Sabtu, 30 November 2013

Demi Guggenheim... Aroma Pelitur Itu Sungguh Tercium..


Judul Buku                :  Memori
Penulis                        :  Windry Ramadhina
Penerbit                      :  GagasMedia
Terbit                         :  2012
Tebal Buku                :  viii + 304 halaman
ISBN                           :  979-780-562-x

Setelah aku jatuh cinta pada Montase, kali ini aku bertekuk lutut pada Memori. Kenapa baru sekarang ya, aku baca novel yang keren ini. Ah, itu tidak penting. Better late than never.

Aku suka sekali judul novel Windry. Itu juga impianku bila kelak menyelesaikan sebuah novel. Aku ingin menggunakan hanya satu kata saja. Impianku ini sebelum mengetahui keberadaan novel-novel Windry lho, yang kesemuanya hanya menggunakan satu kata.

Ini novelnya arsitek banget. Dari halaman pertama sudah tercecap rasa arsitek yang kental. Deskripsi desain interior sebuah rumah, sangat detil dan seperti terpampang di depan mata. Dan dari halaman pertama itu, ternyata hingga akhir, pembaca tersedot ke dalam dunia arsitek.

Adalah Mahoni, arsitek cantik, yang menjadi tokoh sentral. Masa kecilnya tersuramkan oleh perceraian kedua orangtuanya. Hanya sekejap ia merasakan kehangatan kasih sayang seorang ayah, selanjutnya ia dibawa menjauh oleh ibunya. Lalu hidupnya dibayangi oleh dendam dan nestapa yang senantiasa mewarnai hari-hari ibunya, yang seorang penulis. Bahkan novel-novel yang ditulis ibunya selalu penuh dengan kegetiran. Dunia yang muram itulah yang diembuskan oleh ibunya ke dalam kehidupan Mahoni.

Alur maju mundur ditempatkan dalam porsi yang pas. Mahoni bertutur tentang masa kini, sesekali melompat ke belakang, berganti-ganti, dari masa kecilnya, kenangan bersama Papanya, hingga masa kuliahnya saat berinteraksi dengan teman lelakinya, Simon.

Setting selalu menarik di tangan Windry. Detil menjadi ciri khasnya. Suatu tempat benar-benar dibentangkan wujudnya di hadapan pembaca. Menyenangkan, jauh dari kesan sok tahu. Virginia dan Jakarta, keduanya mendapat perlakuan sama.

Sebagai seorang arsitek, Windry tampaknya memang berjiwa seni tinggi. Terlihat dari pilihan katanya. Tertata artistik. Tidak terbawa arus dalam kegenitan diksi. Sepintas kadang mirip gaya novel terjemahan. Seperti kebiasaan Mahoni memanggil ibunya, hanya memanggil nama saja.

Konflik muncul teratur, tidak meledak-ledak, tapi cukup mengaduk emosi. Diawali kematian Papanya, Mahoni mulai terbentur pada masalah-masalah yang membuyarkan rencana hidupnya. Meski ada unsur kebetulan, tiba-tiba Mahoni berjumpa dengan teman lelaki dari kenangan lalunya, namun sama sekali tidak terasa unsur sinetronistik. Kejadiannya terbungkus cantik. Sebuah kebetulan yang elegan.

Kesunyian yang menyergap Mahoni, kerinduan alam bawah sadarnya akan kehangatan sebuah keluarga, mengemuka secara kuat namun penyampaiannya halus, tidak emosionil. Demikian pun perasaan yang berkembang antara Mahoni dan Simon, tidak straight to the point, tapi mengalun lembut.

Munculnya Sofia, antara Mahoni dan Simon, sangat membantu gerak cerita. Terasa manusiawi, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalahnya. Mahoni dengan sikap keperempuanannya yang tentu memikirkan perasaan sesama perempuan, lalu Simon yang rasionil dan memiliki ego khas lelaki. Kepungan masa lalu yang memenuhi pikiran Mahoni, membuat langkahnya tersendat. Ditambah kehadiran Sigi, adik tirinya, membuat kisah cinta dalam novel ini tidak dibikin terlalu mudah, namun terasa natural. Yah, begitulah dalam hidup. Kadang kita menemukan hal yang selalu dihindari, tapi ternyata hal tersebut malah melekat dalam kehidupan. Kita harus menghadapinya dengan meluaskan jarak pandang dalam alam pikir disertai sugesti positif. Karena hidup menjadi ceria atau suram, kita lah yang menentukan.

