Kamis, 17 Juli 2014

KAPOK




Wajah Salman cerah ceria. Ia akan berlibur di rumah Tante Ley. Libur sekolah kali ini bertepatan dengan libur awal Ramadan. Pasti seru ber-Ramadan bersama Kak Hanif, putra Tante Ley. Sepupunya ini hanya selisih 2 tahun dengan Salman. Kak Hanif kelas 5, sedang Salman kelas 3.

Tante Ley juga merasa senang kalau Salman menginap, karena rumah menjadi lebih ramai. Om Dicky, suami Tante Ley, seringkali ditugaskan ke luar kota, bahkan lintas propinsi, lintas pulau. Sedangkan putra Tante Ley hanya Kak Hanif seorang.

“Bun, semua perlengkapanku sudah masuk?” Salman memperhatikan isi tasnya.

“Sudah, Sayang.” Bunda tersenyum melihat semangat Salman.

Salman mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarnya.

“Waduh, gawat nih, kalau ini ketinggalan!” Salman gegas memasukkan Syamil Quran yang tergeletak di pojok meja belajar, ke dalam tasnya.

“Oh iya, tadi masih dipakai Salman tilawah setelah sholat Subuh, ya.” Bunda tersenyum lega melihat putranya sangat cinta pada Al-Quran.

Setibanya di rumah Tante Ley, tak lama kemudian Bunda langsung meninggalkan Salman. Sejak kecil Salman sudah terbiasa menginap sendiri di rumah adik bundanya itu.

Salman tidur sekamar dengan Kak Hanif. Mereka akur sekali. Bermain berdua, hingga pergi teraweh dan sholat subuh ke masjid, selalu bersama. Menjelang berbuka dan selepas sholat Subuh, Salman selalu tilawah bersama Kak Hanif. Keduanya saling menyetorkan hafalan juga. Tante Ley sangat senang melihatnya. Namun jika bulan Ramadan, Tante Ley jarang bisa tadarus bersama di rumah atau saling mendengarkan hafalan. Karena Tante Ley sibuk beraktivitas sosial, mengurus ta’jil on the road, menyelenggarakan bazar Ramadan bagi kaum dhuafa, dan banyak lagi.

Tidak terasa, libur selesai. Salman kembali pulang.

“Bagaimana tilawah Al-Quranmu, Nak? Setiap hari selalu mengaji, kan?” Bunda tetap mengecek, meski yakin bahwa bacaan Al-Quran putranya senantiasa terjaga. Apalagi Hanif pun, menurut Tante Ley, selalu rajin membaca Al-Quran.

Salman mengangguk mantap. “Iya, Bun, setiap hari aku dan Kak Hanif selalu mengaji. Kak Hanif malah sering banget ngajinya. Katanya punya target untuk khatam Al-Quran lebih dari satu kali.”

“Subhanallah, bagus sekali itu. Alhamdulillah, jadi Salman pun ikut terbawa rajin mengaji, ya. Nanti libur berikutnya, Salman mau nginep lagi di sana?”

Spontan Salman menggeleng kuat. “Nggak, Bun... nggak deh, makasih! Salman bisa kok, tetap semangat tilawah sendiri, tanpa Kak Hanif.”

Bunda terperangah melihat penolakan tegas Salman. Tidak biasanya Salman begitu.

“Lho, kenapa?”

“Engh.. aku nggak tahan mencium bau Kak Hanif yang nggak mandi-mandi!”

“Tante Ley tidak menegurnya?” Bunda terheran-heran.

“Tante Ley kan sibuk, Bun. Mungkin nggak terlalu memperhatikan aroma tubuh Kak Hanif. Lha aku, kan sekamar dan selalu bersama dengan Kak Hanif. Ugh..!” Salman menutup hidungnya.

“Tapi kenapa Kak Hanif malas mandi? Apa karena sibuk baca Al-Quran?”

Salman mengedikkan bahu. “Kata Kak Hanif, dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Perumpaan seorang mu`min yang rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Utrujah, aromanya wangi dan rasanya enak. Jadi, Kak Hanif tenang-tenang saja meski tidak mandi. Katanya, toh aroma tubuhnya akan wangi.”

Bunda terbelalak. Lalu segera mengambil handphone untuk menelpon Tante Ley, agar menegur dan menasehati putranya.


