Sabtu, 26 Mei 2012

NOVEL DAN FILM, DUA RASA YANG BERBEDA

Judul Film    :  Hafalan Shalat Delisa
Sutradara     :  Sonny Gaokasak
Pemain         :  Reza Rahadian, Nirina Zubir, Chantiq Schagerl, Robby Tumewu, dll.
Awal rilis      :  22 Desember 2011
Produksi      :   Starvision

Sebuah novel best seller kerap diangkat kisahnya ke layar lebar. Pada satu sisi, banyak orang menyambut baik, namun di sisi lain, tidak sedikit pula yang menyangsikan filmnya tidak akan sebagus novelnya. Demikian pula yang terjadi pada novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye yang difilmkan dengan judul sama.

Bagi yang sudah membaca novelnya, bersiaplah untuk berdamai dengan rasa, ketika menyaksikan film “Hafalan Shalat Delisa”. Jangan berharap terlalu besar bahwa filmnya akan se-menawan novelnya. Meski bukan berarti film ini berkategori buruk. Namun tentu saja, tidak semua bagian dalam novel dapat diterjemahkan utuh dalam film berdurasi kurang lebih 2 jam ini.

Kisah dalam film diawali dengan keceriaan Delisa (Chantiq Schagerl) dan kehangatan keluarganya. Delisa gemar bermain bola bersama kawan-kawan lelakinya. Teman-teman Delisa, ada Umam, bocah gendut yang sering usil, dan Tiur, gadis kecil yang yatim. Dalam keluarganya, ada Ummi Salamah (Nirina Zubir), ibu yang sabar dan shalihah dengan cintanya melimpah ruah kepada keempat putri tercinta. Kakak-kakak Delisa, yaitu Kak Fatimah (Ghina Salsabila) yang dewasa dan penuh tanggung jawab. Juga si kembar Aisyah dan Zahra, yang berbeda karakter. Aisyah (Reska Tania Apriadi) banyak bicara dan sering protes, sedang Zahra (Riska Tania Apriadi) lebih pendiam. Dengan Aisyah, Delisa seringkali bertengkar khas anak-anak.

Delisa berusaha menghafal bacaan shalat agar dapat lulus dalam ujian praktek shalat di sekolah. Selain itu, dalam tradisi keluarga Delisa, bila lulus dalam ujian tersebut akan mendapatkan hadiah seuntai kalung. Delisa sudah memilih kalung cantik dengan liontin berinisial ‘D’ ketika diajak Ummi saat membelinya di toko milik Koh Acan. Pemilik toko emas itu sudah akrab dengan keluarga Delisa.

 Pada hari ujian shalat, Delisa khusyu’ merapalkan bacaan shalat di hadapan guru mengajinya, Ustadz Rahman. Saat itulah, tiba-tiba badai tsunami menghantam. Suasana rusuh. Orang-orang panik dan berpencaran. Namun Delisa tetap teguh pada bacaannya, lalu terombang-ambing dalam air bah yang membuncah itu.

Lhok Nga, desa tempat Delisa tinggal, hancur porak poranda. Semua musnah, rata dengan tanah. Mayat-mayat bergelimpangan dalam kondisi mengenaskan.

Delisa berhasil ditemukan oleh tim penyelamat asing. Personel tim yang pertama kali melihat Delisa, bernama Smith. Delisa lalu dibawa ke rumah sakit darurat. Saat itulah kamera televisi menangkap kejadian itu dan menyiarkannya secara live. Ketika itu, ayah Delisa (Reza Rahadian), yang bekerja di luar negeri, tengah hilir mudik mencari info tentang kemungkinan perjalanan pulang ke Lhok Nga. Abi, demikian ayah Delisa dipanggil, melewatkan tayangan film yang menampilkan gambar putri bungsunya, karena terlalu kalut menghadapi kenyataan terputusnya transportasi dan komunikasi ke Lhok Nga.

Delisa mendapat perawatan intensif, dan terpaksa kakinya harus diamputasi sebatas lutut. Seorang perawat baik bernama Shofi, telaten merawatnya. Delisa pun kemudian bersahabat dengan Smith dan Shofi.

Akhirnya Abi berhasil mencapai Lhok Nga dengan ikut bersama tim penolong. Abi tergugu memandang rumahnya yang tinggal puing-puing saja. Semua kenangan indah bersama keluarga tercintanya membuat Abi terperosok pada rasa kehilangan yang dalam. Ketiga putrinya dikabarkan meninggal. Istrinya masih belum diketahui nasibnya. Namun kepedihan Abi terobati ketika berhasil bertemu dengan Delisa.

