Selasa, 29 Mei 2012

Puisi Anakku


   LINGLUNG
                                                                                                              By: Ghulam.S
Pertama jumpa batinku sudah merasa
Terlihat ada segudang usaha dan sejagat harapan
Kau tampakkan setitik cahaya yang biasa hinggap
Lalu lama - lama.....
Titik itu bergerombol, saling menyatu berkoloni

Ucapan - ucapanmu santai, sedikit makna sembunyi
Tersirat ada sebatang mawar bersemi di sana
Tetapi....
Keraguan masih memeluk diri ini

Yah,
Dalam hati ini nikmati semua lara
Direngkuh perlahan rasa yang menggelora

Mataku menerawang selembaran waktu yang datang
Tapi itu hanya terawangan anak berusia 168 bulan....
TAI KUCING YANG MENGATAKAN AKU DEWASA !!!Tolong....
Seseorang tolong jelaskan,
jelaskan ketidak pastian ini



Senin, 28 Mei 2012

Bermula Dari TK

Beberapa hari lalu saya menyaksikan anak-anak SMU merayakan kelulusan dengan mencoret-coret pakaian seragam yang dikenakannya dan menyemprot rambut mereka dengan cat warna-warni. Ketika saya dekati mereka, dan menanyakan apa rencana setelah lulus ini, dengan gaya seenaknya tanpa sopan santun mereka menjawab ‘nggak tau, yang penting lulus aja dulu’. Beberapa dari mereka terbahak mendengar jawaban temannya.

Sedih saya mendengar jawaban itu serta miris melihat sikap mereka terhadap orangtua yang seperti tidak mengenal tata krama.  Saya teringat murid-murid saya di TK, mereka lucu-lucu, manis, dan sopan. Saya jadi berpikir, tentu anak-anak SMU itu dulunya pun begitu. Lalu mengapa kebaikan-kebaikan itu seolah menguap saat usia mereka beranjak naik.

Rumit memang mengurai benang kusut sistem pendidikan di Indonesia. Bullying, manipulasi nilai, pelecehan seksual, adalah contoh-contoh kasus tidak senonoh yang terjadi di lingkungan sekolah. Saya tidak ingin mengajak anda untuk mencari siapa yang salah dalam masalah ini. Dan tidak ingin memaparkan argumentasi tentang mengapa kekisruhan di dunia pendidikan tak kunjung usai. Saya hanya mencoba berpikir sederhana, bermula dari TK.

Kita tentu tidak ingin hal-hal buruk di atas terus langgeng, dari generasi ke generasi. Maka, marilah kita menyelamatkannya, diawali dengan pendidikan dari jenjang TK. Mari kita benahi model pendidikan di TK. Penuhi keceriaan dunia kanak-kanak dengan rupa-rupa kegiatan yang mengasah kreativitas, mengeksplorasi potensi, dan mengkondisikan pada sebuah rancang bangun model karakter yang berbudi luhur. Pembinaan karakter ini, harus dikomunikasikan dengan orangtua, sehingga pendidikan berkesinambungan antara sekolah dan rumah.  Dengan suasana yang kondusif, anak-anak akan tumbuh dan berkembang dalam sebuah struktur rancang bangun karakter positif yang kuat. 


Kondisi yang baik ketika di TK, harus terus dipupuk dan dirawat, hingga tatkala si anak melangkah ke jenjang berikut, karakter baik itu tertanam kuat dan sudah menjadi gerak kehidupannya. Maka setelah TK, jenjang pendidikan selanjutnya harus sejalan dengan pendidikan dasar anak yang ditekankan pada pembangunan karakter positif yang kuat tersebut. Kerja keras para pendidik, yaitu orangtua dan guru, amat berperan penting.

Bisa dibayangkan, bila anak-anak kita itu kelak melanjutkan estafet kepemimpinan dan menjadi pelayan rakyat, tentu tak kan terdengar lagi model-model anggota dewan yang doyan jalan-jalan, hakim yang mudah disuap, guru yang disunat gajinya, mafia pajak yang santai berlenggang, dan aneka penyimpangan lain yang kini akrab kita jumpai beritanya di media.

Semoga Indonesia masa datang akan lebih bersinar dalam suasana aman, damai, sejahtera. Yang sesungguhnya. Bukan sekedar slogan.

Minggu, 27 Mei 2012

Hadiah Sang Juara


Dug! Dug!
Jantungku berdetak lebih cepat demi melihat Bapak Pejabat dari Kementrian Negara Urusan Kreativitas Rakyat menghampiri podium untuk mengumumkan hasil Lomba Kreativitas Kelompok Ibu-Ibu Kreatif. Ada rupa-rupa lomba yang diadakan, yaitu: Lomba Menulis, Lomba Menari, Lomba Menyulam, Lomba Mengaji,  Lomba Mengisi TTS tentang dunia pendidikan dan kewanitaan, Lomba Lari Estafet, dan Lomba Melukis. Lomba ini berlangsung di ibukota, dengan peserta dari berbagai kota di sekitarnya.

Bapak Pejabat itu mengumumkan satu demi satu para pemenang, dengan gayanya yang sok memancing rasa ingin tahu penonton. Dilambat-lambatkannya irama suara, dibolak-baliknya urutan kejuaraan, dipasangnya mimik wajahnya se-ekspresif mungkin, Bah!

Sorak sorai membahana. Penonton dari berbagai kota itu melonjak-lonjak tatkala namanya atau nama temannya, bahkan nama kotanya saja yang disebut, sebagai pemenang. Aku pun tak kalah girang, karena berhasil menjadi Juara I Lomba Menulis. Beberapa temanku,  dari kelompok-kelompok lain dalam satu kota, Alhamdulillah juga meraih prestasi. Ada yang Juara I, Juara II,  dan beberapa Juara Harapan.

Usai semua pemenang lomba diumumkan, ternyata masih ada satu lagi kategori pemenang. Kota yang menggondol banyak piala Juara I akan menyabet penghargaan sebagai Kota Paling Kreatif. Lalu Bapak Pejabat itu pun, lagi-lagi dengan gaya noraknya, berkoar penuh semangat,
 
“Pemenangnya adalah.. Kotaaaa… apa yaaaa..?”
 
Penonton berseru-seru, memohon-mohon agar segera diumumkan. Dan Bapak Pejabat itu tampak menikmati betul rasa kepenasaranan penonton. Dengan senyum lebarnya yang sarat kepuasan, ia berteriak,
 
“Pemenangnyaaa… Kotaaa… Huuujaaaannn…!”

Wow.. itu kotaku! Berjingkrak-jingkraklah teman-temanku menarikan kegembiraan. Binar-binar kebahagian terpancar dari mata kami. Dan rupanya masih ada pengumuman lain.

“Kota Hujan.. akan mendapat piala dan hadiah uang.. sebesaarrr… liiimaaa puluh jutaaa ruppiaaahh..!” 

Bapak Pejabat itu makin lebar senyumnya karena merasa berhasil membuat suasana semakin gegap gempita. Teriakan histeris membahana.

Bisakah kau bayangkan menerima hadiah uang lima puluh juta rupiah? Sungguh, kejutan luar biasa! Kami senang bukan buatan. Uang itu akan kami bagi secara adil sesuai dengan perolehan prestasinya. Yang Juara I akan mendapat bagian paling besar, dan Juara-juara lain menyusul berdasarkan urutannya.

Kami pulang ke Kota Hujan dengan hati berbunga-bunga. Senyum-senyum manis tersungging di banyak bibir, menepis letih yang tergambar di wajah kami.

Keesokan harinya, kami berkumpul hendak membicarakan masalah hadiah limapuluh juta rupiah itu. Sang Ketua Rombongan angkat bicara.
 
“Sahabat-sahabatku, hingga larut malam tadi, saya berkutat dengan angka, menghitung pembagian hadiah uang limapuluh juta, agar benar-benar adil dan merata.”
 
Takzim kami mendengar kalimat indah itu. Lalu, sambil menghela nafas dalam-dalam, Sang Ketua melanjutkan pembicaraan.
 
“Namun tadi pagi, saya ditelpon oleh Pimpinan Pusat Kelompok Ibu-Ibu Kreatif. Katanya, uang itu adalah sumbangan dari Kementrian Negara Urusan Kreativitas Rakyat bagi Kelompok Ibu-Ibu Kreatif yang sudah memiliki anggota lebih dari seratus orang dan telah memperoleh Sertifikat Kreatif dari perwakilan kota dengan predikat: A!”