#FF 479 kata. Diikutsertakan dalam Lomba Menulis (Cerita) FF Anak #AyoNgajiTiapHari


Senin, 07 Juli 2014

Misteri Celengan Salman




Bunda tersenyum-senyum sendiri. Tanpa sengaja Bunda menemukan sekeping pecahan celengan di kolong tempat tidur Salman. Sepertinya Salman diam-diam memecahkan celengannya. Hmm.. tiga hari lagi ulang tahunku, mungkin Salman memecahkan celengannya untuk membeli hadiah untukku, batin Bunda.
Keesokan paginya, saat sarapan, Salman minta izin untuk pulang terlambat kepada Bunda.
“Mau ke mana dulu? Ada kerja kelompok?” tanya Bunda.
Salman menggeleng. “Ada keperluan penting banget, Bunda. Nanti aku ceritakan sepulang sekolah. Janji!” Salman mengacungkan dua jari.
Bukan main game di rumah teman-temanmu, kan?” selidik Bunda.
“Nggak dong, Bun...!”
Bunda tersenyum, “Iya, Bunda percaya sama Salman,” rambut Salman dielus lembut.
Salman lega. Kemudian ia pamit berangkat ke sekolah, mengendarai sepeda kesayangannya.
         Sore hari, Bunda membuat pisang keju. Sambil memarut keju, Bunda bertanya-tanya dalam hati. Salman beli apa ya, untuk hadiah ulang tahunku? Bunda geli sendiri, karena merasa GR. Tapi buat apa Salman pecahkan celengan kalau bukan untuk membeli hadiah ulang tahun bundanya, pikir Bunda lagi.
          “Assalaamu’alaikum!” Seruan salam Salman membuyarkan lamunan Bunda. Sambil menjawab salam, Bunda bergegas menemui Salman sambil membawa sepiring pisang keju.
        “Hmm.. harumnyaa.. pasti lezat nih!” Salman melesat ke wastafel untuk mencuci tangan, tak sabar ingin segera mencicipi kudapan buatan bundanya yang selalu lezat.
         Setelah tangannya bersih, Salman duduk sambil makan kudapan favoritnya. Bunda tak sabar ingin segera mendengar cerita Salman mengenai keterlambatannya.
            “Jadi tadi, pulang sekolah Salman pergi ke mana dulu?”
            Senyum Salman melebar. “Oh iya, Bun... aku senang banget.”
            Bunda semakin penasaran.
            “Bunda masih ingat Nek Iyam, yang dulu pernah aku ceritakan?”
          Bunda mengangguk. Bunda masih ingat, Nek Iyam adalah nenek yang tinggal tidak jauh dari sekolah Salman. Pertemuan Salman dengan nenek itu terjadi ketika Salman terjatuh dari sepeda, lalu Nek Iyam menolongnya. Setelah itu, Salman kerap berkunjung ke rumah Nek Iyam, rumah yang lebih tepat disebut gubuk. Kadang Salman membawakan kue yang sengaja tidak dimakannya saat snack time di sekolah.
         “Nah, waktu kemarin aku ke rumahnya, Nek Iyam lagi sedih. Matanya makin sulit membaca Al-Quran. Karena Al-Quran milik Nek Iyam, ukurannya kecil. Nek Iyam tidak punya lagi yang lain.”
            “Lalu?” tanya Bunda, agak bingung.
        “Lalu, aku punya ide memecahkan celengan. Uangnya untuk membeli Al-Quran. Di koperasi sekolah, ada dijual Syamil Quran yang ukurannya besar. Bagus deh, berwarna-warni, ada petunjuk tajwidnya. Aku pikir, pasti Nek Iyam akan senang. Karena huruf dalam Al-Quran itu besar-besar, dan ada tajwidnya.”
             Bunda mengangguk-angguk, mulai paham tentang misteri celengan Salman.
         “Maaaf ya, Bun.. Aku nggak bilang dulu, mau pecahkan celengan. Bunda nggak marah, kan? Karena sebentar lagi Ramadan, jadi Nek Iyam pasti ingin bisa tilawah dengan baik saat Ramadan,” Suara Salman melemah.
            Bunda tersenyum seraya menggelengkan kepala.
            Mata Salman berbinar. Ia melanjutkan cerita dengan antusias.
        “Tadi Nek Iyam sampai nangis lho, Bun. Nek Iyam mendengarkan hafalanku sambil menyimaknya dari Al-Quran baru. Aku setor surat An-Naba. Nek Iyam bangga dan terharu, katanya, aku baru kelas empat, tapi sudah hafal juz 30.”
       Bunda juga, Sayang. Bunda pun memeluk Salman dengan perasaan bahagia. Tidak lagi memikirkan hadiah ulang tahun. Bunda sangat bahagia karena Salman peduli sesama dan cinta Al-Quran.

#FF 494 kata