Senin, 12 Juli 2021

Menjadi Single Parent bagi Anak yang Sudah Besar Itu Lebih Mudah, Benarkah?

 

“Untung ya, anak-anaknya sudah besar. Kalau masih kecil-kecil kan repot. Nggak kebayang deh, ribetnya ngurus krucil, sendirian.”

Kalimat seperti itu kerap dilemparkan kepada ibu tunggal yang anak-anaknya sudah melewati masa kanak-kanak. Seakan kondisi anak yang lebih besar membuat ibu tunggal posisinya lebih mudah. Benarkah demikian?

Iya lebih mudah, karena …

1.     1. Tingkat kemandirian anak yang sudah besar, lebih baik

Kita tahu bersama, anak-anak kecil apalagi balita, butuh bantuan dan pengawasan ekstra. Makan masih harus disuapi, mandi harus dimandikan, bahkan mainan bekas mainnya pun seringkali harus dibantu untuk dirapikan. Belum lagi kalau main lupa waktu, kita harus menyusulnya ke rumah temannya. Lain halnya bila anak sudah besar. Biasanya mereka sudah lebih mengerti, lebih bisa dikasih tahu. Hal ini karena tingkat kemandirian yang lebih baik, sehingga anak yang sudah besar relatif lebih terkendali.

2.  2. Penguasaan emosi yang lebih terkontrol

Anak-anak kecil yang keinginannya tak terpenuhi atau berada dalam kondisi yang tidak nyaman, mudah saja mengekspresikan emosi, bahkan di depan umum. Bisa menangis kencang, berteriak-teriak, memukul-mukul, hingga meraung-raung sambil menggelosor di lantai. Pada anak yang lebih besar hal tersebut tidak lagi terjadi, karena mereka lebih bisa mengontrol emosi, dan memiliki rasa malu sehingga tidak menunjukkan sikap mengamuk.

3.    3. Bisa diandalkan untuk membantu pekerjaan rumah

Anak-anak yang sudah besar biasanya cakap melakukan pekerjaan rumah ringan, seperti mencuci piring, menyapu, mengepel, hingga memasak sederhana. Maka sang ibu akan sangat terbantu karena pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa didelegasikan kepada anak-anak untuk mengerjakannya. Kalau anak-anak yang kecil memberantaki rumah, maka sebaliknya, anak yang agak besar merapikan. Ini membuat Ibu bisa menarik napas lega.


Nggak gitu ah, karena …

           1.       Masalah yang dialami anak yang sudah besar, lebih kompleks

Sewaktu anak masih kecil, Ibu disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang cenderung menguras tenaga, dalam membersamai anak. Maka lelah yang timbul adalah lelah fisik. Sedangkan anak yang lebih besar, lebih banyak menimbulkan lelah hati bagi Ibu. Masalah seputar anak remaja dan menjelang dewasa menyedot pikiran dan emosi. Menenangkan anak remaja tidak cukup dengan iming-iming permen atau es krim. Butuh tarik ulur perasaan. Alih-alih mengademkan masalah, yang terjadi malah tersulut emosi. Sehingga masalah bertambah runyam. 

2.       Kemampuan mengungkapkan pendapat lebih besar

Bila anak-anak kecil mudah dibujuk dengan kata-kata, maka anak yang lebih besar justru pandai menggunakan kata-kata untuk memprotes atau menyuarakan pendapat. Ibaratnya, Ibu baru saja mengucap sepatah kata, tetapi anak sudah membalas dengan sebaris kalimat. Sungguh ini bisa memancing emosi.

Selain itu, mereka pun butuh penjelasan lebih banyak apabila dilarang atau disuruh sesuatu. Yang terkadang justru Ibu berpikir bahwa seharusnya si anak sudah tahu, karena mereka sudah besar. Alhasil, anak menuntut penjelasan sementara Ibu menuntut pengertian. Akhirnya teperciklah konflik. 

3.       Lebih mendengar orang lain daripada Ibu

Anak-anak yang sudah besar memiliki lingkaran pertemanan lebih kuat. Mereka saling melindungi dan memercayai antarteman. Tidak jarang nasihat Ibu dianggap angin lalu, sedangkan kata-kata teman sangat diperhatikan dan merasuk kalbu.

