Selasa, 10 Mei 2016

EUFORIA 30 JUTA



BURUNG KOLEANGKAK MINTA HUJAN *)
(Ditulis kembali dari cerita rakyat Banten)

“Beberapa hari ini, kulihat kau termenung saja. Mengapa?” Seekor burung koleangkak bertanya kepada kawannya yang bertengger tak jauh darinya.
“Yaah... ada sesuatu yang kuinginkan,” jawab burung koleangkak yang ditanya. Ia menghela napas. Kepalanya terangkat, bulu-bulu lehernya yang putih keperakan berkilau tertimpa cahaya matahari.
“Apa lagi yang kau inginkan? Kau burung koleangkak paling cantik. Banyak yang iri padamu. Hmm... terkadang aku juga.”
Burung koleangkak cantik terdiam. Di benaknya masih terbayang sosok manusia yang menurutnya adalah makhluk paling cantik. “Aku ingin menjadi manusia,” desahnya.
“Ah, kau tak pernah puas dengan apa yang telah kau miliki.” Ditinggalkannya burung koleangkak cantik itu sendiri.
Sepeninggal kawannya, burung koleangkak cantik itu menguatkan hati untuk menghadap Dewa. Ia kumpulkan kekuatan untuk memberanikan diri bermohon kepada Sang Dewa demi mewujudkan keinginannya. Dan ternyata Dewa mengabulkan keinginannya. Betapa bahagia membuncah di hati.
“Tapi ada sesuatu yang harus kau tahu.” Dewa mengajukan syarat.
“Saya siap mendengar,” sahut burung koleangkak. Binar matanya yang cemerlang menunjukkan rasa ingin tahu.
“Saat kau tiba di akhir hidupmu kelak, kau harus diperlakukan sebagaimana jenazah manusia, dan disegerakan pengurusannya. Setelah itu kau akan kembali menjadi burung koleangkak.”
Setelah Dewa berucap demikian, burung koleangkak merasakan tubuhnya bergetar. Perlahan helai demi helai sayap eloknya menghilang, dan wujudnya berubah menjadi seorang perempuan. Burung koleangkak merasakan hatinya bergemuruh. Kini ia menjadi seorang manusia. Tubuhnya yang semampai dengan wajah bak purnama, dihiasi oleh bibir yang memerah delima, pipi seranum apel, dan mata bersinar secerlang bintang kejora. Kecantikan itu semakin purna dengan rambut legam tergerai bagai mayang terurai.
Tak henti ucapan terima kasih disampaikannya kepada Dewa. Namun tak lama kemudian ia kembali mengajukan permohonan. Ia ingin ditemani seorang anak. Dewa mengabulkannya. Seorang gadis kecil hadir di hadapannya. Tapi lagi-lagi Dewa menyebutkan sebuah syarat, berupa pantangan yang harus dihindari anak semata wayangnya. Jelmaan burung koleangkak menyanggupi.
Setelah itu dimulailah hari sang burung sebagai manusia. Tanah Banten menjadi tempat hidupnya.
Ia melihat orang-orang bekerja sebagai buruh tani untuk mendapatkan uang. Maka ikutlah ia menjadi buruh tani. Namun karena kecantikannya, ia dimusuhi teman-temannya sesama buruh. Ia lebih banyak dibebani pekerjaan. Tidak ada daya baginya untuk melawan. Semua bersekongkol membuatnya susah.
Dengan hati perih, ia pindah ke desa lain bersama anaknya. Sebuah desa nelayan. Ia kemudian menjadi pembantu pada seorang juragan ikan. Dan keadaan yang sama seperti di desa sebelumnya, terulang lagi. Ia dimusuhi dan dicurigai akan merebut perhatian mandor karena kecantikannya. Maka, dengan perasaan remuk redam, ia kembali pindah ke desa lain.
Di desa yang baru, ia berusaha mencari pekerjaan baru. Namun ia selalu disergap rasa takut, sehingga tak ada satu pekerjaan pun yang dilakoninya. Lantas ia memilih mencari kayu bakar di hutan lalu menjualnya di pasar.
Dengan pekerjaan kasar nan berat, kecantikannya kian memudar. Namun ia merasa lebih bahagia karena tidak ada yang memusuhi. Ditambah lagi anak semata wayangnya demikian sayang dan cinta kepadanya. Ia anak yang baik, patuh, dan rajin membantu.
Meski orang-orang tidak memusuhi, namun mereka tidak terlalu memedulikannya. Jelmaan burung koleangkak itu hanya dikenal sebagai janda miskin, karena ia datang beserta anak tanpa suami. Tetangga bersikap acuh tak acuh saja. Mereka tidak begitu suka pada orang baru. Ditambah status janda membuat orang menjaga jarak. Tapi ada satu tetangga yang selalu bersikap baik kepadanya. Seorang petani dan istrinya. Keduanya kerap memberikan nasi dan lauk pauk seadanya bila dilihatnya janda miskin itu tak punya makanan. Sayangnya, tetangga yang baik hati itu kemudian pindah ke desa lain yang jauh, karena orangtuanya sudah renta dan butuh ditemani.
Sekian tahun berselang, janda miskin jelmaan burung koleangkak berjumpa lagi dengan tetangganya yang baik itu.  Petani sederhana itu telah berubah hidupnya menjadi petani kaya raya. Bakti dan cintanya kepada orangtua, mengantarkan usaha taninya menjadi sukses. Keikhlasannya mengurus orangtua yang sudah renta hingga akhir hayatnya, melahirkan keridhoan orangtua. Ridho orangtua itu berbuah kemudahan-kemudahan dari Tuhan. Panennya melimpah dengan hasil yang baik. Hasil taninya laris di pasaran.
“Wah, aku hampir tidak mengenali sampeyan!1” Janda miskin itu menatap takjub pada petani, tetangganya dulu. Matanya tak berkedip memandang baju petani yang berhiaskan sulaman emas dan kancing perak.
Petani itu tersenyum. Lalu matanya tertuju pada kayu bakar yang teronggok di samping kaki si janda yang tak beralas kaki. “Masih berjualan kayu bakar?”
Janda miskin itu mengangguk lesu. Namun secepat sambaran elang, ia menjawab, “Ya, hidupku masih begini. Tapi aku tetap bahagia. Meski aku tak berharta, namun aku punya satu harta yang tak ternilai.”
Sang petani mengernyit. Sambil membetulkan letak kain sutra yang menyampir di pundaknya, ia bertanya, “Maksudmu?”
“Anakku. Dia harta yang paling berharga. Kelembutan hati dan keindahan perangainya senantiasa membuatku bahagia memilikinya.”
“Aku ingin bertemu putrimu. Tentu ia telah menjadi gadis dewasa sekarang.”
Tak berapa lama, seorang gadis menghampiri. Tangannya yang satu memikul seikat kayu bakar, dan satunya lagi bersiap menenteng ikatan kayu bakar yang ada di dekat kaki si janda. “Aku bawa sekarang ya, kayu-kayu ini.”
“Nah, ini putriku.” Ucapan tersebut menghentikan gerakan si gadis. Ia menoleh ke arah ibunya. “Nok 2, ini tetangga kita dulu. Tetangga yang selalu baik kepada kita.”
Si gadis melihat sejenak, lalu bibir tipisnya melengkungkan senyum. Ia segera mencium tangan si petani sambil mengucap salam penuh khidmat.
“Putrimu cantik. Cocok rasanya dengan putraku.”
Semburat merah jambu tampak di wajah gadis itu. Ia teringat putra tetangganya yang tampan. Sambil tersipu, ia mengucap salam, kemudian berlalu seraya mengangkut kayu bakar.
Petani itu kembali mengutarakan niatnya. “Aku ingin mengambil menantu, anak gadismu.”
 “Oh, terima kasih sudah menjatuhkan pilihan pada putriku. Tapi bagaimana dengan putra sampeyan?” Janda miskin itu menundukkan kepala. Kain penutup kepalanya yang usang jatuh menjuntai.
“Aku yakin putraku setuju dengan pilihanku. Seorang gadis cantik nan lembut dan berbudi.”
Lega hati Si Janda Miskin mendengar jawaban tersebut. Namun kembali mendung nampak di wajahnya. “Bagaimana dengan keadaanku yang miskin? Kami masih tinggal di gubuk yang dulu.”
Sebaris senyum tulus tersungging di wajah Si Petani. “Tidak usah khawatir. Aku memaklumi keadaanmu. Tidak penting beunghar3, yang penting mah bageur4.”
Kesepakatan pun dicapai. Pertunangan dilangsungkan tak berapa lama kemudian. Putra petani jatuh cinta seketika kepada putri koleangkak. Kecantikan serta kelembutannya telah menawan hati sang putra petani. Tanggal pernikahan ditentukan beberapa bulan kemudian.
Setelah kembali pulang ke desanya selepas acara pertunangan, janda miskin dan putrinya menjalani hari-hari seperti biasa. Hingga pada suatu hari, janda miskin itu jatuh sakit. Putrinya dengan telaten menemani dan melayani.
Nok, Ibu ingin makan pisang.”
Gadis yang baik itu menatap ibunya penuh kasih. Ia tidak ingin menampakkan keresahan hatinya, karena tidak ada uang untuk membeli pisang.  Namun ibunya bisa memahami arti helaan napas panjang putrinya.
“Tidak ada uang ya, untuk membeli pisang?”
Gadis itu mengerjapkan mata. Setitik bulir bening membasahi pipinya. Ia ingin sekali memenuhi keinginan ibunya tercinta. Seketika bibirnya melengkungkan senyum manis, penyejuk hati ibunya.
“Tak apa, Mak. Aku bisa minta kepada tetangga. Siapa tahu ada yang punya dan mau memberikannya kepada kita.”
Ibunya mengangguk. Matanya sendu mengiringi putrinya yang beranjak menuju keluar, menemui tetangga.
Dari rumah ke rumah, gadis baik hati itu berkeliling. Namun tak ada seorang pun tetangga yang berkenan memberinya pisang. Gadis itu pun berjalan lunglai, pulang dengan tangan hampa.
“Maafkan aku, Mak. Tak ada pisang untuk emak. Mungkin ada baiknya aku pergi ke rumah calon mertua. Mereka orangtua yang baik hati. Tentu tak berat bagi mereka memberikan sebuah pisang untuk emak,” usul gadis itu.
Ibunya menggeleng lemah. “Jangan, Nok. Rumah besan terlalu jauh dari sini.”
Gundah hati gadis itu. Rumah calon mertuanya memang jauh. Bagaimanalah nanti bila ia pergi ke sana? Siapa yang akan menemani ibunya?
Akhirnya ibunya terlelap di atas bale-bale reyot di sudut kamarnya. Gadis itu ikut rebah di sampingnya, menjaganya. Angin semilir menyelusup melalui lubang-lubang di bilik kamar. Seekor cicak tanpa buntut mengendap-endap hendak memangsa nyamuk di dekatnya.
Menjelang tengah malam, gadis itu terjaga. Segera dilihatnya ibunya. Anehnya, napas ibunya tak terlihat turun naik. Ia segera mengamati lebih saksama. Ternyata tubuh ibunya telah dingin. Seketika menjalar rasa perih menusuk hati, karena ditinggal pergi untuk selamanya oleh ibunda tercinta. Matanya mendanau. Kemudian pipinya membasah. Airmata menderas mengiringi pilu hatinya.
Mak, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Perpisahan ini terlalu cepat. Aku ingin emak menyaksikan pernikahanku. Aku ingin emak merasakan bahagiaku bersama suamiku nanti. Mak, aku rinduu... aku rindu belaian sayang emak.. aku rindu nyanyian merdu emak...”
Gadis itu merintih dalam kesenyapan. Dengan hati hancur, ditutupnya jenazah ibunya dengan tikar. Ia terus menangis sepanjang malam. Lalu ia mendatangi tetangga mengabarkan wafatnya ibunya. Namun tetangga tak ada yang peduli. Gadis itu tak berputus asa. Ia tetap berharap ada yang tergerak hatinya untuk mengurusi jenazah ibunya, namun harapannya tak terkabul.
Saat fajar menyingsing, gadis itu tidak mendengar suara-suara kemerosak dari tempat jenazah ibunya dibaringkan. Ia baru pulang ketika sinar sang raja siang mulai menampakkan diri. Gegas ia menuju jenazah ibunya. Namun betapa terkejutnya ia, saat membuka tikar penutup jenazah, ternyata ibunya telah raib. Dengan pikiran bagai benang kusut, ia mencari ke seluruh pojok tempat di dalam gubuknya, namun hasilnya nihil.
Lunglai kakinya melangkah ke luar rumah. Mendung menggelayut di wajahnya. Ia duduk bersimpuh di dekat pohon randu besar di halaman gubuknya.
Dalam gulana yang menyekapnya, ia mendengar suara dari atas pohon randu besar. Seekor burung koleangkak hinggap di sana dan terus menerus bernyanyi melantunkan kata-kata yang menyayat hati.
Koleangkak! Anak, ulah sok ceurik cumeurik, tuturkeun kalangkang indung.”  (Koleangkak! Anak, berhentilah, jangan menangis terus menerus. Ikutilah bayangan Ibu)
Gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan, tak ada orang. Lalu nyanyian burung koleangkak di atas dahan pohon randu kembali terdengar. Gadis itu menengadah, mencari asal suara. Tampaklah seekor burung koleangkak yang memandang kepadanya dengan pandangan kasih sayang seorang ibu. Sejenak ia terpaku. Dipandangnya burung itu. Lalu yakinlah ia, bahwa burung koleangkak itu adalah jelmaan ibunya.
Burung koleangkak itu terus menerus bernyanyi. Ia berharap anaknya mengikuti apa yang diucapkannya. Dan gadis itu mulai beringsut. Ia melangkah mengikuti bayangan burung itu. Meski sang burung terus saja terbang dari pohon ke pohon, ia tetap mengikuti tanpa menghiraukan rasa lapar dan dahaga yang menyerang.
Akhirnya, tibalah burung koleangkak di desa petani, calon besannya. Ia hinggap di atas pohon randu, dekat rumah bakal mertua anaknya. Di sana ia bernyanyi. “Koleangkak! Ki Warang.. Koleangkak! Nyi warang.. Geus sakieu bagja kula. Anak mah, nyerenkeun bae.” (Koleangkak! Ki Besan.. Koleangkak! Nyi Besan.. Telah cukup kebahagiaanku. Kuserahkan saja anakku kepada kalian)
Suami istri petani itu saling pandang. Keduanya merasa heran. Suara burung koleangkak itu seperti sengaja ditujukan kepada mereka. Maka segeralah keduanya menghambur keluar rumah, mencari asal suara burung tersebut.
Saat dilihatnya seekor burung koleangkak bertengger di atas dahan pohon randu, yakinlah mereka suara tadi berasal dari burung itu. Sang petani berusaha menangkapnya, tetapi burung tersebut berhasil lolos dan terus terbang membubung ke angkasa. Lalu hilang dari pandangan.
Pasangan suami istri itu kebingungan. Di tengah rasa bingungnya, datanglah calon menantu perempuannya. Gadis itu terhuyung-huyung di sela napasnya yang tersengal-sengal. Ia berlari sepanjang jalan, mengikuti ke mana pun burung koleangkak terbang.
“Kenapa, Nok? Ada apa?” Istri petani bertanya penuh rasa cemas. Suaminya memberi isyarat agar membawa gadis itu masuk ke dalam rumah.
Setelah minum dan duduk dengan tenang, berceritalah gadis itu tentang kepergian ibunya, diiringi isak sedih. Calon mertuanya jatuh iba. Gadis itu sebatang kara kini.
Nok, nggak usah kembali ke kampungmu. Sudah, tinggallah di sini, hingga hari pernikahanmu tiba.”
Maka tinggallah gadis itu di rumah calon mertuanya. Setelah beberapa waktu, ia menikah dengan anak laki-laki pasangan petani itu. Mereka pun resmi menjadi suami istri.
Kehidupan anak perempuan janda miskin itu senantiasa bertabur kasih sayang. Suaminya demikian cinta kepadanya.
“Aku bersyukur kepada Tuhan, memiliki suami sepertimu.”
“Akulah yang lebih bersyukur, karena kau adalah anugrah terindah yang Tuhan berikan untukku. Tak ada yang lain melebihimu. Bagiku, cukup hanya dirimu.”
Selalu kata-kata lembut nan romantis yang terucap di antara keduanya. Mereka benar-benar pasangan mesra yang bahagia.
Duabelas purnama berlalu. Pada sebuah sore yang tenang, kala langit membiru terang dalam bentangannya, berkatalah si suami kepada istrinya. “Sayang, kepalaku terasa gatal. Coba lihat sebentar!”
Demi mendengar permintaan suaminya, si istri membeku. Di benaknya terngiang ucapan ibunya, yang mewanti-wanti sebuah pantangan yang harus dijauhinya.
“Kenapa diam? Sirah Akang ararateul saja5.”
Si istri menghela napas panjang dan berat. “Kalau kita ingin hidup berdampingan selamanya, janganlah kau minta dicarikan kutu. Itu pantangan yang tak bisa kulanggar. Pantangan itu adalah pesan terakhir ibuku sebelum ia meninggal.”
“Ibumu bilang apa?”
Sambil menunduk lemas, si istri berkata, “Ibuku bilang begini: “Bila engkau bersuami nanti, hati-hatilah, jangan sekali-kali engkau mengutui suamimu. Itu pantangan bagimu. Bila engkau tak mengindahkan kata-kataku ini, kau akan menjadi koleangkak, membubung tinggi ke angkasa mengikuti ibumu.”
Suaminya menyimak kisah istrinya dengan hati masygul. Ia ingin bermanja di pangkuan istrinya sambil dikutui. Ia bersikeras agar keinginannya dipenuhi istrinya. Maka dengan berat hati, sang istri menuruti kehendak suaminya.
