Jumat, 29 Juni 2012

Bermula Dari Mimpi

Saya ibu rumah tangga dengan empat anak. Bisa dibayangkan bukan betapa repotnya mengurus empat anak dengan berbagai pekerjaan domestik lain? Rasanya waktu yang saya miliki perlu lebih dari duapuluh empat jam. Masing-masing anak minta perhatian. Saling berebut minta didengarkan. Sepanjang hari riuh oleh cerita dan celoteh mereka. Yang satu belum selesai bicara, satunya lagi sudah tak sabar menyerobot.



Itu soal kebiasaan bercerita. Lain perkara menyangkut mainan. Saya sengaja tidak membelikan mereka masing-masing, jenis mainan yang sama. Tapi mainan beragam dengan jumlah satu-satu. Maksudnya agar mereka terbiasa berbagi. Tapi kenapa ya, sebuah mainan yang sedari tadi tergolek tak ada yang mencolek, ketika satu orang memainkannya, lha kok yang lain jadi ketularan ingin juga? Hmm.. sibuklah saya memberi pengertian dan mengalihkan perhatian salah seorang dari mereka agar memainkan mainan yang lain.

Belum lagi soal selera makan. Kalau sedang datang maunya, semua kompak mengajukan menu masakan favorit masing-masing, yang berlainan satu sama lain. Alamak..

Dengan aktivitas emak-emak macam saya ini,manalah ada waktu untuk menambah wawasan, mengikuti perkembangan jaman, di luar rumah? Itu harus saya lakukan di dalam rumah. Nonton TV? Hanya ada satu, di ruang keluarga, channelnya pun sudah dikuasai anak-anak. Membaca koran atau majalah? Saya tidak punya, karena untuk berlangganan, anggarannya sudah tersedot keperluan rumah tangga dan biaya sekolah anak-anak. Membuka internet? Waduh.. kami cuma punya satu komputer, yang pemakaiannya antri dengan keempat anak plus suami. Internetan menggunakan handphone? Tidak bisa juga. Karena handphone saya amat bersahaja, hanya bisa nelpon dan sms-an.

Oh ya, bicara soal handphone, saya sangat setia sama Nokia. Sejak jaman dudul, lebih dari sepuluh tahun lalu, handphone Nokia-lah pilihan saya. Nokia memang handphone paling awet sedunia. Jatuh berkali-kali bahkan terbanting juga pernah, dia tetap berjaya. Saya pun semakin sayang dan tidak gonta-ganti handphone. Di samping memang anggaran untuk membeli handphone baru, selalu tergeser oleh kebutuhan lain yang lebih primer.


 
Lama-lama saya berpikir juga. Sampai kapan akan bertahan, tidak berpaling ke lain hati.. eh, ke lain handphone? Jaman terus bergerak. Segala informasi di era globalisasi ini terus menyerbu tak terbendung. Saya mulai iri melihat teman-teman sesama emak yang asyik berselancar di dunia maya, yang konon memberikan banyak pengetahuan. Duh, inginnya saya menjadi pintar seperti para emak itu. Tapi kok, kerap saya lihat mereka bermuka kecut ditambah omelan di mulut? Mereka bilang, "Huu.. lemot nih!" atau "Ya ampuun.. pulsaku terampok!"

Wah.. saya ingin membuka wawasan dan bertambah pintar, tapi tetap bermuka manis dan kondisi dompet aman terkendali, bagaimana caranya? Saya mulai bermimpi, suatu saat punya handphone baru (tetap Nokia) dengan fitur yang keren. Ia menjadikan saya emak yang pintar dengan aneka informasi dan pengetahuan yang tersaji di dalamnya. Lalu saya bisa asyik menelpon, tanpa rasa was-was akan pulsa yang terkikis habis dalam waktu singkat.

Seiring putaran waktu yang setia menggugurkan detik demi detiknya, saya pun setia memelihara mimpi itu. Sedikit demi sedikit rupiah saya kumpulkan, meski saya belum tahu, akan menggantikan handphone lama dengan model yang seperti apa.

Sampai suatu ketika, mata saya terbelalak. Saya terperanjat. Duhai, benarkah ini terjadi? Saya menyimak seksama cerita dari seorang teman. Ia mengabarkan tentang "Paket bundling Indosat Mobile dan Nokia berisi Kartu Indosat Mobile dan handset Nokia kini hadir untuk para Wanita Indonesia dengan benefit GRATIS paket Hebat Keluarga Selama 30 hari dan Layanan Info Wanita". Amboi.. tampaknya mimpi tak lama lagi mewujud nyata. Rasanya benar-benar pas. Saya fanatik Nokia dan pengguna setia nomor Indosat sejak pertama kali memiliki handphone. Tidakkah ini jodoh yang klop, teman?

