Senin, 24 Juni 2013

Resensi SUNSET IN WEH ISLAND *)

MENGEMAS EKSOTIKA TANAH AIR DALAM SEBUAH KISAH CINTA



Judul Buku                :  Sunset in Weh Island
Penulis                        :  Aida MA
Penerbit                      :  Bentang Belia (PT Bentang Pustaka)
Terbit                         :  Cetakan I, Januari 2013
Tebal Buku                :  viii + 252 halaman
ISBN                           :  978-602-9397-73-4
Indonesia, negeri dengan 13000 pulau yang terhampar dari ujung barat hingga timur, memiliki keindahan yang mengagumkan. Sayangnya, informasi tentang keindahan negeri sendiri kerap kurang menggaung. Sehingga wisatawan domestik masih terkonsentrasi di tempat-tempat populer, seperti: Bali, Lombok, Jogjakarta, dsb.
Novel “Sunset in Weh Island” membidik keindahan pulau kecil di ujung barat Aceh, Pulau Weh. Buku mengeksplorasi alam di sana dalam sebuah kisah cinta. Dengan segmen pembaca remaja, cara ini sungguh efektif untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air dan menggairahkan minat generasi muda mengunjungi wilayah-wilayah negeri sendiri. Tokoh utama kisah ini justru seorang pemuda Jerman. Ia mengunjungi pamannya di Pulau Weh. Axel, nama pemuda itu, meninggalkan Goettingen, Jerman, demi menghindari konflik dengan sahabatnya, Marcel.
Dalam perjalanan menuju Pulau Weh, terjadi perjumpaan dengan Mala, gadis Aceh, mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Syah Kuala. Meski awal pertemuan itu terkesan klise, yakni bertubrukan karena langkah yang tergesa, namun tidak mengurangi keasyikan novel ini.
Pertemuan Axel dan Mala terus berlanjut. Cottage paman Axel, Alan Scuba Diving, ternyata bersebelahan dengan restoran milik ayah Mala, Laguna Restaurant.  Maka, Mala dan ayahnya sudah akrab dengan paman Axel yang bernama Alan. Lucunya, setiap pertemuan Axel dan Mala, senantiasa diwarnai adu mulut. Sehingga Axel menganggap Mala adalah gadis yang unik, cerdas, dan tidak mau kalah dalam berargumen.
Tokoh lain, ada Raffi. Instruktur diving pada Alan Scuba Diving, yang merupakan cinta pertama Mala. Ia kakak kelas Mala ketika di SMA. Dan hingga lima tahun berlalu, Mala belum sanggup melupakan rasanya.
Sebagaimana kisah remaja, novel ini mengangkat percintaan remaja yang berbalut kegalauan. Mala bingung karena Axel ternyata mencintainya. Ia sendiri tidak yakin, apakah akan tetap bertahan pada rasa cinta pertamanya, ataukah membiarkan hatinya terbuka menyambut Axel. Kemudian muncul Andreea, gadis Jerman yang mencintai Axel, membuat kisah cinta ini tidak mudah ditebak pembaca.
Berbicara setting,  penulis menggarapnya maksimal. Pembaca disuguhkan keindahan Pulau Weh dan sekitarnya. Detil Pelabuhan Ulhee-lhee, Balohan, Ie Boih, Pulau Rubiah, Danau Aneuk Laot, Tugu Nol Kilometer, dan tempat-tempat eksotis lainnya, dihadirkan jelas. Keindahan momen sunset dan sunrise pun semakin melengkapi. Dan, siapa sangka di pulau terpencil itu terdapat show room mobil mewah import dengan harga miring? Mulai dari Jaguar, BMW, Alphard, Lexus, Mercedes Benz dengan beragam tipe, bentuk, dan warna, berjejer rapi (halaman 137).
Tak ketinggalan keindahan bawah laut, pun tampil mempesona. Karang-karang yang berwarna semarak, berkibar-kibar, sesekali terlihat mengembang mengerucut. Gerombolan ikan seperti dalam Finding Nemo, hilir mudik di depan, belakang, kiri, dan kanan (halaman 98).