Yang menarik juga dari Windry adalah, nama tokoh-tokohnya keren dan tidak biasa. Dalam Montase, ada Rayyi (Bao), Bev (Bevani), Samuel Hardi, Sube, dll. Tapi tidak euphoria nama aneh juga, karena ada nama yang sangat biasa, semisal: Andre, Mirna. Begitu pun dalam Memori, selain Mahoni, ada nama Mae, Sigi, Neri, Regulus, Ni Mar, tapi tetap ada nama Nisa, Pak Sur, yang biasa-biasa saja.

Oh ya, aku tidak merasa perlu menceritakan sinopsis novel ini. Baca saja sendiri. Aku khawatir kalau ada sinopsis, akan mengurangi kenikmatanmu berasyik masyuk dengan novel ini.. J

Boleh saja ada yang berpendapat, tidak heran novel ini sangat arsitek karena Windry memang arsitek. Tapi kukira, itu tidak berbanding lurus begitu, kan? Bahkan aku benar-benar merasa bisa mencium aroma pelitur yang menguar dari bengkel Papa Mahoni. Menuliskan detil, bercerita panjang lebar tentang dunia arsitek, membutuhkan sentuhan citarasa yang berkelas. Dan.. demi Guggenheim.. Windry nyaris sempurna melakukannya.   

So, maafkan aku kalau aku tidak berhasil menemukan bagian yang janggal atau bahkan buruk dalam novel ini. Semuanya aku suka. Terserah, kau mau bilang aku terlalu tergila-gila pada novel ini. Dalam hal ini mungkin benar, cinta itu buta.. J

Baiklah.. baiklah.. akhirnya aku menemukan bagian itu. Entah, apa ini menjadi khas Windry, tapi selalu ada kissing lips yang cukup membuatku.. ehm.. sedikit jengah. Biasanya diawali dengan kecupan kejutan yang tiba-tiba. Bukan ciuman yang direncanakan, tapi efeknya menggetarkan. Maka, ada kecupan susulan yang lebih mengandung.. apa ya? gairah..? yah, semacam itulah.. Nggak banyak juga sih, sekitar sekali atau dua kali saja.


Aku berharap, setelah ini aku bisa menemukan dua novel Windry yang lainnya, Orange dan Metropolis. Kemarin aku menghubungi tobuk online, dan hasilnya nihil. Apakah kau mau berbaik hati mencarikannya untukku? Atau boleh kubeli koleksimu? 

Sabtu, 23 November 2013

Tentang Menggapai Mimpi

Judul Buku                :  Montase
Penulis                        :  Windry Ramadhina
Penerbit                      :  GagasMedia
Terbit                         :  Cetakan IV, 2013
Tebal Buku                :  viii + 360 halaman
ISBN                           :  979-780-605-7
Ini  novel karya Windry yang pertama kubaca. Sebetulnya aku sudah cukup lama mendengar nama Windry, tapi baru kesampaian kemarin beli novelnya. Kenapa aku belinya ‘Montase’? Karena yang terlihat di promonya bukubukularis.com pada waktu itu ya novel ini, dan aku langsung naksir aja. Bungkuus..

Ketika novel itu baru mendarat, kuperlihatkan ke temenku (cowok) yang suka baca novel juga, katanya, “Males ah.. covernya sendu.. pasti mellow, sedih-sedih gitu deh…”

Pas aku perhatikan, iya juga sih… tapi aku teuteup baca dong. Daan.. selesai membacanya.. oh, aku jatuh cinta sama gayanya Windry bertutur. Nggak pake lama, aku dengan rela hati langsung menahbiskan diri sebagai fans Windry Ramadhina.

