Minggu, 24 April 2016

My Children is Not Mine

Seorang teman baik bercerita tentang anak sulungnya yang sudah masuk di boarding school, namun kemudian menolak tinggal di asrama. Alhasil setiap hari sang bunda mengantarjemput si buah hati dengan jarak tempuh kurang lebih 40 km untuk satu kali perjalanan. Padahal sang bunda memiliki agenda yang padat setiap harinya. Namun di sela kesibukannya, ia rela berpayah-payah demi anaknya.

Sang bunda keukeuh menyekolahkan anaknya di sekolah yang jauh itu, karena menurutnya itulah yang terbaik buat si anak. Sekolah-sekolah di sekitar rumah dan lingkungan pergaulan di sana, tidak kondusif bagi perkembangan seorang remaja. Begitu, pendapat sang bunda. Ia tidak ingin anaknya jatuh terperangkap dalam pergaulan yang buruk. Karenanya, si anak harus dijauhkan dan ditempatkan di lingkungan yang baik.

Demikianlah naluri seorang Ibu. Selalu berusaha ingin melindungi dan memberikan yang terbaik untuk anak. Namun sayangnya, kerap niat tulus ini tak terbaca oleh anak. Ia menangkap isyarat lain. Gejolak jiwa remajanya tetap merasa bahwa bukan di sanalah pilihannya. Dan benturan pun tak terhindarkan.

Seketika aku teringat pada si sulung. Dulu, selepas SD, aku antarkan ia sepenuh cinta ke sebuah pesantren. Sejuta harap menggumpal di dada, anakku akan menjadi seorang yang shalih, cerdas, dan berkualitas. Tak tampak ada tanda-tanda perlawanan. Bahkan saat awal masuk sekolah itu, ia menjadi peserta MOS teladan. Ketika teman-teman seangkatannya riuh menangis ingin pulang, anakku tetap tegar dan bersikap manis.

Masih terekam baik dalam ingatanku, kala pertama meninggalkannya di hari aku mengantarkan ke pesantren. Rasanya ingin menangis berderai-derai, namun sekuat hati aku tahan. Anakku, cintaku, tak boleh melihat aku berurai air mata. Tampaknya aku bagai ibu yang kejam, tapi aku harus lakukan itu. Meski hatiku rasa terhimpit gunung saking beratnya meninggalkan anakku.

Hari demi hari aku lalui sambil tak sabar menunggu tiba hari Minggu. Hari dimana aku boleh menengok anakku. Saat itu kami belum punya mobil, maka aku berpayah-payah naik bis yang berderak-derak bunyinya. Kebanyakan bis-bis itu memang sudah butut. Dan aku pun harus merelakan diri berhimpitan di tengah sesaknya penumpang, sambil berdiri karena bis sudah sangat penuh.

Terkadang sebelum hari Minggu, aku tetap menuju ke pesantren. Sekadar membelikan makanan dan minuman, yang kemudian hanya bisa aku titip di Pak Satpam. Karena di luar hari Minggu, tidak diperkenankan bertemu dengan anak.

Setelah kehidupan kami membaik, dan sebuah mobil menempati garasi rumah, aku pun setiap Minggu menyetir ke pesantren. Membawa anakku jalan-jalan dan makan. Karena anak tidak boleh dibawa pulang, hanya boleh dibawa jalan-jalan hingga waktu yang telah ditentukan.

Seiring lipatan waktu, anakku terus menunjukkan prestasi. Berkali-kali ia menjadi juara dalam lomba. Lomba membuat komik berbahasa Inggris, lomba puisi, lomba membuat surat, dll. Dalam setiap acara pertemuan orangtua siswa pun, anakku selalu tampil, entah itu sebagai pembawa tashmi' maupun penampilan seni. Ah.. bahagianya hati ini.

Dari sisi akademik, anakku juga masuk 10 besar. Begitupun dalam pergaulan sosialnya, anakku terpilih sebagai kepala kamar.

Rasanya semua sempurna, bukan? Lalu, tibalah hari itu, tepatnya malam itu. Anakku tiba-tiba pulang ke rumah. Di sekolahnya sedang acara. Pengawasan melonggar. Anakku pergi tanpa ada yang mengetahui. Ia naik bis sendiri.

Bisa dibayangkan betapa remuk redam hatiku. Anakku, harapanku, cintakasihku, ternyata melakukan sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Tapi aku harus tetap hati-hati. Sekuat hati aku menahan diri untuk tidak mencecarnya. Hingga akhirnya, pengakuan darinya serasa menghantam jiwaku.

"Selama hampir setahun ini, aku udah melakukan apa yang Mama inginkan. Aku jadi juara ini itu, jadi ketua, hafal juz 1, semua demi Mama. Supaya nggak malu-maluin Mama, kan Mama sekretaris komite. Udah cukup, 1 tahun. Sekarang aku mau melakukan apa yang aku mau. Aku mau pindah sekolah, pas kelas 8."