Ada pesan tentang keseimbangan hidup. Bagaimana laut yang tenang kemudian bergelombang, membawa ombak naik, surut, menepi, lalu kembali lagi. Tuhan membuatmu memiliki sahabat, tapi bersamaan dengan itu Tuhan memberimu musuh. Saat kamu senang, maka Tuhan juga memberimu sedih. Mengapa? Agar kualitas bahagiamu lebih berlipat ganda. Ketika kamu marah, maka Tuhan memberimu kesempatan untuk memaafkan. Untuk apa? Agar kamu belajar menjadi dewasa dari kesalahan orang lain (halaman 192). Sisi lain, pembaca diajak memaknai sebuah kesetiaan. Aku tahu, separuh hatiku tertinggal di sini, karenanya aku selalu kembali, di hatimu (hal.243).


*) dimuat di Harian Koran Jakarta, edisi Sabtu, 22 Juni 2013

Jumat, 21 Juni 2013

SIAPAPUN BISA... SELAMATKAN ANAK BANGSA

Pelajaran kali ini aku dapat dari warung Ceu Encum, di dekat rumah. Waktu itu aku belanja biasa. Saat lagi milih-milih, datang seorang anak, "Ada Aibon?" tanyanya. Lalu Ceu Encum bilang, "Ga ada, abis!" Anak itu terdiam sejenak, hingga akhirnya meninggalkan warung.

Ceu Encum pun mulai bercerita (seperti kebiasaannya). "Saya mah suka ragu-ragu, kalau ada anak yang pingin beli aibon. Apalagi anaknya kayak tadi itu. Kuyu, lecek, mencurigakan."

"Emang kenapa, Ceu?" tanyaku.

"Takutnya dipake ngelem. Pan anak-anak yang di daerah atas itu terkenal suka mabok, pokoknya pada ga bener, pada suka ngelem," jawab Ceu Encum dengan nada prihatin.

"Jadi sebenernya, aibon teh ga abis?"

"Iya. Tapi daripada nanti malah dipake ga bener, mending saya bilang ga ada."

"Ga ngerasa rugi, Ceu? barang dagangannya ga jadi ada yang beli..."

"Ga apa-apa, Neng. Daripada anak-anak itu teh malah ngelakuin yang ga bener pake barang dari sini. Nanti saya ikut kebawa dosa."

"Ceu Encum hebat..."

"Saya mah kasian sama anak-anak kayak gitu teh, Neng. Tapi ga bisa ngelakuin apa-apa. Yaah... bisanya saya cuma mencegah mereka ngelakuin yang ga bener."

Pembicaraan berlanjut dengan keprihatinan yang kental dari Ceu Encum, akan kelangsungan masa depan anak-anak yang notabene adalah generasi muda bangsa ini. Akan menjadi seperti apa negeri ini bila generasi muda bukannya semangat berprestasi tapi malah menghancurkan diri sendiri dengan ulah negatif. Bahkan untuk berbuat ga bener itu butuh modal. Dan ketika mereka ga mampu, malah memaksakan diri dengan mencari alternatif lain, seperti ngelem.

Aku tercenung dengan perbincangan sederhana ini. Ceu Encum dengan 'langkah kecil' nya telah berbuat sesuatu untuk menyelamatkan anak bangsa. Ia memiliki kesadaran yang sangat baik sehingga menumbuhkan kepedulian yang tinggi terhadap perilaku buruk anak-anak muda di lingkungannya. Andai semua orang dewasa menyadari hal ini, tentu akan lebih banyak anak muda yang terselamatkan. Untuk sebuah tujuan mulia, dengan kalimat mentereng: menyelamatkan anak bangsa, ternyata bisa dilakukan siapa saja, dengan tindakan sederhana namun nyata, dengan niat yang luhur. Tidak perlu didapat dari ruang seminar yang mewah, atau dari ruang diskusi berkelas. Ceu Encum, tanpa atribut apa pun, tanpa mengusung kepentingan apa pun dan siapa pun, tulus melakukannya.

Kita, sudahkah?

Selasa, 18 Juni 2013

JEJAK SAKSI

Hari ini aku mulai lagi liqo'. Akhirnya ditempatkan juga setelah enam bulan tak kunjung di-follow up. Dan, lagi-lagi terkaget-kaget dengan hal baru yang aku temui di kota ini. Hadeuh.. jauh sama di Bogor. Tapi, aku ga akan membahas tentang suasana liqo. Tadi aku mendapat sesuatu yang rasanya selama ini hilang. Sebuah rasa kembali. Berada di sebuah kondisi dimana kita saling mengingatkan. Subhanallah.. rindunya pada tetes-tetes segar akan kajian ayat-ayatMu, Yaa Rabb.

