Selasa, 29 September 2015

Deja Vu

Tahu deja vu kan? Menurut wikipedia, definisinya gini : Déjà vu (pengucapan dalam bahasa Inggris: /ˈdeɪʒɑː ˈvu, pengucapan bahasa Perancis: [/deˈʒa ˈvyː/]) adalah frasa Perancis yang artinya secara harafiah adalah "pernah melihat" atau "pernah merasa". Maksudnya adalah mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami sebelumnya.

Nah, aku ngalamin yang 'pernah melihat' itu. Jadi, dulu tuh saat aku kelas satu SMP, aku inget banget pernah suka sama anak cowok. Dia anak SMP juga, tapi beda sekolah. Setiap pagi aku ketemu dia, karena melewati jalan yang sama menuju sekolah. Aku sekolah di SMPN 2, dia di SMPN 1. Sekolah kami berdekatan, ada di satu jalur yang sama, cuma terhalang 3 bangunan.

Aku nggak pernah tahu namanya siapa. Aku juga diem-diem aja, nggak bilang siapa-siapa. Yah, semacam secret admiror gitu deh.. hehe.. Lagipula bukan cinta sih kayaknya, cuma suka aja, seneng ngelihatnya. Soalnya dia manis banget menurutku saat itu.

Akhirnya aku nggak tahan juga sih. Aku cerita ke sahabat aku, dan dia bukan yang tipe ember. Nggak ada yang tahu lah aku suka sama dia.. secara dia juga beda sekolah. Lagipula aku nggak yang terlalu gimana gitu ya, cuma acap berharap agar hari lekas menjadi pagi.

Dia kayaknya setahun di atasku. Soalnya pas kelas 3 (sekarang kelas 9), aku dah nggak pernah lihat dia lagi. Pastinya dia dah masuk SMA. Trus aku..? yaah sedih lah.. tapi nggak patah hati juga. Karena ya biasalah.. anak SMP.. kemudian muncul lagi gebetan-gebetan baru. Hanya, jujur aja, rasanya sama dia, aku pertama kali kepincut sama yang namanya cowok. Waktu SD sih ada juga yang suka saling ledek si ini pacar si itu, si itu pacar si ini. Dan aku juga termasuk yang ada disebut pacaran sama si.. --- (nggak usah sebut nama ah.. ^^ ) Tapi itu kan model suka-sukaan yang dikomporin orang, terus biasa aja, biasa banget, maklum anak SD. Nah, kalo sama si anak SMPN 1 itu betul-betul aku suka dari lubuk hatiku sendiri... tsaaah...

Sejak nggak pernah ketemu dia itu, blas aku bener-bener yang nggak pernah nemu sosok dia lagi. Dia bener-bener ilang dari peredaran kehidupanku, dan rasanya terlupakan karena beraneka episode kemudian mewarnai hidupku. Sampee.. sebulan yang lalu. Hah.. ada apa dengan sebulan lalu? aku ketemu dia lagi? nggak lah... sinetron banget.

Jadi gini, tahun ajaran baru dunia persekolahan kan dimulai akhir Juli. Aku mengajar di kelas 7A sampai 7F. Pas awal-awal mengajar mah belom terlalu hafal sama wajah-wajah semuanya. Nah, lama kelamaan, aku ngerasa deja vu. Ada anak yang mirip dia yang dulu itu. Nggak mirip-mirip banget sih, mendekati gitu deh. Gaya cueknya sama. Tinggi badannya kurleb sama. Cuma dia itu dulu rasanya lebih kurus. Dulu kan dia seragamnya celana pendek, jadi kaki cekingnya kelihatan. Kalo sekarang kan sekolahku sekolah Islam, jadi anak-anak pakai seragamnya celana panjang.

Sempat tertegun sejenak lihat anak muridku itu.. hihi... sampai aku berpikir, jangan-jangan anak itu anak dia ya? Jadi pingin ngelihat dia kayak apa sekarang.. haha... pikiran konyol.. ngapain jugaa..

Terus gimana dong aku sama anak itu? biasa aja, lagi... nggak ada perlakuan istimewa buat dia. Harus adil dong, sama semua anak murid. Lagipula, udah menguap lah segala rasa centil-centil kayak gitu. Nggak ada ceritanya, pake acara terkenang-kenang.