Dimulailah babak baru Abi dan Delisa. Mereka berjuang menghadapi kenyataan pahit itu. Bencana tsunami telah merenggut segalanya, keluarga bahagia, sahabat-sahabat istimewa, desa yang menyenangkan, sekolah, meunasah, semuanya. Pada titik inilah, dengan kepolosan dan kebeningan hati yang dimilikinya, Delisa justru lebih kuat dan tabah, pun ketika berpisah dengan sahabat barunya, Smith dan Shofi. Delisa menjadi penyemangat, tidak hanya bagi Abi, tapi bagi banyak orang yang tinggal di tenda-tenda pengungsian. Delisa menebarkan senyuman dan keceriaan.

Film ini mengajak kita untuk memahami sebuah makna kehilangan. Kadang, kehilangan sesuatu dapat membuat kita jatuh terpuruk. Namun lihatlah Delisa, dengan begitu banyak kehilangan yang dialaminya (termasuk sebelah kakinya), ia memperlihatkan percikan semangat bahwa hidup terus berjalan, waktu terus berputar, dan kita harus tetap menjalaninya dengan tegar.

Kepiawaian akting pemain, membuat film ini menarik ditonton. Abi, dengan aneka perasaan berkecamuk, konflik emosi yang tinggi, kekuatan ekspresi, berhasil diperankan dengan baik oleh Reza Rahadian. Demikian juga, Chantiq yang ciamik memerankan Delisa nan polos dan tulus.

Meski lokasi film yang bersetting Aceh ini bukan diambil di tanah rencong, tapi irama musik khas Aceh yang mengiringi adegan-adegan dalam film, cukup membuat film ini beraroma Aceh. Lokasi film ini yaitu di daerah Ujung Genteng, Sukabumi.

Gambaran tsunami yang ganas cukup mewakili dahsyatnya peristiwa 26 Desember tujuh tahun silam. Sayangnya, durasi bencana tersebut singkat saja, tidak memperlihatkan betapa hantaman air itu meluluhlantakkan lokasi selain sekolah. Tapi, hal ini disiasati dengan pemandangan desa Lhok Nga pasca tsunami, yang menampilkan beberapa korban berserakan dalam kondisi menyedihkan.

Bagi penonton yang belum membaca novelnya, tentu cukup puas menyaksikan film yang menyentuh ini.  Tapi tidak bisa dipungkiri, bagi yang sudah lebih dulu jatuh cinta dengan novelnya, akan mendapati sejumlah kekecewaan. Bagian-bagian dalam novel tidak hadir dalam film. Tidak ada Ummi yang sibuk menjahit, sedikit sekali peran Ibu Guru Nur, hilangnya Kak Ubai, bahkan tiba-tiba Ustadz Rahman cukup mendominasi. Pun parahnya luka yang dialami Delisa, berbeda dengan kisah dalam novel. Rambut Delisa tidak dicukur habis akibat banyaknya luka di kepala. Sedikit pula lebam dan parut memanjang di bagian wajah.

Jika dalam novel, nilai-nilai Islami sangat kental, maka dalam film ada bagian-bagian yang dikurangi. Konflik saat Delisa kesulitan menghafal kembali bacaan shalat pasca musibah, tidak tampak. Suster Shofi tidak digambarkan sebagai perawat muslimah yang berkerudung. Dan tidak ada adegan prajurit Smith menjadi muallaf, lalu berganti nama menjadi prajurit Salam. Namun kalimat “Delisa cinta Ummi/Abi  karena Allah” cukup menjadi kekuatan film ini.

Terlepas dari deretan bagian dalam novel yang tidak tervisualisasikan, film ini tetap layak direkomendasikan sebagai film keluarga yang mendidik. Seperti harapan sang penulis novel agar pesan moral dalam kisah ini bisa sampai ke lebih banyak orang, bahkan yang tidak suka membaca sekalipun. Semoga hikmah melimpah dari film ini membawa kebaikan.  Tidak hanya mampu menguras airmata, namun memberi pencerahan kepada penonton.

Tak ada gading yang tak retak, bukan? Keindahan kata-kata yang dijalin Tere Liye dalam untaian kisah memukau “Hafalan Shalat Delisa” boleh jadi sulit untuk diterjemahkan utuh dalam bentuk film. Bukan hal yang mudah mewujudkan kekuatan kata-kata yang bertenaga dalam sebuah karya visual. Karena novel dan film, adalah dua rasa yang berbeda.



1 komentar:

  1. kenapa ya mbak hampir semua novel kalo diangkat jadi film hasilnya kurang memuaskan? Ga sesuai ekspektasi gitu...
    Sebagai orang Aceh dan penggemarn Tere Liye sebel juga liat sinetronnya ga oke :( review mbak Linda malah lebih oke hehehe...

    BalasHapus