Berhubung em-er ga datang, jadi diisi dengan kultum dari mutarobi yang namanya Ani. Ia mengambil satu ayat dari Surah Yasin ayat 65. Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.

Seketika aku teringat pada lagu Chrisye yang liriknya ditulis Taufik Ismail dengan inspirasi dari ayat itu. Meleleh air mataku setiap mendengar lagu tersebut.

Aku menyimak uraian Ani. Bahwa seluruh bagian tubuh kita akan merekam dengan baik, segala apa yang telah kita lakukan. Tak hanya tangan dan kaki, namun jantung, hati, jaringan otak hingga ke sel-sel darah. Semuanya.

Tentang daya rekam ini, Ani menuturkan sebuah kisah. Ada seorang pria yang mengalami sakit jantung parah, dan tidak ada jalan lain untuk menyambung hidupnya kecuali dengan transplantasi jantung. Singkat cerita, didapatlah jantung dari seorang pendonor. Lalu operasi pencangkokan pun berjalan sukses. Pria tersebut hidup dengan normal kembali. Hingga 13 tahun kemudian, pria itu ingin mengetahui jatidiri sang pendonor. Pergilah ia menuju rumah sakit tempat ia dioperasi dulu. Sayangnya pihak rumah sakit tutup mulut, tersebab kesepakatan dengan keluarga pendonor untuk tidak membuka identitas. Bolak-balik pria itu mengulang permintaannya, namun pihak rumah sakit memegang teguh kesepakatan tersebut.

Pria itu tidak kehilangan akal. Ia menemui dokter yang dulu mengoperasinya, dan akhirnya sang dokter luluh. Diberitahukannya identitas keluarga pendonor. Segeralah pria tersebut menemui istri pendonor yang tentu saja sudah menjadi janda itu. Ia menyampaikan rasa terima kasihnya yang dalam. Komunikasi terus berlanjut, hingga pria itu dan sang janda mengalami ketertarikan, merasakan rasa yang sama. Maka, keduanya menikah.

Dalam perjalanan rumah tangga mereka, timbullah masalah. Si pria merasa tidak sanggup menghadapinya, hingga ia mengambil jalan pintas dengan bunuh diri.

Cerita ini membuktikan betapa bagian tubuh merekam dengan baik peristiwa yang terjadi pada 'tuan'nya. Jantung tersebut merekam perilaku pemiliknya. Saat ia berpindah tempat, hal-hal yang dulu terjadi, kembali berulang. Misal: tertarik pada wanita yang sama, pun wanita tersebut merasa melihat suaminya yang dulu, melalui gerak-gerik dan cara bicara pria tersebut. Termasuk peristiwa bunuh diri. Hal itu pula yang menyebabkan meninggalnya si pendonor. Jadi ketika menemui masalah dalam rumah tangga untuk kasus yang sama, maka jalan yang ditempuhnya adalah bunuh diri. Wallaahu'alam, apakah ini cerita ini nyata atau fiksi.

Yang patut kita garis bawahi adalah jangan sampai peristiwa yang terekam pada anggota tubuh kita didominasi oleh hal-hal buruk bergelimang dosa. Istighfar dan bertobatlah, bergegas menuju ampunanNya.

Selain anggota tubuh, benda mati pun dapat menjadi jejak saksi bagi amal-amal kita. Itulah sebabnya mengapa seusai mengerjakan sholat fardlu, kita dianjurkan agar bergeser, berpindah tempat untuk melakukan sholat sunah rawatib. Sehingga lantai yang menjadi saksi amal baik, menjadi lebih luas areanya. Begitu pula dengan jalan-jalan yang kita lalui saat pergi ke majlis ilmu atau ke masjid, semua akan menjadi saksi. Hatta, saat membuang sampah yang tercecer di jalan, maka jalan tempat bekas sampah tersebut pun menjadi saksi bahwa kita beramal dengan menjaga kebersihan.