Senyap menyergap. Kami saling berpandangan. Manalah ada diantara kami yang memiliki anggota kelompok berjumlah sebanyak itu, dan Sertifikat Kreatif pun belum kami peroleh, karena untuk mendapatkannya konon harus menyogok banyak rupiah kepada Tim Penilai.

Dalam kehampaan itu, suara Ketua kembali terdengar. Kali ini iramanya lunglai.
“Karena kita tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, maka uang tersebut, katanya akan dikembalikan ke kas Negara.”

Pembantu Cantik

     BRAKK..!!
     Peni tenggelam di balik pintu kamarnya yang bergetar hebat akibat gelegar amarahnya. Di sudut ruang keluarga yang berhadapan dengan kamar Peni, seorang gadis ranum jatuh menggelesot di lantai. Hatinya menggigil ngilu akibat sumpah serapah yang dimuntahkan dari mulut kotor Peni yang emosinya memuncak, tak terkendalikan.
     Gadis itu, Aryati namanya. Ia pembantu di rumah keluarga Rusady.  Usianya 16 tahun. Bening matanya dipenuhi genangan air mata. Lalu merembes mengalir di pipi indahnya yang bak pauh dilayang. Hidung bangirnya memerah. Bibir tipisnya bergerak-gerak menahan isak.
     Mbok Nah, pembantu senior di rumah itu, melangkah mendekati. Tangan keriputnya mengelus rambut Aryati yang legam dan panjang bak mayang terurai.
     “Sudah.. Nduk, yang sabar yaa.. Non Peni kan memang begitu adatnya,” hiburnya.
     “Yati nggak tahan, Mbok.. sering banget dicaci maki begini!” ujar Aryati, tersedu.
     “Non Peni itu selalu mendapatkan apapun yang diinginkannya. Sejak kecil, ayah ibunya pasti memenuhi semua permintaannya. Karena itulah, sekarang ia tumbuh menjadi seorang gadis yang keras,” kata Mbok Nah, berusaha memberi pengertian kepada Aryati.
     Aryati hanya membisu. Lalu keduanya bergegas ke belakang, ke area pembantu. Dapur, ruang mesin cuci, ruang setrika, gudang, dan kamar pembantu, di sanalah wilayah kerja mereka. Tak peduli apa suasana hati, semua pekerjaan harus rampung tak bercela.
     Kala malam beranjak menua, gelap merayap perlahan, adalah saat-saat Aryati merasa hidup. Ditemani semilir angin yang lembut membelai tubuh moleknya, Aryati biasa termenung di halaman belakang, tak jauh dari area pembantu. Ia pandangi air bergemericik jatuh ke kolam kecil yang ditata apik dalam sebuah taman mungil nan asri.
     Seketika matanya terbelalak. Bayangan air menampakkan seraut wajah pemuda tampan. Ia tersenyum manis dengan sorot lembut penuh cinta. Rona merah menjalari pipi Aryati. Ia tersipu, dengan binar bahagia benderang di matanya.
     Pemuda itu bernama Sena. Ia adalah guru privat Peni. Beberapa kali, dalam kehadirannya saat memberikan les, Sena mencuri-curi pandang mencari sosok Aryati. Pandangan yang mengirimkan getar-getar halus, membuat dada Aryati berdentam lebih cepat.
     Plukk..!
     Sesuatu terjatuh menimpa air, menimbulkan sedikit cipratan ke wajah Aryati. Refleks Aryati mengusap wajahnya. Lalu segera pandangannya kembali ke bayangan air dalam kolam. Ia tersentak. Ah.. raut wajah tampan itu telah menghilang. Tiba-tiba telinganya berdenging. Suara Peni menghantam pendengarannya bertubi-tubi.
     “Pembantu ga tau diri.. Ganjen.. Genit.. Merayu-rayu tamu majikannya! Menjijikkan! Seharusnya kamu ga ada di rumah ini, tapi di tempat sampah sana! Ngaca dong.. kamu ini siapa? Kamu pembantu! Tapi kamu pembantu sial..! Sok merebut hati tamuku.. Memuakkan..!”
     Aryati merapatkan tangannya menutup kedua telinga sekencang-kencangnya. Ia limbung. Terengah-engah menuju kamarnya. Lalu ia menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Dadanya naik turun, dengan nafas tidak teratur. Perlahan-lahan ia menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya seolah ingin mengeluarkan segala kepenatan pikirannya. Ia berusaha merenungkan semua yang telah menimpanya. Lama-lama, mata cantik berbulu lentik itu pun terpejam.
     “Bangun.. Ti! Sudah shubuh.. ayo, sholat dulu!” Mbok Nah membangunkannya.
     Aryati menggeliat. Barisan semut beriring di atas matanya mengeriut. Lalu dibukanya mata lebar-lebar. Tubuhnya beringsut menuruni tempat tidur. Bersegera wudu, kemudian sholat. Dinginnya air serta segarnya udara subuh, membuat pikirannya terang.
     “Mbok, Yati mau pergi!”
     Mbok Nah terhenyak, menghentikan pekerjaannya yang tengah menyiapkan sarapan.
     “Kamu ngomong apa tho, Nduk?” tanya Mbok Nah.
     “Ini lebih baik, Mbok. Karena Yati nggak bisa di sini terus, selama Pak Sena masih mengajar Non Peni,” jawab Aryati, dengan suara tertahan.
     “Kamu jatuh cinta sama Pak Guru itu?” Mbok Nah bertanya lagi, hati-hati.
     Aryati menunduk. Mbok Nah tidak melanjutkan pembicaraan, ia sudah tahu jawabannya.
     Sebuah surat dititipkan Aryati kepada Mbok Nah untuk Ibu Rusady. Surat yang berisi permohonan maaf karena kepergiannya yang tiba-tiba.
     Mbok Nah mengikuti langkah Aryati dengan hati nelangsa. Delapan bulan lalu, Aryati ikut bersamanya saat mudik setelah lebaran.  Mereka bertetangga di kampung. Aryati bersikeras ingin bekerja, meski ibunya tak sepenuhnya setuju. Sebagai anak sulung, Aryati sangat diperlukan untuk mengurusi adik-adiknya yang masih kecil.
     Kepada Mbok Nah, Aryati mengatakan tujuan tempat kerjanya setelah keluar dari keluarga Rusady.  Ia akan bekerja di sebuah rumah di blok yang lumayan jauh dari kediaman keluarga Rusady. Kabar tentang adanya rumah yang membutuhkan pembantu, didapatnya beberapa hari lalu, dari tukang ayam keliling. Waktu itu, kabar tersebut tidak dihiraukannya. Namun rupanya, sekarang ia benar-benar membutuhkan pekerjaan itu.
     Letih kaki Aryati menyusuri alamat tempat calon majikan barunya. Keringat bercucuran dan tenggorokan kering. Sesampainya di rumah yang dituju, Aryati disambut oleh seorang ibu muda dengan gaya anak remaja.
     “Saya belum punya anak. Jadi kerjaan kamu nggak berat di sini. Tapi rumah harus selalu dalam keadaan rapi dan bersih!” perintah majikan baru yang bernama Selly itu.
     Aryati memulai tugas barunya. Kini ia tengah mengepel lantai. Di sebelah ruangan, riuh ibu-ibu muda sebaya Selly mengobrol.
     “Jadi sekarang kamu udah punya pembantu, Sel?” tanya ibu muda bercelana pendek dengan padanan kaos ketat melekat.
     “Ooh, perempuan berambut sepinggang itu, yang tadi kulihat di samping, membawa ember, itu pembantu baru kamu, Sel?” sambung yang lain sambil mengibaskan rambutnya yang menjuntai-juntai dengan cat oranye yang menjerit.
     “Aku juga tadi lihat. Hati-hati, Sel..” ujar perempuan bertato kupu-kupu di betisnya, seraya mengepulkan asap rokok.
     “Kenapa memangnya?” seorang ibu muda dengan wajah putih mengilat seperti pemain kabuki, tampak penasaran.
     “Cantik Boo..” sahut si tato.
     “Wah, kalau gitu urusannya, mendingan di-cut aja deh, cuma bikin perkara!”
     “Jangan sampe nunggu kejadian dulu, Sel!”
     “Yup! kalau bohay begitu, lagaknya pasti bikin rempong deh..”
     “Laki kita pasti di-embat!”
     “Udah Sel, cari yang lain aja..!”
     Aryati bergegas menyelesaikan pekerjaan mengepelnya. Ia tidak mau mendengar pembicaraan itu lebih lanjut. Tasnya yang masih rapi, segera dicangklongnya. Bersijingkat, ia keluar dari rumah itu melalui halaman samping. Tidak menunggu diusir, Aryati meninggalkan rumah Selly. Langkahnya tertatih. Hatinya meringis.