Betapa beruntungnya emak macam saya ini yang memilih paket tersebut. Ada Paket Hebat Keluarga GRATIS selama 30 hari yang memberi fasilitas untuk menelpon ke-4 nomor Indosat lain selama jam 00.00 - 17.00 dan mendapatkan tambahan masa aktif kartu setiap registrasi layanan. Keempat nomor itu didaftarkan terlebih dahulu. Wow.. saya bisa menelpon kakak dan sahabat, anak-anak menelpon kakek dan neneknya, dengan bebas dan tenang. Menyenangkan sekali. Lucky me, mereka itu juga pengguna Indosat, provider yang keren dan nggak bikin bangkrut.

Selain itu, yang hebat lainnya adalah Layanan Info Wanita GRATIS selama 12 bulan. Bukankah ini yang sungguh saya butuhkan? Yes! saya bisa mendapatkan layanan sms yang berisikan informasi dan tips menarik seputar pengembangan pribadi, kesehatan, anak & keluarga hingga pengelolaan keuangan.

Masih ada lagi. Tersedia pula fasilitas BERSOSIALISASI DENGAN I-CHAT. Yaitu chatting berbasis SMS Text tanpa download aplikasi dengan fitur Ruang Rumpi (rubrik) seperti: Tanya Ustadz, Kesehatan Ibu dan Anak, Psikologi Anak, dsb. Biayanya Rp.110 untuk setiap transaksi kirim dan terima pada ruang chatting. Gimana nggak pintar, coba?

Ternyata tidak sia-sia saya menjaga dan memercayai mimpi yang selalu hadir dalam benak. Menjadi emak pintar bukan hal yang sulit, asal punya ponsel pintar pula. Tidak salah lagi, itu adalah Nokia Asha 202 yang menjadi ponselnya paket bundling Indosat, dengan keunggulan kompletnya ada di sini.

So, jangan abaikan mimpimu, teman!



“Tulisan ini diikutsertakan dalam Kontes “Ponsel Pintar untuk Perempuan Indonesia” yang diselenggarakan oleh EmakBlogger

Rabu, 27 Juni 2012

Cinta dan Sepit


Judul      :  Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis    :  Tere Liye
Penerbit  :  PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal      :  512 halaman
Cetakan ke-1 :  2012
ISBN    :  978-979-22-7913-9
        
Mengapa ketika membicarakan novel “Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah”, cinta disandingkan dengan sepit? Karena keduanya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sama-sama tertambat di tepian Sungai Kapuas, dan sama-sama memiliki kisah yang manis tak terperi ditaburi rindu nan bertalu-talu. Bahkan kisah ini pun bermula dari sepit.
        
Baiklah, mungkin ada yang belum tahu apa itu sepit. Sepit, terambil dari kata speed, yaitu perahu kayu bermesin tempel yang ukurannya lima meter kali satu meter, dengan tempat duduk melintang. Merupakan moda transportasi vital bagi penduduk kota Pontianak untuk menyeberangi sungai Kapuas. Sebab bila menggunakan bis atau opelet, akan memutar jauh lewat Jembatan Kapuas. Maka, menumpang sepit adalah pilihan yang praktis, karena cepat dan tidak mahal.
        
Adalah Borno, pemuda lulusan SMA, bertampang Melayu dengan gurat ketampanan yang tidak mengecewakan. Ia seorang yatim, dan hidup bersahaja bersama ibunya, Saijah. Ayah Borno yang nelayan, meninggal di rumah sakit, setelah sebelumnya kejang seketika akibat sengatan ubur-ubur. Dan dalam kemuliaan hatinya, di penghujung usianya, ayah Borno masih sempat menyanggupi untuk mendonorkan jantung kepada seorang pasien gagal jantung yang sudah berminggu-minggu tak kunjung memperoleh pendonor. Borno, usianya duabelas kala itu, menjerit dan meronta, tak rela ayahnya ‘pergi’. Dalam pikiran bocahnya, ayah masih dapat siuman, mengapa dadanya harus dibelah? Pertanyaan yang membuat Borno kecil mematung dalam isak tertahan yang memilukan.
        
Selepas SMA, Borno bekerja. Bukan berarti Borno tipe pemuda yang tak setia, bila kemudian ia sering gonta-ganti pekerjaan. Namun rupa-rupa alasan yang masuk akal, memang selalu menghadangnya. Hingga akhirnya Borno memutuskan menjadi pengemudi sepit, meski melanggar wasiat ayahnya. Konon ayah Borno melarang putra semata wayangnya itu menjadi pengemudi sepit karena berkaca dari orangtuanya. Kakek Borno dulu kaya raya, mempunyai sepuluh perahu, namun tragisnya, saat meninggal mewariskan hutang yang menyesakkan.
        
