Jumat, 31 Januari 2014

Jauhi Mubazir Bukan Kikir


“Kita nggak semiskin itu kali, Ma!”

Duh, protes anakku tajam banget. Lalu aku pun menjelaskan bahwa gerakan penghematan ini bukan tersebab kemiskinan yang tengah melanda. Halah! Tapi karena pemborosan yang selama ini tanpa sadar dilakukan, termasuk ke dalam perbuatan mubazir. Dan orang-orang golongan mubazir ini disebutkan dalam Al-Quran sebagai kawannya syaithan. Hii.. Na’udzubillah.

Anak-anakku memang sering sembarangan dan seenaknya memperlakukan bahan makanan dan keperluan mandi. Misalnya, kecap yang sudah hampir habis, dengan santai dilempar ke tempat sampah. Padahal seperti yang kubilang, ‘hampir habis’ jadi belum habis, masih ada yang tersisa cukup lumayan di dasar botolnya.

Begitu juga dengan barang-barang keperluan mandi. Shampo dan sabun liquid yang isinya masih ada tersisa di dasar botol, langsung saja botolnya menjadi penghuni tempat sampah.
Ketika aku menegur, anakku menjawab, “Beli aja yang baru, Ma!” Lalu kujawab, “Sayang kan, masih ada sedikit, kok dibuang-buang?” Dan anakku menyahut dengan kalimat yang tertera di awal tulisan ini, dengan ditimpali oleh adiknya bahwa aku pelit.

Aku pun mencontohkan bagaimana caranya agar tidak mubazir pada sesuatu yang masih bisa digunakan. Botol-botol kecap dan saus yang isinya tinggal sedikit, aku jungkirkan posisinya 180 derajat, sehingga isinya akan mengumpul di leher botol, dan akan membuatnya mudah untuk dituangkan.


Begitu juga dengan shampo dan sabun liquid. Saat isinya sudah hampir habis, segera aku balikkan botolnya. Posisi seperti ini benar-benar memudahkan dalam penggunaan shampo dan sabun tersebut. Karena cairannya menjadi lebih cepat mengalir.


Setelah posisinya dibalik , rata-rata pemakaian masih bisa sampai 2-3 kali, lumayan kan? Itu dari satu produk, kalau beberapa produk sekian persen isi terakhirnya  dibuang-buang.. wah mubazirnya berlipat-lipat.. duh.. dosanya juga dong nambah terus.. :(

Nah, demi menghindari dosa yang nggak berasa itu, langkah-langkah anti mubazir harus terus dilakukan. Alhamdulillah, melalui pembiasaan yang konsisten, anak-anakku sekarang mengerti dan melakukan gerakan anti mubazir ini. Tertanam dalam benak mereka bahwa tindakan mubazir akan memasukkan pelakunya ke dalam golongan syaithan. Siapa sih yang mau jadi kawannya syaithan? Amit-amit banget yaa.. menjadi kawan syathan itu kan pastinya di dalam neraka. Maka menjauhi mubazir, bukanlah tindakan pelit alias kikir. Tapi itu adalah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka memanfaatkan sesuatu tanpa mubazir.

Boleh juga Anda coba lho.. Semoga bermanfaat.. :)

Sabtu, 11 Januari 2014

Wajahnya Dirawat Dong...

Sepanjang empatpuluh tahun hidupku, entah kenapa aku nggak pernah tergerak untuk merawat wajah. Bukan nggak pernah tergerak juga sebenernya, tapi nggak bisa konsisten. Bisa bertahan merawat wajah selama seminggu, itu udah top banget. Jadi segala cream malam, dan cream-cream apalah, cuma tercolek nggak lebih dari jumlah jari sebelah tangan. Setelah itu berjamur dan nasibnya berakhir di tong sampah.

Aku maunya rajin sih, tapi nggak tau tuh.. kok malees mulu. Kalau habis bepergian pun sering banget nggak pake cuci muka, tapi langsung brukk.. tiduurr! Padahal itu terlarang kan ya..? Makanya ya gitu deh.. wajahku kerap disambangi jerawat.. :P

Lagipula aku nggak pernah dandan pake make-up apa pun, lipstick pun nggak, jadi kupikir relatif aman lah, toh wajahku nggak pernah ditempeli macem-macem. Cuci muka sebelum tidur, kalau inget. Haduh.. parah deh!