Apalagi bila anak sudah memiliki pacar. Seperti pengalaman seorang Ibu yang terluka hatinya ketika si anak mengatakan bahwa ia bangun pagi karena ditelpon sang pacar. Padahal dari sebelumnya, Ibu sudah berulang kali memanggil dan mengetuk pintu kamar agar anaknya bangun. Namun ternyata, si anak bangun bukan oleh upaya Ibu yang gigih membangunkan anaknya, melainkan suara pacar yang membangunkan via telpon.

 

Lalu bagaimanakah kiat Ibu tunggal menghadapi dinamika seputar pola asuh dan pola didik anak, ketika anak-anak sudah melampaui masa kanak-kanak? 

Berikut 3 tips yang bisa diterapkan yang dapat menjadi solusi.

Pertama, perkaya wawasan dengan ilmu parenting. Materi-materi ilmu parenting yang informatif bisa didapat melalui web yang memberi porsi pada masalah seputar dunia keluarga. Dengan pendalaman ilmu parenting, akan membuat pikiran lebih terbuka dan mampu memahami masalah yang membelit. Sehingga kemudian dapat dicari jalan keluar yang realistis dan relatif mudah ditempuh. 

Dengan pengayaan ilmu parenting, akan lebih mengarahkan pada upaya solutif dan bukan sekadar mengeluh atas masalah yang dihadapi. Pembahasan dan pemaparan dari para ahli, tentu akan lebih membukakan mata tentang beragam konflik dan intrik yang mungkin terjadi dalam dunia anak serta remaja.

Khusus pada masalah single parent, biasanya ada pembahasan tersendiri. Tips dan kiat ditawarkan sebagai alternatif pemecahan masalah. Misalnya, bagaimana menghadapi stress sebagai Ibu singleparent, cara mengatasi tantangan mengasuh anak bagi single parent, dan lainnya. 

Kedua, menjalankan relaksasi saat kepusingan melanda. Ketika masalah anak bertubi-tubi yang rasanya bikin kepala mau pecah, maka segera lakukan relaksasi agar pikiran dan perasaan lebih tenang dan terkendali. Bisa dengan terapi napas, olahraga ringan, memandang langit, atau hal lain yang membuat pikiran rileks dan hati bahagia. Karena sebagai single parent yang tidak memiliki bahu untuk bersandar, maka praktik relaksasi yang disebutkan di atas, akan sangat membantu.

Terakhir, mendekatlah kepada Tuhan. Senantiasa memohon petunjuk dan bimbinganNya. Tuhan tidak mungkin salah memilih seseorang untuk menjalani hidup sebagai ibu tunggal, maka bergantung kepadaNya adalah pilihan yang harus ditempuh. Kita harus yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah membuat hambaNya sengsara dan menderita. Maka masalah yang menimpa, pasti sudah dibarengi dengan solusinya. Hanya saja terkadang kita yang belum dapat menemukan solusi tersebut. Atas petunjukNya, niscaya jalan menuju solusi akan terbuka.

Kesimpulannya, setiap kondisi pasti ada konsekuensi yang mengiringi. Entah itu anak-anak masih serupa rombongan krucil, maupun yang sudah beranjak remaja bahkan dewasa, tidak ada yang disebut lebih sulit atau lebih mudah. Jadi mulai sekarang berhentilah melontarkan pernyataan seperti yang tertera di awal tulisan ini. Kita harus bisa menimbang sesuatu sesuai dengan takarannya.

Akhirnya, mari kita senantiasa menerima dan bahagia dengan kondisi yang ada. Kurangi mengeluh dan kedepankan sikap solutif.

Be a happy Mom! 😊  




Senin, 19 Oktober 2020

Menumpah Amarah kepada Ibu *)

Suatu hari, boleh jadi kau kesal kepada ibumu, merasa tindakannya membuatmu susah. Maka ingatlah, betapa dulu semasa kecil, kau membuatnya jauh lebih lebih susah. Kau sungguh merepotkannya. Tapi ibumu tetap mengurusimu sepenuh kasih dan sayangnya. 

Mungkin kau lantas berkelit, "Siapa pula yang minta dilahirkan? Aku nggak minta menjadi anaknya sehingga harus merepotinya?"

Hey, anak muda.. Kau kira ibumu juga memesan minta kau menjadi anaknya? Tentu kalau bisa memilih, ibumu akan minta anak yang santun, bukan semacam kau yang leluasa bicara tanpa tata krama. 

Hentikan sikap pongahmu. Hingga di ujung waktu, ibumu takkan berkurang cinta dan sayangnya, meski hatinya berdarah-darah tersebab luka oleh perkataanmu. 