Subhanallah, mari bersegera memperbaharui niat. Segala amal yang kita lakukan hanyalah demi ibadah semata, demi meraih ridlo-Nya. Dan di yaumul hisab nanti, biarkan anggota tubuh serta benda-benda mati sekeliling, riuh memberikan kesaksian tentang amal shalih yang kita kerjakan. Aamiin.




Sabtu, 15 Juni 2013

NADIA TAMPIL

Anakku, Nadia (10 thn), sudah menunjukkan minat pada dunia kata. Sangat gemar membaca dan suka menulis. Nadia punya blog bertajuk "Surga Kata-kata Milik Nadia" dengan tagline: Di sinilah Nadia Bersenang-senang dengan Kata-kata. Di blog itu Nadia berceloteh tentang kesehariannya, tak ketinggalan rangkaian cerpen dan juga puisi.

Kupikir, pada dasarnya Nadia adalah seorang pemalu (buah apel jatuh tak jauh dari pohonnya.. :D). Sejak duduk di bangku SD belum pernah tampil, berada di panggung, entah itu dalam event lomba maupun acara-acara sekolah. Maka, ketika belum lama ini Nadia menyampaikan kabar bahwa dirinya akan tampil membacakan puisi pada acara Kenaikan Kelas dan Perpisahan di sekolahnya, aku cukup terkejut. Untuk ukuran anak baru yang 5 bulan bersekolah di sekolah baru, rasanya ini cukup luar biasa.

Memang aku selalu menanamkan rasa percaya diri kepada anak-anak. Mengapa harus malu, toh yang dihadapi sama-sama manusia, bukan? Aku selalu mendorong anak-anak agar berani maju, berani bertanya, berani mengutarakan pendapat, selama itu dalam koridor kebenaran.

Puisi yang akan dibawakan Nadia berjudul PR Sekolah. Dia menceritakan betapa bergunanya PR buat siswa karena dengan mengerjakan PR akan membuat tambah pintar dan juga menambah nilai. Kata-kata dalam puisinya sederhana. Khas anak-anak.

Pada hari 'H', aku mengantar Nadia. Ia tampak nervous melihat panggung dengan deretan penonton yang padat di depannya. Aku berusaha menyemangati, lalu menjanjikan hadiah bila ia tampil bagus. Nadia menjadi tenang. Dan.. saat penampilannya tiba... sejujurnya aku deg-degan. Tapi Subhanallah.. Alhamdulillah.. Nadia berhasil mengatasi kegugupannya. Semuanya berjalan baik dan lancar. Bahkan guru-gurunya pun memuji. Temannya sendiri berkomentar: "Kamu kok lebih bagus tadi, Nad... daripada waktu latihan di kelas!"

Setelah penampilan perdananya itu, Nadia tampak lebih percaya diri. Menurutnya, berada di atas panggung dan menghadap penonton yang banyak, ternyata biasa-biasa aja. Aku tersenyum mendengarnya. Ada pelajaran di sini. Setelah yang pertama terlalui dengan baik, maka berikutnya tinggal melanjutkan saja. Begitu pun dengan hal lain. Tulisanku,misalnya. Bila nanti pertama lolos di penerbit, tentu selanjutnya aku akan lebih percaya diri dan bersemangat. Maka jalan untuk menembus yang pertama itu, harus kupersiapkan dengan matang. Karena yang pertama, akan sangat menentukan langkah kedua. Dan semoga akan disusul langkah ketiga, langkah keempat, dst.






Jumat, 14 Juni 2013

Bersyukur... Bersyukur... Bersyukur

Aku paling anti nonton acara-acara infoteintment (duh.. nulisnya gmana seh..? :P). Tapi ketika suatu hari ponakanku dateng dan memegang remote, ya sudahlah... ga enak hati mau merebut, lalu membiarkan ia memilih acara yang paling kuhindari itu.

Mau ga mau aku agak-agak nyimak juga. Dan aku terpaku menatap seorang artis yang sedang menjadi topik utama. Dia memproklamirkan diri berubah wujud, berganti kelamin. Parasnya cantik, tubuhnya molek.

Yang mengusik pikiranku adalah, bagaimana perasaan ibunya. Duh, sebagai seorang ibu, rasanya aku merasakan betapa pilu bila anak menempuh jalan salah. Aku ga tau jalan hidup si artis tersebut, bagaimana keluarganya dan latar belakangnya. Aku hanya melihatnya dari sudut pandangku. Tapi kupikir tentu orangtua si artis tersebut telah mendidiknya sedari kecil. Bahkan kulihat, artis itu pernah juga rekaman album religi sewaktu dulu sebagai penyanyi cilik.