Kebiasaanku sebelum membaca isi novel, pasti baca-baca dulu kata pengantar, ucapan terima kasih, sama biodata. Ada fotonya… aiih, ternyata Windry imut dan manis.

Rupanya karena melihat foto Windry itu, maka aku jadi salah menduga, saking itu image Windry terekam di benak. Kukira tokoh ‘aku’ adalah seorang perempuan, ternyata dia cowok.. :D

Jadi ini cerita tentang cowok bernama Rayyi yang kuliah di Fakultas Film dan Televisi IKJ. Dia merasa jatuh cinta sama film dokumenter, tapi sayangnya cinta bertepuk sebelah tangan. Karena ayahnya, seorang produser film ternama, melarang keras. Alasannya ya karena film dokumenter nggak profit oriented. Perang batin lah si Rayyi, antara idealismenya vs memenuhi keinginan orangtua yang tinggal seorang diri (ibunya telah meninggal).

Pada saat yang sama, Rayyi ketemu Haru, cewek Jepang yang belajar film dokumenter di IKJ (katanya sih di  Jepang nggak ada jurusan itu… *melongo deh gue!). Nah, si Haru ini ternyata malah dengan segenap jiwa meminggirkan kecintaannya menggambar dan memilih jurusan film demi menyenangkan hati kedua orangtuanya. Rayyi merasa tertampar. Bagaimana bisa Haru melakukan itu dengan wajah ceria dan senyum yang sempurna?

So, inilah perjalanan Rayyi menemukan dirinya. Apakah mempertahankan idealismenya atau bertekuk lutut pada perintah ayahnya?

Aku suka banget sama deskripsi yang disuguhkan Windry. Detil, tapi nggak cerewet. Gimana suasana kampus, gejolak emosi tokoh, sampe lekuk-liku jalan dan tempat-tempat yang menjadi latar, semua tersampaikan apik. Dialognya enak dikunyah, termasuk suara-suara bisikan hati, nggak ada yang mubazir.

Yang aku acung jempol juga, Windry fasih menuturkan segala hal yang berhubungan dengan film. Padahal kan dia arsitek ya? Risetnya tentang film dan per-IKJ-an nggak setengah-setengah. Berasa betul-betul masuk di lingkungan perfilman dan lika-liku kuliah di IKJ.

Karakter Haru sebagai cewek Jepang, nggak dibuat-buat. Nostalgia lah aku, berasa ketemu sama temen dan dosen yang nihonjin jaman kuliah dulu. Ditambah dengan petikan beberapa dialog berbahasa Jepang.. aiih, natsukashii na..

Sekarang sisi romance-nya. Ini nih yang bikin aku geleng-geleng kepala. Feel-nya dapet banget, padahal nggak bertaburan kata-kata yang berbunga-bunga. Malah nggak peduli sama kegenitan diksi. Tapi aku sukses berderai-derai airmata. Hatiku mencelos. Benar-benar terhanyut.

Untuk adegan Rayyi menangis, aku nggak merasakan kalau itu bentuk kecengengan. It’s so natural. Laki-laki nggak haram menangis kan?

Jadi novel ini perfecto, gitu? Of course not! Tak ada gading yang tak retak lah. Seperti yang udah aku sebut di awal, penggambaran Rayyi di bagian mula novel ini, masih terasa kabur. Aku nggak nemu bagian yang menunjukkan kalau Rayyi itu cowok, jadi kukira ia semacam cewek Jakarta yang tomboy.. :D

Terus, bagian Rayyi berkunjung ke rumah Haru di Jepang, kok tau-tau Rayyi faseh gitu nihongo o hanashimasu. Maksudnya, lancar ngomong bahasa Jepang. Pera-pera ne. Kalau emang saking cintanya Rayyi sama Haru sampe bela-belain kursus bahasa Jepang, mbok ya disiratkan lah. Lagian mereka sering main-main ke Japan Foundation. Ada kali info-info tentang kursus bahasa Jepang.

