BURUNG KOLEANGKAK MINTA HUJAN *)
(Ditulis kembali dari cerita rakyat
Banten)
“Beberapa
hari ini, kulihat kau termenung saja. Mengapa?” Seekor burung koleangkak
bertanya kepada kawannya yang bertengger tak jauh darinya.
“Yaah...
ada sesuatu yang kuinginkan,” jawab burung koleangkak yang ditanya. Ia menghela
napas. Kepalanya terangkat, bulu-bulu lehernya yang putih keperakan berkilau
tertimpa cahaya matahari.
“Apa
lagi yang kau inginkan? Kau burung koleangkak paling cantik. Banyak yang iri
padamu. Hmm... terkadang aku juga.”
Burung
koleangkak cantik terdiam. Di benaknya masih terbayang sosok manusia yang
menurutnya adalah makhluk paling cantik. “Aku ingin menjadi manusia,” desahnya.
“Ah,
kau tak pernah puas dengan apa yang telah kau miliki.” Ditinggalkannya burung
koleangkak cantik itu sendiri.
Sepeninggal
kawannya, burung koleangkak cantik itu menguatkan hati untuk menghadap Dewa. Ia
kumpulkan kekuatan untuk memberanikan diri bermohon kepada Sang Dewa demi
mewujudkan keinginannya. Dan ternyata Dewa mengabulkan keinginannya. Betapa bahagia
membuncah di hati.
“Tapi
ada sesuatu yang harus kau tahu.” Dewa mengajukan syarat.
“Saya
siap mendengar,” sahut burung koleangkak. Binar matanya yang cemerlang
menunjukkan rasa ingin tahu.
“Saat
kau tiba di akhir hidupmu kelak, kau harus diperlakukan sebagaimana jenazah
manusia, dan disegerakan pengurusannya. Setelah itu kau akan kembali menjadi
burung koleangkak.”
Setelah
Dewa berucap demikian, burung koleangkak merasakan tubuhnya bergetar. Perlahan helai
demi helai sayap eloknya menghilang, dan wujudnya berubah menjadi seorang
perempuan. Burung koleangkak merasakan hatinya bergemuruh. Kini ia menjadi
seorang manusia. Tubuhnya yang semampai dengan wajah bak purnama, dihiasi oleh
bibir yang memerah delima, pipi seranum apel, dan mata bersinar secerlang
bintang kejora. Kecantikan itu semakin purna dengan rambut legam tergerai bagai
mayang terurai.
Tak
henti ucapan terima kasih disampaikannya kepada Dewa. Namun tak lama kemudian
ia kembali mengajukan permohonan. Ia ingin ditemani seorang anak. Dewa
mengabulkannya. Seorang gadis kecil hadir di hadapannya. Tapi lagi-lagi Dewa
menyebutkan sebuah syarat, berupa pantangan yang harus dihindari anak semata
wayangnya. Jelmaan burung koleangkak menyanggupi.
Setelah
itu dimulailah hari sang burung sebagai manusia. Tanah Banten menjadi tempat
hidupnya.
Ia
melihat orang-orang bekerja sebagai buruh tani untuk mendapatkan uang. Maka
ikutlah ia menjadi buruh tani. Namun karena kecantikannya, ia dimusuhi
teman-temannya sesama buruh. Ia lebih banyak dibebani pekerjaan. Tidak ada daya
baginya untuk melawan. Semua bersekongkol membuatnya susah.
Dengan
hati perih, ia pindah ke desa lain bersama anaknya. Sebuah desa nelayan. Ia
kemudian menjadi pembantu pada seorang juragan ikan. Dan keadaan yang sama
seperti di desa sebelumnya, terulang lagi. Ia dimusuhi dan dicurigai akan
merebut perhatian mandor karena kecantikannya. Maka, dengan perasaan remuk
redam, ia kembali pindah ke desa lain.