Aku jadi teringat anak-anakku. Sedari kecil, aku arahkan mereka untuk melangkah hanya di jalanNya. Sekolah di SDIT, full day. Di rumah aku perdengarkan nasyid dan tilawah. Aku haramkan sinetron dan infotaintment. Aku usahakan terlindungi dari hal-hal buruk.

Kini, anak-anakku beranjak remaja. Mereka mulai memperlihatkan 'perlawanan'. Tidak lagi suka dengan nasyid. Mulai menyukai acara-acara ABG. Duh... sejujurnya aku bingung menghadapi ini.

Kata orang-orang, sekarang ini memang masanya, nanti juga mereka akan berubah pikiran. Tapi aku ga mau gambling. Aku merasa harus melindungi mereka. Hanya caranya kerap membuatku pusing tujuh keliling. Dan ini membuatku nyaris stress.

Melihat mereka abai pada suara azan, asyik baca komik, khusyuk nonton film Naruto, aku was-was. Fokus pada pelajaran sekolah ga terlihat, aku kebat-kebit. Aku bersuara nada tinggi, mereka malah seperti ga peduli. Aku melembut, khawatirnya dianggap lembek.

Tapi melihat artis yang menempuh jalan salah itu, sepertinya aku harus bersyukur. Yup! bersyukur seenggaknya anakku masih on the track. Anakku masih sholat. Tilawah, meski kadang-kadang. Yah... walau hafalan sudah menguap, aku berharap di masa depannya mereka akan kembali merawat hafalannya yang dulu pernah mengisi kalbunya.

Aku sama sekali bukan bermaksud ngrasanin artis itu, ya. Duh... sama sekali nggak. Aku hanya berusaha memetik ibroh dari kejadian tersebut. Bahwa anak-anak itu jangan sampai kita 'lepas'. Bila pada saatnya nanti mereka harus jauh terpisah jarak, karena kuliah di lain kota atau di luar negeri (Aamiin...), kita harus tetap 'mengikat'nya dengan doa. Kita ga bisa menutup mata dari lingkungan pergaulan yang semakin ga karuan. Pengaruh buruk bisa berhembus di mana saja. Maka kita, para orang tua, mari lindungi anak-anak dengan doa yang tulus, dan jangan letih untuk terus mengingatkan mereka agar senantiasa menjaga akhlaknya.

Meski mereka tetap terlihat manis, jangan sampai pola pikirnya tercemar. Aku lihat, para sahabat artis itu, menganggap bahwa jalan yang ditempuh sahabatnya adalah haknya. Mereka mendukung sahabatnya, bahkan terkesan mengacungkan jempol karena dianggapnya berani menentukan sikap, tanpa takut dibicarakan orang. Duh... lagi-lagi aku mengurut dada. Jangan sampai pula anakku berpikiran nyeleneh seperti itu. Aku yakin, artis dan para sahabatnya itu tidak merasa salah atas apa yang dilakukan dan diucapkannya.

See, betapa tugas kita sebagai orangtua tidak ringan, meski jangan juga menjadi menyerah karena beratnya itu. Kita bermohon kepada Allah, sang Penggenggam Kehidupan, agar diberiNya kekuatan, kemampuan, dan kesabaran, dalam mendidik dan membesarkan buah hati tercinta. Aamiin.

Selasa, 11 Juni 2013

AKU PENULIS BUKAN SIH?

Itu betul-betul pertanyaanku buat diriku sendiri. Aku mulai sedikit terusik dengan aktivitasku akhir-akhir ini yang rasanya semakin membuatku sulit untuk menulis. Padahal, konon teman-teman penulis yang aku kenal, mereka setiap hari pasti menulis. Lha aku? riweuh sama kerjaan domestik dan kutukan princess sleeping beauty. Duh.. aku nih penidur banget.. :(

Coba kita flashback dulu, gimana ceritanya aku bisa ambil bagian di dunia tulis menulis. Jujur, kadang aku merasa aneh sendiri. Karena temen-temenku biasanya memulai menulis sejak kecil. Mereka membuat cerita apa saja di buku apa saja. Sedang aku? Uh, pelajaran Bahasa Indonesia saja tidak menarik minatku kala itu. Namun karena aku memang merasa harus mendapat nilai yang baik, maka nilai Bahasa Indonesia ya selalu di atas rata-rata.

