Rabu, 26 Februari 2014

Langkah yang Mana?

Pernahkah kawan, kau merasakan bingung menentukan langkah yang mana yang harus ditempuh? Ini bukan soal harus memilih menu harian yang kerap membuat para emak bingung setiap hari, juga bukan soal harus memilih anak yang mana yang lebih dulu dibelikan sepatu, tapi ini benar-benar langkah yang menentukan masa depan, tidak hanya diri sendiri namun anak-anak yang menjadi tanggung jawab dariNya.

Sekarang aku mengalaminya. Setelah selama ini hidupku, seberat apa masalah menimpa, namun rasanya belum pernah aku sebingung seperti saat ini. Ketika kehidupanku berubah begitu rupa, aku masih bisa menjalaninya meski tersaruk-saruk. Namun semakin jauh langkah kutempuh, aku kini bingung, hendak ke mana sebenarnya aku membawa diriku dan anak-anak.

Beragam pertanyaan berkelindan di benak. Inikah sesungguhnya jalan yang kuinginkan? Mampukah aku menempuhnya? dan aneka pertanyaan yang lebih mengarah ke kekhawatiran.

Selama ini aku melangkah sendiri, menopang hidupku dan keempat anakku. Tertawa, tersenyum, menangis sendiri. Bilangan tahun berlalu, aku tertegun. Akan selamanyakah begini? Bagaimana jalan yang akan kutempuh padahal mimpiku adalah berubah kembali, tidak tetap berada dalam kondisi sulit (baca: miskin) begini..?

Kadang aku bertanya-tanya, sudah benarkah apa yang kuutarakan kepadaNya? "Ya Allah, aku menerima segala ujian yang Engkau berikan. Aku pasrah dan berserah kepadaMu. Sungguh aku yakin, betapa tiada sulit bagiMu menjadikanku kembali mengantongi uang berlebih, tinggal di dalam rumahku sendiri lagi, menyetir mobilku sendiri lagi, memiliki beberapa perhiasan lagi, memegang buku tabungan yang  bersaldo cukup lagi, makan enak lagi, jalan-jalan lagi, etc, etc. Aku pun tidak lagi mempermasalahkan kesalahan yang telah dilakukannya. Aku memaafkannya.. tapii, maaaf ya Allah.. sungguh maaaf.. aku tidak ingin kembali lagi kepadanya..."




Minggu, 02 Februari 2014

Kasih Ibu Sepanjang Jalan


Menjadi seorang Ibu itu luar biasa anugerah tak terbandingkan. Mengalami getaran dan gerak kehidupan sebentuk janin dalam rahim, benar-benar karuniaNya yang bernilai bahagia seluas samudera. Apakah kebahagiaan akan terus menyertai seorang ibu saat si buah hati telah lahir ke dunia? Sejatinya, iya. Membersamai buah hati adalah saat-saat yang tak kan terganti.

Sayangnya, keharmonisan hubungan ibu dan anak, tidak jarang menemui halang dan rintang. Anak yang beranjak remaja, bukan lagi anak manis seperti tahun-tahun silam. Gesekan dan friksi boleh jadi tak terhindarkan. Perubahan sikap si buah hati bisa saja membuat ibunda terbelalak. Suaranya meninggi dengan mata menyorot tajam disertai argumentasi yang seolah tak ingin dibantah. Bila sudah begini, hati ibunda tergugu pilu. Merasa diri menjadi ibu yang gagal.

Ibu yang gagal? Yup! Itulah yang saya rasakan. Mendapati anak kedua, laki-laki, bertubi-tubi menuai masalah. Ketika SD, saya rutin dipanggil guru BK. Konsultasi dijalani, solusi dicari. Tidak kurang-kurang saya pun konsultasi dengan psikolog. Kemudian saya temui juga seorang motivator dan terapis yang memiliki keahlian hipnotis. Anak saya dihujani motivasi, dan mendapat terapi hipnotis.