Cukuplah kau menuding ibumu sebagai ibu yang tak becus mendidik anak-anaknya sendiri. Segala apa yang dilakukannya tak lain dan tak bukan selalu demi anak-anaknya.

Ada hal-hal yang tak kau ketahui dari ibumu. Mungkin kau mengira salahnya sendiri mengapa memendam masalah begitu rupa. Tapi, senyatanya tak sesederhana itu. 

Tentu saja bukan berarti ibumu ingin disangka sebagai ibu yang hebat. Ia hanya ingin diperlakukan sebagai ibu. 

Semoga kau mengerti. 


*) seperti dituturkan Ibu A kepadaku 

Minggu, 18 Oktober 2020

Berdagang Harus Punya Bakat Dagang?

Selama ini aku selalu ngerasa nggak punya bakat dagang. Begitu juga dengan kakak-kakakku. Mereka berpikiran sama. Maka kalau ada yang mengajak bisnis atau apalah, pasti ciut duluan. Yang ada di pikiran, bakal nggak laku, bakal dikacangin kalau pas promo.

Bukan berarti aku anti banget sama jualan. Pernah juga sih dulu jualan. Pas awal pindah ke Bogor, aku pernah jualan bawang putih, jalan sendiri sampe ke belakang komplek, sambil malu-malu.. hahaa.. Dan itu cuma hitungan hari trus brenti.

Pernah juga pas awal terpuruk dulu, aku jualan baju Keke, nawar-nawarin langsung sama buibu di komplek dan tetangga komplek. Alhamdulillah dibantu sama Bu Wita, Boss Keke di Bogor, lumayan juga pendapatan dari jualan baju itu.. yaa buat menyambung hidup lah.

Trus di Sukabumi, pernah juga jualan tipis-tipis, tapi lupa produknya apaan.. hehe.. saking tipisnya kali ya.. 😁

Tapi sebagai penulis, jelas aku jualan bukuku sendiri. Alhamdulillah ini ngebantu banget buat perekonomian keluarga.. secara cuma jadi guru ya, tau sendiri lah gajinya gimana.. hehe..

Sekarang, aku belum punya buku baru lagi.. huhuu.. hibernasi kelamaan.. sementara kebutuhan terus bertambah. Akhirnya.. pilihanku kembali pada : berjualan. Kali ini aku dapet tawaran untuk memasarkan produk Al-Quran. Ini Al-Quran istimewa yang bisa cetak nama personal di cover depannya. Trus ada kode pewarnaan yang memudahkan buat tilawah dan hapalan.



Aku posting promo produk itu di facebook. Aiih sedih nian.. biasanya aku kalau nyetatus kan yang nge-like ada puluhan hingga kadang lebih dari seratus, eh ini yang ngelike materi jualan aku nggak nyampe 10 orang. Itu pun cuma ngejempol, nggak lanjut ngorder.

Begitu juga di instagram, paling cuma 20-an yang ngasih lope. Dan itu juga nggak pake lanjut ngorder.

Jadi, apa betul ya, harus punya bakat dagang supaya bisa jualan?

Hmm.. setelah aku renungkan.. sepertinya bukan ke arah bakat, tapi yang harus dipunya adalah kesabaran dan ketangguhan. Kalau udah punya itu, pasti bakal jadi pedagang yang ulet, dan tentu hasilnya akan berbanding lurus dengan usahanya.

Awalnya aku pikir, ah udahlah posting sekali, responsnya menyedihkan gitu, nggak usah posting lagi. Tapi setelah kupikir ulang, justru perlu berulang kali. Siapa tahu pas postingan pertama belom tertarik, tapi di postingan aku berikut, orang jadi berminat.

Begitu juga di grup WA. Untuk grup yang bebas membernya berjualan atau promo apa pun, aku mau coba juga posting lebih dari satu kali.

Eh katanya mau come back jadi penulis, tapi malah nyoba mau jualan, gimana nih? Bismillah aja, aku mau jalani. Semoga Allah meridoi. Be a teacherpreneur and writerpreneur.. Aamiin.






Selasa, 15 September 2020

Swab Test, Gimana Rasanya?

Sekarang bulan September. Virus corona masih anteng gentayangan. Kasus pasien positif Covid19 masih terus meningkat. Tapi rangorang tetep juga masih banyak yang abai alias nggak peduli sama protokol kesehatan. Di jalanan banyak yang berkeliaran tanpa masker. Apalagi soal physical distancing, peduli amat dan masa bodo.  