Walau melanggar wasiat ayahnya, Borno memiliki tekad suci dari dalam hati. Ia berjanji, akan menjadi orang baik, setidaknya menjauhi diri dari berbohong dan mencuri, serta akan selalu bekerja keras. Duhai, tidak salah bila kelak Borno mendapat predikat ‘bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas’.
        
Hari pertama sebagai pengemudi sepit ternyata tidak semulus yang dikira. Borno diragukan kemampuannya oleh para penumpang. Tergesa mereka turun beramai-ramai meninggalkan sepit Borno. Tapi, olala, siapakah gadis yang mengenakan baju kurung berwarna kuning, yang tetap duduk anggun sambil mengembangkan payung tradisional berwarna merah? Gadis berwajah Cina peranakan itu tidak terpengaruh oleh keributan penumpang lain yang berebut turun.
        
Pertemuan Borno dengan gadis jelita berwajah Cina peranakan pemilik rambut panjang tergerai, memang terus berlanjut. Sepucuk surat bersampul merah yang ditengarai milik gadis itu, tertinggal di sepit Borno. Dengan perjuangan yang mengesankan, Borno memburu sang gadis demi mengembalikan suratnya yang tertinggal. Saat gadis itu kemudian tertangkap retina, Borno tercengang. Anak-anak SD tengah mengerubutinya, menanti pembagian angpau, berupa amplop merah yang serupa dengan amplop yang tertinggal di sepitnya. Petugas timer dermaga pun dengan riang memamerkan amplop merah berisi lembar-lembar rupiah. Alamak, ternyata amplop merah itu hanya angpau biasa yang dibagikan menjelang Imlek. Borno gontai melangkah berbalik arah.
       
“Abang mau terima angpau juga?” suara merdu itu menyapa. (hlmn 95).
 Sempurnalah Borno dirundung kecewa. Tidak ada surat spesial penghubung jalan untuk mendekati gadis berwajah sendu menawan itu, yang ada hanyalah angpau ciri khas Imlek.
       
 Selama seminggu, Borno hafal aktivitas gadis itu. Akal cerdiknya bekerja untuk selalu membuat si gadis naik sepitnya. Hari demi hari berlalu dengan kesuksesan silih berganti. Adakalanya sang gadis melangkah anggun menuju sepitnya, tapi di lain hari perhitungannya meleset.
        
Sebuah pertemuan tak terduga kembali terjadi. Suatu hari Minggu, Borno mengantar serombongan tamu ke Istana Kadariah. Saat menunggu para tamu kembali, ia berjumpa dengan gadis pujaan hatinya. Secara otomatis, para tamu yang mencarter sepit Borno, terlupakan. Tersebab sang gadis minta diajari mengemudi sepit. Amboi, manalah mungkin Borno menolak nasib baik itu?
        
 Setelah melewati sekian pagi dengan memandang gadis pujaan hati naik di sepitnya, akhirnya Borno berhasil mengetahui namanya. Ia bernama Mei, guru di sebuah SD. Sayangnya, ternyata ia guru magang. Kerja praktik dari kampus. Saat Borno menikmati sebuah sore yang manis, tatkala menemui Mei di rumahnya, pada saat itu pula menjadi sore perpisahan bagi mereka. Mei akan kembali ke Surabaya, tugas mengajarnya telah usai.
        
Apalah kemudian yang terjadi dengan Borno? Terpisah ribuan kilometer dari Mei, sanggupkah ia meredam rindu yang terus berdetak? Mampukah Borno mengenyahkan bayang Mei, si gadis berwajah sendu menawan? Ketika takdir membawanya ke Surabaya, karena mengantar Pak Tua menjalani terapi di sana, apakah Borno berhasil menemukan alamat Mei? Apakah pesona Sungai Kapuas memanggil Mei untuk kembali? Lalu apa peran dokter gigi Sarah? Pada bagian mana dokter cantik itu terhubung dengan sejarah lalu di masa kecil Borno? Apakah kemolekan parasnya sanggup menggeser posisi Mei di hati Borno?
        
Semua terjawab dalam jalinan kisah apik yang menyentuh, mengharu biru, mencerahkan, serta tidak ketinggalan bagian yang menggelitik, mengundang tawa. Sebuah kisah sederhana yang bertenaga. Tidak ada bagian yang membuat kening berkerut atau pikiran mumet, justru dalam kesederhanaannya itu, kita temukan kekuatan novel “Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah” ini.
        
Deskripsi perasaan tokoh tergambar kuat. Pembaca digiring hanyut ke dalam halusnya alunan perasaan cinta yang manis dan sederhana. Indahnya perasaan senang tatkala sembunyi-sembunyi menatap sang pujaan hati. Riuhnya debur jantung di atas kecepatan normal, saat menanti hadirnya si dia. Betapa rindu yang membuncah harus terdiam senyap karena terpisah jarak membentang panjang. Amboi, sesungguhnya ini perasaan-perasaan yang biasa muncul dalam cerita cinta di seluruh dunia, namun penulis novel ini meramu semuanya dalam sajian kisah yang istimewa.
        
