Menjadi seorang Ibu itu luar biasa anugerah tak terbandingkan. Mengalami getaran dan gerak kehidupan sebentuk janin dalam rahim, benar-benar karuniaNya yang bernilai bahagia seluas samudera. Apakah kebahagiaan akan terus menyertai seorang ibu saat si buah hati telah lahir ke dunia? Sejatinya, iya. Membersamai buah hati adalah saat-saat yang tak kan terganti.
Sayangnya, keharmonisan hubungan
ibu dan anak, tidak jarang menemui halang dan rintang. Anak yang beranjak
remaja, bukan lagi anak manis seperti tahun-tahun silam. Gesekan dan friksi
boleh jadi tak terhindarkan. Perubahan sikap si buah hati bisa saja membuat
ibunda terbelalak. Suaranya meninggi dengan mata menyorot tajam disertai
argumentasi yang seolah tak ingin dibantah. Bila sudah begini, hati ibunda
tergugu pilu. Merasa diri menjadi ibu yang gagal.
Ibu yang gagal? Yup! Itulah yang
saya rasakan. Mendapati anak kedua, laki-laki, bertubi-tubi menuai masalah.
Ketika SD, saya rutin dipanggil guru BK. Konsultasi dijalani, solusi dicari.
Tidak kurang-kurang saya pun konsultasi dengan psikolog. Kemudian saya temui
juga seorang motivator dan terapis yang memiliki keahlian hipnotis. Anak saya dihujani
motivasi, dan mendapat terapi hipnotis.
Begitu keluar dari tempat praktik,
anak saya terbahak, “Hahaha.. mau sok-sok ngehipnotis aku...” Dan saya hanya
mampu mengurut dada, menyaksikan anak saya mengolok-olok sang terapis. Ternyata
anak saya tadi hanya berpura-pura. Sebelumnya, guru BK di sekolahnya, yang juga
mengantongi sertifikat terapis hipnotis, menyampaikan bahwa anak saya tidak
bisa dihipnotis karena tingkat konsentrasinya yang sangat rendah.
Dengan segala usaha yang saya lakukan, termasuk mundur dari beberapa organisasi,
prestasi belajar anak saya tetap terjun bebas, emosi negatifnya sering meledak,
dan kegandrungannya pada game terus menebal. Saya nyaris frustrasi. Benar-benar
serasa tertampar. Saya yang kepala sekolah, penggiat kegiatan penyuluhan
parenting, aktif di masyarakat dan organisasi sosial serta organisasi profesi,
ternyata tak berdaya menghadapi ulah anak sendiri. Di mana-mana saya berkoar
tentang pola asuh yang baik, sinergi ayah dan bunda, komunikasi terbuka, dan
sebangsanya. Namun semuanya mental ketika diterapkan pada anak saya.
Saya terpuruk. Perasaan tertekan.
Maka mungkin itu sebabnya saya jadi tidak bisa rileks, selalu tegang menghadapi
anak saya itu. Akhirnya suasana malah bertambah panas. Duh...
Tidak bisa dipungkiri, saya pun merasa malu. Ini membuat saya semakin down. Bolak-balik saya berdiskusi dengan guru-guru di sekolah anak saya, mereka menyemangati saya, tapi perubahan tak kunjung nampak. Hingga saat wisuda hafalan Quran, anak saya tidak bisa ikut karena belum lulus. Mati-matian saya menahan malu di hadapan teman-teman sesama orangtua siswa, apalagi saya juga adalah pengurus inti komite sekolah.
Keadaan bertambah buruk ketika
kemudian rumahtangga saya pun hancur, tersebab sesuatu dan lain hal. Anak saya
semakin sulit ‘dipegang’. Ombak yang hebat seperti menerjang lalu menghempaskan
saya dengan kejam di batu karang yang keras. Rasanya semesta menuding saya
sebagai ibu yang tidak becus. Setelah gagal sebagai ibu, saya pun gagal
mempertahankan seorang ayah baginya.
Hingga kemudian saya mendengar
cerita teman baik saya tentang adik laki-lakinya. Sang adik sejak kecil hingga masa
kuliah seringkali berbuat onar. Ibunya merasa ingin mati saja, saking itu anak seakan
tiada henti membuatnya pusing. Namun apa yang terjadi berbilang tahun kemudian?
Kini anak nakal tersebut menjadi kebanggaan bahkan sandaran keluarga. Ia menjadi
pembela utama keluarga. Tutur teman
saya, mungkin itu tersebab doa ibu yang bergumpal-gumpal terus berdesakan
menuju langit, sehingga saat dikabulkanNya, turun deras bagai hujan.
Belum lama juga saya membaca sebuah
kisah inspiratif tentang seorang pemuda 20 tahun yang ditinggal pergi untuk
selamanya oleh ibundanya. Semasa hidup ibunya, ia adalah troblemaker, bahkan ijazah SMA pun luput didapat. Seiring waktu,
tumbuh kesadarannya untuk menjalani hidup sesuai harapan ibunya, dulu. Setapak
demi setapak ia melakukan usaha mandiri, hingga lambat laun usahanya
berkembang. Keberhasilan secara finansial pun diraihnya. Demikian juga
perilakunya terus bertambah sholeh.
Saya membeku. Sesaat tercekat. Eureka. Jawaban telah didapat. Saya
harus melewati itu. Menempuh perjalanan mengalahkan waktu. Dengan terus mengais
kesabaran dan mengembuskan doa seiring napas. Demi ananda tercinta yang
sekarang duduk di kelas delapan. Hidup saya kini untuk anak-anak saya. Kasih
sayang hanya buat mereka. Bukankah kasih ibu sepanjang jalan? Dan perjalanan
masih panjang...
(#GA_PMW)
Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Perjalanan Mengalahkan Waktu
Original Soundtrack novel Perjalanan Mengalahkan Waktu, lyric and music by Jalu Kancana, ada di sini
mbaaak...:'(
BalasHapuspercayalah, i've been there. dan buktinya, aku survive ^_^
semangat ya mbaaak... lopyuuuuu.....:))
Thanx yaa Pujii sayaaang..
BalasHapuspeluuuukk..