Rabu, 29 Juni 2016

Tentang Tangguh

Ada rekan kerja saya, namanya Bu Irma. Pembawaannya tenang, lembut, pokoknya super kalem. Amanah kerjanya cukup besar. Tanggungjawabnya adalah QA Kurikulum. Saya sungguh kagum melihat sikapnya, meski kadang greget juga sama ketenangan sikapnya. Soalnya kalau saya mungkin dah pingin mrepet sana-sini, tapi beliau tetap cool abizz..

Bu Irma nggak tau kalau saya diam-diam adalah pengagumnya. Sampai suatu ketika saat bukber, kebetulan saya dan Bu Irma lagi 'cuti', jadi tinggal kami berdua di meja karena yang lain sedang sholat magrib. Saya bilang, "Pingin lihat deh, paniknya Bu Irma kayak gimana?" Bu Irma cuma tersenyum lalu menutup muka. Ia merasa malu karena saya memujinya.

Tak lama, datanglah Ibu owner, yang juga ternyata sedang 'cuti'. Saya tanya sama beliau, "Bu, pernah melihat Bu Irma panik, nggak?"

Bu Irma lagi-lagi tersipu lalu menutup muka. Sedang Bu owner pun tersenyum bijak lalu memandang saya. "Bu Irma ini orang hebat. Beliau selalu berusaha melakukan the best that she could. Setelah segala upaya dilakukan, ia akan berserah. Jadi baginya, tak ada alasan untuk bersikap panik."

Saya tercengang. "Saya belum nyampe ke maqom itu."

Bu Irma tersenyum. "Subhanallah, sungguh betapa maha hebatnya Allah yang telah menutup aib-aib saya, sehingga yang tampak di mata Bu Linda seolah-olah saya begitu baik. Padahal mah ..."

Bu owner menanggapi. "Bu Irma pandai menyembunyikan apa yang tengah bergejolak, sehingga semua nampak adem ayem."

Pembicaraan terhenti. Teman-teman yang selesai sholat magrib mulai berdatangan. Tak lama kemudian kami selesai bukber dan keluar dari resto menuju tempat parkir. Dalam perjalanan menuju tempat parkir itu, Bu owner menjejeri saya. "Ada wanita-wanita yang diuji demikian berat. Seperti Bu Irma. Tapi beliau mampu menerimanya dengan sabar. Maka Allah menganugerahkan ketangguhan baginya."

Saya tercenung. Bu owner melanjutkan, "Selain Bu Irma, ada juga yang lain kan?" Saya mengangguk, teringat cerita beliau tentang salah seorang rekan yang mengalami perpisahan dalam rumahtangganya.

"Demikianlah setiap orang mendapat ujian yang berbeda-beda. Bukan kita yang menentukan apakah ujian si A lebih berat dari si B, atau sebaliknya. Karena masing-masing sesuai kadar beratnya dengan kesanggupan yang sudah terukur oleh Allah, nihil salah," lanjut Bu owner. "Dan Bu Linda juga. Wanita tangguh lainnya yang saya kenal." Bu owner lalu membuka pintu mobil dan duduk di balik kemudi, siap membawa kami pulang.

Saya pun mengulang kata-kata Bu Irma.. "Subhanallah, sungguh betapa maha hebatnya Allah yang telah menutup aib-aib saya.."

sumber gambar
Semoga menjadi doa.. saya benar-benar tangguh menjalani sisa hidup ini. Mendampingi anak-anak dengan segala problematikanya. Menekuni pekerjaan dengan segudang amanah yang besar. Menjadi wanita shalihah dengan akhir yang baik...

Minggu, 26 Juni 2016

Perjalanan Cinta

       Usiaku terpaut sepuluh tahun dengan suami. Ia seorang yang berwibawa dan.. ganteng. Itu salah satu hal yang membuatku bersedia dijodohkan dengannya. Maklumlah, remaja putri seusiaku biasanya masih mengandalkan wajah rupawan untuk cowok idaman. Di penghujung masa SMA, seorang lelaki mapan dan ganteng sudah menungguku. Siapa tak bangga? Maka tak lama selepas kelulusan SMA-ku, segera aku beranjak ke pelaminan.
Gambar diambil dari sini
       Hari-hari bergulir. Aku mulai merasakan getir karena suamiku ternyata seorang yang kaku dan dingin. Sikapnya sangat komandan. Pendapat dan kehendaknya harus selalu diikuti. Otoriter sekali.
Gambar diambil dari sini
       Demikian seperti itu hingga tahun demi tahun berganti. Anak-anak mulai hadir menghangatkan keluarga. Merekalah pelipur laraku.
       Keinginanku untuk bisa bermanja-manja selayaknya seorang istri kepada suami, mulai menipis. Sudahlah, suamiku memang sepertinya tak pernah menganggap penting hal itu. Baginya, memenuhi segala kebutuhanku dan anak-anak, sudah cukup. Kadang terlintas di benak, apakah ia mencintaiku?
       Berbilang tahun kemudian, Alhamdulillah kami berkesempatan pergi umroh ke tanah suci. Saat tiba di Mekkah, kakiku yang memang kerap bermasalah, mulai beraksi. Ketika akan melaksanakan sa’i (lari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah), rasanya aku benar-benar nggak sanggup, bahkan hanya untuk sekedar berjalan sekalipun. Lalu suamiku sibuk mencarikan kursi roda. Kebetulan saat itu banyak jemaah yang menggunakan kursi roda. Sulit sekali mencari kursi roda yang kosong. Suamiku tampak kalang kabut. Akhirnya setelah berhasil mendapatkan, ia bersungguh-sungguh mendorongku dengan kursi roda. Ia menolak tawaran jasa pendorong kursi roda.
       Selanjutnya, suamiku tiada kenal lelah, dengan setia selalu mendorongku dengan kursi roda, kemana pun kami pergi.  Kebetulan pihak hotel menyediakan. Suamiku selalu tampak khawatir bila aku bilang ingin mencoba berjalan. Pada saat itulah aku merasakan tatapannya yang penuh cinta. Aku bisa merasakan cintanya yang begitu dalam. Ia sungguh menjagaku dengan segenap jiwanya.  Itu membuatku meleleh. Perjalanan ibadah agung itu pun kemudian menjadi perjalanan penuh cinta. Aku merasakan suamiku sungguh mencintaiku. Dan betapa itu sangat berarti bagiku.
       Setelah pulang kembali ke tanah air, hatiku lebih cair. Aku tidak lagi merasa kesal dengan sikap kakunya. Aku tahu, ia mencintaiku, dengan caranya sendiri.
Gambar diambil dari sini

*diangkat dari kisah seorang teman baik*