Jumat, 25 Januari 2013

KASIHAN...

Apa yang terbersit dalam pikiranmu saat mendengar kata "kasihan"? Tentu sebuah kondisi yang menyedihkan, mengharukan, mengenaskan, dan sebangsanya, iya kan? Semisal melihat korban bencana banjir, anak-anak putus sekolah, keluarga yang terhimpit kemiskinan akut, maka secara spontan akan terbit rasa kasihan. Kasihan pada nasib malang yang menimpa orang-orang itu.

Dulu, aku melihat orang-orang malang itu dari berita di televisi atau gambar-gambar di majalah dan koran. Sangat jarang bahkan rasanya tidak pernah aku berinteraksi langsung dengan mereka. Kalaupun berteman dengan yang miskin, tapi nggak miskin-miskin banget.

Saat pertama kali mengalami banjir, aku benar-benar tercengang. Seumur hidup tidak pernah mengalami, tiba-tiba saat itu malam hari, aku pulang kerja, turun dari bis kota, aku mendapati jalan menuju rumah kostku di Jln.Dr.Susilo (kawasan Grogol) sudah terkepung banjir setinggi paha. Glek! Aku jadi teringat pada orang-orang yang sepanjang tahun mengalami banjir rutin.. duh, kasihan.. pikirku..

Lalu, saat aku tinggal di ibukota, ketika itulah aku baru benar-benar melihat dari dekat kehidupan anak-anak putus sekolah. Mereka luntang-lantung, mengemis, ngamen, nyopet, jadi kuli angkut, dan rupa-rupa aktivitas yang sebelumnya hanya kulihat dari berita televisi atau tulisan di media. Lagi-lagi aku merasa kasihan, hingga pipi membasah tak tertahankan.

Kukira, engkau pun pasti pernah mengalami merasa kasihan seperti itu. Hatimu iba melihat penderitaan orang lain. Ah, betapa naas nasib mereka. Pikirmu begitu, bukan?

Tapi, pernahkah kemudian engkau mengalami, justru engkaulah yang dikasihani orang? Mereka menatapmu penuh iba. Mereka membincangkanmu dengan penuh getir, merasa pilu dengan nasib yang kau derita..

Kini aku mengalaminya. Rasanya.. sungguh tidak enak, kawan. Entahlah, bukan berarti aku tidak bersyukur. Tapi ada sisi lain dari hatiku yang merasa tidak menerima perlakuan tersebut. Mungkin batinku menolak, yang pada dasarnya adalah menolak 'derita' yang aku alami tiba-tiba. Kukira itu manusiawi, bukan?

Tiba-tiba hidupku kekurangan secara finansial. Tiba-tiba aku harus terbiasa disumbang orang. Apakah kau pernah membayangkan suatu ketika dalam hidupmu, orang-orang memberi sumbangan kepadamu? Awalnya aku gagap. Bagaimana mungkin, orang-orang yang hidupnya sederhana, tiba-tiba memberi uang 50 ribu agar aku dan anak-anak bisa tetap makan? Atau tiba-tiba anakku sepulang sekolah membawa seporsi baso dalam plastik, karena dijajanin orang. Atau anakku yang semula mau membeli gorengan 2 potong saja, tiba-tiba ada yang membelikan sebungkus nasi uduk komplit. Dan semacam itu lah.

Orang bilang, hidup itu bak roda yang berputar. Dan kini putaran rodaku bergerak menurun ke bawah. Entah, sebatas bawah mana nantinya. Kukira itu akan sangat bergantung dari penerimaanku saat ini. Ya, putaran ke bawah ini banyak mengajariku. Betapa tak ada yang kekal di dunia ini. Hanya Allah jua-lah yang Maha Kuasa.

Lalu bagaimana penerimaanku saat ini? Aku menamainya proses penerimaan. Karena tidak serta merta aku menerima segala perubahan ini dengan sepenuhnya. Semua melalui proses. Aku belajar bersyukur. Aku belajar berbahagia dalam kesempitan.

Sungguh, segala bantuan dan dukungan, baik berupa sumbangan dana maupun dorongan semangat dan doa, semuanya amat sangat berarti. Betapa Allah menolongku melalui tangan-tangan mulia dari hati tulus teman-teman dan saudaraku. Subhanallah..

Kini, aku masih terus menata hati. Proses menuju hati ikhlas membutuhkan keteguhan niat. Menumbuhkan semangat yang senantiasa berkobar, pun butuh perjuangan. Karena hidup ini memerlukan sinergi hati, pikir, dan aksi. Bismillah.. dimana pun posisi roda berputar, Allah pasti bersama kita, selama kita meyakininya..


1 komentar:

  1. lagi-lagi cuman bisa bilang Allah sayang padamu dan anak-anak mba....pasti

    BalasHapus