Selasa, 22 Desember 2015

Siapa Tidak Cerdas? Siswa atau Guru?

Saya membaca status teman tentang keponakannya. Si Om itu mengambil raport keponakannya yang klas 2 SD. Anak itu cerdas, daya ingatnya kuat, jago ngegambar, imajinasinya luar biasa, dan bisa menggambarkan sesuatu dengan sangat baik dan detil. Namun betapa kecewanya si Om ketika berdialog dengan guru keponakannya. Gurunya bilang, anak itu dikasih nilai cuma pemakluman aja, lalu disilakan cari sekolah lain karena anak itu beda dari anak normal lainnya.

Kebayang ya, gimana perasaan si Om? Lha, ponakannya cerdas gitu kok dibilang beda dari anak normal. It means, ponakannya nggak normal dong. Hadeuh..

Untuk masalah semacam itu, biasanya reaksi pertama orang-orang langsung menyalahkan sang guru. Wajar kan ya, mosok anak pinter dibilang nggak normal. Itu mah gurunya aja kali yang nggak normal. Tapi kalau menurut saya sih, nggak serta merta gitu juga. Dan bukan berarti ini dalam rangka membela korps ya, sesama guru saling membela. Nggak banget lah.

Jadi gini, kalau kita melihat lebih jauh, pertama kali dilihat dulu jumlah murid dalam satu kelas berapa orang. Kalau kisaran 30-40 anak, memang cukup masuk akal bila guru nggak sanggup menangani murid yang spesial. Secara anak-anak zaman sekarang lebih aktif dan kritis. Mungkin guru kewalahan jika ditambah dengan tugas mengawal anak yang spesial.

Lalu dilihat lagi gimana kesepakatan dengan sekolah. Saat awal masuk biasanya siswa ditest, bahkan ada juga yang menyeleggarakan psikotest. Tentu bisa diketahui kondisi setiap anak. Bila ada anak dengan kecerdasan luar biasa namun secara akademik agak tertinggal dari teman-temannya, maka pihak sekolah idealnya memahami konsekuensi saat menerima anak tersebut sebagai siswa di sekolahnya.

Yang diperlukan kemudian adalah komunikasi. Sungguh, komunikasi sangat memegang peranan penting. Jadi jangan seperti guru si Om yang langsung nge-judge kalo si anak nggak sama dengan anak normal, sehingga terkesan merendahkan dengan label normal-nggak normal. Seharusnya sejak awal sekolah hingga teruus selama masa belajar, komunikasi senantiasa hidup antara guru dengan orangtua. Bisa juga dengan mengadakan buku penghubung khusus yang setiap hari harus diisi guru dan dibaca serta direspons oleh orangtua di rumah. Orangtua harus menyadari bahwa si buah hati memiliki kecerdasan menonjol dalam bidang tertentu, namun perlu bimbingan khusus dalam materi-materi pelajaran di sekolah.
gambar diambil dari sini
 Walikelas harus memiliki kesadaran penuh bahwa di kelasnya ada siswa dengan catatan istimewa yang membutuhkan penanganan khusus. Kesadaran itu terbentuk setelah sebelumnya pihak kepala sekolah atau wakasek bidang kurikulum membahas kondisi siswa tersebut dengan sang walikelas. Komunikasi terbuka seperti itu, dapat lebih mudah menentukan bagaimana bentuk penanganan terhadap si anak.

Potensi cerdas yang dimiliki anak harus dapat tereksplorasi dengan baik. Anak itu perlu mendapat stimulasi yang tepat agar potensinya dapat dikembangkan ke arah yang positif. Sementara ketertinggalannya secara akademik tidak membuatnya malu atau minder di hadapan teman-temannya.
gambar diambil dari sini
Pihak sekolah harus jeli melihat kondisi tersebut. Jangan sampai potensi besar yang ada pada siswa, tidak terasah dengan baik. Sebaliknya, orangtua pun harus ekstra mengawal ketat putranya, mengetahui persis keadaan putranya, dan senantiasa menjalin komunikasi dengan sekolah. Bila ternyata pihak sekolah tidak kondusif memfasilitasi putranya, jangan memaksakan diri untuk membuat pihak sekolah berubah. Artinya, sekolah tersebut memang tidak siap menerima siswa demikian.

Maka carilah sekolah yang tepat, yang lebih ramah anak. Sekolah yang memahami konsekuensi saat menerima siswa dengan kecerdasan istimewa namun sedikit tertinggal secara akademik. Guru yang menjadi walikelas harus benar-benar siap, memiliki mental yang kuat, dan bersedia bekerja keras, karena harus mengulang secara pribadi, materi-materi yang diajarkan di kelas kepada anak tersebut. Guru pun harus mampu mengondisikan anak-anak di kelas agar bisa menerima siswa tersebut dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Setelah itu, guru secara intens berkomunikasi dengan orangtua, sehingga ia tidak capek sendiri di sekolah, namun orangtua di rumah pun harus terlibat penuh dalam mengawal anak tersebut.
gambar diambil dari sini
Dengan kerjasama yang baik seperti itu, insyaAllah tidak akan ada lagi misunderstanding antara pihak orangtua/wali siswa dengan pihak sekolah. Sang anak dapat nyaman bersekolah, dan potensinya mendapat penyaluran yang baik.
gambar diambil dari sini


Senin, 23 November 2015

Menyapa Kenangan

gambar diambil dari sini

Asiknya gabung di satu komunitas itu, bisa diskusi segala macem. Komunitas yang aku ikuti, bukan komunitas gaje ya, tapi membernya para penulis yang ramah dan baik hati. di sana bergabung berbagai kategori penulis. Ada yang namanya udah berkibar sebagai novelis, ada yang jawara dimuat di media, ada yang langganan juara lomba nulis, ada penulis cerita dewasa, cerita remaja cerita anak, ada blogger, pokoknya seru deh.

Awalnya komunitas itu ada di fb lalu beberapa member bikin grup WA-nya juga. Nah, di WA inilah yang wacana diskusi selalu asik dan variatif. Dari hal-hal yang memang bersinggungan langsung dengan dunia tulis menulis, berkombinasi dengan segala hal yang terlintas di benak. Bisa masalah kesehatan, pendidikan anak, politik, agama, sampai hal-hal yang remeh temeh. Tapi, catet yaa.. remeh temeh bukan berarti gosip nggak karuan lho.. tetap sesuatu yang bermakna.. tsaaah..

Nah, kemaren tuh entah dari mana mulanya, tetiba topik berputar pada masalah kenangan lalu. Ada Neida yang dikenal suka sekali 'mengunyah kenangan' alias termantan.. hahaa.. Terus, Hairi Yanti yang memulai cerita tentang kenangannya waktu kelas 6 SD. Semacam cinta monyet gitu lah.. hahaa..

Cerita Yanti itu seperti menyeret pada kenanganku sendiri waktu kelas 6 SD juga. Hahaayy..
Dulu, di depan mejaku, duduk anak cowok yang entah siapa yang mulai, katanya kami saling suka. Dia suka aku, begitu pun sebaliknya.. *senyum-senyum sendiri nih..