Borno, sebagai tokoh utama, bertutur dengan gaya yang alami dan wajar. Tuturannya mengalir, memikat pembaca. Tokoh-tokoh di sekelilingnya, sangat pas. Saijah ibunda baik hati dan selalu berpikir terbuka, Pak Tua yang bijak bestari, Bang Togar yang sangar namun hatinya selembut salju, Andi si sahabat karib yang kadang konyol tapi tulus menolong, Cik Tulani dan Koh Acong serta tetangga-tetangga dan para pengemudi sepit yang bisa dibilang contoh teman sejati tipikal orang Indonesia tulen yang menjunjung tinggi persaudaraan serta gotong royong. Semua menunaikan perannya masing-masing dalam kadar yang pas. Suasana riang yang tercipta, menyebar hawa suka. Sebaliknya, kala mendung merundung maka gumpalan duka meliputi rasa. Pun ketika tercium aroma jenaka, tak jarang pembaca dibuat tersenyum-senyum bahkan tertawa lebar.
        
Tidak melulu bercerita tentang cinta, novel ini diselipi juga kisah inspiratif tentang membangun semangat, mengusung daya juang. Bagaimana jatuh bangunnya usaha kongsi perbengkelan antara Borno dan ayah Andi. Tentang sebuah mimpi yang ingin diwujudkan, namun tak selamanya berasa manis. Adakalanya saat harap menggunung, kenyataan yang dihadapi sungguh pahit tak terkira. Ayah Andi terpuruk dalam kecewa, semangatnya sirna. Tapi semangat anak-anak muda, Borno dan Andi, terus meletup, mencoba memanaskan gairah kerja. Kelak pembaca akan melihat bagaimana buah yang dipetik dari sebuah kebangkitan yang disirami kesabaran.
        
Yang menarik juga dari novel ini adalah bagaimana penulisnya menyuguhkan setting tempat dengan detil dan menawan. Pembaca terseret dalam keindahan tepian Kapuas yang panjang membentang. Dermaga kayu dengan sepit rapi berderet bak terpampang di depan mata. Eloknya Pontianak, si kota sungai, seolah nyata dalam benak. Menara BTS di seberang Kapuas, gedung sarang walet, kantor syahbandar, dermaga feri, tampak benar kokoh berdiri di sana. Tidak hanya penggambaran suasana kota, namun hingga ke hal-hal detil, berupa lekuk liku ruang tempat sang tokoh berpijak, sungguh terasa hadir dalam imaji pembaca.
        
Membincang novel ini, tak lepas dari sang penulis, Tere Liye. Karya-karyanya banyak mengangkat tema cinta dengan gaya penuturan yang halus dan menyentuh. Taburan kalimat bertenaga banyak menghiasi novelnya. Kisah yang disajikan bukan sekedar omong cinta lawan jenis, namun terkandung selaksa hikmah yang dalam. Sebutlah “Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”, “Ayahku (Bukan) Pembohong”, dll.
       
 Tere Liye, dalam novel-novelnya senantiasa total menjalin cerita. Suasana pendukung cerita digali dalam. Ia menguasai betul pergerakan tokoh-tokoh rekaannya. Saat si tokoh seorang montir misalnya, maka hal-hal yang berkaitan dengan ilmu mesin dan perbengkelan, benar-benar diurai panjang lebar, bukan sekedar tempelan. Begitupun kondisi masyarakat tempat tokoh berada, merasuk sempurna ke dalam cerita. Karakter tokoh, gaya bahasa, adat istiadat, tergambar utuh dalam bungkus alur yang kuat. Misal pada novel ini, dipaparkan tentang muasal nama kota Pontianak, dan kebiasaan berucap, “Ye lah.. ye lah..” terasa menjadi daya pikat bagi pembaca.
       
 Bagaimana dengan cover? Pada bagian muka, tampak ilustrasi Mei berlatar sungai Kapuas, lengkap dengan gambaran Pontianak di seberangnya, serta jejeran sepit tertambat di tepi. Cukup mewakili nuansa romansa yang syahdu. Sayangnya, Mei tidak mengenakan baju kurung berwarna kuning, juga payung yang dipegang bukan payung tradisional berwarna merah. Padahal hari bersejarah mulanya kisah Borno-Mei, diawali kostum Mei yang demikian.  Sedangkan pada sampul bagian belakang, menampilkan endorsement dari orang-orang biasa. Ada lima orang yang memberi komentar tentang novel ini. Mereka yaitu seorang calon dokter gigi, calon guru SLB, guru TK, guru, dan buruh pabrik. Luar biasa! Tidak dibutuhkan tokoh ternama atau selebritas untuk mengabarkan betapa istimewanya novel ini. Yang dibutuhkan lebih pada ungkapan jujur yang tercetus dari hati para pembaca biasa. Bahkan sinopsis cerita pun tidak dihadirkan. Pembaca dipersilakan langsung menyelami istimewanya kisah cinta nan manis dan sederhana ini.
        