Di tengah situasi yang rawan ini, desakan untuk membuka sekolah kian santer terdengar. Para orangtua, juga siswa, dan tak terkecuali guru, kepingin banget mengakhiri masa PJJ alias Pembelajaran Jarak Jauh alias belajar daring atau online.

Maka dibuatlah aturan ketat buat prosedur menuju sekolah tatap muka. Sekolah harus menyiapkan sarana prasarana yang mendukung pelaksanaan protokol kesehatan sesuai yang digariskan oleh Satgas Gugus Covid19. Selain itu, para guru juga dipastikan bebas dari terpapar virus tersebut.

Metode test yang bisa membuktikan seseorang dinyatakan negatif Covid19 adalah swab test. Sebelumnya sih ada Rapid Test, tapi sekarang Rapid Test dianggap nggak valid buat keperluan itu. Biaya swab test ini jauh lebih mihil dari rapid test yang 'cuma' Rp.150.000,00. Kalau swab test mencapai angka juta gitu deh. Uwow kan..?

Nah, dalam rangka memfasilitasi para guru untuk dapat segera mengetahui kondisi kesehatannya terkait C19, pemerintah memberikan kemudahan dalam bentuk program swab test gratis. Konon cuma bulan ini. Kalau bulan depan baru kepingin ikutan, wah... jatah hangus tuh, dan akan dipersilakan buat bayar sendiri..Uwow lagi, kan..? 

So, aku dan temen-temen guru lainnya pun berangkatlah menuju Labkesda (Laboratorium Kesehatan Daerah). Beberapa di antara kami ada yang ngerasa deg-degan, takut, resah dan gelisah, pokonya semacam gitu lah.. hehe.. wajar aja lah ya.. berbagai pikiran buruk hinggap. Apalagi sebelumnya beredar rumor bahwa swab test ini sakit banget. Apa bener? Baca aja terus ya..



Setibanya di Labkesda, kami registrasi ulang, mencocokkan data yang sudah terdaftar dengan yang ada di sistem. Kami diminta untuk menyerahkan fotocopy KTP dan menyebutkan nomor WA. Setelah itu, antre lagi di meja berikutnya untuk pengecekan akhir. Di meja ini pun kami diberi alat untuk swab test-nya.



Alat swab test yang telah ada di tangan, lalu kita bawa ke tempat pelaksanaan testnya. Jadi tiap orang bawa alatnya masing-masing, nggak akan satu orang menggunakan alat yang sama.

Di ruang pelaksanaan test, aku duduk, sedangkan petugasnya berdiri. Alat swab test dikeluarkan dari wadah. Bentuknya seperti batang yang pipih dengan ukuran kecil. Warnanya putih. Cukup lentur. 

Alat itu kemudian diukurkan jarak dari telinga ke hidung. Hasilnya, sepanjang itulah nanti alatnya dimasukkan ke dalam hidung.



Selesai alat itu dikeluarkan dari hidung, air mataku keluar. Automatically gitu. Bukan sakit, sih. Tapi nggak enaknya tuh kayak kalau berenang trus hidung kemasukan air. Kebayang kan? 



Setelah seluruh proses selesai, sebuah pesan WA masuk. Rupanya ucapan terimakasih dari Pikobar atau Pusat Informasi Jawa Barat Gugus Covid 19. Disampaikan juga bahwa hasil test bisa dilihat di web yang linknya diumumkan di pesan itu.



Jadi ya gitu deh, nggak usah takut sama swab test. Nggak sakit, kok.. :-)  



Minggu, 19 Juli 2020

Nggak Mau Ngasih Judul

Kenapa nggak mau ngasih judul? soalnya selalu judul aku tuh semacam, Gw Come Back nih, atau Ok, Gw mau mulai nulis lagi.. hadeuh.. janji surga banget ituh. Abis postingan itu, nggak ada postingan lagi.. hahaa.. Padahal katanya come back, mau mulai nulis lagi.. maluuu deh..
Jadi, sekarang ya bebas aja lah, nggak pake judul.