Dia itu perawakannya kecil, pinter, dan tulisannya baguus banget. Cocok sama aku yang juga pinter waktu itu (eh, sekarang juga masih pinter ah.. hahaa..). Namanya.. engh.. aku sebut nggak yaa.. Ah, nggak aja ah.. :)

Tampangnya lumayan manis. Matanya kadang menyipit kalau lagi ketawa. Punya jiwa pemimpin. Larinya kenceng (lagi-lagi idem sama aku, yang dulu jago lari jarak pendek). Mahir menggambar.

Nah, di penghujung kelas 6 kan ada ujian praktek olahraga. Setiap anak harus membuat sendiri nomor pesertanya, dari karton gitu. Maka beramai-ramai pada ngorder sama dia, minta dibikinin. Karena dia kan dah tepercaya pasti bikinnya bagus. Temen-temen pada nyetor nomor peserta masing-masing sama dia. "Aku nomor segini ya, saya nomor segini ya.."

Apakah aku ikut-ikutan minta dibikinin juga? Tidak, sodara-sodari. Aku diem aja. Lho, bukannya dia 'pacar' aku? Harusnya aku minta dibikinin juga dong. Hmm.. nggak gitu deh ceritanya. Jadi, walaupun kami berteman akrab, dan konon saling suka, tapi kami menyimpan rasa ini dalam diam.. haha.. Aku ngerasa nggak enak aja kalau ikut-ikutan ngerubutin dia. Lagipula, aku pingin tahu, apa dia bakal bikinin kartu nomor peserta itu buat aku..

Singkat cerita, dia sudah selesai membuatkan kartu nomor peserta untuk para pengorder. Semua dibagikan. Semua riuh bilang trimakasih sama dia. Aku diam, melihat dari jauh. Lalu ketika proses distribusi kartu selesai, dia menghampiriku. Sambil tertunduk malu-malu, dia menyerahkan kartu nomor peserta untukku. "Nih, buat kamu."

Aku menerimanya dengan malu-malu juga. "Kok kamu tahu nomor aku?" tanyaku. Dia mengangkat wajahnya. Menatapku sambil tersenyum manis. Tanpa kata. Dan aku mengerti, senyum itu adalah jawabannya.

"Makasih ya, kamu dah bikinin kartu buat aku," ujarku sambil membalas senyumnya.

Dia mengangguk. "Maaf ya, kalau kartunya jelek."

Aku menggeleng. "Nggak kok, kartunya bagus. Tulisan kamu bagus."

Lalu kami menunduk sambil terus tersenyum. Duhai, rasanya seperti berada di taman bunga.. hahaayy..

Kini, kita akan berada di bagian melow dari cerita ini. Saat hari perpisahan, kami semua tampil di atas panggung, menyanyikan lagu perpisahan. Sedih rasanya, karena dia mau melanjutkan SMP ke Bandung. Dan, setelah acara selesai, kami berdua bertemu di balik panggung. Saat itu aku memegang hadiah sebagai pemegang ranking 5 besar. Dia mengucapkan selamat kepadaku.

"Selamat, ya. Nanti kamu pasti keterima di SMP Negeri 2." (SMPN 2 adalah sekolah favorit di kotaku)

Aku mengangguk. Kami terdiam. Senyap.

"Kamu jadi pindah ke Bandung?"

Dia terdiam. Hening sesaat. Lalu dia mengangguk. "Iya," jawabnya lemah.

Kami bertatapan sejenak. Menunduk bersama, kemudian.

Suasana melow itu tak berlangsung lama. Beberapa anak menghampiri kami, seolah nggak menyadari bahwa kami lagi dirundung haru. Mereka ramai membicarakan rencana melanjutkan sekolah. Ya, untung juga sih mereka datang. Jadi bisa mengganti suasana.

Setelah sekian waktu berlalu, saat zaman kuliah, aku bertemu dengan seorang teman SMA. Yang aku tahu, ibunya telah meninggal. Lalu dia mengabarkan kalau ayahnya menikah lagi. And U know who is her new wife? Ternyata ibunya si dia. Rupanya ayah dia sudah lama meninggal. Spontan aku langsung menanyakan bagaimana kabarnya dia. Ternyata dia masih di Bandung, sibuk di sana, dan jarang pulang. Dan aku nggak berani nanya-nanya terus, karena takut temenku itu curiga.. ^^

Ketika facebook marak, dan orang-orang menemukan teman-teman TK, SD, SMP, SMA, dan akhirnya musim reuni, teman-teman SD-ku pun mulai mengontak aku. Mereka merencanakan reuni, dan mulai membicarakan si ini sekarang di kota ini, si itu di kota itu, dsb. Lagi-lagi aku langsung menanyakan tentang dia. Dan ternyata, teman-teman kehilangan kontak dengan dia. Terakhir kabar yang didengar, dia sudah menikah dan tetap tinggal di Bandung. Dia pun nggak ada kontak fb.

Yah sudahlah.. kenangan lebih indah bila tetap berwujud kenangan..

"Kita sepakat meninggalkan masa silam. tapi, diam-diam suka mengunjunginya" -- Krisna Pabichara
gambar diambil dari sini

Sabtu, 21 November 2015

ZIDAN LOMBA

Ini cerita tentang Zidan, anakku yang kedua. Sekarang dia kelas sembilan. Aturan sih, tahun ini masuk SMA. Tapi kemaren dia nggak ikut UN karena.. engh.. sakit.. dan.. dia tuh dah berbulan-bulan sebelumnya sering bolos sekolah.

Sedikit flashback, Zidan memang termasuk cukup rumit menjalani hari-harinya. Maklumlah, ketika musibah menimpa, dia lagi masa baru menginjak usia remaja. Jadi galaunya lumayan bikin pusing aku. Tapi aku nggak bisa nyalahin dia juga sih. Dengan segala hal 'ajaib' yang kita sekeluarga alami, wajar aja kalau terjadi keguncangan dalam dirinya.

Singkat cerita, akhirnya dia mengulang kelas sembilan. Sementara teman-temannya sudah duduk di bangku SMA. Alhamdulillah, dia nggak pernah bolos lagi. Dia sekolah dengan baik. Rupanya dia mulai menyadari telah ketinggalan waktu satu tahun.

Sujud syukur sama Allah melihat dia tiap hari berangkat sekolah. Mungkin bagi orang lain mah biasa aja ya, melihat anaknya sekolah. Tapi buat aku, subhanallah, bersyukur banget. Ya, begitulah, kadangg apa yang sederhana untuk seseorang, mugkin sangat berarti luar biasa bagi orang lain. Hal itu juga berlaku untuk sebuah kemalangan. Hal yang buruk bagi seseorang, mungkin bagi orang lain, segitu tuh sudah berupa sebuah pencapaian. Misal, Ibu yang punya anak cerewet, merasa kesal dengan kecerewetan anaknya. Sebaliknya, Ibu yang anaknya penderita autis, justru mendambakan anaknya kritis dan cerewet seperti itu.