Di
desa yang baru, ia berusaha mencari pekerjaan baru. Namun ia selalu disergap
rasa takut, sehingga tak ada satu pekerjaan pun yang dilakoninya. Lantas ia
memilih mencari kayu bakar di hutan lalu menjualnya di pasar.
Dengan
pekerjaan kasar nan berat, kecantikannya kian memudar. Namun ia merasa lebih
bahagia karena tidak ada yang memusuhi. Ditambah lagi anak semata wayangnya
demikian sayang dan cinta kepadanya. Ia anak yang baik, patuh, dan rajin
membantu.
Meski
orang-orang tidak memusuhi, namun mereka tidak terlalu memedulikannya. Jelmaan burung
koleangkak itu hanya dikenal sebagai janda miskin, karena ia datang beserta
anak tanpa suami. Tetangga bersikap acuh tak acuh saja. Mereka tidak begitu
suka pada orang baru. Ditambah status janda membuat orang menjaga jarak. Tapi
ada satu tetangga yang selalu bersikap baik kepadanya. Seorang petani dan
istrinya. Keduanya kerap memberikan nasi dan lauk pauk seadanya bila dilihatnya
janda miskin itu tak punya makanan. Sayangnya, tetangga yang baik hati itu
kemudian pindah ke desa lain yang jauh, karena orangtuanya sudah renta dan
butuh ditemani.
Sekian
tahun berselang, janda miskin jelmaan burung koleangkak berjumpa lagi dengan
tetangganya yang baik itu. Petani
sederhana itu telah berubah hidupnya menjadi petani kaya raya. Bakti dan
cintanya kepada orangtua, mengantarkan usaha taninya menjadi sukses.
Keikhlasannya mengurus orangtua yang sudah renta hingga akhir hayatnya,
melahirkan keridhoan orangtua. Ridho orangtua itu berbuah kemudahan-kemudahan
dari Tuhan. Panennya melimpah dengan hasil yang baik. Hasil taninya laris di
pasaran.
“Wah,
aku hampir tidak mengenali sampeyan!1”
Janda miskin itu menatap takjub pada petani, tetangganya dulu. Matanya tak
berkedip memandang baju petani yang berhiaskan sulaman emas dan kancing perak.
Petani
itu tersenyum. Lalu matanya tertuju pada kayu bakar yang teronggok di samping
kaki si janda yang tak beralas kaki. “Masih berjualan kayu bakar?”
Janda
miskin itu mengangguk lesu. Namun secepat sambaran elang, ia menjawab, “Ya,
hidupku masih begini. Tapi aku tetap bahagia. Meski aku tak berharta, namun aku
punya satu harta yang tak ternilai.”
Sang
petani mengernyit. Sambil membetulkan letak kain sutra yang menyampir di
pundaknya, ia bertanya, “Maksudmu?”
“Anakku.
Dia harta yang paling berharga. Kelembutan hati dan keindahan perangainya
senantiasa membuatku bahagia memilikinya.”
“Aku
ingin bertemu putrimu. Tentu ia telah menjadi gadis dewasa sekarang.”
Tak
berapa lama, seorang gadis menghampiri. Tangannya yang satu memikul seikat kayu
bakar, dan satunya lagi bersiap menenteng ikatan kayu bakar yang ada di dekat
kaki si janda. “Aku bawa sekarang ya, kayu-kayu ini.”
“Nah,
ini putriku.” Ucapan tersebut menghentikan gerakan si gadis. Ia menoleh ke arah
ibunya. “Nok 2, ini
tetangga kita dulu. Tetangga yang selalu baik kepada kita.”
Si
gadis melihat sejenak, lalu bibir tipisnya melengkungkan senyum. Ia segera
mencium tangan si petani sambil mengucap salam penuh khidmat.
“Putrimu
cantik. Cocok rasanya dengan putraku.”
Semburat
merah jambu tampak di wajah gadis itu. Ia teringat putra tetangganya yang
tampan. Sambil tersipu, ia mengucap salam, kemudian berlalu seraya mengangkut
kayu bakar.
