Sabtu, 26 Mei 2012

3 HATI, 2 DUNIA, 1 CINTA


Judul Film     : 3 hati, 2 dunia, 1 cinta
Sutradara      :  Benni Setiawan
Penulis skenario  :  Benni Setiawan
Pemain  :  Reza Rahadian, Laura Basuki, Arumi Bachsin, Rasyid Karim, Henidar Amroe, Robby Tumewu, Ira Wibowo, dll
Produksi  :  Mizan Production
Tahun Rilis  :  2010

Seorang pemuda muslim, seorang gadis katolik, will they live happily ever after?

Rosid adalah pemuda idealis yang punya mimpi untuk menghidupkan sastra. Ia seorang penulis lepas dan kerap tampil sebagai pembaca puisi. Kekagumannya sangat besar kepada  WS Rendra.  Dalam perjalanan hidupnya, Rosid yang berasal dari keluarga muslim taat keturunan Arab, menjalin kisah kasih dengan Delia, gadis Katolik berparas manis, seorang aktivis kampus.

Kisah cinta mereka mengalami sandungan karena beberapa perbedaan. Selain agama, latar keluarga pun berbeda. Ayah Rosid seorang pedagang pakaian di pasar dan rumah mereka tampak sederhana. Sedangkan Delia, anak seorang pengusaha kaya, tinggal di rumah mentereng lengkap dengan kolam renang yang mewah. Rosid yang hanya lulusan SMA bervespa butut, sementara Delia, anak kuliahan bermobil BMW.

Masing-masing orangtua menentang hebat, percintaan mereka. Ayah Delia, berusaha mengarahkan Delia untuk melanjutkan kuliah di Amerika, sedangkan Rosid dijodohkan dengan Nabila, seorang gadis cantik berjilbab yang lembut dan sholeha.

Apakah Delia menerima tawaran ayahnya untuk kuliah di Amerika, yang sebetulnya itu adalah cita-cita Delia sejak SMA? Lalu bagaimana dengan perjodohan Rosid dan Nabila?

Tiga hati, Dua Dunia, Satu Cinta merupakan film kisah cinta beda agama yang digabungkan dengan aneka masalah sosial lain, dengan latar perbedaan etnis dan budaya. Meski bertema berat dan serius, film ini mengalir dengan selipan komedi segar. Masalah sensitif tentang wacana pernikahan beda agama, disodorkan tanpa menggurui, tidak saklek hitam dan putih, namun mengajak penonton berpikir cerdas dalam merenungi masalah agama.

Meski berbalut kisah cinta, namun dalam film ini sama sekali tidak ada adegan kontak fisik yang menunjukkan aktivitas berpacaran. Rosid sangat kuat memegang prinsip ‘belum muhrim’ dan Delia menghormati prinsip itu. Bahkan berpegangan tangan pun tidak dilakukan.

Tidak melulu bercerita tentang cinta, film yang diadaptasi dari novel karya Ben Sohib, Da Peci Code, dan Rosid dan Delia ini, juga mengangkat masalah tradisi budaya versus ajaran agama yang tidak jarang menimbulkan konflik. Pemaksaan kehendak dari ayah kepada Rosid untuk berpeci putih, berbenturan dengan pemikiran Rosid yang terbuka dan lebih moderat. Kemudian muncul aksi radikal dari sekelompok pemuda yang mengatasnamakan Islam, terhadap kegiatan diskusi yang dilakukan Rosid dan teman-temannya, yang di-cap sebagai kegiatan aliran sesat. Adegan-adegan tersebut tampil cerdas, membuka mata dan pikiran, untuk meninggalkan segala prasangka dan mengedepankan komunikasi terbuka.