Nah, tadi ada temenku nelpon. Temenku ini temen baik yang udah akrab sama aku. Setelah ngobrol kesana kemari, tercetuslah satu nama temen kami. Kata temenku, "Mbak itu kalau di foto kelihatan cantik, tapi pas ketemu beneran di darat, ternyata nggak begitu cantik. Abis, dia nggak suka dandan!"
Jleb! aku inget diriku sendiri.

"Aku juga nggak suka dandan, Mbak!" tukasku.

"Ya jangan atuh, Mbak!" sahut temenku.

"Aku nggak ngerti dandan, Mbak!" jawabku.

"Bukan dandan pake make-up, maksudku. Tapi Mbak merawat wajah lah. Mbak ini kan cantik. Harus dieman-eman tho, Mbak... sama Allah dikasih wajah yang bagus... harus disyukuri.." imbuh temenku.

Aku tercenung. Bukan soal dibilang cantik... itu mah aku tahu, menghibur aja kayaknya... hehe..
Tapi, aku baru tersadar rasanya, bahwa merawat wajah adalah bagian dari mensyukuri nikmat Allah. Duhai, betapa selama ini aku lalai.

Makasiih banget deh sama temenku itu. Mulai nanti malam aku mau cuci muka sebelum tidur, terus nggak lupa oles cream malam. Terus apalagi yaa perawatan wajah tuh..? hahaha.. ndak ngerti aku..
Tapi intinya, aku mau berusaha mensyukuri nikmat dengan merawat wajah. Meski wajahku bukan yang mentereng bin kinclong, tapi ya Alhamdulillah, letak hidung, mata, alis, bibir, kan berada di tempatnya yang tepat, pokoknya ya Alhamdulillah deh.. terima kasih ya Allah..

Kadang suara temen itu bisa terasa jleb di hati, ya? Padahal kukira temenku nggak niat-niat banget sih untuk memotivasi aku. Maksudku, dia ngasih saran biasa aja gitu. Tapi karena ia mengucapkannya dengan hati, maka terasanya pun sampai ke hatiku. Jadi betul ya, cari temen itu harus yang membawa pada kebaikan.. :)


Selasa, 07 Januari 2014

Menulis... Menulis...

Sekarang sudah tanggal 8 Januari 2014, artinya sudah sepekan berlalu di tahun baru ini. Hmm.. dan saya baru memulai menulis lagi di blog ini. Kemana ajaa..?

Bertumpuk ide hilir mudik di otak saya, tapi biasalah.. alasan klasik.. saya nyaris tersibukkan oleh hal lain. Menulis di blog pun tersingkirkan prioritasnya.

Mengawali tahun 2014 ini, saya inginnya menuntaskan hutang-hutang resensi. Alhamdulillah, resensi buku Inferno karya Dan Brown sudah tunai saya tulis dan dimuat di media indoleader.com. Saya sudah 'lapor' juga sama Mizan yang sudah dengan baik hati kasih saya buku itu. Lalu, buku lain dari Mizan, antologi tentang ketangguhan para bunda menghadapi beragam masalah, sudah diresensi pula, dan dimuat di nabawia.com. Ada satu lagi nih, buku hadiah Mizan, tapi anehnya kok nggak ada di rak buku.. duh duh sepertinya ada yang meminjam dan saya lupa siapa orangnya.. hiks.. padahal belum diresensi..

Sekarang lagi komat-kamit merapal doa untuk resensi saya yang sedang berlayar ke KorJak. Resensinya novel Mbak Riawani Elyta yang baru, berjudul "Dear Bodyguard". Semoga dimuat.. semoga dimuat.. setelah akhir tahun lalu, resensi saya terpental selalu di sana.