Bahkan ketika ternyata aku kuliah di Fakultas Sastra pun aku tidak nyadar tentang segala ilmu susastra Indonesia. Yang menjadi konsentrasi hanyalah seputar matakuliah yang berhubungan dengan kejepangan. Aku malah baru ngeh ketika kemarin tanpa sengaja aku membaca transkrip nilai, Ooh.. ternyata ada matakuliah "Pengantar Linguistik", "Pengantar Kajian Sastra", "Metode Penelitian Sastra".. dan ternyata matakuliah "Bahasa Indonesia" aku dapat C. -_-

Lalu aku mulai nyemplung di dunia tulis menulis, ketika punya akun fb sekitar penghujung 2010. Aku terkagum-kagum sama tulisan orang-orang yang keren banget, menurutku. Terutama tulisan temenku yang satu itu (ga usah aku sebut namanya ya.. :D). Terbitlah keinginan untuk bisa menulis juga, tapi ga mimpi as good as him, yang penting bisa nulis dengan panjang dan jelas maksudnya, ga ngalor ngidul geje.

Aku ingat banget ketika mulai nulis di note fb, sampai berpuluh-puluh menit bolak balik nulis-delete-nulis-delete. Akhirnya cuma jadi 1 paragraf.. haha.. Rugi bandar deh, waktu itu msh nge-rental di warnet. Belum punya modem dan atau speedy.

Tak lama kemudian, ada audisi menulis yang digawangi Tias tatanka-Gola Gong. Aku pun ikutlah. Tanpa beban. Dan.. pada hari pengumuman, aku berdebar-debar karena membaca notif namaku di-tag Mbak Tias Tatanka. Ternyataa,, tulisanku lolos! Aku terpana. Rasanya tak percaya. Maka.. Tias Tatanka mengubah hidupku.. (lebayy..) Aku pun jadi semangat ikut-ikut lomba menulis untuk antologi.

Kini, setelah kurleb ada 17 antologi yang terbit, teman-teman mulai menyemangati supaya aku menulis buku sendiri. Glekt!

Entahlah, kadang aku masih merasa belum menjadi penulis. Aku tidak mengharuskan diri setiap hari menulis. Sesempatnya dan tergantung kebutuhan, Pas ada lomba, ya nulis. Ga ada lomba, kadang sibuk ngurusin yang lain. Atau pas lagi niat ngirim tulisan ke media, ya nulis.

Tapi, sekarang kepikir juga untuk setiap hari nulis, setidaknya di blog. Toh di blog aku bisa bebas menulis apa aja. Semoga sih ada yang bermanfaat bagi yang baca.. (halloow.. ada yang baca nggak yaa..? ^^ )

InsyaAllah, mulai hari ini dst aku mau nulis setiap hari. Bukan untuk legitimasi sebagai penulis. Tapi yaa.. konon menulis itu kan terapi jiwa. Semoga dengan menulis bisa lebih membuatku sehat secara fisik dan psikis.


Senin, 03 Juni 2013

PELAJARAN CINTA DARI GAZA

Judul Buku                :  Rinai
Penulis                        :  Sinta Yudisia
Penerbit                      :  Gizone Books (imprint of Indiva Media Kreasi)
Terbit                         :  Cetakan I, September 2012
Tebal Buku                :  400 halaman
ISBN                           :  978-602-8277-65-7