Lalu tentang keluarga Rayyi. Kenapa harus ibunya meninggal? Kukira kalau ada tokoh ibunya, nggak akan merusak jalan cerita, malah mungkin bisa menjadi sedikit mewarnai konflik minor. Dan sekian lama ayahnya menduda? Hmm.. dia kan hidup dan bernapas di lingkungan film, masa seh nggak kepingin nikah lagi? Nggak ada juga ilustrasi betapa ayahnya teramat sangat mencintai ibunya sehingga memutuskan untuk setia selamanya.

Satu lagi, tentang leukemia. Duh, nggak ada lagi penyakit lain ya? Rasanya bosen deh, leukemia dijadikan ‘kambing hitam’ untuk adegan tokoh utama yang berpenyakit mematikan.


Okeh pemirsah, jadi apa ya, yang ingin disampaikan Windry melalui novel ini? Di halaman muka tertulis ‘untuk kalian yang tidak pernah berhenti bermimpi’. Yup! Jangan khianati mimpi kalian. Perjuangkan! Bukan berarti harus melawan orangtua juga sih. Tapi lihat perjuangan Rayyi, bagaimana dia tulus ikhlas menjadi ‘kacung’ di rumah produksi Samuel Hardi demi mereguk ilmu dan beroleh kesempatan membuat film dokumenter. Ketika pilihan dijatuhkan, sadari konsekuensi yang harus dijalani. Jangan sampai bertindak konyol tanpa perhitungan, agar bagian-bagian kehidupan menjadi satu gambar utuh yang lebih baik. Kiranya itu yang dimaksudkan Windry dengan ‘montase’.


Selasa, 19 November 2013

Ajarin Dong.. Bikin Resensi..!

Aku dah lupa, dulu buku apa ya, yang pertama kali aku resensi, persisnya kapan juga, aku nggak inget. Dan ketika pertama kali ngeresensi itu, rasanya sih nggak bakal kepikiran bakal jadi sering nulis resensi.

Setelah beberapa kali ngeresensi, teman-teman berkomenan. Beberapa basa-basi, beberapa lagi puja dan puji. Entah, apakah puja dan puji itu pun sebenarnya basa-basi atau bukan.. hehe.. tapi aku mah huznuz zhan aja, lebih baik juga kuanggap doa, semoga diaminkan para malaikat.

Makin ke sini.. ekenapa aku jadi seolah-olah spesialis tukang resensi? Seneng sih, tapi ada sedikit berbeban. Karena ngerasa masih jaaauh dari kapasitas seorang peresensi. Impian tertinggi untuk saat ini, pingin bisa nangkring di Kompas.. heuheu.. biarin ah, mimpi ketinggian juga. FYI, aku dah dapet 2 surat cinta dari Kompas, dengan alasan penolakan yang sama: kurang kritis dalam menimbang buku.

Sejujurnya, aku memang acap dilanda sungkan bila ngeresensi dengan tajam. Mau kasih kritik-kritik pedas, suka mikirin perasaan. Jadi kalau ngeritik, sehaluuus mungkin. Tapi sekarang aku udah mulai sedikit-sedikit mencoba belajar nggak main perasaan.. hehe.. meski masih dalam skala ketajaman versi aku.

Oh ya, dulu aku ngeresensi selalu bergaya agak-agak formal. Nggak pernah kayak orang-orang yang nyantai, macam mengobrol biasa. Mungkin karena tanpa sadar aku membiasakan diri untuk ngeresensi ala media formal. Tapi lama-lama, aku pingin juga nyoba ngeresensi model gitu. Akhirnya aku pun melenturkan diri dan menulis resensi lebih santai.

Nah, yang bikin aku bingung, kalau ada teman-teman yang bilang, “ajarin dong, bikin resensi”. Aku nggak ngerti, musti gimana ngajarinnya. Aku sendiri, nggak belajar secara khusus. Aku hanya menulis aja, apa yang kurasa dan kupikirkan setelah membaca sebuah buku. Aku juga baca-baca resensi orang lain, dalam hal ini, Untung Wahyudi. Aku lihat bagaimana isi kalimat pembuka, lalu pas masuk ke ulasan, hingga penutup.