Berbicara tentang kekurangan novel “Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah”, artinya berbicara soal selera. Bagi penyuka kisah-kisah romantis yang syahdu, tampaknya tak akan ditemukan cacat dalam kisah ini. Namun bila sensitifitas rasa sentimental Anda sedang-sedang saja, dan tidak berada di barisan orang melankolis, maka kisah ini terasa terlalu manis, dengan faktor kebetulan yang cukup sering terjadi. Sepucuk angpau merah yang menjadi kunci kisah cinta Borno-Mei, terasa kurang masuk akal. Lipatan surat dengan lipatan lembaran uang, bukankah terasa berbeda? Bagaimana Borno bisa tidak menyadarinya? Namun, kejanggalan tersebut memang tidak akan terasa, bila pembaca benar-benar terperangkap dalam pesona kisah cinta yang sendu menawan ini. Tere Liye sangat pandai menyulam kata menjadi untaian kalimat nan indah dan memesona. Maka, sekali lagi, soal rasa dan selera memegang peranan di sini.
        
Jadi, tidaklah usah dipertentangkan soal logis-tidaknya kisah cinta Borno dan Mei. Cukup resapi saja keindahannya, temukan kedalaman maknanya, dan renungkan hikmahnya.
         
Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya. (hlmn 194)

Rabu, 20 Juni 2012

Pinta Ibu

Seorang Ibu
Termenung
Menatap si kecilnya yang lucu
Yang riuh berceloteh
Yang lincah bersenda
Yang ramai bercerita
Menggemaskan
Menyenangkan

Terbersit cita
Terlintas asa
Semoga besar kelak
Menenteramkan hati
Membahagiakan jiwa
Bukannya cakap membantah
Bukannya pandai membangkang

Seorang Ibu
Tertunduk
Takzim bersujud
Melangitkan doa
Semoga segala harap
Mewujud nyata

Selasa, 19 Juni 2012

Kreativitas Orang Indonesia


Sering kita saksikan betapa kreatifnya masyarakat Indonesia dalam pemanfaatan barang-barang. Ada yang menggunakan wajan untuk antene parabola, papan triplek yang dipotong persegi untuk raket badminton, batok kelapa untuk gayung, dll. Ini memperlihatkan bahwa keterbatasan tidak memasung sebuah keinginan, tetapi mendorong seseorang untuk berpikir kreatif.

Dalam hal kuliner, kreativitas ini pun terjadi. Beragam masakan dan makanan khas Indonesia menunjukkan betapa lincahnya otak orang Indonesia berputar. Aneka bahan dan bumbu diracik sedemikian rupa, menghasilkan hidangan yang lezat dan membuat lidah berdecak.

Yang lebih menarik, ada pula makanan yang dibuat dari kreativitas memanfaatkan bahan sisa. Anda mungkin pernah mendengar nama “Roti Unyil”? Kini roti berukuran mini tersebut menjadi kudapan favorit yang dicari. Padahal, itu bermula dari terobosan kreatif seorang karyawan pabrik roti yang memanfaatkan sisa bahan-bahan roti. Daripada dibuang dan menjadi mubazir, sisa-sisa bahan itu dijadikannya roti mungil-mungil karena tidak cukup bila dibuat roti berukuran standar. Maklum, bahannya kan sisa-sisa. Siapa nyana, sekarang roti Unyil semakin pesat melesat di dunia perdagangan roti.

Belum lama ini saya mencicipi jajanan khas Jawa Barat, namanya “Seblak”. Ternyata Seblak ini pun memiliki riwayat yang hampir sama dengan roti Unyil. Konon, di Garut banyak terdapat pabrik kerupuk. Bahan kerupuk yang dicetak bulat-bulat, meninggalkan lembaran sisa-sisa bulatan tersebut. Nah, bahan sisa itulah yang diolah menjadi makanan yang diberi nama “Seblak”.

Berawal dari Garut, makanan ini kemudian berkembang ke Bandung, Tasikmalaya, Sukabumi, dan kota-kota lain di Jawa Barat. Makanan ini sangat disukai karena sensasi pedasnya yang menerbitkan air liur dan bikin ketagihan. Nama Seblak itu sendiri dipilih karena asumsi bahwa setelah memakannya akan menimbulkan rasa ‘seblak’. Kata ‘seblak’ adalah bahasa Sunda yang sulit dicari padanan katanya yang pas dalam bahasa Indonesia.  Kira-kira artinya menohok ke dalam hati. Jadi, makanan ‘seblak’ ini harus benar-benar pedas, agar terasa ‘nyeblak’.