     Kini ia tidak tahu hendak kemana. Komplek perumahan yang luas itu, membuatnya seolah berputar-putar tanpa menemui jalan utama yang mengarah ke luar.
     Akhirnya Aryati menemui sebuah pos jaga yang kosong. Mungkin tempat arisan ibu-ibu di blok itu atau tempat bapak-bapak nongkrong di malam minggu. Ia duduk menepi. Pos jaga itu bersih. Lantai keramiknya licin bersinar. Nampaknya rutin dibersihkan. Di dindingnya terpasang sebuah cermin berukuran sedang. Aryati mendesah, menatap pantulan wajahnya. Ternyata wajah cantik, tidak seharusnya dimiliki oleh seorang pembantu seperti dirinya. Perempuan lain merasa terhina mencemburui dirinya. Ia hanya layak dicurigai, diolok-olok, ditertawakan. Benaknya dipenuhi tanya, mengapa ia harus cantik? Sedangkan ia hanya gadis desa yang miskin. Kalau bisa, ia ingin memberikan wajah cantiknya dan menukarnya dengan wajah lain yang tidak cantik, yang lebih pas dengan keadaannya sebagai pembantu yang sederhana. Bukankah wajah cantik akan lebih cocok menghiasi gadis-gadis kaya dan berpendidikan tinggi? Mengapa cantik bertengger di wajahnya?
     Sepoi angin menyapa lembut, nampaknya ingin mendamaikan hati Aryati. Seketika Aryati teringat Mbok Nah. Biasanya Mbok Nah memberi kata-kata penghiburan di kala hatinya kusut. Suaranya mengalun, berlatar cinta, terasa menyejukkan. Aryati jadi teringat ayah, ibu, dan adik-adiknya di kampung. Kangen. Seperti yang kerap ia rasakan. Nasehat Mbok Nah kembali terngiang.
     “Ti, aku sih senang kamu nemenin aku kerja di sini. Tapi sebetulnya kamu lebih diperlukan ibumu di kampung. Adik-adikmu kan masih kecil, sedangkan ibumu repot karena harus bekerja lebih keras, semenjak ayahmu sakit-sakitan. Lha, kalau aku kan anak-anakku sudah mentas semua, dan suamiku sudah meninggal. Jadi nggak ada yang harus diurusin lagi, toh? Nanti setelah pulang kampung saat lebaran, kamu nggak usah balik lagi ke sini ya, Ti. Di kampung juga kamu bisa kerja, bantu-bantu di rumah Bu Bidan Marni. Aku perhatikan waktu kamu membantunya, kelihatannya Bu Bidan suka sama kamu karena kamu sesungguhnya anak yang cerdas. Mana tahu kamu nanti disekolahkannya. Perempuan itu, harus pinter, Nduk!”
     Aryati memandang langit yang jernih membiru. Gemulung awan berarak perlahan, mempercantik lukisan alam itu. Sekelompok burung terbang beriringan. Ah, mungkin mereka mau pulang. Aku juga mau pulang, tidak usah menunggu lebaran, pikir Aryati, bersemangat.
     Tas yang berisi pakaian dan uang gajinya selama delapan bulan yang ditabungnya di Mbok Nah, didekapnya erat. Lalu Aryati mulai berjalan. Tak lama ditemuinya sebuah pangkalan ojek. Melesatlah ia menuju gerbang komplek yang berbatasan dengan jalan besar tempat angkot lalu lalang. Aryati naik angkot dengan tujuan terminal. Hatinya mantap untuk pulang.
     Sementara itu, di dalam kamar sejuknya yang ber-AC, wajah Peni bertekuk berlipat-lipat. Sena, guru privatnya menyatakan berhenti mengajarnya, dan mencarikan guru pengganti. Peni tidak mau guru lain. Ia hanya mau Sena, si ganteng yang lembut dengan rahang kokoh dan dagu terbelah. Ditambah dengan tubuh jangkung yang menopang badan atletisnya, membuat Peni terperangkap dalam pesonanya.
     Peni menelungkupkan wajahnya di atas bantal yang empuk. Airmata menderas mengiringi keping-keping hatinya yang hancur. Ia meratapi nasibnya. Mengapa cinta Sena tertambat pada Aryati? Ah, ya tentu saja karena pembantu sialan itu berwajah cantik, rutuknya dalam hati. Berputar-putar pertanyaan mendesing di benaknya. Buat apa Aryati memiliki wajah cantik? Tak ada gunanya, toh? Bukankah ia hanya pembantu? Cukuplah ia berwajah biasa-biasa saja. Aku lebih membutuhkan wajah cantik itu, teriak Peni, dalam hati.
     Tok.. tok.. tok.. terdengar ketukan lembut di pintu kamar Peni. Dengan malas, Peni membalikkan badannya.
     “Mbok Nah, ya..?” serunya.
     “Betul, Non. Ini minuman es jeruknya,” jawab Mbok Nah.
     Mbok Nah masuk kamar, setelah Peni menyuruhnya masuk. Ia meletakkan gelas berisi es jeruk di atas meja belajar dengan hati-hati.
     “Diminum Non.. es jeruknya, biar hatinya adem. Si Mbok ngerti, kalau hati Non Peni sedih karena kepergian Pak Gurunya”, suara Mbok Nah, tulus.
     Peni duduk menghadap Mbok Nah. Ditatapnya perempuan tua yang telah mengurusinya sejak kelas 2 SD hingga sekarang ia duduk di kelas 3 SMU.
     “Mbok, duduk sini,” pinta Peni. Tiba-tiba ia merindukan kehangatan saat ia dulu diasuh Mbok Nah. Lalu saat Mbok Nah duduk di sampingnya, Peni merebahkan kepalanya di atas pangkuan Mbok Nah.
     “Memang sakit.. ditinggal lelaki pujaan hati. Sedangkan kita tak punya sayap utuh untuk terbang mengejarnya. Karena sayap kita patah, oleh tikaman cintanya yang menukik sesaat, lalu terbang menjauh meninggalkan kita yang berdarah-darah,” suara Mbok Nah mengalir sejuk ke seluruh nadi.
     “Kecantikan Aryati telah memorakporandakan semuanya,” keluh Peni.
     “Tak ada yang salah dengan wajah cantik seseorang. Gusti Allah itu Maha Adil. Semua pasti berpasangan. Kamu nggak usah merasa tidak beruntung karena kalah cantik dari Aryati. Setiap perempuan itu sudah ditetapkan kadar cantiknya oleh Yang Maha Kuasa. Kita nggak boleh iri-iri-an. Kita cuma harus bersyukur atas segala pemberian nikmatNya. Non Peni punya ayah ibu yang baik, meskipun mereka sibuk. Punya rumah yang bagus. Orangtua kaya, sehingga Non Peni bisa sekolah tinggi di sekolah yang hebat. Lebih baik Non Peni sekarang memanfaatkan karunia Gusti Allah ini dengan belajar yang baik, biar jadi perempuan yang pinter, kayak cita-citanya Ibu Kartini itu lho. Jangan nambah-nambah perempuan bodoh kayak si Mbok” tutur Mbok Nah sambil terkekeh perlahan.
     “Si Mbok nggak bodoh, cuma nggak dapet kesempatan sekolah aja. Itu buktinya si Mbok tahu tentang cita-cita Ibu Kartini segala,” tukas Peni.
     “Si Mbok masih inget sedikit-sedikit tentang Ibu Kartini seperti yang diajarkan waktu sekolah dulu. Lagipula si Mbok lihat di TV kok, Non,” sahut Mbok Nah.
     “Itu berarti Mbok Nah pinter! Oh ya, sekarang Aryati di mana ya, Mbok?” tiba-tiba Peni jadi memikirkan gadis saingannya itu.
     “Gusti Allah telah menuntunnya pulang. Justru karena kecantikannya itulah, ia menemukan jalan pulang,” jawab Mbok Nah dengan yakin.
     “Jadi Aryati pulang kampung?”
     “Ya, pasti ia sedang dalam perjalanan pulang. Dia lebih dibutuhkan oleh keluarganya.”
     Belaian lembut tangan Mbok Nah mengusap rambut Peni, membuat Peni terbuai dalam kehangatan kasih sayang Mbok Nah. Hatinya melunak, ia menjadi tenang. Tak lama, kantuk mulai menggelayuti matanya. Ia pun tertidur pulas. Persis pada saat yang sama, Aryati terlelap dalam bis antarkota menuju kampungnya. Keduanya menyunggingkan senyum dalam nyenyak tidurnya.
*****



FF Cat Story


Braaakk!
Tempat sampah yang  mematung di samping pintu dapur, tersenggol kaki si Kumis yang melesat kabur, diikuti si Hitam, teman seperjuangannya. Mata lelaki itu beralih dari piring kosong, ke arah suara yang mencurigakan itu.

