Bunda
tersenyum-senyum sendiri. Tanpa sengaja Bunda menemukan sekeping pecahan
celengan di kolong tempat tidur Salman. Sepertinya Salman diam-diam memecahkan
celengannya. Hmm.. tiga hari lagi ulang
tahunku, mungkin Salman memecahkan celengannya untuk membeli hadiah untukku,
batin Bunda.
Keesokan
paginya, saat sarapan, Salman minta izin untuk pulang terlambat kepada Bunda.
“Mau
ke mana dulu? Ada kerja kelompok?” tanya Bunda.
Salman
menggeleng. “Ada keperluan penting banget, Bunda. Nanti aku ceritakan sepulang
sekolah. Janji!” Salman mengacungkan dua jari.
“Bukan
main game di rumah teman-temanmu, kan?” selidik Bunda.
“Nggak
dong, Bun...!”
Bunda
tersenyum, “Iya, Bunda percaya sama Salman,” rambut Salman dielus lembut.
Salman
lega. Kemudian ia pamit berangkat ke sekolah, mengendarai sepeda kesayangannya.
Sore hari, Bunda membuat pisang
keju. Sambil memarut keju, Bunda bertanya-tanya dalam hati. Salman beli apa ya, untuk hadiah ulang
tahunku? Bunda geli sendiri, karena merasa GR. Tapi buat apa Salman pecahkan
celengan kalau bukan untuk membeli hadiah ulang tahun bundanya, pikir Bunda
lagi.
“Assalaamu’alaikum!” Seruan salam
Salman membuyarkan lamunan Bunda. Sambil menjawab salam, Bunda bergegas menemui
Salman sambil membawa sepiring pisang keju.
“Hmm.. harumnyaa.. pasti lezat nih!”
Salman melesat ke wastafel untuk mencuci tangan, tak sabar ingin segera
mencicipi kudapan buatan bundanya yang selalu lezat.
Setelah tangannya bersih, Salman
duduk sambil makan kudapan favoritnya. Bunda tak sabar ingin segera mendengar
cerita Salman mengenai keterlambatannya.
“Jadi tadi, pulang sekolah Salman
pergi ke mana dulu?”
Senyum Salman melebar. “Oh iya,
Bun... aku senang banget.”
Bunda semakin penasaran.
“Bunda masih ingat Nek Iyam, yang
dulu pernah aku ceritakan?”
Bunda mengangguk. Bunda masih ingat,
Nek Iyam adalah nenek yang tinggal tidak jauh dari sekolah Salman. Pertemuan
Salman dengan nenek itu terjadi ketika Salman terjatuh dari sepeda, lalu Nek
Iyam menolongnya. Setelah itu, Salman kerap berkunjung ke rumah Nek Iyam, rumah
yang lebih tepat disebut gubuk. Kadang Salman membawakan kue yang sengaja tidak
dimakannya saat snack time di
sekolah.
“Nah, waktu kemarin aku ke rumahnya,
Nek Iyam lagi sedih. Matanya makin sulit membaca Al-Quran. Karena Al-Quran
milik Nek Iyam, ukurannya kecil. Nek Iyam tidak punya lagi yang lain.”
“Lalu?” tanya Bunda, agak bingung.
“Lalu, aku punya ide memecahkan
celengan. Uangnya untuk membeli Al-Quran. Di koperasi sekolah, ada dijual
Syamil Quran yang ukurannya besar. Bagus deh, berwarna-warni, ada petunjuk
tajwidnya. Aku pikir, pasti Nek Iyam akan senang. Karena huruf dalam
Al-Quran itu besar-besar, dan ada tajwidnya.”
Bunda mengangguk-angguk, mulai paham
tentang misteri celengan Salman.
“Maaaf ya, Bun.. Aku nggak bilang
dulu, mau pecahkan celengan. Bunda nggak marah, kan? Karena sebentar lagi
Ramadan, jadi Nek Iyam pasti ingin bisa tilawah dengan baik saat Ramadan,”
Suara Salman melemah.
Bunda tersenyum seraya menggelengkan
kepala.
Mata Salman berbinar. Ia melanjutkan
cerita dengan antusias.
“Tadi Nek Iyam sampai nangis lho, Bun.
Nek Iyam mendengarkan hafalanku sambil menyimaknya dari Al-Quran baru. Aku setor surat An-Naba. Nek Iyam bangga dan terharu, katanya, aku baru
kelas empat, tapi sudah hafal juz 30.”
Bunda
juga, Sayang. Bunda pun memeluk Salman dengan perasaan bahagia. Tidak lagi
memikirkan hadiah ulang tahun. Bunda sangat bahagia karena Salman peduli sesama
dan cinta Al-Quran.
#FF 494 kata
FF ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis "Cinta Al-Quran" Syaamil Quran - Paberland