Dalam perjalanannya, Seblak ini pun tidak lagi menggunakan sisa-sisa bahan kerupuk. Tapi benar-benar kerupuk jadi. Biasanya yang digunakan adalah kerupuk kanji yang harganya relatif murah. Maka makanan ini jadi merakyat karena harganya yang ramah dompet. Satu porsi berkisar antara 3000 – 5000 rupiah.

Proses pembuatannya sederhana. Kerupuk dimasukkan ke dalam air mendidih, direbus sejenak hingga lembek.  Jangan terlalu lama, cukup bila sudah terlihat matang. Setelah itu ditiriskan. Kemudian ulek bawang putih, kencur, dan cabe rawit. Setelah halus, tumis dengan minyak sedikit hingga harum. Lalu masukkan kerupuk. Aduk rata. Dan Seblak pun siap disantap.

Seiring perkembangan jaman, kreativitas pun meningkat. Kini seblak tidak hanya berbahan dasar kerupuk saja, namun ditambah aneka topping.  Sayuran seperti sawi hijau dan kol menjadi pilihan. Bahkan ditambah pula dengan irisan baso atau sosis, tergantung selera. Tidak ketinggalan, telur yang dibuat orak-arik pun turut meramaikan seblak, dan menjadikannya tidak sekedar makanan enak, namun juga bergizi. Malah di beberapa penjual, ada modifikasi lain. Tidak saja kerupuk yang direbus, tapi menggunakan makaroni. Maka makaroni bukan hanya bisa menjadi makanan elit macam Macaroni Schootel, tapi dapat pula menjadi makanan bersahaja, sebagaimana Makaroni Seblak ini.

Tentang wadahnya, kini penjual Seblak lebih suka menggunakan mangkok stereoform. Mangkok bertutup itu dibagi dua. Sehingga tutup mangkok juga digunakan sebagai wadah. Ini penghematan, karena satu mangkok bisa dipakai untuk dua porsi. Lalu sendoknya? Lagi-lagi mengusung konsep penghematan. Yaitu tusuk sate yang dipatahkan sama panjang tapi tidak membuatnya menjadi patah dua. Batang tusuk sate itu masih bersatu dan bisa digerakkan seperti sumpit. Sedangkan ujung runcingnya telah dipotong terlebih dahulu. Kreatif bukan?

Jangan khawatir bagi Anda yang tidak suka makanan pedas. Seblak ini tetap nikmat dilahap meski porsi cabenya dikurangi. Bahkan tanpa cabe sekalipun, Seblak tetap asyik dinikmati. Meski sejarahnya, Seblak ini terkenal karena pedasnya, namun kini itu bukan berarti harga mati. Tua-muda, anak-dewasa dapat memakan Seblak sesuai selera.

Kreativitas lain muncul dari Seblak ini. Karena masakannya tergolong makanan basah, timbul ide agar makanan ini dapat lebih awet. Maka dibuatlah Seblak versi kering. Tetap dengan citarasa pedasnya yang menggigit, Seblak ini berbentuk kerupuk matang yang ditaburi bumbu cabai bubuk serta rempah-rempah lain. Bahkan kreativitas semakin menjadi-jadi, dengan hadirnya kerupuk Seblak dalam aneka varian rasa. Ada Seblak Pedas Rasa Original, Seblak Pedas Rasa Ayam, Seblak Pedas Rasa Jeruk, Seblak Pedas Rasa Keju, Seblak Pedas rasa Barbeque, dll. Dan seiring trend kerupuk pedas yang menjadi primadona jajanan cemilan ringan, maka Seblak pun turut terangkat pamornya.

Ketika saya melahap Seblak, terbersit sebuah kekaguman. Betapa masyarakat Indonesia pandai memanfaatkan bahan sisa menjadi sebuah komoditi layak jual. Tanpa didukung oleh pengetahuan teknologi pangan, namun kreativitas tergali luar biasa. Mungkin pada awalnya tidak meniatkan menjadi bisnis kuliner, namun ternyata sebuah karya kreativitas bisa berkembang ke arah sana. Makanan yang semula dinikmati oleh sesama karyawan pabrik saja, perlahan tapi pasti, terus meluas.

Hal lain yang mendorong kreativitas tersebut, adalah kesadaran bahwa hal-hal yang bersifat mubazir itu tidak disukai Tuhan. Bahan-bahan sisa makanan tentu tidak dapat digunakan lagi untuk proses makanan yang diproduksi, namun sayang bila dibuang. Daripada mubazir alias terbuang sia-sia, maka tergeraklah sebuah kesadaran untuk memanfaatkan bahan tersebut. Kreativitas pun muncul.