Balik lagi ke Zidan. Aku lagi seneeeng banget. Gurunya sms, bilang bahwa Zidan menunjukkan kemajuan. Dia mau ikutan lomba bidang studi di sebuah SMA Negeri. Waah, surprise banget rasanya. Pantas saja, dia nanya-nanya lokasi SMA yang dimaksud. Trus, nanya-nanya juga soal Bahasa Indonesia.

Pada hari pelaksanaan test, aku dorong dia dengan doa. Katanya, dia ikutnya lomba mapel Bahasa Indonesia. Ok, sebagai guru Bahasa Indonesia, aku sudah membekali dia sebelumnya dengan soal-soal dan membahasnya.

Hingga siangnya, gurunya mengabarkan via sms, ternyata Zidan masuk peringkat 16, sehingga masuk semifinal. Subhanallah..

Kebayang nggak sih, tu anak dulunya boro-boro mikirin sekolah, lha tiap hari kan bolos aja. Eh, tiba-tiba sekarang ikut lomba mata pelajaran dan berhasil berprestasi. Lombanya pun ternyata berubah, jadi bukan hanya satu bidang studi, tapi lima: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA, Matematika, dan IPS.

Gurunya meminta aku agar melatih Zidan untuk persiapan menghadapi semifinal keesokan harinya. Ternyata semifinal berbentuk Lomba Cerdas Cermat perseorangan. Aku pun melatih dan menemaninya belajar. Untungnya punya buku soal-soal UN, jadi mempelajari buku soal itu. Cuma soal-soal IPS yang nggak ada. Zidan nyari sendiri di google.

Keesokan harinya aku ikut menemani ke lokasi lomba. Alhamdulillah, guru pendampingnya mensupport. Beliau mengajakku ikut. Jadi, kami berangkat bareng dalam mobil si Bapak Guru itu.

Pas aku lihat pengumuman di tempat lomba, ternyata jumlah peserta seluruhnya ada 158 orang. Zidan berada di peringkat 16. Sungguh pencapaian yang luar biasa.

Meski pada akhirnya Zidan gagal masuk final, tapi aku tetap mengapresiasinya dengan antusias. Masuk semifinal itu udah demikian membanggakan. Dan Alhamdulillah, bagi para semifinalis (16 besar) berhak mendapatkan fasilitas masuk SMA Negeri tersebut tanpa test lagi.

Sujud syukur banget, Zidan dah dapat tiket masuk SMA Negeri yang berkualitas bagus. Hanya sayangnya, lokasi sekolah itu cukup jauh, dan melewati pabrik garment yang rawan macet. Jadi kalau berangkat dari rumah harus pagi-pagi. Zidan sih mau-mau aja daftar ke SMA Negeri itu, tapi masih mikir-mikir juga.
Aku cuma berharap, yang terbaik untuk Zidan. Semoga.
Kenangan sama Zidan waktu masih imut.. :)



Sabtu, 10 Oktober 2015

Aku Nonton Bokep Sejak Kelas 2 SD!

Ini benar-benar harus menjadi perhatian para orang tua. Anak-anak kita.. oh, anak-anak kita yang lucu, baik, ceria, dan pintar, ternyata mereka mengalami hal yang sungguh di luar dugaan.

Saat itu, saya sedang asik ngobrol dengan anak-anak laki-laki kelas 7. Cerita demi cerita bergulir. Akhirnya saya tergelitik untuk melontarkan pertanyaan pancingan, "Kalau nonton bokep, udah pernah?"

Anak-anak itu ada yang tergelak, ada yang senyam-senyum. Satu sama lain saling pandang. Lalu meluncurlah cerita seputar pengalaman mereka menonton film-film yang tak pantas itu. Sejujurnya, saya mendengarkan sambil menahan debur pilu yang berdentum-dentum. Bayangkan, anak-anak di usia sekecil itu, berbicara fasih tentang situs-situs porno dan bagaimana cara mencari film-film itu dengan menyebutkan beberapa kata kuncinya.

Sepanjang mereka bercerita, saya berusaha tetap datar agar mereka leluasa terus bicara. Hampir semua mengawali nonton itu karena diajak teman. Dan itu dilakukan saat mereka masih duduk di bangku SD! Setelah sekali nonton, lalu ada yang kedua kali, ketiga kali, dst. Biasanya setelah rame-rame sama temen, mereka akan mengulanginya saat sendiri di kamar.

Setelah mereka banyak bercerita, saya mulai sisipkan pelan-pelan tentang bahaya besar yang akan menimpa mereka kalau kebiasaan ngebokep itu terus dilakoni. Saya katakan juga, Allah tidak suka perbuatan maksiat itu. Mereka rata-rata mengerti. Semua mengangguk-angguk. Katanya, sudah tahu. Tapi kalau lagi nggak ada kerjaan, di kamar sendirian, suka iseng ngeklik itu lagi, trus keasyikan. Duh, Gustiii...

Jangan terburu-buru menyalahkan orang tua, dengan mempertanyakan, "Itu ayah ibunya pada kemana sih?"
Beberapa dari mereka nggak sibuk-sibuk banget, kok. Mereka juga cukup perhatian sama anak-anak. Dari kalangan baik-baik dan rajin mengaji. Lalu, kenapa? Karenaa.. para orangtua itu sama sekali nggak terpikir bahwa anaknya yang imut akan melakukan hal menjijikkan seperti itu. Mungkin mereka hanya mengira, hp berada di tangan anak-anak dihabiskan untuk main games atau chatting sama teman saja.

Yang membuat dada saya sesak adalah, salah satu dari mereka bilang, "Aku kenal film bokep sejak kelas 2 SD!" Lemas rasanya seluruh persendian saya. Anak saya yang bungsu, duduk di kelas 2 SD. Nggak kebayang, anak sekecil itu melahap film biru.. :'(

Ketika saya katakan bahwa kebiasaan ngebokep itu bisa menimbulkan kerusakan atau gangguan otak, anak itu menukas, "Tapi aku tetep pinter! Nggak kenapa-kenapa!"

Believe it or not.. anak itu memang pinter. Terutama pada pelajaran matematika dan sains, sering mendapat nilai seratus. Pelajaran lain juga tetap bagus. Bahkan hafalan Al-Qurannya pun sudah melewati juz 30, dan sudah hafal beberapa surat di juz 29.

Nah, itulah yang mengecoh. Anak-anak itu tampak seperti baik-baik saja. Orangtua tidak curiga. Mereka memberikan hp atau gadget tanpa pengawasan. Bukan karena tidak perhatian, tapi karena ketidaktahuan. Bahwa kewaspadaan perlu ditingkatkan berkali lipat.

Tanpa diketahui, saat jam istirahat, ada juga beberapa anak yang 'praktik' di dalam kelas. Pintu kelas ditutup. Guru-guru tidak ada yang melihat, karena mereka pun beristirahat pula di ruang guru.

