Selasa, 25 Maret 2014

Memaknai Kekalahan



Dalam rentang perjalanan hidup yang demikian panjang ini, pastilah ada fase saat kita mengalami kekalahan. Nggak ada dong yang bilang, “Kita?”, karena saya yakin semua pasti mengalami lah yang namanya ‘kalah’. Kalah dalam konteks apa pun ya, entah itu suatu perlombaan resmi, maupun bentuk-bentuk persaingan lain dalam pergaulan sehari-hari. Ada yang yang kalah taruhan, ada yang kalah dalam ranking di kelas, ada yang kalah dalam rebutan pacar (hiii.. yang ini bukan gue banget dah!), ada lagi yang kalah dalam bisnis, dan rupa-rupa kekalahan lain.

Keragaman kekalahan ini, berbanding lurus dengan reaksi seseorang dalam menyikapi kekalahan tersebut. Artinya, reaksi ini juga beraneka. Ada yang kesel, ada yang kesel banget, ada yang marah-marah, mungkin ada juga yang biasa-biasa saja, atau boleh jadi ada yang sampai bunuh diri segala..na’udzubillah..

Kalimat yang terdengar klise yang mengiringi sebuah kekalahan, biasanya: Kalah menang itu biasa, Kekalahan adalah sukses yang tertunda, Orang yang kalah dan mampu menerima kekalahan sesungguhnya ia-lah orang yang menang, dan macam-macam kata bijak lainnya (cari aja di Google deh, saya nggak sempet.. :D)

Berapa kali ya, saya mengalami kalah? Wah, nggak pernah ngitung deh! Tapi dari sekian banyak kekalahan itu, pasti ada yang masih terkenang-kenang ya.. terkenang-kenang pedihnya.. uhuk!
Memang betul, kekalahan bukan untuk diingat sedihnya aja, apalagi sampai diratapi.. jangan banget itu mah. Ya buat apa lah? Untung nggak, rugi iya. Toh nggak akan kemenangan tiba-tiba jadi beralih.

Jadi, kalau sudah kalah, langkah yang tepat adalah introspeksi. Meskipun kalau ada kesel-kesel, sedikit nyesek, masih wajar dong, namanya juga manusia kan punya perasaan. Kalau pinjam istilah motivator kondang, Pak Jamil Azzaini, yang penting menggerakkan epos alias energi positif. Jangan sampai jadi mutung nanti malah timbulnya eneg alias energi negatif. Lagian kalau eneg nanti bisa muntah.. huek!

Nah, masalahnya bukan pekerjaan gampang untuk bisa menerima kekalahan dengan ikhlas hingga memunculkan epos tadi. Namun bukan berarti juga itu adalah pekerjaan sulit yang tidak mungkin dilakukan. Kalau kita bersungguh-sungguh, apa sih yang nggak bisa? Jadi kuatkan niat dulu.

Contoh nih ya.. kekalahan yang masih segar dalam ingatan adalah kekalahan telak saya dalam Lomba Resensi Indiva beberapa waktu lewat. Sejujurnya, karena memang saya ngarep waktu itu, ketika jreng! baca pengumuman, nama saya tidak ada, hmm.. nelongso deh rasanya.. haha.. Bisa dimaklumi dong.. saya kirim lima resensi.. coba bayangkan sidara-sodari.. lima! Dan tidak ada satu pun yang lolos. Gile deh.. ternyataa.. gue cemen bikin resensi! Sementara selama ini, teman-teman terus saja menyematkan diri saya sebagai peresensi yang boleh dibilang wokeh lah.. ehm!

Kebayang kan, bagaimana berkeping-kepingnya hati saya? Hahaha.. Walaupun waktu itu sih, saya tutup-tutupi di hadapan khalayak ramai, seolah-olah no problemo. Dan masih nggak sedih-sedih amat karena ada 2 orang teman yang senasib.. hihi.. sebut namanya, jangan yaa..? nggak usah deh! :D

Tapi yaa.. demikianlah hidup. Layaknya sebuah perlombaan. Adakalanya berjalan sesuai harapan , dan sebaliknya bisa saja bergerak di luar dugaan. Semua berkontribusi dalam proses pendewasaan.