Semangat seperti ini patut ditiru oleh generasi muda. Terbiasa melakukan inovasi melalui kreativitas, harus terus dikembangkan. Sehingga menjadi sebuah budaya yang melestari. Dengan kreativitas yang semakin terasah, hidup lebih dinamis dan positif. Tidak lagi terjerumus ke dalam hal-hal yang bersifat merusak moral, serupa narkoba, seks bebas, hedonisme, dsb.

Indonesia dengan segenap keragamannya, baik dari budaya, bahasa, kuliner, adat kebiasaan, dll, sungguh mampu memberi inspirasi bagi kita dalam mengembangkan hal-hal positif. Selalu ada point menarik yang dapat dipetik dari satu diantara sekian keanekaragaman itu. Betapa kucinta Indonesia!

 Tulisan ini diikutkan lomba blog Paling Indonesia yang diselenggarakan oleh komunitas blogger Anging Mammiri bekerja sama dengan Telkomsel Area Sulampapua (Sulawesi - Maluku - Papua)


 


Jumat, 15 Juni 2012

Mengering Airmata

Suatu ketika kau akan menghadapi tiba-tiba sebuah batu besar menghimpit. Ia menekan, demikian kuat, membuat sakit. Kadang batu itu diam, hingga yang terasa 'hanya' sesak.. namun adakalanya batu bergerak melompat-lompat, menusuk-nusuk, hingga kesakitan terasa bertambah-tambah.

Orang-orang akan bilang, bersabarlah.. suatu ketika batu akan bergeser dan menjauh, hingga kau bisa bernafas lega kembali. Apa yang kau bisa lakukan? Sangat boleh jadi, kau akan menangis.. meluruhkan titik-titik airmata seperti titik-titik air yang berkumpul di awan lalu memecah membasahi bumi. Sangat mungkin juga, pipimu kuyup oleh banjir airmata itu.

Namun rupanya batu masih bergeming. Bahkan ia membesar, turut menghimpit pula orang-orang di sekitar. Oh.. bagaimana menolong orang-orang itu, sedang diri ini pun tak berkutik mengenyahkan batu..? Lagi-lagi airmata meleleh, menangis tak habis-habis..

Detik demi detik berguguran, doa-doa dipanjatkan, namun belum berakhir kesabaran diujikan. Bahkan terasa bahwa kehadiran batu adalah campurtangan kesalahannya. Tudingan yang entah oleh siapa ditujukan, tapi terasa menohok. Mengapa sedari dulu tidak gigih menghalau batu yang menggelinding..?

Rasanya airmata mengering.. tapi harap masih terus berdenging..

Kamis, 14 Juni 2012

Buku Indonesia Sepanjang Masa

Judul      :  5 cm
Penulis    :  Donny Dhirgantoro
Penerbit  :  PT Grasindo
Tebal      :  379 halaman
Cetakan ke-1 : Mei 2005
Cetakan ke-21 : Februari 2012

Judul di atas konon ditahbiskan untuk novel ini berdasarkan versi Goodreads Indonesia. Boleh jadi karena permintaan yang terus mengalir, diminati pembaca, sehingga mengalami cetak ulang dalam rentang waktu yang panjang dengan frekuensi tidak sedikit. Begitu banyak testimoni yang
mengungkapkan bahwa novel ini memberikan pencerahan luar biasa. Pertanyaannya: Apa istimewanya novel ini?

Kisah ini berpusat pada persahabatan lima orang dewasa, yang diawali sejak bangku SMA. Ada Arial dan Ian yang masih mahasiswa, ada Riani dan Genta yang sedang menapak dunia kerja, dan terakhir Zafran, si vokalis. Mereka kompak, sering nongkrong bareng, nonton, makan, diskusi seru
tentang musik dan film kesukaan, yang jelas, menghabiskan banyak waktu bersama-sama.

Hingga kemudian tercetus ide untuk berpisah sementara, tidak saling bertemu, tidak juga berkomunikasi. Mereka akan keluar sejenak dari ‘gua’ bersama, untuk menghindari kebosanan yang melanda. Bukan bosan dengan personalnya, tapi dari ‘kita’nya. Dengan break sementara, masing-masing akan bermimpi lagi tentang mereka, lalu saat bertemu nanti, mereka akan bertemu dengan cerita baru, dan bukan tidak mungkin dengan ‘pribadi baru’ yang lebih Oke. Disepakatilah tiga bulan masa perpisahan sementara itu. Dan pada saat pertemuan nanti, akan dirayakan dengan acara spesial, yang telah disiapkan Genta.