Petani
itu kembali mengutarakan niatnya. “Aku ingin mengambil menantu, anak gadismu.”
“Oh, terima kasih sudah menjatuhkan pilihan
pada putriku. Tapi bagaimana dengan putra sampeyan?”
Janda miskin itu menundukkan kepala. Kain penutup kepalanya yang usang jatuh
menjuntai.
“Aku
yakin putraku setuju dengan pilihanku. Seorang gadis cantik nan lembut dan
berbudi.”
Lega
hati Si Janda Miskin mendengar jawaban tersebut. Namun kembali mendung nampak
di wajahnya. “Bagaimana dengan keadaanku yang miskin? Kami masih tinggal di
gubuk yang dulu.”
Sebaris
senyum tulus tersungging di wajah Si Petani. “Tidak usah khawatir. Aku
memaklumi keadaanmu. Tidak penting beunghar3,
yang penting mah bageur4.”
Kesepakatan
pun dicapai. Pertunangan dilangsungkan tak berapa lama kemudian. Putra petani
jatuh cinta seketika kepada putri koleangkak. Kecantikan serta kelembutannya
telah menawan hati sang putra petani. Tanggal pernikahan ditentukan beberapa
bulan kemudian.
Setelah
kembali pulang ke desanya selepas acara pertunangan, janda miskin dan putrinya
menjalani hari-hari seperti biasa. Hingga pada suatu hari, janda miskin itu
jatuh sakit. Putrinya dengan telaten menemani dan melayani.
“Nok, Ibu ingin makan pisang.”
Gadis
yang baik itu menatap ibunya penuh kasih. Ia tidak ingin menampakkan keresahan
hatinya, karena tidak ada uang untuk membeli pisang. Namun ibunya bisa memahami arti helaan napas
panjang putrinya.
“Tidak
ada uang ya, untuk membeli pisang?”
Gadis
itu mengerjapkan mata. Setitik bulir bening membasahi pipinya. Ia ingin sekali
memenuhi keinginan ibunya tercinta. Seketika bibirnya melengkungkan senyum
manis, penyejuk hati ibunya.
“Tak
apa, Mak. Aku bisa minta kepada
tetangga. Siapa tahu ada yang punya dan mau memberikannya kepada kita.”
Ibunya
mengangguk. Matanya sendu mengiringi putrinya yang beranjak menuju keluar, menemui
tetangga.
Dari
rumah ke rumah, gadis baik hati itu berkeliling. Namun tak ada seorang pun
tetangga yang berkenan memberinya pisang. Gadis itu pun berjalan lunglai,
pulang dengan tangan hampa.
“Maafkan
aku, Mak. Tak ada pisang untuk emak. Mungkin ada baiknya aku pergi ke
rumah calon mertua. Mereka orangtua yang baik hati. Tentu tak berat bagi mereka
memberikan sebuah pisang untuk emak,”
usul gadis itu.
Ibunya
menggeleng lemah. “Jangan, Nok. Rumah
besan terlalu jauh dari sini.”
Gundah
hati gadis itu. Rumah calon mertuanya memang jauh. Bagaimanalah nanti bila ia
pergi ke sana? Siapa yang akan menemani ibunya?
Akhirnya
ibunya terlelap di atas bale-bale reyot di sudut kamarnya. Gadis itu ikut rebah
di sampingnya, menjaganya. Angin semilir menyelusup melalui lubang-lubang di
bilik kamar. Seekor cicak tanpa buntut mengendap-endap hendak memangsa nyamuk
di dekatnya.
Menjelang
tengah malam, gadis itu terjaga. Segera dilihatnya ibunya. Anehnya, napas
ibunya tak terlihat turun naik. Ia segera mengamati lebih saksama. Ternyata
tubuh ibunya telah dingin. Seketika menjalar rasa perih menusuk hati, karena
ditinggal pergi untuk selamanya oleh ibunda tercinta. Matanya mendanau.
Kemudian pipinya membasah. Airmata menderas mengiringi pilu hatinya.