Sekarang dah tahun 2020, gaes. Ini tahun yang dulu kayaknya dibayangin gimanaa gitu. Semacam sebuah moment yang akan menghadirkan sesuatu yang wow.. sebuah era baru dengan kecanggihan tekonologi yang makin melesat. Ternyata eternyataa... unpredictable banget! Tapi kalau tentang kemajuan teknologi, iya lah.. Windows entah dah yang keberapa sekarang. Windows 10 mah dah lewaatt. Hokage juga entah dah ada yang ke-9 apa berapa ya.. ^_^

Trus apa dong yang ajaib di tahun ini? Subhanallah... gerombolan makhluk super mini yang nggak kelihatan bentuknya kalau dilihat pake mata biasa, datang menyerbu bumi. Iya, bumi.. sedunia ini. Bukan cuma Indonesia, negeri tercintah inih. Namanya makhluk itu adalah Virus Corona. Dia datang menebar aroma maut. Korban berjatuhan, kasus pasien positif terus meningkat. Sampe-sampe semua warga bumi nggak bisa beraktivitas normal.

Kerja, sekolah, semua dilakukan di rumah. Yah,, lumayan ribet.. tapi, mo gmana lagi.. ya harus dijabanin.Semua pake sistem online. Kecuali fasum yang emang harus tetep eksis ya, macam rumah sakit, apotek, bank, dan pelayanan umum lainnya.

Kurleb dah 4 bulan ini semua mendekem di rumah. Keluar rumah cuma kalau bener-bener urgent banget. Kalau keluar rumah pun harus pake masker buat menghindari penularan virus. Malah selain ada masker, ada juga yang ditambah pake face shield. Itu tuh penutup muka yang kayak tukang las.

Hidup bener-bener harus ngikutin protokol kesehatan yang sesuai dengan masa cepat tanggap covid 19. Itu nama spesifik virusnya, Corona Virus Disease 19. Angka 19 itu menunjukkan tahun kemunculannya pertama kali, yaitu di penghujung Desember 2019. Udah Desember, di ujungnya pula. Pertama muncul sih di Cina, trus rame di Indonesia mah sekitar pertengahan Maret. Biasalah di republik ini mah banyak drama dulu.

Mungkin karena kelamaan, dah berbulan-bulan gini masih aja nggak bisa beraktivitas normal gegara si kopid, akhirnya rangorang mulai males, dan meninggalkan aturan yang ditetapkan protokol kesehatan. Masker dah pada nggak dipake lagi, cuci tangan jarang-jarang, ngumpul-ngumpul jalan lagi, yaa gitu deh pada nggak disiplin.

Banyak pihak yang menyesalkan sikap masyarakat yang kayak gitu. Tapi ya, tau sendiri lah warga +62 ini emang kelakuannya suka ajaib. Belom lagi tingkah netijen di jagat maya, hadeuh... rupa-rupa deh.

Segitu dulu deh, cerita di awal tahun 2020 ini. Awal? Ini kan dah akhir Juli. Bukannya awal tuh Januari ya? hehe.. maksudku awal nulis nulis di tahun 2020, bosque.. :)

Sabtu, 06 April 2019

Kirain Keren

Hai, namaku Kiara. Aku perempuan yang bekerja di sebuah kantor yang menaungi lembaga pendidikan. Tempat kerjaku asik, temen-temennya cucok. Enak lah. Tapi, namanya hidup nggak ada yang sempurna ya, gaes. Yang bikin bètè di kantor tuh justru si bos.

Untungnya temen-temen pada seideologi, jadi kita seru aja kalau ngejulidin si bos. Kebayang kan, udahlah bos nyebelin, trus temen-temen juga bikin spanneng.. Oh, malapetaka itu mah.

Selain ngejulid tentang kelakuan atau kebijakan si bos yang ajaib, kami kadang suka bandingin sama bos di divisi lain. Sementara bos kami nih nurut banget sambil carmuk sama sang bigbos, nah.. Pak Boss divisi lain tuh ada yang selow gitu 'ngelawan' kebijakan bigbos. Wow, kami ngelihat beliau itu semacam tokoh heroik yang keren.

Ditambah lagi, temen kerjaku yang namanya si Ivy, pernah duluu sebelum masuk Divisi ini, jadi anak buah bos yang ntuh. Dan, si Ivy nambah panas suasana deh.

"Pokonya gaes, dulu aku sama bos yang itu mah enak banget. Beliau tuh emang keren. Kalau nggak setuju sama bigbos, ya ngomong langsung gitu. Tak macam bos kita yang sumuhun dawuh."

"nggak ada kamus pelit di bos yang itu mah. Dulu aja aku sama karyawan lain, kalau dikasih bonus, beuh.. barangnya bukan yang murahan, berkelas gitu deh!"