“Kucing Keparat.. Jangan kau kembali lagi ke sini!” gelegar suara lelaki itu sambil bergegas memburu jejak si Kumis dan si Hitam yang berlari berpencaran.

Si Kumis merapatkan tubuhnya ke balik dinding poskamling di ujung gang, berharap tubuhnya tak nampak dari jalan. Hhhh.. ia menarik nafas lega, tak ada tanda-tanda pengejaran. Matanya memicing, mengarah pada sosok-sosok di balik pohon, tak jauh dari persembunyiannya. Lalu, hadir di hadapannya dua pasang mata bening  menatapnya sarat cinta. 

Si Kuning dan Si Belang beringsut. Mereka menghambur ke dalam pelukannya. Si Kumis menyambut hangat penuh belaian mesra.

“Ah.. tak mengapa diusir dari rumah Annisa. Aku masih tetap Don Juan, dikelilingi bidadari-bidadari jelita,” pikirnya.


Sabtu, 26 Mei 2012

Tutur Jujur Para Pendamba Buah Hati

Judul     :  Ya Allah, Beri Aku Satu Saja
Penulis   :  Nurul Asmayani, Viana Akbari, dkk
Penerbit :  QultumMedia
Tebal     :  xii+264 hal
Cetak I  :  Desember 2011
ISBN     :  979-017-193-5

Setelah menggenapkan separuh dien, keinginan lain yang pasti menyeruak adalah memiliki anak. Ada pasangan yang tidak menunggu lama, namun tak sedikit yang berbilang tahun menanti hadirnya buah hati sang penerus generasi. Jerit tangis, tawa ceria, serta celoteh khas bayi mungil, amat didamba oleh setiap pasangan. Kisah-kisah dalam buku ini menghadirkan aneka pengalaman tentang penantian hadirnya buah cinta dalam rahim ibu.

Kisah yang pertama dituturkan dalam bahasa yang indah, halus, dan menyentuh. Pilihan katanya terbungkus dalam diksi yang menawan. Penantian hingga tahun kedelapan usia rumah tangganya dipenuhi dengan berbagai upaya pantang menyerah demi kehamilan yang didamba. Hingga ending yang memilukan terasa menohok rasa keperempuanan.

Kisah-kisah lain sungguh bertabur hikmah. Betapa sabar dan syukur begitu terjal dilalui. Terapi dan pengobatan yang menyedot rupiah, pun rasa sakit tak terperi yang menyertai. Di sinilah ikhlas menjadi kata kunci. Hatta, kuntum cinta yang dinanti harus berpulang untuk selamanya.

Selain mengayakan jiwa, beragam kisah dalam antologi ini menghidangkan pengetahuan dan meluaskan wawasan. Di penghujung kisah, selalu ada catatan keterangan mengenai istilah-istilah medis yang terdapat dalam penuturan para penulis. Pembaca akan tahu apa itu Kista Endometrium, Oligoteratozoosperma, Abortus Habitualis, Hiperplasia Endometrium, dll.

Ada pula peringatan agar kita waspada terhadap praktik-praktik pengobatan alternatif. Dalam satu kisah diceritakan bahwa telah terjadi pelecehan seksual yang tidak diduga-duga. Benar-benar nightmare!  Seolah pemeriksaan dalam melalui vagina, namun tidak prosedural. Dan itu membuat sang penutur shock, karena merasa kotor, jijik, dan hina.

Bagi para gadis yang terlalu rajin minum jamu pelangsing, sehingga dosisnya berlebihan, ternyata amat berbahaya. Kebiasaan tersebut dapat berpengaruh pada perlengketan saluran indung telur. Hal ini potensial memicu keguguran.

Sungguh, kisah-kisah yang ada dalam buku ini, amat inspiratif. Terasa benar, bagaimana titik ikhlas menjadi penentu segala ikhtiar yang gigih dilakukan. Bagi pasangan yang diberiNya kemudahan dalam memiliki momongan, maka pengalaman para penulis yang mengharu biru ini akan membawa pada wilayah syukur. Namun, namanya antologi, tidak semua kisah terasa memuaskan juga. Ada 1-2 yang kurang kental sisi perjuangan dan hikmah yang bisa diambil.

Pada bagian akhir buku ini, diulas tentang berbagai mitos seputar upaya mendapatkan keturunan. Benarkah taoge/kecambah bisa menyuburkan rahim? Apakah posisi rahim bisa 'turun' dan kembali 'naik' dengan dipijat? Rahim terbalik, benarkah ada? dll.

Tidak ketinggalan bagian penting bagi para pendamba buah hati, yaitu: Doa khusus agar mendapatkan keturunan. Juga info tentang makanan untuk kesuburan, serta tips praktis untuk memperoleh keturunan.

Semoga, buku ini memberi pelajaran berharga bagi siapa saja. Selamat Membaca..

Cinta Sejati, Adakah?

Judul                     :  Yang Kedua
Genre                   :  Novel Romance
Penulis                 :  Riawani Elyta
Penerbit              :  Bukune
Cetakan I             :  Maret 2012
Tebal                     :  vi + 250 hlmn
ISBN                      :  602-220-040-7

Cinta sejati tidak butuh orasi, tidak perlu proklamasi, tidak usah dipenuhi deklamasi. Ia mengejawantah dalam laku, tanpa bingkai semu. Terurai penuh kelembutan, diiringi ikhlasnya pengorbanan dan penerimaan. Bukan hal yang mudah, namun bukan berarti ketiadaannya adalah hal lumrah.

Yang Kedua, sebuah karya Riawani Elyta, menyorot sisi itu. Sebuah kisah cinta dengan para pelaku yang memiliki karakter dan kondisi berlainan. Berhadapan dengan perputaran realita hidup yang tiba-tiba melejit tanpa disangka-sangka. Seorang perempuan biasa, dalam waktu singkat menjadi luar biasa. Kariernya yang menanjak berbanding lurus dengan popularitas yang terus melambung. Adalah Vienna, pemilik suara bening, yang bintangnya terus bersinar sebagai penyanyi papan atas. Berawal dari festival menyanyi di tingkat lokal yang berlanjut membawanya hingga ke negeri jiran.
Dari festival itulah, Vienna bertemu dengan Dave, yang kemudian menjadi pasangan duetnya.

Vienna yang pemalu merasa risi berpasangan dengan seorang pria. Namun Haris, suaminya, tak henti memberi semangat dan dukungan. Sayangnya, seiring perjalanan waktu, ternyata gelimang rupiah dalam bungkus kemewahan, membawa Vienna pada masalah yang tidak diinginkan. Masalah yang dibuat oleh Haris. Sementara kehadiran Dave yang simpatik membuat Vienna gamang dan cemas akan rasa-nya, apalagi ketika Dave dengan gentle mengakui perasaan cintanya. Meski Dave tetap menghormati ikatan pernikahan Vienna dan tidak bermaksud menyingkirkan Haris.

Mungkin bila mengacu pada nilai konservatif, pembaca tidak akan setuju seandainya Vienna meninggalkan suaminya lalu berpaling kepada Dave. Itu bukan istri yang terpuji, bukan? Namun dari lembar ke lembar, penulis menghadirkan pergerakan suasana yang dinamis. Sehingga boleh jadi pembaca mengharapkan sesuatu yang dramatis seperti pada novel karya Tere Liye yang bertajuk “Senja Bersama Rosie”, saat suami tokoh utama meninggal yang membuat terbuka kesempatan bagi si istri untuk menjalin cinta baru. Tapi sangat mungkin pembaca pun berharap pulihnya kehidupan rumah tangga Vienna, seperti pada awal mereka bersatu, di mana Haris bersedia menerima kondisi Vienna yang mengalami infeksi rahim yang menyebabkan ia tidak mungkin bisa hamil.  Yang manakah yang ditempuh penulis untuk menyudahi kisah ini dengan ending yang manis?