Kalau sekarang teman-teman menganggapku spesialis resensi, itu karena mereka nggak tahu betapa aku banyak juga dicuekin sama media. Termasuk lomba-lomba resensi, nggak sedikit yang terlempar dengan sukses, padahal ketika dibaca teman-teman, bertaburan puja dan puji juga.. hehe.. Ya, setiap resensi punya garis nasibnya sendiri-sendiri, kayaknya.. J

Yang terbaru, kabar resensiku bikin aku seneeeng banget! Resensiku terpilih sama GPU sebagai Resensi Pilihan minggu ini. So, resensiku ditampilkan di web Gramedia dan semua kanal sosial milik GPU. Aku ngeresensi novel Amore karya Mbak Riawani Elyta. Dalam hal ini, aku berterima kasih sama Marisa Agustina, karena tadinya aku berniat untuk ngeresensi novel ini dengan sasaran KorJak. Eternyata, Marisa udah mendahului. Pas aku lagi mikir-mikir, tiba-tiba tanpa sengaja aku membaca event Resensi Pilihan di akun twitter Gramedia. Waktu itu, novel Amore-nya belum tiba di tanganku. Jadi kupikir, yaa kalau keburu ikutan, kalau nggak ya mau gimana lagi.. Ternyata, Alhamdulillah keburu juga di ujung pekan.

Buat yang pingin tahu gimana cara ikutan event itu, gampang kok.
1    1.  Tulis resensimu, terserah mau di blog, di goodreads, atau di fb.
2     2.  Tweet link-nya ke @Gramedia dengan tagar #ResensiPilihan
3     3.  Buku yang diresensi, bebas. Boleh fiksi atau nonfiksi. Yang jelas, harus terbitan Gramedia atuh, dengan tahun terbit paling lambat dua tahun ke belakang (tapi kayaknya lebih afdol kalau yang agak-agak baru.. imho).
      
      Kalau mau lihat resensi-resensi pilihan di web Gramedia itu, bisa dibaca-baca dengan mencarinya di #ResensiPilihan, atau langsung aja buka web Gramedia. Waktu ikutan kemarin, aku belum sempat baca-baca resensi yang ada di sana. Aku hanya baca resensi yang menang di minggu lalu, resensi buku fiksi fantasi. Dan karena buku yang aku resensi jauh banget dari fiksi fantasi, jadi aku nulis yaa sekeluarnya isi hati dan pikirku aja.. hehe.. Alhamdulillah, kepilih. Resensiku ini nih. Versi aslinya di blog, ada penampakan bagus lho.. hihi..
S   
e    Sekarang ini aku punya beberapa naskah resensi, tapi masih bingung mau kirim ke mana. Mau ke KorJak, kayaknya dah kebanyakan ngirim ke sana. Mau ke media level nasional, duh maqomnya belum nyampe. Mau ke media lokal, yang di Jawa Barat dikelola sama redaksinya. Hadeuh.. berarti harus menajamkan intuisi dan analisis supaya bisa dilirik sama media nasional. Ganbatte ne.

Sabtu, 16 November 2013

Secangkir Masala Chai

Blurb:
Untuk alasan dan kepentingan masing-masing, Ravey dan Talitha memutuskan untuk menikah. Pernikahan yang sarat perbedaan dan tak sedikit pun diselipi rasa cinta membuat rumah tangga mereka seakan berjalan di atas bara api. Posisi Talitha makin terjepit saat ibunda Ravey menantangnya untuk membuktikan bahwa pernikahan mereka dapat mengubah karakter buruk Ravey.

Pengakuan dari seorang wanita bernama Mary Anne bahwa ia tengah mengandung anak Ravey kian memperuncing persoalan persoalan. Belum lagi semua persoalan ini terurai, kecelakaan menimpa Ravey. Kecelakaan yang dicurigai justru ditujukan untuk menyingkir Talitha.
Berhasilkah Ravey dan Talitha melalui semua kemelut itu? Siapakah sebenarnya dalang di balik kecelakaan yang menimpa Ravey?