“Mak, jangan pergi. Jangan tinggalkan
aku. Perpisahan ini terlalu cepat. Aku ingin emak menyaksikan pernikahanku. Aku ingin emak merasakan bahagiaku bersama suamiku nanti. Mak, aku rinduu... aku rindu belaian
sayang emak.. aku rindu nyanyian
merdu emak...”
Gadis
itu merintih dalam kesenyapan. Dengan hati hancur, ditutupnya jenazah ibunya
dengan tikar. Ia terus menangis sepanjang malam. Lalu ia mendatangi tetangga
mengabarkan wafatnya ibunya. Namun tetangga tak ada yang peduli. Gadis itu tak
berputus asa. Ia tetap berharap ada yang tergerak hatinya untuk mengurusi
jenazah ibunya, namun harapannya tak terkabul.
Saat
fajar menyingsing, gadis itu tidak mendengar suara-suara kemerosak dari tempat
jenazah ibunya dibaringkan. Ia baru pulang ketika sinar sang raja siang mulai
menampakkan diri. Gegas ia menuju jenazah ibunya. Namun betapa terkejutnya ia, saat
membuka tikar penutup jenazah, ternyata ibunya telah raib. Dengan pikiran bagai
benang kusut, ia mencari ke seluruh pojok tempat di dalam gubuknya, namun
hasilnya nihil.
Lunglai
kakinya melangkah ke luar rumah. Mendung menggelayut di wajahnya. Ia duduk
bersimpuh di dekat pohon randu besar di halaman gubuknya.
Dalam
gulana yang menyekapnya, ia mendengar suara dari atas pohon randu besar. Seekor
burung koleangkak hinggap di sana dan terus menerus bernyanyi melantunkan
kata-kata yang menyayat hati.
“Koleangkak! Anak, ulah sok ceurik cumeurik,
tuturkeun kalangkang indung.” (Koleangkak! Anak, berhentilah, jangan
menangis terus menerus. Ikutilah bayangan Ibu)
Gadis
itu menoleh ke kiri dan ke kanan, tak ada orang. Lalu nyanyian burung
koleangkak di atas dahan pohon randu kembali terdengar. Gadis itu menengadah,
mencari asal suara. Tampaklah seekor burung koleangkak yang memandang kepadanya
dengan pandangan kasih sayang seorang ibu. Sejenak ia terpaku. Dipandangnya
burung itu. Lalu yakinlah ia, bahwa burung koleangkak itu adalah jelmaan
ibunya.
Burung
koleangkak itu terus menerus bernyanyi. Ia berharap anaknya mengikuti apa yang
diucapkannya. Dan gadis itu mulai beringsut. Ia melangkah mengikuti bayangan
burung itu. Meski sang burung terus saja terbang dari pohon ke pohon, ia tetap
mengikuti tanpa menghiraukan rasa lapar dan dahaga yang menyerang.
Akhirnya,
tibalah burung koleangkak di desa petani, calon besannya. Ia hinggap di atas
pohon randu, dekat rumah bakal mertua anaknya. Di sana ia bernyanyi. “Koleangkak! Ki Warang.. Koleangkak! Nyi
warang.. Geus sakieu bagja kula. Anak mah, nyerenkeun bae.” (Koleangkak! Ki
Besan.. Koleangkak! Nyi Besan.. Telah cukup kebahagiaanku. Kuserahkan saja
anakku kepada kalian)
Suami
istri petani itu saling pandang. Keduanya merasa heran. Suara burung koleangkak
itu seperti sengaja ditujukan kepada mereka. Maka segeralah keduanya menghambur
keluar rumah, mencari asal suara burung tersebut.
Saat
dilihatnya seekor burung koleangkak bertengger di atas dahan pohon randu,
yakinlah mereka suara tadi berasal dari burung itu. Sang petani berusaha
menangkapnya, tetapi burung tersebut berhasil lolos dan terus terbang membubung
ke angkasa. Lalu hilang dari pandangan.