Tapi harus diakui, deja vu itu seru. Ketika pertama kali merasakannnya, tiba-tiba serasa terlempar ke masa silam. Dan lembaran-lembaran momen manis dulu itu satu demi satu meluncur keluar dari memoriku. Cukup senyum-senyum aja sih, sekadar teringat kenangan lalu.

Aku jadi mikir, berarti orang-orang yang CLBK itu awalnya deja vu gitu juga kali ya. Cuma mereka pada baper, jadinya kebablasan. Makanya segala sesuatu itu tergantung orangnya sih. Ketika kesempatan ada, maka hati dan pikiran yang berperan. Perasaan jangan ikut-ikut deh. Bahaya. Nanti bakal ketagihan. Kangen nggak abis-abis. Hadeuh.. untung nggak, rugi iya.

                                                                                                                                                                                                                                                                    

Sabtu, 26 September 2015

Di-service Customer Service

Setiap masuk bank, pasti kita akan menemukan Mas-Mas atau Mbak-Mbak yang bertugas di Customer Service. Tugas mereka melayani para pelanggan, entah itu merespons keluhan maupun menjelaskan produk bank tersebut, atau apa pun yang berhubungan dengan kenyamanan pelanggan.

Selama ini aku nggak pernah peduli sama Customer Service. Maksudnya, selama urusanku ditangani, it's Ok. Dan yang disebut urusan adalah hal-hal yang terkait sama bank itu lah. Mereka mendengarkan lalu menjelaskan dengan baik. That's it.

Tapi, ada yang berbeda saat beberapa hari lalu aku masuk ke Bank BNI. Keperluanku cukup sepele sih, cuma mau cetak buku. Aku kan cuma berurusan dengan ATM. Ada transfer masuk, lalu aku ambil. Gitu aja. Aku bukan orang yang rajin menabung. Lha, apa yang mau ditabung? hihi.. uang yang masuk, semua terserap dengan baik, termanfaatkan seluruhnya.. ^^

Nah, cetak buku itu penting buatku. Untuk mengetahui lalu lintas keluar masuk uang. Jadi tahu setiap transfer itu sumbernya dari mana.

Di Bank BNI, cetak buku ditangani oleh Customer Service. Di bank lain kan ada yang sama teller aja. Maka hari itu aku pun mengantri di bagian customer service. Aku duduk manis sambil membaca novel. Nggak lama kemudian, nomorku dipanggil.

Proses cetak buku kan ada bagian menunggu buku tabungannya diketik-ketik gitu, ya.. sambil nunggu, aku lanjutkan membaca. Eh, tiba-tiba si Mas Customer Service-nya sambil ngetik-ngetik, dia bertanya dengan sopan. "Suka membaca ya, Mbak?"

Aku menengadah, mengalihkan pandangan dari buku ke Mas CS itu. Aku pun mengangguk sambil tersenyum. Lalu melanjutkan lagi membaca. Kukira ia cuma basa-basi sekedarnya. Nggak taunya dia ngomong lagi, "Kalau udah suka baca, di mana pun dan dalam waktu apa pun digunakan untuk baca, ya." Masih dengan sikap yang sopan dan manis.

Aku mengiyakan, sambil bilang bahwa aku penulis jadi otomatis lengket sama buku. Lalu Mas CS itu dengan tulus, tanpa basa-basi berlebihan, menanyakan tentang buku-bukuku. Ia menunjukkan perhatian dan memuji sewajarnya. Jadilah perbincangan ringan saat itu berkisar tentang buku.

Sungguh, baru kali itu aku di-service sama Customer Service dengan sikap yang hangat, bukan sekadar melayani kepentingan urusan terkait dengan lembaga yang bersangkutan. Kukira seharusnya begitulah para customer service memperlakukan pelanggannya. Bukan sekedar menaruh permen-permen mungil di mejanya, tanpa menawari kepada pelanggan. Tapi customer diperlakukan dengan keakraban yang menyenangkan, tidak hanya melulu tentang masalah yang dibawa pelanggan. Dan perlakuan itu dilakukan dengan porsi wajar serta tidak berlebihan, apalagi terkesan nyinyir dan genit.