Seperti novel romance dari Bukune yang lainnya, cover Yang Kedua  tampil dalam nuansa romantis yang kental. Tak ketinggalan diksi yang cantik khas Riawani Elyta. Maka alunan kisah ini begitu lembut dan menghanyutkan. Konfliknya halus, tidak meledak-ledak apalagi nyinetron.

Jangan membandingkan novel ini dengan karya Riawani sebelumnya yang bertajuk Persona Non Grata atau Tarapuccino yang memuat isu menarik yang membutuhkan riset, semisal: ilegal trading, cyber crime, dan human trafficking. Dalam novel ini, dunia entertainment yang diangkat melatari jalinan cerita. Penulis dengan fasih membeberkan seluk-beluk dunia rekaman, show, promo tour, manajemen artis, dll. Namun interaksi dengan artis lain, sekilas pun tidak tampak.

Kekhasan Riawani yang suka dengan adegan melompat-lompat yang ciamik, tidak ditemukan dalam novel ini. Kisah ini sederhana, namun memikat karena keindahan sulaman kata-katanya. Kekuatan karakter tokoh utama cukup terasa. Konsistensi karakter Vienna sebagai perempuan teguh tetap konstan. Di sinilah tertangkap pesan bermakna dalam.

Dalam hal setting, penulis seperti biasa, tetap mahir memainkannya. Kota Batam dan Singapura, yang memang cukup akrab dengannya, tampil hidup mewarnai cerita ini. Begitu pun properti pendukung tokoh, sangat detil dijelaskan sehingga pembaca benar-benar memiliki gambaran utuh tentangnya.

Pada akhirnya, pembaca akan mendapati hakikat cinta sejati. Sebuah potret kehidupan Paman Dave hadir begitu menghentak, menyadarkan jiwa. Ketulusan cinta yang menjadi nafas kehidupan sang paman, menggambarkan episode keagungan cinta sejati. Sehingga bagian yang tiba-tiba muncul ini, mengaburkan kesan tempelannya karena pesan mulia yang terkandung di dalamnya.

Selamat menjalani cinta sejati..

“.. cinta tak lebih sekadar ucapan bibir selama kau tak mampu memperjuangkan apa pun.” (hlmn. 234)

Ping! Sebuah Kombinasi Hebat

Judul      :  Ping! A Message From Borneo
Penulis    :  Riawani Elyta dan Shabrina WS
Penerbit  :  Bentang Belia (PT Bentang Pustaka)
Tebal      :  139 halaman
Cetakan  :  2012
ISBN      :  978-602-9397-17-8

Pilihan tema fiksi remaja kian inovatif. Beberapa penulis melebarkan ide. Kisah percintaan tidak sebatas model cinta monyet yang lanjah-lenjeh, tapi dikemas dengan ide unik dengan penyampaian yang segar. Tema yang akrab dengan dunia remaja: persahabatan, cita-cita, dunia sekolah, dll kini hadir lebih beragam. Bahkan ada pula penulis yang mengangkat tema serius, seperti isu lingkungan, go green, save the earth,  dan semacamnya.

Tema serius  masih boleh dibilang jarang, karena tampaknya masih belum laku di pasaran. Acung jempol bagi para penulis yang concern pada masalah-masalah serius nan penting itu. Adalah Riawani Elyta dan Shabrina WS, dua dari sedikit penulis tersebut, dengan berani mengangkat tema yang tidak biasa, yakni penyelamatan satwa langka.

Dikisahkan tentang kiprah seorang remaja putri, mahasiswi tingkat satu, bernama Molly, beserta sahabat bulenya Nick dan Andrea, berpetualang ke kawasan Kalimantan, tepatnya Borneo Orang Utan Survival. Di sana mereka melihat sendiri, fakta menyedihkan tentang pengrusakan keseimbangan alam. Pembakaran hutan demi kepentingan pembukaan lahan sawit, telah mengakibatkan satwa-satwa kehilangan tempat tinggal. Banyak orang utan yang sengaja dilenyapkan, dengan rupa-rupa modus. Ada yang sengaja diberi pisang beracun, ada yang ditembak lalu dikubur, ada pula yang dijual secara illegal. Sehingga populasi orang utan menurun drastis.

Meski mengusung tema serius, namun bumbu-bumbu percintaan khas remaja, tetap hadir. Di Kalimantan, Molly berjumpa dengan sahabat kentalnya semasa SMA yang kuliah di sana. Namanya Archie. Niat Archie untuk mengajak Molly berjalan-jalan ke tempat-tempat indah di Kalimantan, ternyata bentrok dengan jadwal kunjungan ke konservasi hutan buatan untuk perlindungan orang utan. Lalu apakah Molly mengiyakan ajakan Archie, atau tetap pada rencananya semula? Mengapa Archie bersikap tidak ramah pada Nick? Cemburukah sebabnya? Akankah persahabatan Molly dan Archie berganti status  menjadi pasangan kekasih?

Selain petualangan Molly, dalam novel ini dikisahkan pula tentang perjalanan seekor orang utan yang masih kanak-kanak, bernama Ping. Ia kehilangan ibunya, yang ditembak oleh orang-orang biadab, para pelaku penjualan satwa langka. Setelah itu ia menemukan keluarga baru. Saudara yang hampir sebaya bernama Jong, serta ibunya yang lembut dan penuh kasih sayang.

Selayaknya kepada anak kandung, ibunya Jong banyak memberikan pelajaran keterampilan hidup kepada Ping. Sehingga Ping merasa nyaman dan terlindungi. Hatinya terobati.

Sayangnya hutan tempat mereka tinggal sudah tidak lagi aman. Kembali mereka berhadapan dengan para pemburu jahat. Apakah tragedi ditinggal ibu terulang lagi pada Ping? Siapa sajakah yang selamat dalam kejadian berdarah tersebut? Bagaimana nasib Ping dan Jong selanjutnya, tetapkah bersama ibunya?

Kisah Molly dan Ping ini tidak berjalan sendiri-sendiri. Ada benang merah yang dapat ditarik. Mungkin sudah dapat diterka, bahwa penelitian Molly ke kawasan hutan Kalimantan tersebut akan mempertemukannya dengan Ping. Pada bagian awal, agak terasa bosan mengikuti kisah ini, karena pertemuan kedua titik antara tokoh manusia dan hewan, belum kunjung tampak. Namun semakin ke dalam, kisah ini semakin menyihir. Tidak heran bila Anda tidak ingin melepas novel ini sebelum mengkhatamkannya.

Tanpa mengecilkan arti penulis yang satu, namun penulis bagian fabel sungguh patut diberi standing applaus.  Dijamin Anda akan berdecak kagum pada keseriusannya melakukan riset tentang orang utan. Betapa fasih penuturannya tentang kehidupan dan kebiasaan hewan yang mirip manusia ini. Bagaimana mereka memilih bahan untuk sarang, bagaimana trik-trik untuk mendapatkan madu dari sarang lebah, bagaimana gerak-gerik saat berayun dan bergelayut, seperti apa caranya mengungkapkan sayang, buah apa saja yang boleh dan tidak boleh dimakan, serta banyak lagi seluk beluk mereka, bahkan hingga seperti apa komunikasi antara suami dan istri orang utan, semuanya sangat gamblang diceritakan. Namun riset yang serius itu, di tangan seorang Shabrina WS, mampu disulap menjadi sebuah fiksi yang indah dengan pilihan diksi yang menawan sehingga mewujud dalam kisah yang menyentuh.