Waktu itu memang sudah di akhir semester. Tinggal menunggu pembagian raport. Anakku sudah merencanakannya. Ia merasa saat itu adalah waktu yang tepat.

Sambil menahan gejolak rasa pedih perih, aku berpamitan pada pihak pesantren. Berterima kasih setulusnya atas segala bimbingan dan arahan untuk anakku. Ah.. rasanya ada yang tercerabut dari hatiku.

Setelah itu aku menawarkan beberapa sekolah untuk dipilih anakku. Aku tak mau lagi memilihkan. Biar semua keputusan berada di tangannya. Aku antarkan ia melihat-lihat beberapa sekolah. Hingga akhirnya pilihan jatuh pada sebuah boarding school di Sukabumi. Bukan pesantren, tapi boarding school yang islami.

Cerita tentang sekolah yang ini, nanti lagi deh. Satu yang pasti dari pengalamanku, apa pun yang kita idamkan untuk si buah hati, kadang tak selaras dengan kenyataan. Adakalanya semesta tak mendukung. Maka, selalulah berkomunikasi dengan anak. Libatkan ayahnya. Libatkan ayahnya. Libatkan ayahnya.
gambar diambil dari sini
 Anak kita bukan milik kita. Apa yang kita inginkan, harus dirundingkan bersama si anak. Karena anak pun berhak mengetahui dan turut menentukan. Setelah itu, intenslah terus membersamainya. Walau bagaimana pun, tugas kita lah untuk mengawalnya. Kerahkan segala usaha. Lalu sempurnakan dengan gempuran doa tiada putus. Mari senantiasa kita peluk erat anak-anak kita dengan doa.
gambar diambil dari sini



9 komentar:

  1. Waaaah kau jadi sedih baca ini mak.. DI satu sisis aku ngeti banget gimna perasaan Mak Linda sebagai Ibu, tapi disisi lain aku juga bisa ngerti gimana perasaan si sulung sebagai seorang anak.. Alhamdulillah ya Mak, walaupun ternyat sii sulung nggak terlalu suka sama pesantren itu, tapi tetap berprestasi. aku salut banget!

    Pada akhirnya memang sepertinya, anak-anak kita ya memang bukan milik kita sepenuhnya ya Mak.. Mereka bukan benda, mereka cuma titipan.. Mudah-mudahan pilihan si sulung yang sekarang jadi pilihan yang terbaik ya Mak.. Aaaaamiin. Semangat terus Mak, walaupun aku tau mak Linda pasti cukup sedih, tapi tetepa pasti bangga banget kan sama si sulung. Salam untuk si sulung ya Mak, semoga lancar selalu sekolahnya ya.. Aaaamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin.. Aamiin..
      Makasiii doanya, Mak Adriana.
      InsyaAllah saya tetap semangat..
      Semoga yang terbaik utk anak-anak kita, ya.
      Makasii dah mampir di mari ya, Mak.. :)

      Hapus
  2. hai mak... anak sulungku jg pesantren.jadi aku tahu sedihnya spt apa saat ninggalin anak pada awal masuk pesantren.
    semoga si sulungnya mak linda tetap semangat berprestasi di sekolah barunya ya.

    BalasHapus
  3. Memang tak mudah ya mbak untuk anak2 usia ABG berada di lingkungan pesantren. Kecuali klo anaknya yang benar2 niat dan minat

    BalasHapus
  4. TFS y mba Linda, kadang memang ada obsesi dari kita sbg ortu inginkan sesuatu kpd anak kita namun sygnya anak blm tentu sjln dg yg kita mau. Sama halnya saya yg kiri kanan nyuruh anak ko blm sekolah si pdhl dh mau 3 thn, saya ga mau terobsesi mjd ortu tnp liat kemampuan n kematangan dr anak hehehe biarlah org berkata apa :)

    BalasHapus
  5. terimakasih sharingnya mbak...buat pelajaran juga bagi saya..semoga senantiasa istqomah di jalan Allah...

    BalasHapus
  6. Sejauh ini, belum kepikiran buat nyekolahin anak ke pesantren, mungkin ke sekolah Islam Terpadu tapi bukan pesantern...

    BalasHapus
  7. wah hati saya jadi meleleh mbak linda...
    banyak hikmah yang saya dapatkan dalam tulisan ini..

    berarti saya harus libatkan Billa dlm memutuskan pilihan sekolahnya kelak....
    melibatkan ayahnya...
    dan menetapkan hati untuk menerima putusan yang ada...

    makasih sharenya yang luar biasa ini mbak....

    BalasHapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus