar berada di lingkungan yang pas untuk bersemangat mempelajari Islam.
Kesadaran beragama terus mengental. Tasaro berpikir, ia harus keras terhadap dirinya sendiri saat menyangkut kedisiplinan beragama (halaman 106). Para suami yang selama ini merasa tenang-tenang saja, harus tertampar dengan ini. Betapa seorang Tasaro yang merasa keawamannya soal agama termasuk kebangetan, memiliki kesadaran penuh untuk menjadi imam dalam keluarga. Ia ingin punya kemampuan untuk menuntun istrinya dalam ber-Islam. Ia malu kala shalat berjamaah, hafalan Qurannya hanya berputar sekitar empat-lima surat pendek saja. Tengok pula bagaimana Tasaro berproses kala mengaplikasikan ‘tercelup’ dalam konteks Q.S.Al-Baqarah:138.
Sisi lain yang menarik dari pola pandang Tasaro adalah hal pendidikan. Ia bukan dari barisan penggemar matematika. Dan kini ia mengelola lembaga pendidikan usia dini. Maka ia amat mendorong model pendidikan yang mengeksplor potensi anak. Di PAUD yang dikelolanya, anak-anak berinteraksi dengan buku. Belajar melalui dongeng. Jangan sampai anak miskin imajinasi. Dan ini berkaca dari pengalamannya. Tasaro tidak ingin standar pendidikan terlalu memuji otak kiri. Sudah saatnya meninggalkan konsep standar kepintaran anak-anak hanya diukur dengan angka semata (halaman 290). Tasaro membuktikan, menduduki jabatan General Manager ‘hanya’ dengan ijazah D2-nya. Karena kemampuan dan potensinya boleh jadi menyamai lulusan S2.
Selain sisi-sisi yang serius, banyak bagian dalam buku ini yang menampilkan sisi humanis, romantis dan sentimentil. Kenangan-kenangan tentang kehalusan budi serta ketangguhan Ibunda dan Ibu Mertua. Juga serpihan masa kecil yang menyenangkan, masa SMP yang tragis karena kerap di-bullying, masa SMA yang mulai mengubah dirinya untuk berprestasi, masa kuliah yang indah saat berkegiatan aneka rupa, hingga bagaimana menjadi ayah yang keren, lalu bagaimana berinteraksi dan bersosialisasi dalam masyarakat.  Kesemuanya meninggalkan jejak yang bisa menjadi inspirasi bagi pembaca.
Tak ketinggalan kisah-kisah dengan bumbu kocak dan konyol yang renyah. Menggelitik, mengundang senyum dan tawa. Disebutkan pula sahabat-sahabat yang mengiringi perjalanan hidupnya. Bagaimana mereka mengajarkan banyak hal tentang loyalitas, kebersamaan, dan kedewasaan. Secara khusus disebut nama Kang Momo yang mengajari tentang cinta yang total pada keluarga, dan Kanday yang membersamainya sejak mahasiswa, lalu memasuki dunia kerja, hingga saat ini.
Sebagai seorang yang berprofesi penulis, Tasaro bertutur tentang pilihan hidupnya untuk ‘hanya’ menjadi penulis. Ditinggalkannya dunia kerja, kantornya yang nyaman dan fasilitas yang mengikutinya. Sungguh sebuah kisah penuh semangat yang membangun.
Yang paling menyentuh adalah kisah tentang Bapak. Bagaimana Tasaro bisa mendamaikan hati dengan Bapak yang telah meninggalkan keluarga selagi usia remaja? Mengapa ia sulit menemukan catatan menyenangkan, indah, damai, untuk dikenang antara dirinya dan Bapak? (halaman 348) Inilah bagian yang paling menggedor jiwa.
Boleh dibilang, buku ini komplet. Ia membuat tersenyum, tertawa, hingga berderai air mata. Meski ada beberapa bagian yang sepertinya tidak perlu ikut serta. Semisal tulisan yang diambil dari note facebook berjudul “Penulis! Glamour atau Bersahaja?”, “Pembicara, Fee, dan Panitia”, “Generasi Kedua”. Bukan tersebab buruk, toh di dalamnya tetap lebat hikmah yang ranum untuk dipetik, namun membuat bagian tersebut menjadi terlalu berpanjang kata. Soal urutan kisah pun terasa ada yang ngaclok. Kisah ke-10 pada bagian satu, berjudul “Tempe, Sambal, dan Lalap Sawi” akan lebih pas bila ditaruh sebagai kisah ke-6.
Dengan cover berwarna hijau manis, bergambar sebatang pohon kehidupan dihiasi delapan daun berbentuk lambang cinta, buku ini merupakan buku inspiratif yang lezat dan bergizi. Ditulis dengan bahasa yang segar, mengalir, diiringi sentuhan yang mengharu biru. Tasaro GK dalam karya perdana di ranah non fiksi, tidak kalah mengasyikkan dengan buku-buku fiksinya yang selama ini memikat banyak pembaca.
Membaca buku ini, mengikuti sepanjang kurun delapan tahun, pembaca diajak menikmati proses pergerakan Tasaro dalam masa bertumbuhnya menjadi pribadi yang matang. Inilah tuturnya: Delapan tahun ini, sebagaimana waktu mengubah dunia, saya kira, banyak pula pergeseran pemikiran dan orientasi hidup yang menyertai kami. Jika dulu, saat rumah tangga muda habis waktu memikirkan bagaimana kami makan, memiliki tempat tinggal, atau berpakaian layak, kini ada kebutuhan lain yang lebih fundamental, di posisi mana kami berada di tengah-tengah masyarakat? Peran apa yang harus kami ambil? (halaman 166)
Energi semangat ditransfer oleh Tasaro kepada pembaca, untuk senantiasa bergerak dalam kebaikan atas dasar cinta, cinta kepada sesama. Seperti ide briliannya yang bersinergi dengan istri tercinta tentang “Proyek 1000 Jamaah” dan “Kampoeng Boekoe” yang kini dirintisnya. Juga kelas spesifik untuk kaum putri yang akan dikelola sang istri, bertajuk “Sakola Estri”, sebuah persembahan untuk mengenang pengabdian dua perempuan tercinta mereka, yaitu ibunda masing-masing, Ummi dan Mih.
Pernahkah Anda berpikir visioner semacam itu? Memikirkan peran diri bagi masyarakat? Jika belum, mari kita mulai sekarang!



*) Resensi ini diikutsertakan dalam "Lomba Resensi Sewindu Karya Tasaro GK" yang diselenggarakan oleh Penerbit Tiga Serangkai, Solo.

Kamis, 02 Mei 2013

PUISI NADIA

Nadia, my princess, bikin puisi lagi untukku..

BIDADARIKU

Oh, bidadariku
engkau kesayanganku
engkau idolaku
dan, engkau no.1 dalam hidupku

maafkanlah aku
karena aku banyak salah
padamu

oh, bidadariku sayang
engkau bagaikan malaikat jibril
yang memberi petunjuk kepadaku

dan, senyummu
bagai pelangi
yang mewarnai hidupku

engkau bagaikan matahari dan bulan
yang menyinariku
dalam kegelapan

engkau adalah segalanya bagiku
thank you very much


#persis seperti naskah aslinya, sama sekali ga ada perubahan saat aku tulis kembali di sini

Makasiiiiih Nadia-ku sayang... I luv U so...