Sementara Riawani Elyta, yang selama ini berjaya pada genre dewasa, ternyata cukup piawai dalam genre remaja. Dialog-dialognya segar, serta karakter tokoh yang tidak lari dari pakem remaja.  Namun jangan berharap ada konflik yang seru dan tajam, karena kisah Molly cs ini cenderung lurus-lurus saja. Tidak ada adegan menegangkan saat tersesat di hutan, atau bagian mencekam saat mobil mogok di tengah jalan yang lengang kala hujan deras, misalnya. Kisah dalam novel ini benar-benar fokus pada permasalahan penyelamatan orang utan, kalaupun ada selingan, itu ringan saja. Sayangnya, tidak diisyaratkan bagaimana caranya seorang remaja dapat turut bergabung pada gerakan mulia tersebut. Mungkin bila ada teman kuliah Molly yang juga tertarik, lalu dijelaskan langkah awal untuk terjun di kegiatan itu, akan menjadi info yang sangat bagus untuk para remaja, sebagai sasaran tembak dari novel ini. Bukan tidak mungkin, pembaca ada yang tersentuh dan ingin bertindak nyata, namun tidak mengetahui caranya.

Membincang novel ini, maka perlu disebut juga penerbitnya yaitu Bentang Belia. Salut kepada penerbit tersebut yang telah memilih novel ini sebagai juara satu pada lomba menulis yang diselenggarakannya beberapa waktu lalu. Isu lingkungan hidup yang sangat kental, misi untuk mengajak para remaja agar peduli pada penyelematan satwa langka, merupakan idealisme yang harus dijunjung tinggi. Tema krusial yang sudah saatnya menjadi perhatian para generasi muda, perlu disosialisasikan seluas-luasnya. Dan, pasangan Riawani Elyta-Shabrina WS, yang bahkan belum pernah saling bertemu muka ini, telah menunjukkan cara cerdas melalui novel dengan terobosan yang berani. Novel yang memadukan tokoh manusia dan tokoh hewan bersanding manis, menjadi sebuah bacaan bermutu dengan kalimat-kalimat yang bertenaga.

Jumlah halaman yang relatif tipis, diharapkan membuat novel ini menarik, terutama bagi para remaja yang tidak terlalu doyan membaca. Tidak dibutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan novel ini, namun tentu efek yang dirasakan, semoga bisa bertahan lama. Mari selamatkan lingkungan, amankan hutan!

SEMANGAT MAN JADDA WAJADA

Judul Film     : Negeri 5 Menara
Sutradara      :  Affandi Abdul Rahman
Penulis skenario  :  Salman Aristo
Pemain  :  Gazza Zubizzaretha, David Khoirul, Lulu Tobing, Ikang Fawzi, Donny Alamsyah, dll
Produksi  :  Kompas Gramedia Production dengan Miilion Pictures
Tahun Rilis  :  2012

Sebuah novel yang sukses di pasaran, biasa diangkat ke angkat layar lebar. Kali ini, giliran novel “Negeri 5 Menara”, yaitu novel yang fenomenal dengan mencatat angka cetak ulang yang fantastis. Dan seperti biasa pula, orang kemudian akan menghubungkan film tersebut dengan novelnya. Lalu bagaimana dengan film ini? Apakah tetap memiliki ruh yang ditiupkan novelnya? Ataukah keluar jalur lalu menjelma tak ubahnya sinetron? Atau berada di tengah-tengahnya?

Berbicara mengenai “Negeri 5 Menara” artinya berbicara tentang semangat Man Jadda Wajada. Semangat yang menggerakkan daya juang para tokoh dalam kisah ini untuk berusaha mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil. Itulah makna kalimat berbahasa Arab tersebut. Maka, keinginan untuk menularkan semangat bersungguh-sungguh itu, yang mendorong A.Fuadi untuk menulis novel ini, berdasarkan pengalaman pribadinya.

Seperti novelnya, film ini berkisah tentang perjalanan Alif, seorang putra Minang yang mengembara ke Pulau Jawa demi menimba ilmu di pesantren bertajuk Pondok Madani, setara tingkat SMA. Di sana, ia berkarib dengan lima orang teman (Said, Raja, Dulmajid, Atang, Baso) yang lalu menahbiskan diri sebagai shahibul menara-karena kebiasaan berkumpul di bawah menara. Di bawah menara itu pula, mereka memancang mimpi untuk mengunjungi lima menara ternama di dunia, suatu saat kelak. Bagaimana perjuangan mereka selama belajar di Pondok Madani? Apakah keinginan Alif yang dulu, untuk bersekolah di SMA sudah sepenuhnya hilang setelah bersekolah di Pondok Madani? Lalu, apakah mimpi-mimpi keenam shahibul menara itu kelak mewujud nyata?

Film diawali dengan penolakan Alif untuk masuk pesantren seperti saran Amak (ibu)-nya. Pemeran Alif (Gazza Zubizzaretha) cukup berhasil mengekspresikan kegalauan akan pilihan sekolah itu, pun ketika ia sudah menjejakkan kaki di Pondok Madani. Sifat pendiamnya dapat tertangkap dari bahasa tubuhnya. Tokoh-tokoh lain memang tidak persis seperti yang ada di novel. Atang, misalnya. Tidak ada kacamata yang biasa melorot di hidungnya, karena Atang di film ternyata tidak berkacamata. Namun, logat bicara dan gerak-geriknya, pas mewakili tipikal orang Sunda. Juga tokoh-tokoh lain, namun perbedaan tersebut tidak terlalu prinsipil. Hanya cukup mengganggu juga, peran Kiai Rais diperankan oleh Ikang Fawzi. Aura kharisma kiai besar- Sang Renaissance Man- itu kurang tampak. Yang patut dihargai adalah usaha para artis untuk mampu berdialog khas Minang, sedang mereka bukan berasal dari sana, semisal Gazza Zubizzaretha (Alif), Lulu Tobing (Amak), dan Sakurta Ginting (Randai).

Mengharapkan isi novel akan terakomodir seluruhnya dalam film, tentu tidak fair. Jalinan cerita nan panjang tidak mungkin terangkum dalam film berdurasi kurang lebih 2 jam ini. Bukan hanya beberapa bagian yang tidak ditampilkan, namun ada juga bagian yang tidak ada di buku justru hadir dalam film. Improvisasi seperti pada adegan perdana di kelas, saat Ustadz Salman mendemonstrasikan keberhasilan memotong kayu dengan sebilah golok tumpul dan berkarat, lebih menguatkan ilustrasi semangat Man Jadda Wajada. Semangat yang mendidih itu terasa lebih menggelora.

Bagian shahibul menara yang berlibur ke Bandung, ke tempat tinggal Atang, sayang sekali tidak ditampilkan seperti dalam buku. Adegan mereka berkeliling bersepeda melintas sekolah khusus putri, tidak perlu dipasang dengan porsi panjang sampai Baso terjatuh dari sepeda. Yang penting justru menghadirkan bagian ketika Atang, Alif, dan Baso berceramah di masjid Unpad dalam 3 bahasa (Arab, Inggris, dan Indonesia) yang lebih mencirikan bahwa santri-santri itu piawai berpidato dalam bahasa asing. Penampilan mereka yang gemilang dan membuat hadirin terpukau, rasanya akan menjadi bagian dari film yang juga akan memikat penonton, dan nafas Pondok Madani akan lebih terasa. Entah apa pertimbangannya, bagian itu malah tidak ada.

Tampaknya film ini ingin menyiratkan bahwa Islam itu terbuka. Terlihat dari adegan saat Kiai Rais, pimpinan pondok pesantren yang kharismatik itu, dengan fasih membetot senar gitar dalam irama musik masa kini. Ini dilakukan beliau saat melihat Raja berlatih gitar dengan kurang mantap. Dan yang lebih ekstrim lagi adalah saat pertunjukan seni dari setiap kelas. Ternyata penampilan hip-hop hadir juga di sana.

Suasana persahabatan keenam shahibul menara, cukup asyik. Mereka saling mendukung, bahu membahu, dan bekerja sama dengan kompak. Kelucuan-kelucuan mewarnai interaksi mereka. Pun suasana mengharu biru terasa menyentuh, semisal kala perpisahan dengan Baso, tidak dapat terelakkan. Akting para pemain yang kesemuanya adalah artis baru, yang lolos dari audisi yang digelar di enam kota di Indonesia, cukup apik dan natural.

Beruntung, setting Pondok Madani benar-benar mengambil lokasi Pondok Modern Gontor. Kalau tidak, tentu akan menuai protes penonton, karena di situlah ruh kisah ini. Namun lagi-lagi sayang, suasana belajar yang keras, penuh perjuangan, bahkan melelahkan, tidak muncul di film. Tidak ada sahirul lail yaitu saat-saat belajar keras untuk menghadapi ujian pada waktu tengah malam hingga subuh. Santri-santri membuka buku pelajaran di tengah malam buta dengan semangat belajar yang menggila, ditemani kopi dan lampu semprong. Melawan kantuk yang hebat menyerang, semua bertekad untuk siap menghadapi ujian. Namun yang tampak, lebih banyak keenam shahibul menara itu beristirahat di bawah menara.