Kini saatnya kita semua bergerak. Orang tua, guru, keluarga, dan siapa pun, mari lindungi anak-anak kita. Tingkatkan pengawasan terhadap anak-anak. Waspadai gadget di tangan mereka. Pelajari tips cara mudah blokir situs porno. Tips-tips tersebut bisa di-search di Google. Jangan kalah canggih dengan anak-anak. Para orang tua sudah waktunya melek internet.

Gambar diambil dari sini



SENJA *)





        Senja membayang. Bola raksasa dengan campuran warna merah-orange tersenyum cerah dalam bulatnya yang sempurna. Angin semilir menyapa ramah. Namun suasana di rumah itu tampak tersaput mendung. Sebuah rumah tua nan asri.
        “Rumah ini dijual saja!"
        Mak Iyoh membeku. Mata cekungnya menyorot pilu. Air mukanya mengeruh. Anja, anak bungsu dan lelaki satu-satunya, menatap menunggu jawab. Namun Mak Iyoh tetap bergeming. Kata-katanya mengumpul di ujung bibir, tak mampu dilepaskannya
        “Mak setuju tidak?” tanya Anja, hati-hati.
Mata Mak Iyoh menerawang. Di dinding, seekor cicak tanpa ekor merayap cepat lalu menyelinap di balik bingkai. Mak Iyoh menghela napas. Bingkai itu memajang foto dirinya bersama suami tercinta, yang telah berpulang ke haribaanNya, setahun silam.
        “Mak pikir-pikir dulu ya...” lirih Mak Iyoh.
        Sepasang anak kembar, usia lima tahun, berlarian dari arah luar, berceloteh ribut.
       “Nini jadi ikut ke rumah kita, kan?”
       “Nini nanti tidur sama kita, ya!"
        Masing-masing lengan Mak Iyoh diguncang-guncang. Perempuan usia enampuluhan itu tersenyum penuh kasih kepada cucu-cucu tersayangnya.    
        “Nini jadi ikut kaan..?” si kembar mengulang pertanyaan.
        “Iya, Nini ke rumah kita, tapi enggak sekarang. Nanti, bulan depan!" tegas Anja.
        “Yaah..!” si kembar memandang kecewa kepada ayahnya.
        Di sudut ruangan, Teta, istri Anja, tenang menyuapi adik si kembar, tak terpengaruh keadaan.

*****

        Mak Iyoh meluruskan kaki kurusnya. Mata tuanya mengelilingi ruangan 2x2 meter yang kini menjadi kamarnya. Sebuah lemari plastik baru, berdiri tegak di samping ranjang yang sedang didudukinya. Aku harus betah di sini, demi anak cucu, tekadnya.
        Kamar baru Mak Iyoh terletak di bagian belakang rumah Anja. Dulunya kamar pembantu. Karena tidak ada lagi ruangan lain, Mak Iyoh tidak keberatan menempati kamar sempit itu.

       Malam belum beranjak tua. Mak Iyoh masih membaca Al-Qur’an dengan suara perlahan. Dari ruang keluarga terdengar gelak tawa. Anja dan keluarganya tengah asyik menyaksikan tayangan komedi dari televisi layar datar di ruangan tersebut.
       Mak Iyoh mengakhiri bacaan Qur’annya saat kaki mulai terasa kesemutan. Ia selalu menjaga sikap. Kaki yang berselonjor, menurutnya adalah posisi yang tidak patut bila sedang mengaji. Maka ditutuplah Qur’an usang miliknya. Hening menyergap. Seketika Mak Iyoh teringat malam-malam sepinya di kampung yang kadang ditingkahi suara jangkrik atau senandung burung hantu. Sebuah simfoni malam yang tak tergantikan keindahannya oleh orkestra mana pun.
        Kepindahan Mak Iyoh ke rumah Anja, kadang masih menyisakan tanya dalam benaknya sendiri. Tepatkah langkah ini? Namun segera dikuatkannya hati. Ini demi anak cucu.
        Teta, bekerja di bank swasta ternama. Ia sangat membutuhkan seseorang untuk menjaga anak-anaknya selama ia tidak di rumah. Pembantu yang ada sekarang, hanya datang pagi pulang sore, dan tidak jarang mangkir karena rupa-rupa alasan. Mak Iyoh diminta untuk menjaga cucu-cucunya. Maka, dipenuhinya permintaan itu, dengan meninggalkan segenap kenangannya di kampung.

*****

       Matahari belum mencapai ubun-ubun, namun kegarangannya mulai tampak. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit. Seperti hari-hari kemarin, langkah kaki Mak Iyoh mengayun perlahan menuju taman kanak-kanak tempat cucunya bersekolah, memenuhi permintaan mereka.
       "Ni, jemput kita, ya! Aku nggak mau sama Mbak Lis lagi, ah!"
       “Iya, Ni.. Dia suka ngobrol lama di warung bakso Mas Acoy. Males banget!
       Ibu-ibu berkerumun di luar pagar sekolah sambil asyik bicara ngalor-ngidul. Saat tertangkap retina, sosok Mak Iyoh berjalan di kejauhan, seorang ibu membuka topik baru, dan segera disambut sahut menyahut.
        “Kasihan ya, neneknya Rani-Rina, tiap hari berpanas-panas ngejemput cucunya."
        “Malah paginya, sambil ngegendong adik si kembar, ikut antre di Mpok sayur. Tangan satu ngegendong, satunya lagi bawa kantong belanja!"
        “Orangtua, kok, dijadiin pembantu, ya? Ih, amit-amit!
        Padahal Bu Teta kan punya pembantu."

        “Pembantu ganjen! Pacaran mulu sama si Acoy tukang bakso."
        Dia sih enak,  datengnya jam delapanan.  Rumah sudah rapi, si kecil sudah dimandiin, disuapin. Malah yang masak juga sering Mak Iyoh itu."

*****

       Mak Iyoh baru saja mengucap salam pada rakaat terakhir shalat Ashar saat terdengar pintu kamarnya diketuk. Mbak Lis muncul, lalu tanpa dosa pamit pulang, sambil menitipkan jemuran.
       “Roni sudah dimandikan, Mbak?” tanya Mak Iyoh.
       “Belum Ni, masih nyenyak tidurnya. Si kembar juga belum, tuh, dari tadi anteng main Barbie,” jawab Mbak Lis, enteng, seraya berlalu.
        Mak Iyoh menghela napas. Diraihnya Al-Qur’an, lalu memulai tilawah. Belum satu halaman dirampungkan, terdengar tangis Roni memecah sore. Mak Iyoh melangkah tergesa. Rupanya, Roni bangun dalam keadaan mengompol. Sambil menenangkan tangis, Mak Iyoh mencopoti baju yang bau pesing itu lalu menuntun Roni ke kamar mandi. Selesai mandi, Roni minta digendong menuju kamarnya. Bocah tiga tahun berbobot sembilanbelas kilogram itu pun digendong.  Rasa sakit menjalari kaki yang kerap dirasakan Mak Iyoh, ditahannya kuat-kuat.
        Tiba-tiba dari arah halaman belakang, si kembar riuh berseru, "Hujaan.. Ni.. hujaan!"
        Teringat jemuran yang tadi dititipkan Mbak Lis, tanpa memedulikan rasa sakit pada kakinya, Mak Iyoh langsung tergopoh-gopoh menuju jemuran dan menyambar semua pakaian. Lalu semuanya ditaruh dalam boks plastik di ruang setrika. Yang masih agak basah, dipilih dan digantungnya pada gantungan berbentuk lingkaran. Sementara itu, hujan tanpa aba-aba terus mengalir deras.  Saat keluar dari ruang setrika, Mak Iyoh tercekat. Rani-Rina-Roni sempurna basah kuyup, sukses bermain hujan.