Review:
Predikat “Pemenang Berbakat Lomba Novel Amore” yang tersemat pada novel ini, membuat saya nggak bisa menahan diri untuk nggak membelinya. Menurut saya, predikat itu lebih seksi kedengarannya daripada pemenang 1, 2, dan 3. Kalau novel juara, ketahuan lah pasti romantis abis, ngAmore banget gitu.. Tapi, pemenang berbakat, sepertinya nyaris romantis tapi ada sesuatu yang membuatnya istimewa.

Menelusuri lembar demi lembar, terasa bahwa novel ini memang bukan sekadar menampilkan ke-amore-annya, tetapi penulis mengeksplor kemampuannya dalam menguntai kata. Yang langsung terbayang adalah riset yang nggak main-main untuk menghasilkan deskripsi yang detil dan cantik. Yup! saya pikir di situlah salah satu kekuatan novel ini.

Setting tempat didominasi Singapura. Wow.. berasa benar-benar disuguhkan Singapura di depan mata. Nama-nama jalan dan tempat serta lekuk likunya tergambar jelas. Jadi kepikir, apa penulisnya survey dulu ke sono ya, karena deskripsinya hidup, nggak berasa sekadar copas dari si Om pinter, Om Gugel.

Tokoh utama, Talitha, berprofesi sebagai dietician, sebuah pilihan profesi yang tak biasa dalam sebuah novel. Dan lagi-lagi, penulis mengolah profesi ini maksimal. Hal-hal yang berkaitan dengan nutrisi, pola makan yang sehat, food combining, juga ilustrasi kasus-kasus klien, mewarnai kisah ini, bukan sebagai tempelan belaka.

Riset lainnya tentang kultur Hindi. Lawan main Talitha, Ravey, berasal dari keluarga Hindi yang tinggal di Singapura. Berbagai kebiasaan seputar budaya masyarakat Hindi, memberi pengetahuan baru buat saya, termasuk yang saya ambil sebagai judul review ini, secangkir masala chai. Itu adalah teh khas India yang dibuat dengan menyeduh teh hitam dan menambahkan rempah-rempah serta herbal India. Bermula dari secangkir masala chai itu pulalah, hidup Talitha memasuki babak baru. Dia diterima dalam lingkungan keluarga Malhotra.

Tak ketinggalan beberapa petikan bahasa Hindi turut menambah suasana ke-Hindi-an. Dan enaknya, terjemahan langsung ada di sampingnya, nggak harus cari-cari di bagian bawah atau bahkan membuka bagian belakang.

Opening cukup menarik, dengan menampilkan konflik Talitha yang kondisinya berada di ujung tanduk. Ia terjepit antara keluarga dan karier. Di satu sisi, ia hampir terdepak dari pekerjaannya, tapi pada saat yang sama, keluarganya sangat membutuhkan biaya. Lalu muncul solusi yang ditawarkan rekan kerjanya. Sampai di sini, hmm… saya agak sedikit sebal, karena solusinya adalah menikah dengan laki-laki tak dikenal yang gantengnya nggak ketulungan, pewaris tahta dinasti Malhotra yang kaya raya. (Itu sebal atau sirik ya..? haha.. ) Tapi kemudian, it’s Ok, karena penulis piawai meracik kata, jadi saya tetap bisa menikmati ceritanya. Diksinya manis tapi nggak sok dramatis, alur tetap terjaga, pengembangan karakter yang cukup logis, diselingi kejutan-kejutan, membuat saya cukup puas dengan novel ini.

Kemesraan yang ditampilkan, jauh dari vulgar, meski itu mewakili sebuah hubungan suami istri. Ia terasa lembut dan menyentuh dibalik bahasanya yang santun. Dan saya yakin ini nggak mudah ya, mengingat penulis lain acap menggambarkannya melalui adegan yang lebih nyata semisal kissing lips. Sementara AMOT ini boleh dibilang bersih dari adegan-adegan semacam itu.

Pesannya juga tertangkap dengan baik. Bahwa pernikahan sebagai episode sakral dalam hidup, harus dilandasi dengan niat yang benar, bukan sekadar mengusung satu kepentingan tertentu. Pesan ini menyusup halus, nggak terkesan memaksakan diri.