Pasangan
suami istri itu kebingungan. Di tengah rasa bingungnya, datanglah calon menantu
perempuannya. Gadis itu terhuyung-huyung di sela napasnya yang
tersengal-sengal. Ia berlari sepanjang jalan, mengikuti ke mana pun burung
koleangkak terbang.
“Kenapa,
Nok? Ada apa?” Istri petani bertanya
penuh rasa cemas. Suaminya memberi isyarat agar membawa gadis itu masuk ke
dalam rumah.
Setelah
minum dan duduk dengan tenang, berceritalah gadis itu tentang kepergian ibunya,
diiringi isak sedih. Calon mertuanya jatuh iba. Gadis itu sebatang kara kini.
“Nok, nggak usah kembali ke kampungmu.
Sudah, tinggallah di sini, hingga hari pernikahanmu tiba.”
Maka
tinggallah gadis itu di rumah calon mertuanya. Setelah beberapa waktu, ia
menikah dengan anak laki-laki pasangan petani itu. Mereka pun resmi menjadi
suami istri.
Kehidupan
anak perempuan janda miskin itu senantiasa bertabur kasih sayang. Suaminya
demikian cinta kepadanya.
“Aku
bersyukur kepada Tuhan, memiliki suami sepertimu.”
“Akulah
yang lebih bersyukur, karena kau adalah anugrah terindah yang Tuhan berikan
untukku. Tak ada yang lain melebihimu. Bagiku, cukup hanya dirimu.”
Selalu
kata-kata lembut nan romantis yang terucap di antara keduanya. Mereka
benar-benar pasangan mesra yang bahagia.
Duabelas
purnama berlalu. Pada sebuah sore yang tenang, kala langit membiru terang dalam
bentangannya, berkatalah si suami kepada istrinya. “Sayang, kepalaku terasa
gatal. Coba lihat sebentar!”
Demi
mendengar permintaan suaminya, si istri membeku. Di benaknya terngiang ucapan
ibunya, yang mewanti-wanti sebuah pantangan yang harus dijauhinya.
“Kenapa
diam? Sirah Akang ararateul saja5.”
Si
istri menghela napas panjang dan berat. “Kalau kita ingin hidup berdampingan
selamanya, janganlah kau minta dicarikan kutu. Itu pantangan yang tak bisa
kulanggar. Pantangan itu adalah pesan terakhir ibuku sebelum ia meninggal.”
“Ibumu
bilang apa?”
Sambil
menunduk lemas, si istri berkata, “Ibuku bilang begini: “Bila engkau bersuami
nanti, hati-hatilah, jangan sekali-kali engkau mengutui suamimu. Itu pantangan
bagimu. Bila engkau tak mengindahkan kata-kataku ini, kau akan menjadi
koleangkak, membubung tinggi ke angkasa mengikuti ibumu.”
Suaminya
menyimak kisah istrinya dengan hati masygul. Ia ingin bermanja di pangkuan
istrinya sambil dikutui. Ia bersikeras agar keinginannya dipenuhi istrinya. Maka
dengan berat hati, sang istri menuruti kehendak suaminya.
Sambil
mengutui suaminya, si istri menyenandungkan sebuah nyanyian: “Koleangkak! Indung.. Ulah mulang ka
khayangan, mun tacan reujeung kula” (Koleangkak! Ibu.. Jangan engkau pulang
dulu ke khayangan, bila tidak bersamaku)
Suaminya
menikmati betul dikutui. Apalagi sambil mendengar senandung merdu istrinya.
Saking terbuainya, ia pun tertidur. Ia tidak menyadari perubahan pada istrinya.
Perlahan-lahan tumbuh bulu pada badan istrinya. Menjelmalah ia menjadi burung
koleangkak seperti ibunya. Ia pun terbang dan hinggap di bubungan atap.
Ketika
sang suami terbangun, ia merasa heran istrinya tak ada di sampingnya. Ah, mungkin sedang membuat emping di dapur,
batinnya. Ia pun beringsut menuju dapur. Ternyata tak ada. Berpindah ke ruang
lain, tetap tak ada. Suaminya mulai merasakan jantungnya berdentam tak karuan.