Dalam kasus kekalahan saya di Indiva, tentu saya dituntut berpikir dewasa, artinya bukan lantas seperti anak kecil yang ngambek tidak mau lagi menulis resensi. Meski saat itu saya memberi kesempatan pada diri saya untuk menjeda (Tuti, pinjam judul novelmu ya? :D)

Yang tidak bisa dihindari saat menerima kekalahan adalah rupa-rupa bentuk kotornya hati. Bisa berbentuk suudz dzhan, bisa juga takabur. Berprasangka bahwa juri atau panitia yang tidak fair, atau melintas sebuah kesangsian yang arogan, “Kok punya si itu menang sih, padahal bagusan juga punya aku.”  Astaghfirullah.

Penerimaan mutlak adalah bentuk keikhlasan yang harus dimiliki saat menghadapi kenyataan berupa kekalahan. Saya juga tidak paham seberapa dalam ikhlas yang sudah saya coba terapkan. Saya hanya berusaha berlapang dada dan melakukan koreksi diri. And.. here I am.. masih tetap setia meresensi, terutama buku-buku Mizan, karena senang rasanya, kalau dapat surat dari Mizan, di bawah nama saya diberi keterangan: Peresensi Mizan.. :)

Sabtu, 22 Maret 2014

Bahasa Ibu

Selazimnya, orang Sunda tentu bahasa ibunya adalah bahasa Sunda. Tapi seiring waktu, ada pergeseran kelaziman itu. Orang-orang Sunda tidak lagi menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Mereka lebih suka berbahasa Indonesia ketimbang bahasa Sunda. Saya tidak tahu, apakah di daerah lain pun demikian. Orang-orang Jawa, misalnya, apakah generasi jaman kini masih juga berbahasa Jawa?

Saya lahir dan besar di sebuah kota kecil di Jawa Barat. Bapak saya sangat Sunda, dan membiasakan kami berbahasa Sunda dengan halus. Saya pun terbentuk dalam kehalusan bahasa tersebut. Maka ketika mendengar ada orang yang berbahasa Sunda kasar, saya merasa sangat risih. Saya pun terbiasa menggunakan tingkatan-tingkatan bahasa Sunda dengan benar. Kata-kata bahasa Sunda klasik yang kuno pun saya paham.

Selepas SMA, saya kuliah di Bandung. Tapi ternyata kesundaan saya mulai terkikis. Meski Bandung adalah ibukota Jawa Barat yang notabene bahasa pergaulannya adalah bahasa Sunda, namun kenyataannya dalam keseharian saya selama di Bandung, justru bahasa Sunda saya teronggok tak berdaya. Saya lebih banyak berbahasa Indonesia. Ini tersebab teman-teman kuliah seangkatan saya di Jurusan Sastra Jepang, hampir 90% anak Jakarta. Kalaupun berbahasa Sunda, ya gitu deh.. alakadarnya.

Lulus kuliah, saya mengadu nasib di Jakarta. Semakin membentang jarak saya dengan bahasa Sunda. Ini dalam arti berkomunikasi, sementara kosa kata, undak usuk basa, dan sebagainya masih tersimpan rapi dalam memori saya.

Menginjak masa emak-emak, saya tinggal di Bogor. Lagi-lagi meskipun masih berada di tanah Sunda, interaksi berbahasa Sunda sangat minim. Saya berada di kawasan agak luar dari Bogor. Di sana, bahasa Sunda sudah terkontaminasi dengan bahasa Betawi yang ala Mandra. Sementara itu, tempat tinggal saya berlokasi di komplek perumahan yang boleh dibilang warganya didominasi oleh masyarakat pendatang yang berasal dari berbagai daerah di tanah air. Bahasa sehari-hari yang digunakan tentu saja adalah bahasa pemersatu, yaitu bahasa Indonesia.

Demikian yang terjadi, sehingga lidah anak-anak saya tidak terbiasa melafalkan bahasa Sunda. Tapi di dalam rumah, saya kerap menggunakan bahasa Sunda, agar telinga anak-anak terbiasa mendengar kata-kata dalam bahasa Sunda. Jadi anak-anak saya, saeutik-saeutik mah ngartos bahasa Sunda.

Meski saya tetap menguasai bahasa Sunda dengan baik, namun memang ketika menyampaikan sesuatu yang cukup panjang, atau menanggapi sesuatu, tidak jarang secara refleks saya menggunakan bahasa Indonesia. Duh, kenapa jadi kagok ya, bicara bahasa Sunda panjang-panjang? Kecuali bila berada dalam forum atau lingkungan yang sejak awal pertemuan sudah menggunakan bahasa Sunda.