Begitu keluar dari tempat praktik, anak saya terbahak, “Hahaha.. mau sok-sok ngehipnotis aku...” Dan saya hanya mampu mengurut dada, menyaksikan anak saya mengolok-olok sang terapis. Ternyata anak saya tadi hanya berpura-pura. Sebelumnya, guru BK di sekolahnya, yang juga mengantongi sertifikat terapis hipnotis, menyampaikan bahwa anak saya tidak bisa dihipnotis karena tingkat konsentrasinya yang sangat rendah.

Dengan segala usaha yang saya lakukan, termasuk mundur dari beberapa organisasi, prestasi belajar anak saya tetap terjun bebas, emosi negatifnya sering meledak, dan kegandrungannya pada game terus menebal. Saya nyaris frustrasi. Benar-benar serasa tertampar. Saya yang kepala sekolah, penggiat kegiatan penyuluhan parenting, aktif di masyarakat dan organisasi sosial serta organisasi profesi, ternyata tak berdaya menghadapi ulah anak sendiri. Di mana-mana saya berkoar tentang pola asuh yang baik, sinergi ayah dan bunda, komunikasi terbuka, dan sebangsanya. Namun semuanya mental ketika diterapkan pada anak saya.

Saya terpuruk. Perasaan tertekan. Maka mungkin itu sebabnya saya jadi tidak bisa rileks, selalu tegang menghadapi anak saya itu. Akhirnya suasana malah bertambah panas. Duh...

Tidak bisa dipungkiri, saya pun merasa malu. Ini membuat saya semakin down. Bolak-balik saya berdiskusi dengan guru-guru di sekolah anak saya, mereka menyemangati saya, tapi perubahan tak kunjung nampak. Hingga saat wisuda hafalan Quran, anak saya tidak bisa ikut karena belum lulus. Mati-matian saya menahan malu di hadapan teman-teman sesama orangtua siswa, apalagi saya juga adalah pengurus inti komite sekolah.

Keadaan bertambah buruk ketika kemudian rumahtangga saya pun hancur, tersebab sesuatu dan lain hal. Anak saya semakin sulit ‘dipegang’. Ombak yang hebat seperti menerjang lalu menghempaskan saya dengan kejam di batu karang yang keras. Rasanya semesta menuding saya sebagai ibu yang tidak becus. Setelah gagal sebagai ibu, saya pun gagal mempertahankan seorang ayah baginya.

Hingga kemudian saya mendengar cerita teman baik saya tentang adik laki-lakinya. Sang adik sejak kecil hingga masa kuliah seringkali berbuat onar. Ibunya merasa ingin mati saja, saking itu anak seakan tiada henti membuatnya pusing. Namun apa yang terjadi berbilang tahun kemudian? Kini anak nakal tersebut menjadi kebanggaan bahkan sandaran keluarga. Ia menjadi pembela utama keluarga. Tutur  teman saya, mungkin itu tersebab doa ibu yang bergumpal-gumpal terus berdesakan menuju langit, sehingga saat dikabulkanNya, turun deras bagai hujan.

Belum lama juga saya membaca sebuah kisah inspiratif tentang seorang pemuda 20 tahun yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh ibundanya. Semasa hidup ibunya, ia adalah troblemaker, bahkan ijazah SMA pun luput didapat. Seiring waktu, tumbuh kesadarannya untuk menjalani hidup sesuai harapan ibunya, dulu. Setapak demi setapak ia melakukan usaha mandiri, hingga lambat laun usahanya berkembang. Keberhasilan secara finansial pun diraihnya. Demikian juga perilakunya terus bertambah sholeh.

Saya membeku. Sesaat tercekat. Eureka. Jawaban telah didapat. Saya harus melewati itu. Menempuh perjalanan mengalahkan waktu. Dengan terus mengais kesabaran dan mengembuskan doa seiring napas. Demi ananda tercinta yang sekarang duduk di kelas delapan. Hidup saya kini untuk anak-anak saya. Kasih sayang hanya buat mereka. Bukankah kasih ibu sepanjang jalan? Dan perjalanan masih panjang...

(#GA_PMW)


Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Perjalanan Mengalahkan Waktu


Original Soundtrack novel Perjalanan Mengalahkan Waktu, lyric and music by Jalu Kancana, ada di sini