Lalu, demikian sempurnanyakah novel ini? Tentu tidak, kawan! Tetap saja, ‘tak ada gading yang tak retak’. Aroma sinetronistik cukup menguar tajam. Pernikahan semu antara pasangan yang nggak saling cinta. Kok Talitha mau ya, tiba-tiba nikah sama Ravey yang di awal tampak nyebelin itu? Sok ganteng, sok main perintah, sok yakin kalau Talitha pasti mau. Terus, kenapa nggak Ravey tampangnya biasa, tampang India yang item dan serem, dan bukannya semodel Hrithik Roshan? Kayaknya konflik bakal lebih seru.. J

Tiba-tiba harus nikah sama cowok kayak gini? hmm...


Selain unsur amore, ada juga intrik misteri. Sebuah kecelakaan menimpa Ravey. Kecelakaan misterius yang membutuhkan detektif Conan untuk memecahkannya. Acung jempol buat menghadirkan intrik ini, tapi sayangnya, bagian ini nggak digarap terlalu maksimal. Unsur ketegangan dan efek misterius yang bikin penasaran, kurang terasa.

Prolog menarik, tapi menurut saya, kaitannya dengan isi cerita secara keseluruhan kurang kuat tersirat.  Meski memang bisa dicerna, tapi rasanya plant harvest itu kurang terpanen di dalam cerita. Penyakit jiwa, pseudo-halusinasi, kurang tergarap maksimal.

Betewe, novel ini recommended. Covernya juga asyik, dengan warna cakep dan nuansa Hindi-nya. Dan novel ini nggak heran dianugerahi predikat ‘pemenang berbakat’.  Jadi, nggak bakal nyesel kalau kalian beli. Judulnya betul-betul menggambarkan isi cerita, A Miracle of Touch.  So, selamat menikmati keajaiban sentuhan, dan semoga kamu juga mengalami keajaiban itu.. J

Judul Buku                :  A Miracle of Touch
Penulis                        :  Riawani Elyta
Penerbit                      :  Gramedia Pustaka Utama
Terbit                         :  Cetakan I, 2013
Tebal Buku                :  240 halaman
ISBN                           :  978-979-22-9949-6

Harga                         :  Rp. 50.000


Jumat, 08 November 2013

Tentang Betang

Menghela  napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Aku tertegun. Menjeda sejenak. Di tanganku, tergenggam novel mungil bertajuk Betang. Baru saja kukhatamkan. Dan inilah yang tertinggal di benakku, tentang Betang..

Novel ini sejuk, tenang, mengalir, mungkin seperti sungai-sungai yang ada disebut dalam kisah di dalamnya. Tidak ramai konflik. Meski ada sebagian orang yang menyebutnya sebagai ‘kekurangan’ penulis novel ini, tapi aku tidak melihatnya demikian. Setiap penulis punya style-nya masing-masing toh? Dan ketika ia tidak menampilkan konflik yang semarak, maka pada sisi lain ia menonjol.  Quote-quote yang indah mewarnai, tak hanya sebagai hiasan, namun ia mencerahkan.

Sempurna tak selamanya sesuai dengan keinginan kita. Nyess… hatiku meleleh. Betapa ku acap berontak oleh ketidaksesuaian garis hidup dengan keinginan.

Kita bisa memilih, tetap membenci dan terus menerus sakit hati, atau memaafkan dan membiarkan langkah menjadi ringan. Lagi-lagi aku terdiam. Duhai, memaafkan dan membiarkan segala yang telah lalu tak lagi membayangi… sungguh aku masih terhuyung melakukannya.

Tentang Betang, tentang Danum, Kai, Arba, Dehen, Ayah, semua begitu sederhana. Tak ada bagian yang meledak-ledak. Dan ketika tiba di puncak konflik, sealaminya muncul genangan di pelupuk mata, lalu meluruh, membasahi pipi. Sebuah kesedihan yang menggiris dalam diam, menimbulkan senyap yang merayap ke segenap penjuru hati.