*****

       Teta menarik termometer dari ketiak Rina.
       “Hmm.. sama dengan Rani, 38 derajat!" gumamnya dengan nada gusar, memasukkan termometer ke dalam wadahnya.
        Mak Iyoh tertunduk lesu. Tangannya dengan kulit yang mengisut itu memijat lembut kaki Roni yang tertidur pulas di sofa.  Tidak demam seperti kakaknya, suhu Roni setelah diukur 'hanya' 36,5 derajat.
        Teta menyiapkan sirup penurun panas, “Kalian minum obat sekarang!” suaranya ketus.
       “Nini bantu minum obatnya,” Mak Iyoh beringsut dari kursi.
        Teta tak bereaksi. Raut mukanya tetap masam. Disodorkannya sesendok sirup penurun panas kepada putri kembarnya.
       “Kalau sudah minum obat, cepat tidur, supaya panasnya cepat turun!" ujar Teta dingin, tepat saat Mak Iyoh dengan lunglai kembali ke kamarnya.

*****

       Rasa sakit yang menusuk-nusuk kaki semakin ngilu dirasa oleh Mak Iyoh. Balsem yang membaluri sekujur kakinya tidak lagi berarti. Barangkali aku harus minum obat, pikirnya. Mak Iyoh pun membulatkan niat untuk mengungkapkan rasa skit yang dideritanya, namun selalu disembunyikannya itu. Hari Sabtu begini kan libur, mungkin anakku mau mengantar ke dokter, harap Mak Iyoh dalam hati.
       Saat tiba di ruang keluarga, terlihat Teta dalam penampilan rapi dan modis tengah sibuk membujuk si kembar. Sementara si bungsu asyik menonton film anak-anak dari TV Kabel.  Anja, dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans trendy yang membungkus tubuh atletisnya, mengenakan kaos kaki sambil berujar ringan,
      “Mak, aku mau mengantar Teta ke acara reuni temen-temen kuliahnya. Titip anak-anak di rumah, ya!”
       Teta berhasil membujuk Rani-Rina, kemudian mematut diri di depan cermin besar di atas bufet, memperbaiki letak bros, dan tanpa beban menambahkan,
       “Si kembar masih agak anget badannya. Nanti habis makan, suruh pada minum obat, terus langsung tidur!"
       Mak Iyoh mengangguk. Tatapan matanya meredup mengiringi kepergian anak dan menantunya. Ada sesak yang menggumpal di dada.
       Di luar, senja mulai turun. Lukisan alam akan berganti dengan semburat jingga yang anggun. Kehadirannya singkat saja. Ia penghujung waktu yang pantang disiakan, sebelum sang malam menutup hari.

*****

*) Cerpen ini menjadi Pemenang II Lomba Cerpen Majalah Ummi Tahun 2012

Selasa, 29 September 2015

Deja Vu

Tahu deja vu kan? Menurut wikipedia, definisinya gini : Déjà vu (pengucapan dalam bahasa Inggris: /ˈdeɪʒɑː ˈvu, pengucapan bahasa Perancis: [/deˈʒa ˈvyː/]) adalah frasa Perancis yang artinya secara harafiah adalah "pernah melihat" atau "pernah merasa". Maksudnya adalah mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami sebelumnya.

Nah, aku ngalamin yang 'pernah melihat' itu. Jadi, dulu tuh saat aku kelas satu SMP, aku inget banget pernah suka sama anak cowok. Dia anak SMP juga, tapi beda sekolah. Setiap pagi aku ketemu dia, karena melewati jalan yang sama menuju sekolah. Aku sekolah di SMPN 2, dia di SMPN 1. Sekolah kami berdekatan, ada di satu jalur yang sama, cuma terhalang 3 bangunan.

Aku nggak pernah tahu namanya siapa. Aku juga diem-diem aja, nggak bilang siapa-siapa. Yah, semacam secret admiror gitu deh.. hehe.. Lagipula bukan cinta sih kayaknya, cuma suka aja, seneng ngelihatnya. Soalnya dia manis banget menurutku saat itu.

Akhirnya aku nggak tahan juga sih. Aku cerita ke sahabat aku, dan dia bukan yang tipe ember. Nggak ada yang tahu lah aku suka sama dia.. secara dia juga beda sekolah. Lagipula aku nggak yang terlalu gimana gitu ya, cuma acap berharap agar hari lekas menjadi pagi.

Dia kayaknya setahun di atasku. Soalnya pas kelas 3 (sekarang kelas 9), aku dah nggak pernah lihat dia lagi. Pastinya dia dah masuk SMA. Trus aku..? yaah sedih lah.. tapi nggak patah hati juga. Karena ya biasalah.. anak SMP.. kemudian muncul lagi gebetan-gebetan baru. Hanya, jujur aja, rasanya sama dia, aku pertama kali kepincut sama yang namanya cowok. Waktu SD sih ada juga yang suka saling ledek si ini pacar si itu, si itu pacar si ini. Dan aku juga termasuk yang ada disebut pacaran sama si.. --- (nggak usah sebut nama ah.. ^^ ) Tapi itu kan model suka-sukaan yang dikomporin orang, terus biasa aja, biasa banget, maklum anak SD. Nah, kalo sama si anak SMPN 1 itu betul-betul aku suka dari lubuk hatiku sendiri... tsaaah...

Sejak nggak pernah ketemu dia itu, blas aku bener-bener yang nggak pernah nemu sosok dia lagi. Dia bener-bener ilang dari peredaran kehidupanku, dan rasanya terlupakan karena beraneka episode kemudian mewarnai hidupku. Sampee.. sebulan yang lalu. Hah.. ada apa dengan sebulan lalu? aku ketemu dia lagi? nggak lah... sinetron banget.

Jadi gini, tahun ajaran baru dunia persekolahan kan dimulai akhir Juli. Aku mengajar di kelas 7A sampai 7F. Pas awal-awal mengajar mah belom terlalu hafal sama wajah-wajah semuanya. Nah, lama kelamaan, aku ngerasa deja vu. Ada anak yang mirip dia yang dulu itu. Nggak mirip-mirip banget sih, mendekati gitu deh. Gaya cueknya sama. Tinggi badannya kurleb sama. Cuma dia itu dulu rasanya lebih kurus. Dulu kan dia seragamnya celana pendek, jadi kaki cekingnya kelihatan. Kalo sekarang kan sekolahku sekolah Islam, jadi anak-anak pakai seragamnya celana panjang.