Sekarang saya tidak lagi tinggal di Bogor. Di sini dominasi bahasa Sunda masih sangat kuat dibanding ketika saya tinggal di Bogor dulu. Dan.. saya pun harus belajar membiasakan diri kembali berbahasa Sunda dalam forum atau suasana yang banyak dihadiri oleh orang-orang Sunda. Kalau percakapan sehari-hari dengan rekan kerja sih, berbahasa Sunda, karena bahasa Sundanya pun yang bahasa pergaulan biasa.

Saya baru sadar ketika belum lama diminta menjadi pembawa acara pada acara tasyakuran khitanan. Dengan tanpa dosa saya cuap-cuap menggunakan bahasa Indonesia. Lalu tiba acara pembacaan doa/hadiah untuk almarhum almarhumah para orangtua dan leluhur, sang pemimpin doa langsung berbahasa Sunda. Sejujurnya saya terkesiap, benar-benar baru sadar, kalau dari tadi saya melakukan 'kesalahan' dengan tidak menyapa pemirsa dalam bahasa Sunda. Dan ini bukan yang pertama. Sebelumnya pada acara tasyakuran milad seorang anak, saya pun mengawal acara dalam bahasa Indonesia full.

Hadeuh.. tepok jidat deh.. sekarang harus belajar ngemsi pake bahasa Sunda.. :)


Mimpiku Sumbu-ku



Keempat anakku meraih sukses, adalah mimpiku. Aku harus memancangkan mimpi ini kuat-kuat demi menjaga semangat agar tetap menyala. Betapa tidak? Kini aku membesarkan mereka seorang diri, dalam kondisi terjepit.  Ada saat aku terkulai lelah karena harus pontang panting mengusahakan agar kami bisa makan dan ada ongkos untuk beraktivitas. Aku harus semangat, semangat menulis, semangat mengajar, semangat mengumpulkan rupiah. Anak-anakku harus tetap sekolah, setinggi mungkin, di sekolah yang baik. Masalah finansial aku serahkan kepada Allah, karena pengalaman membuktikan bahwa matematikaNya beda. Yang penting aku gigih berjuang di jalan yang halal. Aku harus menularkan semangat dan mimpi kepada anak-anak, agar mereka pun semangat giat belajar dan menoreh prestasi dengan tetap menjaga hati. Mari anak-anakku sayang, kita sama-sama mengejar mimpi, demi kehidupan yang lebih baik, dalam naungan ridho-Nya.


Pingin punya novel ini karena ..........
 .... aku ingin memperkaya pengetahuan tentang novel yang bagus, supaya kelak bisa menulis novel dengan baik. Aku percaya banget sama Indiva, nggak akan menerbitkan karya yang biasa-biasa. Novel-novelnya pasti punya nilai plus. Dan aku tahu, tulisan Mell sebelum ini memang bagus, tapi bersama Indiva, pasti karya Mell kali ini lebih cetar. Aku harus membacanya! Aku ingin jadi novelis yang keren juga.. :)


#Tulisan ini diikutsertakan dalam Quiz GA Novel The Dream in Taipei City

Jumat, 21 Maret 2014

Hidup Adalah Pilihan

Sudah sangat sering ya, mendengar kalimat itu, bahwa hidup adalah pilihan. Ada satu lagi kalimat yang saya suka, hidup adalah seni memilih. Intinya sih, dalam hidup ini kita dihadapkan pada beragam pilihan, dan ketika kita menentukan pilihan tersebut akan ada konsekuensi yang mengikuti.

Ini cerita tentang hari ini. Sepulang kerja, seperti biasa saya lewat apotek. Dari beberapa hari lalu, saya berniat membeli madu, tapi ragu-ragu terus mengingat harga madu tergolong mahal untuk kondisi saat ini. Ketika apotek itu sudah nyaris terlewati, saya memutar badan, bergerak menuju apotek. Beli aja deh, ini untuk kepentingan anak-anak demi menjaga kesehatan, pikir saya.

Saat saya masuk apotek, terlihat beberapa orang staf apotek berada di ruang obat-obat yang terlihat dari jendela kecil yang terbuka yang bisa dilihat siapa pun yang berada di ruang display obat. Saya melongok-longok, berusaha menarik perhatian ibu-ibu dan mbak-mbak sekalian yang ada di ruang obat. Saya mengetuk-ngetuk meja sambil mengucap salam. Tapi tak ada yang bereaksi.

Saya berpikir mau sms apotekernya aja deh. Dia teman yang masih terbilang famili. Namanya Vivi. saya mau komplen kalau saya dicuekin di apoteknya. Lalu tiba-tiba dari arah samping, datanglah seseorang, yang ternyata.. Vivi. Lho, bukannya jadwal kunjungan dia ke apotek itu setiap Senin? Ini kan Jumat.

"Lagi kepingin aja, dateng," ucap Vivi, sambil tersenyum.

Ketika saya tanya kabar adiknya, ternyata masih belum berubah. She still single. Lalu Vivi bilang, menikah dan tidak menikah itu kan pilihan, ya. Saya mengiyakan. Kondisi jaman sudah berubah, entah ini sebuah kemajuan atau apa namanya, tapi sekarang perempuan memang menempatkan 'tidak menikah' sebagai sebuah pilihan. Jaman dulu, tentu saja tidak terpikir, karena semua perempuan harus menikah. Tak apa, menjadi istri kesekian.

Awalnya semua adalah pilihan. Apakah mau menikah atau tidak, apakah mau menikah dengan si A, si B, si C, dst. Setelah pilihan itu ditetapkan, barulah takdir berbicara. Seperti buku anak-anak di masa kecil saya, yang bertajuk PSP alias Pilih Sendiri Petualanganmu. Misal: dalam sebuah cerita, diceritakan si tokoh menjumpai sebuah gua, maka pembaca dipersilakan memilih, apakah mau masuk ke dalam gua atau mau melewati gua. Bila mau masuk ke dalam gua, buka halaman sekian. Sebaliknya, bila mau melewati gua, sila ditelusuri halaman sekian. Pada masing-masing halaman yang disebutkan itu, membentanglah petualangan yang berbeda, sesuai pilihan.

Saya menganalogikan, seperti itu juga kita dalam menjalani hidup. Ketika konflik menghampiri, bukan serta merta kita ditakdirkan akan bernasib A atau B. Tapi ada pilihan-pilihan yang kesemuanya harus dipikirkan dengan cermat. Karena itulah ada yang namanya sholat istikhoroh. Kita mohon bantuan Allah untuk menetapkan pilihan. Kita berserah kepadaNya dan berharap kebaikan dari apa yang akan kita pilih. Kalau memang nasib sudah ditentukan semua oleh Allah, untuk apa juga ada sholat istikhoroh, ada doa-doa, ada petunjuk Al-Quran, bahkan ada Rasul penerang jalan.

Demikian pun langkah yang saya pilih sekarang. Allah memberi jalan perpisahan ini. Saya-lah yang menetapkan pilihan apakah akan kembali atau tetap menjalani hidup sendiri-sendiri. Dalam prosesnya, entah kenapa, saya dipertemukan dengan beberapa orang yang mengalami hal yang sama. Seolah Allah ingin menguatkan jalan yang telah saya pilih. Kami, para perempuan, adakalanya harus tegar melangkah sendiri, mengepak dengan satu sayap.

Selanjutnya berserah kepada Allah. Satu yang pasti, saya tidak boleh sombong, bahwa saya bisa menjalani ini sendiri. Ada Allah, Sang Pengatur segala. Sayaa 'hanya' harus terus berusaha untuk berbuat kebaikan, karena kebaikan itu akan kembali kepada kita berupa kebaikan juga.

Semoga kita semua cerdas menghadapi pilihan, dan selalu melibatkan Allah di dalamnya.









Jumat, 14 Maret 2014

Makan Hati Berulam Rasa

Sebetulnya arti peribahasa itu kurang tepat untuk cerita yang mau aku tulis. Menderita karena orang yang kita sayang, dimaksudkan untuk seorang istri yang diperlakukan dengan tidak patut oleh suaminya. Sementara yang mau aku ceritakan adalah merasa gundah akibat perilaku anak. Tidak apa-apa lah ya.. toh orang yang disayang itu bisa suami, bisa juga anak.

Aku masih terkenang-kenang sama ucapan Bunda Rani Razak ketika aku mengikuti pelatihan bersamanya, bahwa jangan sampai perbuatan anak membuat kita susah. Duh.. duh.. mana lah bisaa.. aku rasanya sudah patah arang.. nyaris hopeless. Anakku yang nomor dua ituu.. mengapa sepertinya menutup hati untuk menerima kebaikan.

Setiap mencoba berkomunikasi, dipastikan akan berujung dengan pertengkaran. Sikapnya yang keras, sulit diberi nasehat, ngeyel, benar-benar menggoyahkan kesabaran. Emosiku tersulut, beradu kata, hingga tak jarang berakhir dengan air mata berderai-derai.

Semakin terpuruk rasanya dengan mengingat bahwa cobaan tak hanya dari si anak kedua. Hal-hal lain yang malas aku sebutkan sekarang (mungkin nanti aku ceritakan tersendiri) terasa semakin memberati pundak. Hingga terbetik sebuah kalimat di benak.  Mungkin Tuhan akan memberikan penghiburan kepadaku, lewat... kematian.

Kukira, kematian bisa menjadi penghiburan, bukan? Bila hidup demikian berat, maka dipanggilNya akan menjadi hal yang menyenangkan. Tapi... bagaimana dengan si kecilku? sulungku? putri cantikku? hahaha.. masih enggan mati rupanya.. :P

Lalu tiba-tiba kabar duka menghampiri. Seorang sepupu berpulang untuk selamanya. Aku menyempatkan untuk bertakziah meski tempatnya jaauuh, yang awalnya membuatku ragu untuk berangkat. Tapi begitulah Allah berkehendak. Jauh kutempuh, ternyata di sana aku berjumpa dengan sepupuku yang lain, yang tak lain adalah teman kecilku. Berbilang tahun kami tak bertukar kabar. Ia segera menikah selepas SMA, sedang aku melanjutkan kuliah di kota kembang. Maka mengalirlah cerita sepupuku tentang putra-putrinya.

Anak sulung sudah kuliah, menekuni dunia otomotif. Sudah direncanakan nanti akan membuka bengkel bila lulus kuliah. Si bungsu, satu-satunya perempuan, kelas 6 SD, cantik dan berprestasi baik. Daan.. anak kedua.. sungguh membuatku menahan napas. Bukan hanya sering bolos dan mendapat peringatan dari sekolah seperti anakku, tapi dia berulang kali betul-betul dikeluarkan dari sekolah. Ganti-ganti sekolah.

Bila aku membawa anakku ke beberapa psikolog  dengan metode pendekatan yang berbeda-beda, demikian pun sepupuku. Bahkan dia mengunjungi juga orang-orang pinter dan ajengan-ajengan demi harapan berubahnya perangai si buah hati.

Bila anakku bolos sekolah karena tergila-gila pada game Lost Saga, anak sepupuku itu melanglang buana ke berbagai kota. Berhari-hari tak ada kabar entah di mana keberadaannya. Ketika pulang lalu dihujani ceramah oleh sepupuku a.k.a Mamanya, dia hanya diam. Tidak membantah, tidak pula melawan.

Riwayat tawuran berderet panjangnya. Pasukannya entah anak-anak dari sekolah mana, entah mungkin juga anak-anak putus sekolah. Musuh pun tidak jelas orang-orang dari mana. Bergerombol-gerombol.

"Anakmu geng motor?" selorohku.

Daan.. OMG! pertanyaan berseloroh itu dijawab dengan anggukan dan.. "Iya, anakku wakil ketua Moon Raker."

Aku tercekat. Moon Raker? Aku tidak tahu satu pun nama geng motor. Lalu, wakil ketua? Jadi anak sepupuku adalah petinggi geng motor. Tiba-tiba kepalaku pening.

"Kemarin anakku baru aja tawuran. Dia kena 9 bacokan. Ini fotonya," lanjut sepupuku sambil menyodorkan foto di BB-nya.

Aku bergidik. Lidahku kelu. Foto anak sepupuku dengan 9 bacokan di kepalanya, membuat pandanganku berkunang-kunang.

Ya Allah.. begini rupanya Engkau memberitahuku. Betapa orang lain jauuh lebih menderita dari aku. Betapa kesabaranku masih jaaauuh di bawah kesabaran sepupuku. Betapa keyakinanku masih begitu lemahnya dibanding sepupuku.

"Aku yakin, suatu hari nanti anakku akan berubah. Nggak mungkin dia akan begitu terus. Setelah segala usaha yang aku lakukan. Aku masih menyimpan harapan, kelak dia akan jadi anak yang membanggakan," ucap sepupuku, diiringi segurat senyum.

Tetiba ada yang berdenyar di pelupuk mataku...