Kurleb semacam itu omongan si Ivy. Beneran bikin nelangsa aku dan temen-temen yang lain. Dan tentu tambah hot ngejulidin si bos.

Laluu.. di penghujung tahun, tibalah bencana itu. Aku dipindah ke Divisi lain.

"Kiaraa.. jangan pindah, please.."

Temen-temen bikin aku baper deh. Mana mau aku meninggalkan temen-temen kerja yang asik kayak si Ivy, dkk. Tapi sistem di kantorku, emang kadang sak'enake dewe. Main pindah-pindahin aja. Katanya sih buat penyegaran. Lingkup kerjanya toh nggak jauh beda.

Satu-satunya yang lumayan menghibur adalah, bos divisi aku yang baru itu orang yang selama ini kami kagumi dan bikin sirik. Yup! Beliau mantan bos si Ivy.  Tapi tetep aja sih, aku rela nggak dibosin beliau asal masih sama-sama bareng Ivy dkk.

Dengan hati pilu, aku pun pindah lah. Sehari, seminggu, sebulan, dua bulan, tiga bulan, aku kok ngerasa bos baru B aja ya. Mana kerennya?

Selanjutnyaa.. udah bukan B aja, tapi menjurus ke ngeselin. Lama-lamaa.. beneran ngeseliin. .

"Ivyyy .. mana bukti omonganmuu..?"

Si Ivy tersenyum kecut. Ekspresinya abstrak. Campuran antara bingung dan nggak enak hati.

"Tapii.. walaupun aku nggak ngomong, kalian semua kan dah lebih dulu bilang beliau itu keren cara mimpinnya."

Iya juga sih, gaes.. Waktu itu kami yang ngelihat dari jauh, dari luar, kok kayaknya info yang nyampe tentang beliau tuh kesimpulannya beliau tegas dan ngga menya-menye.

Mungkin itu ya, contoh nyata dari peribahasa, "rumput tetangga selalu tampak lebih hijau". Ternyataa, giliran masuk ke area rumput itu, rumputnya banyak yang bolong-bolong trus sekitarnya banyak kerikil halus yang bikin nggak nyaman.

"atau jangan-jangan.. dulu kan bos aku tuh belom merit, nah.. sekarang dah punya bini dan beranak, jadinya karakter beliau berubah.."

Hadeuh.. mulai deh, si Ivy absurd...

Senin, 06 Agustus 2018

Tinggal Tulis, Kakaa..

Suatu hari aku baca status temen yang ala-ala curhat gitu. Tulisannya panjaang tapi enak dibaca. Trus aku komen, pingin juga bisa curhat panjang nan keren kayak gitu. Dan jawaban dia adalah kalimat yang aku tulis di judul.

Hahaa.. ngena banget, deh. Betul, kan? ya emang tinggal tulis aja. Nggak usah mikir susah dan njelimet. Nulis mah nulis aja.

Aku sering ngerasa nelangsa.. ngerasa bahwa aku bukan penulis lagi. Mau mulai nulis lagi, duuh.. beraat..

Jadi, nggak usah mikir soal penulis atau bukan. Nulis ya nulis aja. Belajar menulis yang baik-baik. Belajar memaknai hidup dengan sederhana lalu menuliskannya.

Segala yang aku lihat dan aku dengar bisa menjadi bahan tulisan. Adapun yang aku rasa dan alami, tetap masih belum bisa aku ungkap.. masih tersimpan rapi dalam hati.

Next, mungkin bisa aku coba. Perlahan menuliskan apa yang berkecamuk di hati. Entahlah, aku selalu dikepung rasa takut dan khawatir kalau nantinya tulisanku cuma keluh kesah aja isinya.

Anyway, aku bertrimakasih sama kawan yang menginspirasi judul kali ini. Pasti dia nggak ngerasa kalau komennya nge-jleb buat aku.. hehe..

Ya begitulah ya.. perlunya berhati-hati dengan kata-kata. Kadang hal enteng yang kita lontarkan, ternyata lumayan berdampak bagi orang lain. Alhamdulillah kalau dampaknya berupa kebaikan. Tapi kalau menjadi sesuatu yang menyakitkan, duuh.. jangan sampe deh..

Smoga segala apa yang aku tulis, aku ucapkan.. itu nggak meninggalkan apa pun kecuali kebaikan. Aamiin.