Sempat tertegun sejenak lihat anak muridku itu.. hihi... sampai aku berpikir, jangan-jangan anak itu anak dia ya? Jadi pingin ngelihat dia kayak apa sekarang.. haha... pikiran konyol.. ngapain jugaa..

Terus gimana dong aku sama anak itu? biasa aja, lagi... nggak ada perlakuan istimewa buat dia. Harus adil dong, sama semua anak murid. Lagipula, udah menguap lah segala rasa centil-centil kayak gitu. Nggak ada ceritanya, pake acara terkenang-kenang.

Tapi harus diakui, deja vu itu seru. Ketika pertama kali merasakannnya, tiba-tiba serasa terlempar ke masa silam. Dan lembaran-lembaran momen manis dulu itu satu demi satu meluncur keluar dari memoriku. Cukup senyum-senyum aja sih, sekadar teringat kenangan lalu.

Aku jadi mikir, berarti orang-orang yang CLBK itu awalnya deja vu gitu juga kali ya. Cuma mereka pada baper, jadinya kebablasan. Makanya segala sesuatu itu tergantung orangnya sih. Ketika kesempatan ada, maka hati dan pikiran yang berperan. Perasaan jangan ikut-ikut deh. Bahaya. Nanti bakal ketagihan. Kangen nggak abis-abis. Hadeuh.. untung nggak, rugi iya.

                                                                                                                                                                                                                                                                    

Sabtu, 26 September 2015

Di-service Customer Service

Setiap masuk bank, pasti kita akan menemukan Mas-Mas atau Mbak-Mbak yang bertugas di Customer Service. Tugas mereka melayani para pelanggan, entah itu merespons keluhan maupun menjelaskan produk bank tersebut, atau apa pun yang berhubungan dengan kenyamanan pelanggan.

Selama ini aku nggak pernah peduli sama Customer Service. Maksudnya, selama urusanku ditangani, it's Ok. Dan yang disebut urusan adalah hal-hal yang terkait sama bank itu lah. Mereka mendengarkan lalu menjelaskan dengan baik. That's it.

Tapi, ada yang berbeda saat beberapa hari lalu aku masuk ke Bank BNI. Keperluanku cukup sepele sih, cuma mau cetak buku. Aku kan cuma berurusan dengan ATM. Ada transfer masuk, lalu aku ambil. Gitu aja. Aku bukan orang yang rajin menabung. Lha, apa yang mau ditabung? hihi.. uang yang masuk, semua terserap dengan baik, termanfaatkan seluruhnya.. ^^

Nah, cetak buku itu penting buatku. Untuk mengetahui lalu lintas keluar masuk uang. Jadi tahu setiap transfer itu sumbernya dari mana.

Di Bank BNI, cetak buku ditangani oleh Customer Service. Di bank lain kan ada yang sama teller aja. Maka hari itu aku pun mengantri di bagian customer service. Aku duduk manis sambil membaca novel. Nggak lama kemudian, nomorku dipanggil.

Proses cetak buku kan ada bagian menunggu buku tabungannya diketik-ketik gitu, ya.. sambil nunggu, aku lanjutkan membaca. Eh, tiba-tiba si Mas Customer Service-nya sambil ngetik-ngetik, dia bertanya dengan sopan. "Suka membaca ya, Mbak?"

Aku menengadah, mengalihkan pandangan dari buku ke Mas CS itu. Aku pun mengangguk sambil tersenyum. Lalu melanjutkan lagi membaca. Kukira ia cuma basa-basi sekedarnya. Nggak taunya dia ngomong lagi, "Kalau udah suka baca, di mana pun dan dalam waktu apa pun digunakan untuk baca, ya." Masih dengan sikap yang sopan dan manis.

Aku mengiyakan, sambil bilang bahwa aku penulis jadi otomatis lengket sama buku. Lalu Mas CS itu dengan tulus, tanpa basa-basi berlebihan, menanyakan tentang buku-bukuku. Ia menunjukkan perhatian dan memuji sewajarnya. Jadilah perbincangan ringan saat itu berkisar tentang buku.

Sungguh, baru kali itu aku di-service sama Customer Service dengan sikap yang hangat, bukan sekadar melayani kepentingan urusan terkait dengan lembaga yang bersangkutan. Kukira seharusnya begitulah para customer service memperlakukan pelanggannya. Bukan sekedar menaruh permen-permen mungil di mejanya, tanpa menawari kepada pelanggan. Tapi customer diperlakukan dengan keakraban yang menyenangkan, tidak hanya melulu tentang masalah yang dibawa pelanggan. Dan perlakuan itu dilakukan dengan porsi wajar serta tidak berlebihan, apalagi terkesan nyinyir dan genit.




Jumat, 28 Agustus 2015

BELAJAR PASSION DARI USTH. SUCI

Juli 2014 aku mulai menjalani profesi baru sebagai guru SMP. Sebelumnya, lebih dari sepuluh tahun aku berkutat di dunia Taman Kanak-Kanak. Pengalaman baru buatku, meski masih sama-sama di lingkaran yang sama, lingkaran sekolah. Tapi, dulu aku kepala sekolah, jaraaang banget mengajar. Dengan posisi sebagai guru, otomatis aku harus masuk kelas dan mengajar.

SMP tempat aku mengajar namanya SMPIT Adzkia, sebuah Islamic full day school. Aku harus stand by di sekolah dari pukul 07.05 sampe 15.45. Waktu kedatangan  harus tepat. Langsung dapet 'punishment' kalo telat meski 1 menit. Tapi kalo pulang lebih dari 15.45 sih nggak ada reward.. hehe..

Di sekolah ini, aku nggak sendiri sebagai guru baru. Ada beberapa teman yang barengan masuk di tahun yang sama, di antaranya Usth. Suci. Oh ya, di sekolah ini, semua guru dipanggil Ustadz dan Ustadzah. Guru TU sekalipun yang nggak mengajar, tetep dipanggil kayak gitu.

Kedekatanku dengan Usth. Suci makin rapat. Setiap pulang sekolah, kami selalu bareng. Sebenernya sih, lebih tepat, aku nebeng di motornya.. hehe.. Daan, aku juga menceritakan satu rahasia besarku sama Usth. Suci. I trust her. Dia mah bukan type ember, jadi rahasiaku aman bersamanya. Mau tau? ssttt... namanya juga rahasia.. ^_^

Usth. Suci baru pertama kali ini mengajar. Sebelumnya dia analis di sebuah perusahaan kosmetik. Dia kan lulusan sekolah analis kimia di Bogor. Nah, di sekolah ini dia didapuk menjadi guru matematika dan IPA.