Dalam kesyahduannya, novel ini membuka kesadaranku, membuatku terperangah, menggiringku untuk semangat tiada lelah. Kerja keras, kesungguhan berjuang, keteguhan pada iman, cinta tulus yang tak bersyarat, adalah hal-hal yang mutlak harus dilakoni. Aku harus melakukannya, meski entah nanti ceritaku  akan berujung di mana…


Rabu, 06 November 2013

Gelombang Hidup

Rasanya saat ini aku ngerasa kalau yang orang bilang bahwa hidup itu bergelombang, memang benar adanya. Dulu, aku berpikir, hidupku benar-benar datar. Walaupun nggak datar-datar banget juga sih. Tapi ya, relatif aman terkendali. Dari SD sampai perguruan tinggi, selalu sekolah di sekolah negeri yang kualitasnya baik, dengan prestasi yang cukup menentramkan hati.. :) Lalu menikah dan berumah tangga, lancar-lancar aja. Tapi.. sstt.. kisah cintaku di masa lalu yang berusia 7 tahun itu kandas.. yah, memang nggak jodoh.. *senyum bijak deh.. campur getir.. hehe..

Nah, seiring waktu yang terus bergerak, gelombang demi gelombang mulai bermunculan. Rupa-rupa lah, nggak usah diceritakan detil. Tapi kesemuanya berasa banget sekarang ini. Aku merasa, banyak hal yang sudah terlewatkan. Ya ampun.. harusnya saat itu aku begini ya, aku begitu ya. Kadang merasa terlambat menyadari, tapi kupikir better late than never lah ya.. :)

Jadi sekarang, di usia yang.. ehm.. kepala 4 ini, aku nggak mau larut menyesali semua yang terjadi. Mau diapakan lagi ya.. toh waktu nggak bisa berjalan mundur. Artinya, kini lebih baik berpikir ke depan saja. Jangan sampai nanti mengalami penyesalan seperti yang sekarang dirasakan. Mencoba menata hidup lebih baik.

Ffyuuh... menata hidup lebih baik tuh macam mana? Seringkali mood turun naik. Paling repot saat mood terjun bebas. Mayday.. mayday.. susah dah cari pertolongan. Yup! karena yang bisa menolong diriku ya diriku sendiri juga. Harus punya kekuatan membaja dari dalam diri. Aih.. beratnya... tapi harus bisa!

Kadang iri sama yang usianya masih pada 30-an apalagi yang 20-an, rasanya pingin balik lagi. Tapi.. come on, berpijaklah di dunia nyata. Mumpung ini kepala 4 masih baru menginjak di awal, ya efektifkan hidup dong. Dan... sumpeh.. itu nggak gampang buatku. Meski udah ngerasa termotivasi oleh banyak pengalaman hidup orang lain, membaca-baca kesuksesan orang lain, tapi kadang lagi-lagi terhenti pada ranah kagum dan takjub aja. Ayo Linda.. action!

Maka kupikir, gelombang hidup yang berisi suka dan duka itu bisa terformat dalam beragam bentuk. Semisal ujian atau musibah. Ternyata tidak saja berupa kesulitan atau kemalangan. Tapi ujian, sanggupkah melepas sesuatu yang menyenangkan yang itu bukan peruntukannya buatku. Atau bisa juga, keharusan untuk meninggalkan hal-hal yang menyenangkan karena tetiba sederet pekerjaan harus aku lakoni. 

Dari kesemua hal yang terjadi, pada akhirnya bermuara pada satu titik. Bagaimana segalanya ini membuat diri semakin dekat dengan Sang Penggenggam Kehidupan. Bahwa seluruh kejadian yang dilalui adalah demi semakin baiknya kualitas diri di hadapanNya. Bahkan kesadaran seperti ini pun, apakah sebatas berbentuk kesadaran saja, atau mampu menggerakkan? Duhai, ini fase yang berat, Jenderal.

Semoga, dengan menulis ini, aku benar-benar sanggup berubah menjadi lebih baik. Lebih sadar. Lebih logis. Lebih rasionil. Lebih sensitif. Ya, lebih segala hal yang baik lah. 

Mari bergerak... mari menjadi...