Kisah mengalir dengan aneka pengalaman empat lelaki dan satu wanita itu dalam masa tiga bulan tersebut. Bagaimana proses Arial punya kekasih, betapa Riani memendam rindu beraroma asmara pada salah seorang diantara empat lelaki sahabat kentalnya itu, lalu Ian yang berkutat dengan
skripsi, Zafran yang susah payah mendekati adik kembar Arial, dan lika liku Genta dengan EO-nya menggarap beberapa proyek dengan sukses, serta cinta terpendamnya kepada Riani yang terus menggedor kalbu.

Pada hari yang sangat dinantikan, hari pertemuan mereka kembali, suasana mengharu biru. Semua larut dalam buncahan rindu untuk sebuah ‘kegilaan’ yang biasa dilakukan bersama. Dan ternyata, Genta telah merancang sebuah perjalanan dalam rangka merayakan hari istimewa itu. Mereka akan menuju Puncak Mahameru.

Berbagai pengalaman yang mengayakan jiwa, ditemui dalam perjalanan tersebut. Namun beratnya medan nyaris mengendurkan semangat. Rasanya tidak mungkin bisa menyelesaikan misi mencapai puncak. Lalu bagaimana mereka menyikapi keadaan tersebut? Apakah peristiwa-peristiwa ajaib yang
ditemui, berpengaruh pada diri mereka? Akankah kelimanya berhasil menancapkan Sang Merah Putih di Puncak Mahameru?

Setelah menyelesaikan novel ini, bisa dimengerti, mengapa ia disukai. Bahasanya mengalir renyah dan jauh dari membosankan. Feel anak muda sangat terasa. Dialog-dialog gila, suasana kocak, kejadian seru, kebiasaan-kebiasaan ancur khas anak muda mewarnai sepanjang kisah ini. Ditaburi cuplikan lagu-lagu keren, potongan dialog-dialog dari film-film bagus, menambah citarasa anak muda.

Meski bahasanya terkesan cuek karena segmennya anak muda, namun kalimat-kalimat indah tetap bermunculan. Gambaran setting tempat dan deskripsi perasaan yang dialami para tokoh, dibeber apik. Pun peristiwa heroik berupa nostalgi atas masa-masa penegakan reformasi tahun 1998, hadir
menyentak jiwa. Pembaca dibuat tersedot ke dalam alur bagian demi bagian dari keseluruhan kisah ini.

Jalinan cerita yang dibangun, sukses mengocok perut untuk bagian yang konyol. Sementara bagian tentang cinta, terasa romansanya dan sungguh menyentuh. Demikian pula saat menampilkan keindahan semesta serta permainya tanah air, hati terasa sejuk. Pun kala berbicara tentang masalah-masalah sosial yang terjadi di sekitar kita, ia membelalakkan mata dan menggelitik jiwa.

Hal utama yang menjadi kekuatan novel ini adalah pesan tersirat agar pembaca berani membangun mimpi dan memercayainya. Keajaiban mimpi, keajaiban cita-cita, keajaiban keyakinan manusia, tak terkalkulasikan.

Biarkan keyakinan kamu, 5 cm menggantung, mengambang di depan kening kamu. Dan sehabis itu kamu cuma perlu kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang terus berdoa. (hlmn 362)
Tak ada gading yang tak retak, berlaku juga dalam novel ini. Dengan segmentasi anak muda, novel ini memberi porsi terlalu banyak pada hal-hal yang berbau dewasa. Maka, remaja usia SMP sebaiknya ditahan dulu untuk tidak membaca novel ini. Kebiasaan nge-bo**p seolah hal biasa. Lengkap dengan menampilkan beberapa contoh situsnya (entah situs fiktif atau nyata). Lalu gambaran imajinasi liar lelaki tentang fisik perempuan pun meluncur begitu saja. Budaya pergaulan lelaki-perempuan tampak bebas, yang mungkin biasa bagi anak muda jaman sekarang. Semisal: Riani yang berpelukan dengan sahabat-sahabat lelakinya saat kangen, dan beberapa aktivitas berpacaran. Barangkali karena
penulisnya anak Jakarta banget, ia menampilkan apa adanya yang terjadi dalam dunia anak muda masa kini. Karena yang terjadi di ibukota, saat ini sudah merambah ke seluruh wilayah nusantara.

Terlepas dari itu, novel ini memang keren dan asyik dibaca. Quote-quote bertenaga dari orang-orang ternama turut meramaikan obrolan kelima sahabat ini. Kalimat-kalimat positif yang penuh motivasi, terselip di sana-sini. Dikemas dalam dialog santai dan narasi ringan, sehingga tidak terkesan menggurui.

Semoga sampai di sini, pertanyaan pada paragrap awal, terjawab sudah. Kalau belum, sila membaca novel ini.. :)

“Ada yang pernah bilang kalo idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh
generasi muda.”
“Kita udah buktiin kalo pendapat itu salah.”    
(cuplikan percakapan kelima sahabat, sepuluh tahun kemudian)