Seiring berjalannya waktu, tampak Usth. Suci sering merasa nggak nyaman. Dia mengeluhkan respons anak-anak saat dia mengajar. Yah, anak-anak memang kadang nggak kooperatif. Sementara materi yang dipelajari belum dikuasai, tapi mereka malah nggak antusias. Bikin mangkel ati deh..

Usth. Suci ngerasa berbeban. Buat dia, jadi beban moral ketika mengajarkan sesuatu trus anak-anak masih aja pada nggak ngerti dan nggak bisa. Aku lihat, dia selalu menyiapkan materi dengan baik. Tapi kadang anak sulit melepaskan mindset bahwa Math is hard. Yang pinter mah asik belajar Matematika sama Usth. Suci, yang nggak bisa teuteup aja nyantai.. hadeuh..

Sampai suatu hari, aku terhenyak mendengar curhatnya. Dia mau pilih resign aja. Duh.. aku sediih bakal ditinggal sama temen terbaik di sekolah. Tapi mau gimana lagi, ya? Nggak mungkin juga aku maksa Usth. Suci buat stay di Adzkia sementara dia ngerasa nggak nyaman. Dia ngerasa mengajar bukan passionnya. Nah, di situ aku tertegun. Aku ngerasa Usth. Suci asik banget ya, bisa ngerti passionnya apa.

Dulu aku menjalani peran sebagai pengelola taman kanak-kanak, nggak mikir apa itu passion-ku atau bukan. Kesian ya.. hihi..

Aku jadi sadar, ketika sesuatu dilakoni, maka itu harus diiringi dengan pengetahuan tentang passion. Seperti Usth. Suci, kalau dilihat dari luar sih, nggak nampak berat menjalani tugasnya sebagai guru. Dia mengajar dengan baik. Tapi ternyata, passionnya bukan di situ. Aku jadi mikir, passion itu penting banget, supaya kita tetap happy.. :)

Apakah setelah itu Usth. Suci say goodbye? Ternyata nasib berkata lain. Ketika Usth. Suci bilang mau resign, Yayasan memberi semacam solusi dengan memindahkannya ke bagian lain yang membuat Usth. Suci nggak akan berinteraksi di kelas dengan anak-anak. Ia terbebas dari mengajar, tapi berkutat di Divisi Sarana dan Prasarana.

Galau lah Usth. Suci. Maksud hati mau hengkang, tapi masih dipertahankan oleh sekolah. Akhirnya Usth. Suci pun menerima tawaran menjadi staff Divisi Sarana dan Prasarana. And then.. apa yang terjadi selanjutnya? Ternyata ada hal-hal yang membuat kenyamanannya kembali terusik. Seringkali idealismenya berbenturan dengan kebijakan yayasan. Dia harus menahan diri, namun lama-lama tak kuasa juga.

Mendengar curhatnya yang kembali ingin resign, aku merasa sedih. Di satu sisi, aku nggak mau ditinggal teman terbaikku, tapi di sisi lain aku nggak mau juga dia tertekan. Aku pun menyarankan dia untuk mengajukan surat pengunduran resmi. Semata demi kebaikan dan kebahagiaannya.

Kabar terakhir kudengar, pengunduran dirinya akhirnya diterima. Bulan depan tak akan lagi Usth. Suci datang ke Adzkia. Dia sudah akan lepas statusnya dari pegawai Adzkia. Duhai, betapa pilu rasanya hati. Ada yang ruang yang kosong di dalamnya. Ketulusannya, perhatiannya, pengertiannya tak akan terganti.

Usth. Suci sudah mengajarkan satu hal penting buatku, passion. Maka kini, aku mengerti, passionku adalah mengajar dan menulis. Jadi, jangan ada lagi yang mengajak aku untuk jualan-jualan, entah itu namanya marketing, reseller, atau apa pun. Intinya tetap jualan. Produk-produk kecantikan, alat rumah tangga, obat-obat suplemen, atau apalah, bukan passionku.

Tapii.. kalau jualan buku karyaku.. teuteup sih. Kan itu mah masih berhubungan dengan passionku sebagai penulis. Ini bukan ngeles lho, penulis era abad ini, dituntut juga memasarkan karyanya. So.. ayoo beli buku karyaku.. :)

Minggu, 08 Maret 2015

Cerita Tentang Jalu

Sekolahku setiap tahun menyelenggarakan kegiatan Expo. Kegiatan itu berupa unjuk karya dan penampilan siswa. Sebagai guru baru, aku excited menyambut kegiatan ini.

Karya dan penampilan siswa harus ditampilkan oleh setiap grade. Kami, grade 7 menyepakati tampilannya adalah tari Saman untuk akhwat dan puisi berantai untuk ikhwan. Tapi itu baru 7A, 7B, dan 7C. Aku mengusulkan satu tampilan lagi dengan personil dari 7D dan 7E. Kasian dong.. masa’ mereka nggak diajak tampil. Aku keukeuh pingin menampilkan musik, dengan dibantu oleh 7C sebagai andalan pemain musiknya, yaitu Keanu dan Jalu.

Tarik ulur-tarik ulur dilakukan, akhirnya aku mengusulkan perkusi. Apalagi Usth.Widi bilang, suaminya bisa ngelatih. Deal, akhirnya tampilan perkusi dari barang bekas.

Saat pengondisian pertama, aku yang mengumpulkan anak-anak yang kupilih untuk ikut perkusi. Ada banyak anak yang aku rekrut. Ada yang antusias, ada yang nyebelin karena slanga-slenge.

Singkat cerita, ternyata pihak sekolah nggak mengizinkan pelatih dari luar. Maka aku pun terceburlah melatih perkusi. Untungnya ada Keanu dan Jalu. Taste musik mereka bagus banget. Jadi lebih memudahkanku karena banyak membantu. Keduanya bisa kuandalkan untuk bantu aku cari nada buat lagu yang akan kami tampilkan, atau cari ketukan-ketukan yang asyik buat tabuhan perkusi kami.

Keanu dan Jalu, sama-sama mungil. Mereka bener-bener a nice couple.. hihi.. Sama-sama jago main gitar juga. Keren bangeet..

Kalau Keanu lebih bisa diajak bicara karena lebih komunikatif. Jalu, lebih pendiam. Gayanya Jalu cool banget. Bikin penasaran dan bikin gemes cewek-cewek di sekolah. Dulu sih, dia sama sekali nggak ada yang tahu. Maklum, pendiam banget. Tapi apa yang terjadi saat kami, tim perkusi, tampil dalam gladi bersih Expo? OMG! Cewek-cewek menjerit histeris lihat dia. Ck.. ck.. ck.. udah kayak show musik beneran. Jalu banyak fansnya!

Gaya mukul perkusinya Jalu emang keren. Mainin sticknya juga cakep. Personil lain nggak ada yang kayak gitu. Eh, ada juga sih, sebenernya Haidar juga. Tapi Jalu lebih asyik kelihatannya.

Hadeuh... pas hari ‘h’ tiba, Jalu lagi-lagi jadi bintang. Penampilannya menyihir penonton, terutama para akhwat. Semua merangsek maju ke depan panggung. Tangan mereka semua pegang gadget merekam penampilan tim perkusi.