Sebuah novel mengisahkan sebuah cerita, itu biasa. Tidak demikian dengan RINAI. Ada cerita dalam cerita, di dalamnya. Tokoh Aku didatangi seorang ibu yang membawa buku catatan harian milik anaknya, bernama Rinai. Sang ibu berharap agar buku harian itu ditulis menjadi sebuah kisah. Maka mewujudlah kisah Rinai.
Alur cerita mengalir dengan beberapa flashback. Masa lalu Rinai memiliki andil besar dalam kehidupannya. Termasuk mimpi menahun yang terus menguntit dalam tidurnya. Tentang Ular. Mimpi inilah yang menjadi pijakan awal kisah ini. Dan pembaca langsung dipertemukan dengan Freud. Aroma ilmu psikologi mulai tercium, dan akan terus mewarnai novel ini.
Rinai, mahasiswi psikologi, hidup dalam keluarga yang memegang erat keluhuran nilai-nilai Jawa. Ibunya, Bunda Rafika, tipikal wanita Jawa yang tangguh dalam ke-nrimo-annya. Tak pernah ada perlawanan meski mengalami tekanan dari sana-sini. Sing waras ngalah.
Di kampusnya, Rinai mengagumi dosen bernama Nora Efendi, seorang psikolog klinis. Asisten lab-nya, Amaretta, kakak kelas Rinai yang tengah menempuh S2,  sepertinya tak pernah bisa ‘rukun’ dengan Rinai. Mereka tergabung dalam tim relawan HRHW (Human Relief for Humanitarian Welfare) cabang Indonesia. Sebuah organisasi independen yang bergerak untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, terutama berkecimpung di wilayah konflik, korban bencana, atau daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh pemerintah terkait. Gaza, tujuan perjalanan kali ini. Rinai berada di bawah pimpinan Nora, dalam tim kecil yang bertujuan mengatasi posttraumatic stress disorder, bersama tim trauma healing lainnya, juga para jurnalis dan praktisi medis. Perjalanan di Gaza inilah, yang menjadi jantung novel ini.
SintaYudisia, memang pernah mengunjungi Gaza. Maka, ia seolah tidak melewatkan satu inci pun penglihatannya tentang kondisi Gaza untuk dihadirkan kepada pembaca. Detil setting sangat rinci hingga ke hal-hal kecil. Tidak hanya bermain apik dalam setting tempat, penulis juga menampilkan karakter tokoh-tokohnya melalui penggambaran fisik dan emosi yang lengkap.
Kondisi Gaza sebagai wilayah konflik ternyata tidak porak poranda dalam semua aspek. Mereka tetap berkegiatan senormal yang mereka bisa. Apa yang menyebabkan daya tahan demikian besar dari warga Gaza? Mengapa tingkat depresi kecil, sangat minim kasus skizofrenia, bahkan violence tak menjadi kebiasaan umum masyarakat? (halaman 179) Ternyata kuncinya adalah kecintaan pada Quran. Mereka akrab dengan huruf-huruf Quran, yang bergerak dari kanan ke kiri, menyeimbangkan kerja otak. Mereka bahkan menghafalnya, terutama Surat At Taubah dan Al-Anfaal. IQ anak-anak tak ada di bawah angka 100. Beberapa orang dewasa fasih berbahasa Inggris. Mereka memiliki tingkat kecerdasan yang baik. Semua bermuara pada keyakinan akan nilai-nilai Islam. Everything is from Allah and back to Allah (halaman 180). Shiroh Nabawiyah dan kisah shahabat dipelajari dengan baik. Mereka belajar bagaimana survive dalam kehidupan. Masjid, Quran, belajar, berjuang, bertahan. Itulah orbit yang dilalui terus menerus (halaman 181).
Perang tentu menimbulkan kerusakan. Bangunan-bangunan hancur, pasokan listrik dibatasi, dan aneka ketidaknyamanan lainnya, tidak menampilkan kemurungan. Bahkan keramahan warga Gaza sangat menonjol. Mereka menyambut baik kedatangan para pemberi bantuan dari negara lain. Namun bukan tersebab menerima bantuan. Bagi warga Gaza, menjamu tamu, menghormati tamu adalah sebagian dari keimanan (halaman 183). Betapa nilai-nilai Islam demikian merasuk dalam keseharian mereka.