Terlepas dari bagian yang ada menjadi tidak, juga sebaliknya yang tidak ada menjadi ada, sesungguhnya spirit yang ingin disampaikan adalah tetap semangat Man Jadda Wajada. Maka, selagi menikmati film ini, dengan setting alam nan permai, atmosfer pesantren dengan ribuan santrinya, serta backsound musik yang manis, rasailah semangat itu menjalar ke dalam diri dan menginspirasi.

NOVEL DAN FILM, DUA RASA YANG BERBEDA

Judul Film    :  Hafalan Shalat Delisa
Sutradara     :  Sonny Gaokasak
Pemain         :  Reza Rahadian, Nirina Zubir, Chantiq Schagerl, Robby Tumewu, dll.
Awal rilis      :  22 Desember 2011
Produksi      :   Starvision

Sebuah novel best seller kerap diangkat kisahnya ke layar lebar. Pada satu sisi, banyak orang menyambut baik, namun di sisi lain, tidak sedikit pula yang menyangsikan filmnya tidak akan sebagus novelnya. Demikian pula yang terjadi pada novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye yang difilmkan dengan judul sama.

Bagi yang sudah membaca novelnya, bersiaplah untuk berdamai dengan rasa, ketika menyaksikan film “Hafalan Shalat Delisa”. Jangan berharap terlalu besar bahwa filmnya akan se-menawan novelnya. Meski bukan berarti film ini berkategori buruk. Namun tentu saja, tidak semua bagian dalam novel dapat diterjemahkan utuh dalam film berdurasi kurang lebih 2 jam ini.

Kisah dalam film diawali dengan keceriaan Delisa (Chantiq Schagerl) dan kehangatan keluarganya. Delisa gemar bermain bola bersama kawan-kawan lelakinya. Teman-teman Delisa, ada Umam, bocah gendut yang sering usil, dan Tiur, gadis kecil yang yatim. Dalam keluarganya, ada Ummi Salamah (Nirina Zubir), ibu yang sabar dan shalihah dengan cintanya melimpah ruah kepada keempat putri tercinta. Kakak-kakak Delisa, yaitu Kak Fatimah (Ghina Salsabila) yang dewasa dan penuh tanggung jawab. Juga si kembar Aisyah dan Zahra, yang berbeda karakter. Aisyah (Reska Tania Apriadi) banyak bicara dan sering protes, sedang Zahra (Riska Tania Apriadi) lebih pendiam. Dengan Aisyah, Delisa seringkali bertengkar khas anak-anak.

Delisa berusaha menghafal bacaan shalat agar dapat lulus dalam ujian praktek shalat di sekolah. Selain itu, dalam tradisi keluarga Delisa, bila lulus dalam ujian tersebut akan mendapatkan hadiah seuntai kalung. Delisa sudah memilih kalung cantik dengan liontin berinisial ‘D’ ketika diajak Ummi saat membelinya di toko milik Koh Acan. Pemilik toko emas itu sudah akrab dengan keluarga Delisa.

 Pada hari ujian shalat, Delisa khusyu’ merapalkan bacaan shalat di hadapan guru mengajinya, Ustadz Rahman. Saat itulah, tiba-tiba badai tsunami menghantam. Suasana rusuh. Orang-orang panik dan berpencaran. Namun Delisa tetap teguh pada bacaannya, lalu terombang-ambing dalam air bah yang membuncah itu.

Lhok Nga, desa tempat Delisa tinggal, hancur porak poranda. Semua musnah, rata dengan tanah. Mayat-mayat bergelimpangan dalam kondisi mengenaskan.

Delisa berhasil ditemukan oleh tim penyelamat asing. Personel tim yang pertama kali melihat Delisa, bernama Smith. Delisa lalu dibawa ke rumah sakit darurat. Saat itulah kamera televisi menangkap kejadian itu dan menyiarkannya secara live. Ketika itu, ayah Delisa (Reza Rahadian), yang bekerja di luar negeri, tengah hilir mudik mencari info tentang kemungkinan perjalanan pulang ke Lhok Nga. Abi, demikian ayah Delisa dipanggil, melewatkan tayangan film yang menampilkan gambar putri bungsunya, karena terlalu kalut menghadapi kenyataan terputusnya transportasi dan komunikasi ke Lhok Nga.

Delisa mendapat perawatan intensif, dan terpaksa kakinya harus diamputasi sebatas lutut. Seorang perawat baik bernama Shofi, telaten merawatnya. Delisa pun kemudian bersahabat dengan Smith dan Shofi.

Akhirnya Abi berhasil mencapai Lhok Nga dengan ikut bersama tim penolong. Abi tergugu memandang rumahnya yang tinggal puing-puing saja. Semua kenangan indah bersama keluarga tercintanya membuat Abi terperosok pada rasa kehilangan yang dalam. Ketiga putrinya dikabarkan meninggal. Istrinya masih belum diketahui nasibnya. Namun kepedihan Abi terobati ketika berhasil bertemu dengan Delisa.

Dimulailah babak baru Abi dan Delisa. Mereka berjuang menghadapi kenyataan pahit itu. Bencana tsunami telah merenggut segalanya, keluarga bahagia, sahabat-sahabat istimewa, desa yang menyenangkan, sekolah, meunasah, semuanya. Pada titik inilah, dengan kepolosan dan kebeningan hati yang dimilikinya, Delisa justru lebih kuat dan tabah, pun ketika berpisah dengan sahabat barunya, Smith dan Shofi. Delisa menjadi penyemangat, tidak hanya bagi Abi, tapi bagi banyak orang yang tinggal di tenda-tenda pengungsian. Delisa menebarkan senyuman dan keceriaan.

Film ini mengajak kita untuk memahami sebuah makna kehilangan. Kadang, kehilangan sesuatu dapat membuat kita jatuh terpuruk. Namun lihatlah Delisa, dengan begitu banyak kehilangan yang dialaminya (termasuk sebelah kakinya), ia memperlihatkan percikan semangat bahwa hidup terus berjalan, waktu terus berputar, dan kita harus tetap menjalaninya dengan tegar.

Kepiawaian akting pemain, membuat film ini menarik ditonton. Abi, dengan aneka perasaan berkecamuk, konflik emosi yang tinggi, kekuatan ekspresi, berhasil diperankan dengan baik oleh Reza Rahadian. Demikian juga, Chantiq yang ciamik memerankan Delisa nan polos dan tulus.

Meski lokasi film yang bersetting Aceh ini bukan diambil di tanah rencong, tapi irama musik khas Aceh yang mengiringi adegan-adegan dalam film, cukup membuat film ini beraroma Aceh. Lokasi film ini yaitu di daerah Ujung Genteng, Sukabumi.

Gambaran tsunami yang ganas cukup mewakili dahsyatnya peristiwa 26 Desember tujuh tahun silam. Sayangnya, durasi bencana tersebut singkat saja, tidak memperlihatkan betapa hantaman air itu meluluhlantakkan lokasi selain sekolah. Tapi, hal ini disiasati dengan pemandangan desa Lhok Nga pasca tsunami, yang menampilkan beberapa korban berserakan dalam kondisi menyedihkan.

Bagi penonton yang belum membaca novelnya, tentu cukup puas menyaksikan film yang menyentuh ini.  Tapi tidak bisa dipungkiri, bagi yang sudah lebih dulu jatuh cinta dengan novelnya, akan mendapati sejumlah kekecewaan. Bagian-bagian dalam novel tidak hadir dalam film. Tidak ada Ummi yang sibuk menjahit, sedikit sekali peran Ibu Guru Nur, hilangnya Kak Ubai, bahkan tiba-tiba Ustadz Rahman cukup mendominasi. Pun parahnya luka yang dialami Delisa, berbeda dengan kisah dalam novel. Rambut Delisa tidak dicukur habis akibat banyaknya luka di kepala. Sedikit pula lebam dan parut memanjang di bagian wajah.

Jika dalam novel, nilai-nilai Islami sangat kental, maka dalam film ada bagian-bagian yang dikurangi. Konflik saat Delisa kesulitan menghafal kembali bacaan shalat pasca musibah, tidak tampak. Suster Shofi tidak digambarkan sebagai perawat muslimah yang berkerudung. Dan tidak ada adegan prajurit Smith menjadi muallaf, lalu berganti nama menjadi prajurit Salam. Namun kalimat “Delisa cinta Ummi/Abi  karena Allah” cukup menjadi kekuatan film ini.