Aku kebanjiran pujian. “Ustadzaah.. perkusi kereeen bangeet! Apalagi Jalu... whaaa.. bikin jatuh cinta!” Dan aneka kalimat senada, yang kesemuanya pasti ada menyebut Jalu.

Para penggemar Jalu itu bukan cuma akhwat kelas 7, tapi kakak kelas 8 dan 9 juga! Jadinya anak-anak kelas 7 pada merengut, “Iih Ustadzah, ngapain sih kakak-kakak kelas pada ngefans sama Jalu juga...?” Hmm... justru kakak-kakak kelas itu yang lebih heboh.

Aku melihat fenomena ini sebagai bentuk takdir Allah yang begitu rahasia. Ketika Allah menghendaki terjadi, ya terjadi lah. Kebayang, dulu tuh Jalu yang culun, nggak ada yang kenal siapa dia. Tapi sekarang? Cuma akhwat kudet aja yang nggak tahu siapa Jalu.

Kepopuleran Jalu yang sangat melejit itu membuat personil lain di tim perkusi agak kurang nyaman sepertinya. Bisa dipahami juga sih. Penampilan perkusi itu kan penampilan tim. Yang bagus ya semuanya. Karena semua berkontribusi. Tapi reaksi penonton seolah cuma Jalu yang hebat. Ketika ada sesi nge-jam sendiri-sendiri, pas giliran Jalu yang menabuh, jeritan para akhwat membahana. Begitupun setiap Jalu melakukan aksi memainkan stick.

Untungnya Jalu memang asli pendiam. Dia sama sekali nggak nampak sombong dengan fans yang bejibun itu. Jadi sikapnya tetap biasa di hadapan teman-teman satu tim. Bahkan saat di panggung pun, setiap jeritan yang dialamatkan kepadanya, sikap Jalu tetap cool. Jadi, Alhamdulillah tidak ada friksi dalam tim. Kebayang kalau Jalu-nya belagu, pasti temen-temen satu tim jadi bete.

Aku berharap semoga Jalu tetap down to earth. Tetap cool seperti dulu. Dan buat Keanu, semoga nggak iri berkepanjangan.. :) Demikianlah roda berputar. Keanu yang juga lucu dan jago main musik, mungkin pada saatnya nanti akan punya banyak fans juga. I love both of U..
Hayoo.. yang mana Jalu, yang mana Keanu..? :)


Rabu, 18 Februari 2015

Save Ust.Felix Siauw!



Kalau ada barisan pengagum Ustadz Felix Siauw, maka aku pasti ada dalam barisan itu. Sebenernya sih ngefansnya nggak yang sampe ngikutin banget gimana sepak terjang beliau. Tapi yang jelas, aku kagum banget sama beliau. Gimana nggak kagum? Masih muda, pinter, dengan pemahaman Islamnya yang wow banget. 


Kekagumanku pada Ust. Felix hampir mirip lah sama suka-nya aku ke Ustadz Antonio Syafei, meskipun teuteup lebih besar cintaku pada ustadz yang pakar ekonomi syariah itu..  
Tapi sekarang aku lagi bukan mau ngebahas Ust. Antonio, so.. back to Ust.Felix.
Beliau itu ya, bukunya udah lumayan banyak, wuih.. tambah suka aja sama orang yang pinter dan suka nulis. Aku baru baca dua bukunya. “How to Master Your Habits” dan “Udah, Putusin Aja!”. Buku yang pertama itu kereeen abiz! Kekagumanku berlipat deh. Ust.Felix yang baru mengenal Islam saat dia kuliah, tapi udah begitu dalem pemahamannya. Resensiku untuk buku ini, ada di sini.

Buku kedua, “Udah, Putusin Aja!” bagus banget buat segmennya, yaitu para remaja dan lajangers. Nah, sebenernya buku ini nih yang membuat aku pingin nulis note ini. Belum lama aku dengar kabar bahwa buku ini akan di-filmkan. Ustadz Felix konon heran kenapa bukunya yang nonfiksi itu kok diminati buat jadi film. Dan setelah dipertimbangkan dari berbagai sisi dengan beberapa persyaratan yang diajukan Ustadz Felix, akhirnya deal disepakati buku itu akan diangkat ke layar lebar.

Alasan paling kuat yang dikemukakan Ustadz Felix tentu agar pesan buku tersebut bisa sampai lebih luas menjangkau kalangan bukan penggemar baca. Agar dakwah bisa lebih berkembang. Agar para pelaku pacaran lebih banyak yang tertonjoq. Agar angka kemaksiatan akibat perzinahan terus menurun. Pokoknya semua tujuan mulia itu masuk akal banget, kan?

Konon Ustadz Felix mengajukan syarat bahwa proses pembuatan film itu harus dikawal ketat agar tetap syar’i. Dan pihak film sudah setuju. Karena itulah makanya Ustadz Felix berani menyetujui bukunya difilmkan.

Tapi sebagai seorang pengagum, aku justru khawatir. Ustadz Felix yang selama ini konsisten, teguh, bahkan terkesan sangat keras pada penegakan nilai-nilai Islam, apakah tidak sedang digoyang? Ketegasan sikapnya itulah yang membuatku salut dan menjura pada beliau. Lalu sekarang beliau akan bersentuhan dengan dunia film? Duh, maaf ya.. menurutku, mana ada yang syar’i dari sebuah film? Dalam arti benar-benar memegang nilai-nilai Islam, semisal: hubungan mahrom. Dalam film Kang Abik aja, pemeran suami istri diperankan oleh pasangan artis yang bukan mahromnya.

Aku takut nanti niat baik Ustadz Felix akhirnya malah akan berbalik buruk untuknya. Aku khawatir banget Ustadz Felix masuk perangkap. Filmnya nanti malah mengundang kontroversi. Orang-orang mengecam, dan para haters bersorak. Bukan tujuan dan pesan mulia dari buku itu yang menjadi sorotan, tapi di luar itu, proses filmnya, artis-artisnya, jalan ceritanya, dan sebagainya. Akhirnya pesan kebaikan dan nilai syar’i yang ingin digaungkan malah tenggelam oleh hal-hal yang bersifat teknis. Belum lagi nanti artisnya setelah selesai main film itu, tetap dengan gaya hidupnya yang ngartis dan nggak menjaga aurat.. hadeuh.. mancing omongan aja deh. Seolah film itu akhirnya cuma omong kosong aja.

Menurutku, better Ustadz Felix nggak usah menyetujui tawaran itu. Kalau dakwah yang luas, kukira dakwah beliau di twitter dan fb sudah cukup menjangkau banyak kalangan. Nggak usah merambah ke dunia film segala. Jadi aku akan senang kalau ternyata rencana memfilmkan “Udah, Putusin Aja!” mengalami kegagalan.

Mungkin kekhawatiranku terlalu berlebihan. Tapi ini tersebab kecintaanku pada beliau. I love him coz Allah..