Pada bagian lain, penulis menggiring halus pembaca pada pelajaran cinta tanah air. Mereka berjuang keras demi berkibarnya bendera di tanah sendiri. Sementara kita, di negeri merdeka ini, kerap abai pada nilai sejarah berkibarnya bendera pusaka. Dan lihatlah warga Palestina yang harus tabah bertransaksi dengan shekel, mata uang Israel. Sedangkan kita, leluasa menggunakan rupiah, mata uang kita sendiri.
Pelajaran cinta berikutnya tentang keluarga. Sosok Hazem, anak lelaki berusia 12 tahun, mendampingi penuh cinta sang kakak yang mengalami bisu tuli akibat trauma perang. Ia menjadi kepala keluarga dalam usia semuda itu, dalam kondisi kehilangan sebelah kaki. Lalu ada Nirmeen, gadis secantik bidadari, mengajar di sebuah sekolah dasar. Ia bertutur, kehidupan kami sedikit lebih cepat dari kehidupan lain dari belahan bumi lain (halaman 360). Mereka harus siaga dengan segala resiko terburuk. Semua dilakukan ikhlas, karena cinta.
Tidak ketinggalan, penulis menyuguhkan kisah cinta romantis yang syahdu. Sebuah perasaan indah yang terselip dalam perjalanan ini. Ada denyar istimewa yang sangat halus antara Rinai dan Montaser, seorang pemandu. Tokoh Montaser digambarkan penulis terasa begitu nyata. Sosok pemuda berusia 25 tahun dengan kontur wajah yang mengagumkan serta berkepribadian menawan. Cukuplah Gaza memiliki penjaga seperti Montaser. Pemuda terhormat yang menjaga pandangan. Menghiasi diri dengan hafalan Quran. Membaktikan diri bagi negara, setia pada kebenaran dan kemuliaan (halaman 376). Perasaan kedua insan tak terucap kata, tapi sinyalnya lembut terasa.
Pada bagian lain, hadir pula intrik dan friksi dalam satuan tim relawan tersebut. Pergulatan idealisme dan tuntutan operasional penelitian. Tindakan manipulatif tak terhindarkan. Membuat jengah Rinai yang masih hijau dalam proyek besar ini. Lalu menyeret Rinai dalam petualangan mendebarkan. Bertindak tanpa persetujuan tim. Hingga dirinya berada di tengah baku tembak yang menegangkan. Inilah satu-satunya adegan yang memperlihatkan bahwa mereka berada di medan konflik yang rawan letusan tembakan dan mesiu. Jadi jangan berharap novel ini menghadirkan serentetan bagian yang membuat napas tertahan, karena terkepung dalam serangan keji Israel yang datang tiba-tiba.
Novel ini berbicara banyak. Heroisme, religi, psikologi, tafsir mimpi, romance, tradisi Jawa, kritik sosial, dan nilai2 kemanusiaan yang dalam. Sungguh bukan novel biasa dari penerbit biasa. Grup Indiva, konsisten menghadirkan novel-novel berupa karya bermutu, yang bernapaskan Islam. Plot yang kuat, dengan penokohan yang berkarakter. Jalan cerita menarik dengan ide yang bukan kebanyakan. Tak sekadar menghibur, di dalamnya terdapat pemikiran-pemikiran cerdas nan bernas. Sebut saja beberapa novel, seperti: De Winst, Da Conspiracao, My Avilla, Livor Mortis, Rose, Tarapuccino, Jasmine, dll. Meski dalam novel Rinai ini, terdapat beberapa kesalahan cetak yang cukup banyak, namun tertutupi oleh bagusnya isi cerita. Hanya, tentu saja, kesalahan ini jangan sampai terulang lagi. Dalam kesalahan cetak kali ini, untuk kata ‘seiring’ beberapa kali tercetak ‘seiiring’. Contoh lain: ‘senatiasa’ seharusnya ‘senantiasa’ (halaman 172), ‘meimbulkan’ seharusnya ‘menimbulkan’ (halaman 181), ‘situaasi’ seharusnya ‘situasi’ (halaman 188), dan beberapa lagi yang lain.

Terlepas dari itu, Penerbit Indiva, tampaknya berusaha mengusung idealisme bahwa karya yang baik bukan berarti harus selalu mengikuti pasar. Karya bermutu, bila dikemas baik, tetap akan menarik minat pembaca. Karena sesungguhnya, pembaca pun merindukan buku-buku yang bukan karya biasa yang kebanyakan beredar tanpa memerhatikan bobot isi. Tinggal menunggu waktu, Indiva akan semakin berkibar dikenal sebagai penerbit bermutu yang menerbitkan karya-karya berkelas. Bravo Indiva! Bravo Sinta Yudisia!

Novel "Rinai" milikku covernya dah keriting.. :)
#Tulisan ini diikutsertakan dalam "Lomba Resensi RINAI"