Perbedaan kontras bentuk peribadatan Rosid dan Delia, dihadirkan nyata. Delia dengan takzimnya berdoa di gereja, sementara Rosid khusyuk berdzikir di atas sajadah. Namun, ada pula yang terasa berlebihan, yaitu saat akan menyantap hidangan. Delia melipat tangan berdoa sebelum makan, lalu menyilangkan tangan di dada. Dan Rosid dengan kepala tertunduk mengangkat kedua tangannya, lalu diakhiri dengan mengusap muka. Padahal dalam kenyataannya, bila kita berdoa sebelum makan, cukup berdoa dalam hati tanpa gerakan apa-apa.

Film ini bukan film melodramatik yang menguras airmata, namun penggambaran cinta orangtua kepada anak, cukup menyentuh. Terasa mengaduk emosi dan menggugah hati. Panggilan kepada Rosid, tetap berbunyi ‘Ocid’. Dan cinta mereka, meski tak terucap, namun sungguh tergambar. Betapa cinta Ummi kepada Ocid begitu luas tak berbatas, meski kadang harus berbenturan dengan sikap hormatnya kepada Abah. Demikian pula akhir sikap Abah (ayah Rosid) kepada Rosid, menyadarkan penonton tentang bagaimana seharusnya posisi orangtua terhadap anak. Bila di awal, Abah sangat keras menolak percintaan putranya, bahkan sampai mengultimatum tidak akan mengakui anak bila kisah cinta itu dilanjutkan, namun dialog penutup terdengar luarbiasa. “Sampai kapan pun Abah tetap tidak setuju dengan percintaan kalian. Namun apa pun pilihanmu, Ocid tetap anak Abah”.

Sayangnya, ending cerita yang menarik, dirusak oleh penyajian caption yang menyajikan pemecahan instan terhadap konflik dalam cerita yang sudah demikian apik dibangun. Padahal tanpa caption itu, diharapkan penonton akan lebih dewasa menyikapi persoalan ini. Mungkin pembuat film, masih memiliki keraguan akan kedewasaan sikap penonton.

Pemilihan judul pun terasa kurang asyik. Dengan bertaburan angka, kadang membuat orang tertukar-tukar melafalkannya. Dan penggambaran judul tersebut terlalu gamblang. Tiga hati maksudnya Rosid, Delia, dan Nabilah. Dua dunia, yaitu pasangan perbedaan, antara Islam-Katolik, sederhana-kaya raya, tidak sekolah-kuliah, kolot-moderat. Satu cinta, ya cinta kepada Rosid, si kribo eksentrik bertampang keren.

Terlepas dari itu, kita patut angkat topi pada prestasi film ini yang menyandang predikat sebagai film terbaik pada FFI 2010. Diikuti dengan prestasi lain, yaitu: Sutradara Terbaik (Benni Setiawan), Aktor Terbaik (Reza Rahadian-pemeran Rosid), Aktris Terbaik (Laura Basuki-pemeran Delia), Aktor Pendukung Terbaik (Rasyid Karim-pemeran ayah Rosid), Skenario Adaptasi Terbaik (Benni Setiawan), dan Penata Artistik Terbaik (Oscar Firdaus). Memang sangat asyik menyaksikan akting Reza yang natural, serta Laura yang tampil seolah tak ada kamera di depannya. Juga Abah (ayah Rosid), yang galak namun berhati lembut.

Dengan suksesnya film ini meraup begitu banyak Piala Citra, tetap saja ada pihak yang merasa tidak puas dengan film ini. Sesuatu yang wajar, bukan? Apalagi dengan mengusung tema yang cukup kontroversial, maka tidak mungkin bisa menyenangkan semua pihak. Yang jelas, pesan dari film ini bahwa pernikahan beda agama tidak semata soal akidah, namun masalah-masalah sosial dan psikologis tidak terlepas darinya.



2 komentar:

  1. ini versi novelnya gokil bgt mba... filmnya nggk ngangkat unsur lucunya hehe

    BalasHapus
  2. Hmm saya tidak setuju review anda yang mengatakan cara Delia dan Rosid berdoa sebelum makan adalah hal yang berlebihan. Justru yang saya lihat di kehidupan sehari-hari, hal seperti itu adalah suatu kebiasaan yang wajar dilakukan.

    BalasHapus