Oh ya, masih tentang resensi, ada lagi kabar gembira. Saya menang lomba resensi untuk buku "Menciptakan Keajaiban Finansial". Alhamdulillah, katanya berhadiah baju. Dan, ini betul-betul semakin membenarkan kalimat yang duluu pernah saya ucapkan bahwa saya nggak pernah membeli baju, tapi selalu ada pemberian orang lain. Sepertinya aneh ya, tapi demikianlah adanya. Adaa saja yang memberi saya hadiah berupa baju.

Kembali lagi pada keinginan untuk bisa rutin menulis di blog, pada akhirnya saya tidak bisa memaksakan diri juga. Jadi teringat postingan teman di BAW, yang berbagi tentang jam menulis bagi seorang emak yang rempong sama urusan rumah tangga. Banyak yang ingin mencoba menerapkan, ada juga yang sudah pernah menerapkan dan gagal konsisten. Yaah.. semua akan berpulang pada kondisi masing-masing ya, kondisi fisik, mental, dan lingkungan yang sangat mempengaruhi mobilitas.

Masih dalam postingan tersebut, ada seorang Bawers yang menampilkan icon murung karena dia merasa tidak mungkin melakukan kedisiplinan ketat pada jam menulis, tersebab kerepotannya mengurus keluarga. Katanya, dia mengurus segala sesuatunya sendiri, tanpa ART, karena tidak mungkin bisa menggaji seorang ART. Sedih juga melihatnya. Saya bisa merasakan itu. Seperti pengakuannya yang merasa lemah secara fisik, saya pun juga begitu. Ritme dahulu yang tidak terbiasa bekerja keras, membuat saya lekas lelah. Dulu, mana pernah mengurusi mencuci, menyapu, mengepel, dsb, sekarang semua itu harus saya lakukan. Dan tentu saja, saya pun mana mungkin pula bisa menggaji seorang ART, bisa-bisa jatah makan dan ongkos tergoyahkan.

Sebetulnya saya pingin komen dan menghibur Bawers yang sedih itu. Saya ingin bilang, menulislah semampunya. Kondisi yang berat jangan dijadikan beban. Nanti tambah sedih kan? Memikirkan pekerjaan rumah tangga yang seolah tak berujung, ditambah rasa bersalah karena tidak sempat menulis. Saya juga ingin bilang bahwa teman itu masih terbebas dari kewajiban mencari nafkah, sedangkan saya iya. Berarti dia masih sedikit bisa melonggarkan napas. Tapi, kemudian saya putuskan tidak jadi mengomen di sana. Khawatir jadi terkesan memperlihatkan penderitaan.. hehe..

Maka, ini tulisan pertama di tahun 2014 sepertinya juga ngelantur kesana kemari. Yang pasti sih, yang ingin saya bilang adalah saya ingin terus tetap menulis. Semampu saya. Biarlah orang melejit dengan kelahiran novelnya yang beruntun. Saya masih tetap begini-begini saja, toh orang-orang tidak tahu persis bagaimana keadaan saya yang sebenarnya, dan saya pun tidak mungkin memproklamirkannya kepada khalayak ramai.

Alhamdulillah sih, sepertinya orang mulai melihat saya sebagai seorang resensator. Saya syukuri saja. Meski ada teman yang bilang, "Ya, Mbak Linda dikenalnya 'cuma' sebagai resansator". Tidak apa-apa lah, mungkin baginya yang hebat itu haruslah menjadi seorang novelis, atau paling tidak, menerbitkan buku solo, entah fiksi maupun non-fiksi. Insya Allah saya pun ingin menuju ke sana. Bila sekarang jalur yang saya lewati adalah seperti ini, saya akan menempuhnya dengan sungguh hati.

Semoga tahun ini adalah tahun saya. Subhanallah.. itu kata sohib saya, Tuti Adhayati yang nama penanya: Adya Pramudhita. Dia bilang, semoga tahun ini menjadi tahun kita ya, Teh..  Ya Allah, saya Aminkan betul ucapannya. Semoga lomba-lomba resensi yang masih dalam penilaian, menobatkan saya sebaga salah satu pemenang. Lomba resensi novel Perjalanan Hati, Lomba resensi seri Love Flavour-nya Bentang, dan Lomba Indiva. Semoga menaang.. semoga menaang.. Aamiin.. Aamiin..