Terlepas dari deretan bagian dalam novel yang tidak tervisualisasikan, film ini tetap layak direkomendasikan sebagai film keluarga yang mendidik. Seperti harapan sang penulis novel agar pesan moral dalam kisah ini bisa sampai ke lebih banyak orang, bahkan yang tidak suka membaca sekalipun. Semoga hikmah melimpah dari film ini membawa kebaikan.  Tidak hanya mampu menguras airmata, namun memberi pencerahan kepada penonton.

Tak ada gading yang tak retak, bukan? Keindahan kata-kata yang dijalin Tere Liye dalam untaian kisah memukau “Hafalan Shalat Delisa” boleh jadi sulit untuk diterjemahkan utuh dalam bentuk film. Bukan hal yang mudah mewujudkan kekuatan kata-kata yang bertenaga dalam sebuah karya visual. Karena novel dan film, adalah dua rasa yang berbeda.



SEMESTA MENDUKUNG

Judul Film     : Semesta Mendukung
Sutradara      :  Jhon de Rantau
Penulis skenario  :  Hendrawan Wahyudianto, Jhon de Rantau
Pemain  :  Revalina S.Temat, Lukman Sardi, Helmalia Putri, Sayef Muhammad Billah, dll
Produser  :  Putut Widjanarko
Tahun Rilis  :  2011


Sebuah film produksi Mizan teranyar yang dirilis akhir Oktober ini, bisa dinikmati segala usia. Terinspirasi dari banyaknya anak-anak Indonesia yang bertarung di arena olimpiade sains Internasional. Kata “Mestakung’ sendiri diilhami dari jargon yang dipopulerkan Prof. Johanes Surya. Sang begawan sains ini menuangkan ide dan semangat dalam bukunya yang bertajuk “Mestakung”.

Berlatar pulau Madura, tepatnya Sumenep, film ini menggambarkan kisah anak SMP yang berjuang menuju laga sains Internasional. Mengambil alur mundur maju, film diawali dengan tokoh utama yang berada di dalam pesawat lalu menuturkan musabab ia mengangkasa menuju ibukota.

Adalah Arif, anak kampung yang cerdas, hidup serba kekurangan bersama ayahnya yang sopir serabutan. Ibunya pergi tujuh tahun silam, konon bekerja ke negeri tetangga, Singapura.  Penuh ketekunan Arif mengumpulkan uang demi membayar seseorang agar mencari ibunya. Orang itu, Paman Alul, tetangga yang bekerja di Malaysia. Menurut Arif, karena Malaysia berdekatan dengan Singapura, tentu Paman Alul berpeluang besar menemukan ibunya. Paman Alul memanfaatkan kesempatan tersebut dengan memasang tarif tinggi, dan Arif bertekad menyanggupi.

Di sekolah, Arif adalah murid kesayangan Bu Tari, guru Fisika. Bu Tari melihat keistimewaan Arif yang mampu menerapkan Fisika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat saat Arif berinteraksi dengan teman-temannya. Selain di sekolah, Arif pun mampu menggunakan nalarnya ketika memprediksi sapi mana yang akan menang dalam lomba karapan sapi.

Melihat potensi Arif, Bu Tari mendorongnya untuk mengikuti lomba sains tingkat propinsi. Awalnya Arif menolak. “Kalau saya ikut lomba, kapan saya mencari uang?” kilahnya. Namun Bu Tari tetap menyerahkan formulir pendaftaran berikut surat pengumumannya. Ketika membaca surat pengumuman, mata Arif terbelalak. Sontak ia mau mengikuti lomba yang berhadiah jutaan tersebut.

Perjuangan Arif yang getol berkutat dengan buku-buku Fisika bersama pendampingan Bu Tari, ternyata kandas. Bapak kepala sekolah tidak menyetujui dengan alasan klasik, tidak ada dana.

Bu Tari tidak menyerah. Ia menghubungi kawan lamanya, Pak Tio, di FUSI (Fisika Untuk Siswa Indonesia). Dikirimnya CD yang berisi kepintaran Arif saat menerapkan Fisika praktis. Rupanya, Bu Tari pun dulu aktif di FUSI namun karena terdapat perbedaan prinsip dengan salah seorang rekan, Bu Tari berkhidmat menjadi guru di kampung, membina anak-anak di pelosok agar mencintai sains.

Pak Tio, pengajar di FUSI tertarik pada Arif dan bersengaja terbang menemuinya untuk mengajak bergabung di FUSI. Di asrama FUSI, sejumlah siswa digodok sambil diseleksi untuk mengikuti lomba sains Internasional. Lagi-lagi awalnya Arif menolak, dengan alasan sama: ia harus cari uang, tidak ada waktu untuk lomba. Namun kemudian Arif berubah pikiran. Ia bertekad ingin berusaha tembus seleksi, karena ternyata lomba sains Internasional diselenggarakan di Singapura.

Tekad Arif membulat demi rindunya nan tak terperi kepada ibunda tercinta. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa Paman Alul hanya memanfaatkan dirinya untuk diperas. Alamat ibunya yang telah diberikan Paman Alul beberapa waktu lalu, membuatnya yakin bisa menelusuri sendiri bila ia berhasil menginjak Negeri Singa itu.

Paman Alul kecewa karena ‘mangsa’nya terlepas. Kemudian ia membeberkan masa lalu buruk ayahnya. Kebiasaan berjudi, telah membuat ibunya mengelana ke negeri seberang. Arif kecewa bukan buatan. Ia menanyakan kebenaran kabar tersebut. Namun ayahnya mengelak, akhirnya berang. Hubungan ayah-anak itu pun menegang.

Saat Arif hendak berangkat ke Jakarta, ayahnya luluh. Mereka berdamai, saling memeluk erat. Arif pun terbang ke Jakarta dengan restu ayahnya.

Sampai di situ, film bergerak maju. Apa yang terjadi saat Arif di asrama FUSI, bagaimana interaksi dengan siswa lain, bagaimana hasil seleksi, hingga seperti apa keinginannya berjumpa dengan ibunda, semua diramu dengan letupan konflik yang cukup. Artinya, film dibuat tidak terlalu datar, namun juga tidak terlalu bergejolak. Bila film keluarga biasanya menguras airmata, maka dalam film ini, cukup membuat hati tergetar dengan lelehan airmata tak begitu deras.

Akting para pemain tidak buruk dan tidak menonjol. Nama-nama besar seperti Fery Salim, Revalina S.Temat, dan Feby Febiola tampil biasa saja. Hanya Lukman Sardi yang tetap tampil berkarakter.

Pemain baru yang memerankan tokoh Arif, rasanya kurang pas. Untuk peran seorang anak yang hidup tanpa pengasuhan ibu, sejak usia awal SD hingga usia SMP, pertumbuhan fisik Arif terlalu pesat. Arif tampil dalam sosok remaja tinggi besar untuk ukuran seusianya.

Kekuatan dialog kurang muncul, bahkan ada yang terkesan bertele-tele.  Pemain lokal sebagai figuran, nampak agak kaku. Namun setting cukup berbicara. Ladang garam yang kerontang, karapan sapi, jembatan suramadu, sangat kuat menampilkan pesan.

Hal lain yang membuat penonton sedikit mengernyit adalah kostum Bu Tari. Sebagai guru sekolah negeri di kampung, penampilannya cenderung modis. Mungkin untuk menggambarkan bahwa guru fisika bukan model guru-guru kuno yang menyeramkan.

Ajakan untuk mencintai sains tercium kuat dari film ini. Tentang fisika, atau sains umumnya, diperlihatkan bahwa sebenarnya sains dekat dengan kehidupan. Fisika adalah pelajaran asyik dan menyenangkan. Tak perlu dibuat rumit, namun mainkan saja logika dan imajinasi.

Ok, film ini layak direkomendasi untuk ditonton keluarga. Di dalamnya juga menyuguhkan manisnya persahabatan. Pula meniupkan semangat pantang menyerah. Ia mengajak untuk terus bermimpi dan berusaha meraih impian tersebut. Jika itu dilakukan, semesta akan mendukung.

Bermimpilah, berjuanglah, maka.. mestakung!