Tidak pernah selama ini istrinya pergi tanpa meminta izinnya. Hatinya gundah,
khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan istrinya. Ia pun melangkah ke luar
rumah. Namun tak ada jejak istrinya di sana.
Dari
atas bubungan atap, terdengar nyanyian pilu yang disuarakan burung koleangkak
berulang-ulang. “Koleangkak Kaka..
Koleangkak Bapa.. Koleangkak Ambu.. Kula mah ulah disiar.. Deuk nuturkeun
sakadang indung” (Koleangkak Suamiku.. Koleangkak Bapak.. Koleangkak Ibu..
Aku tidak usah dicari. Aku hendak mengikuti ibuku)
Sang
suami menegakkan telinga. Matanya mengelana, berusaha menangkap sosok istrinya.
Senandung burung koleangkak itu membuatnya merasa bahwa istrinya tak jauh dari
situ. Sementara itu, sang burung koleangkak demi melihat suaminya, langsung
menghentikan senandungnya. Burung koleangkak itu memanggil suaminya. Ia
mengatakan tak akan lagi mengutui suaminya, karena akan menyusul ibunya
sekarang juga. Lalu burung koleangkak itu mengepakkan sayapnya.
Seiring
kepakan sayap burung itu, si suami terpana. Ia menatap sayap burung koleangkak
yang terus mengepak, hingga melayang semakin jauh, jauh, lalu menghilang dari
pandangan. Ia merasa terhempas. Ada yang tercerabut dari hatinya. Danau di
matanya meluruh membasahi pipi.
“Istriku..
istriku... “ suara hatinya menjerit pilu.
Dari
hari ke hari, tak ada yang bisa mengobati perih hatinya. Ia menyesali suratan
nasib yang telah menimpa. Meranalah ia sepanjang waktu.
“Istriku...
aku menyesal, tak mengindahkan pantangan ibumu..”
Apa
hendak di kata, penyesalan selalu datang terlambat. Sang suami hanya bisa
meratap. Cintanya telah hilang. Rindu yang pekat terasa mencekiknya.
Bentang
langit luas tak lepas ditatapnya, berharap istrinya akan muncul dan kembali
kepadanya. Namun hanya angin yang membalas kerinduannya.
Segala
yang ada di dalam rumah, turut berduka. Peralatan masak yang biasa digunakan
untuk membuat emping, teronggok bisu di sudut dapur. Baju-baju yang terlipat
rapi di dalam lemari, tampak muram. Suara derit pintu seperti pengantar kidung
lara bagi luka hatinya yang terus membasah.
Tak
ada daya hatinya untuk melawan nestapa. Ia tersungkur sakit. Kian hari badannya
kian lemah. Ia sungguh terpukul. Tak ada obat penyembuhnya. Akhirnya ia tak
sanggup menanggung derita hatinya. Napasnya pun terhenti. Hidupnya berakhir
dalam duka.
Sekian
waktu berlalu, dari kisah itu, dalam masyarakat Banten muncul sebuah
kepercayaan. Bila ada burung koleangkak berbunyi, itu adalah burung koleangkak
yang melanjutkan suara burung koleangkak yang dulu. Burung koleangkak yang dulu
mewujud janda miskin, saat meninggal tidak ada yang mengurusi, tidak ada yang
memandikan. Maka burung koleangkak itu terus menerus berseru minta dimandikan.
Sehingga masyarakat percaya bahwa pekikan burung koleangkak itu adalah seruan
minta hujan.
_______
GLOSARIUM
1)
Sampeyan
: Anda
2)
Nok
: panggilan kepada anak perempuan
3)
Beunghar
: Kaya
4)
Bageur
: Baik
5)
Ararateul
saja
: Gatal sekali
*) ikut serta bertarung dalam Lomba Penulisan Cerita rakyat Kemendikbud 2015