Sambil mengutui suaminya, si istri menyenandungkan sebuah nyanyian: “Koleangkak! Indung.. Ulah mulang ka khayangan, mun tacan reujeung kula” (Koleangkak! Ibu.. Jangan engkau pulang dulu ke khayangan, bila tidak bersamaku)
Suaminya menikmati betul dikutui. Apalagi sambil mendengar senandung merdu istrinya. Saking terbuainya, ia pun tertidur. Ia tidak menyadari perubahan pada istrinya. Perlahan-lahan tumbuh bulu pada badan istrinya. Menjelmalah ia menjadi burung koleangkak seperti ibunya. Ia pun terbang dan hinggap di bubungan atap.
Ketika sang suami terbangun, ia merasa heran istrinya tak ada di sampingnya. Ah, mungkin sedang membuat emping di dapur, batinnya. Ia pun beringsut menuju dapur. Ternyata tak ada. Berpindah ke ruang lain, tetap tak ada. Suaminya mulai merasakan jantungnya berdentam tak karuan. Tidak pernah selama ini istrinya pergi tanpa meminta izinnya. Hatinya gundah, khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan istrinya. Ia pun melangkah ke luar rumah. Namun tak ada jejak istrinya di sana.
Dari atas bubungan atap, terdengar nyanyian pilu yang disuarakan burung koleangkak berulang-ulang. “Koleangkak Kaka.. Koleangkak Bapa.. Koleangkak Ambu.. Kula mah ulah disiar.. Deuk nuturkeun sakadang indung” (Koleangkak Suamiku.. Koleangkak Bapak.. Koleangkak Ibu.. Aku tidak usah dicari. Aku hendak mengikuti ibuku)
Sang suami menegakkan telinga. Matanya mengelana, berusaha menangkap sosok istrinya. Senandung burung koleangkak itu membuatnya merasa bahwa istrinya tak jauh dari situ. Sementara itu, sang burung koleangkak demi melihat suaminya, langsung menghentikan senandungnya. Burung koleangkak itu memanggil suaminya. Ia mengatakan tak akan lagi mengutui suaminya, karena akan menyusul ibunya sekarang juga. Lalu burung koleangkak itu mengepakkan sayapnya.
Seiring kepakan sayap burung itu, si suami terpana. Ia menatap sayap burung koleangkak yang terus mengepak, hingga melayang semakin jauh, jauh, lalu menghilang dari pandangan. Ia merasa terhempas. Ada yang tercerabut dari hatinya. Danau di matanya meluruh membasahi pipi.
“Istriku.. istriku... “ suara hatinya menjerit pilu.
Dari hari ke hari, tak ada yang bisa mengobati perih hatinya. Ia menyesali suratan nasib yang telah menimpa. Meranalah ia sepanjang waktu.
“Istriku... aku menyesal, tak mengindahkan pantangan ibumu..”
Apa hendak di kata, penyesalan selalu datang terlambat. Sang suami hanya bisa meratap. Cintanya telah hilang. Rindu yang pekat terasa mencekiknya.
Bentang langit luas tak lepas ditatapnya, berharap istrinya akan muncul dan kembali kepadanya. Namun hanya angin yang membalas kerinduannya.
Segala yang ada di dalam rumah, turut berduka. Peralatan masak yang biasa digunakan untuk membuat emping, teronggok bisu di sudut dapur. Baju-baju yang terlipat rapi di dalam lemari, tampak muram. Suara derit pintu seperti pengantar kidung lara bagi luka hatinya yang terus membasah.
Tak ada daya hatinya untuk melawan nestapa. Ia tersungkur sakit. Kian hari badannya kian lemah. Ia sungguh terpukul. Tak ada obat penyembuhnya. Akhirnya ia tak sanggup menanggung derita hatinya. Napasnya pun terhenti. Hidupnya berakhir dalam duka.
Sekian waktu berlalu, dari kisah itu, dalam masyarakat Banten muncul sebuah kepercayaan. Bila ada burung koleangkak berbunyi, itu adalah burung koleangkak yang melanjutkan suara burung koleangkak yang dulu. Burung koleangkak yang dulu mewujud janda miskin, saat meninggal tidak ada yang mengurusi, tidak ada yang memandikan. Maka burung koleangkak itu terus menerus berseru minta dimandikan. Sehingga masyarakat percaya bahwa pekikan burung koleangkak itu adalah seruan minta hujan.
_______
GLOSARIUM
1)        Sampeyan : Anda
2)        Nok : panggilan kepada anak perempuan
3)        Beunghar : Kaya
4)        Bageur : Baik
5)        Ararateul saja : Gatal sekali  

*) ikut serta bertarung dalam Lomba Penulisan Cerita rakyat Kemendikbud 2015