Senin, 30 April 2012

Pelajaran dari Bu Rahmi

Waktu pertama kali bertemu muka dan berbincang dengan Bu Rahmi yang datang sebagai penduduk baru di komplek kami, aku menangkap kesan bahwa beliau adalah seorang perempuan tangguh yang sabar. Gaya bicaranya lembut, tutur katanya halus, dengan tempo lambat, njawani banget. Bahasa tubuhnya penuh tatakrama kesopanan, meski usianya sudah berada di penghujung kepala 4 (waktu itu).

Tidak banyak yang kuketahui tentang kehidupan pribadinya. Namun ia tinggal di komplek kami, tanpa kehadiran seorang suami. Konon, beliau sudah bercerai. Putranya, laki-laki semua, berjumlah 3 orang. Tampak ideal, karena mereka adalah anak-anak yang baik dan pintar. Bu Rahmi sendiri adalah seorang guru SMK, matpel Akuntansi.

Melihat dari fisik rumahnya, kondisi ekonomi keluarga itu tampak baik. Boleh dibilang berkecukupan. Kendaraan yang dimiliki yaitu sepeda motor yang biasa digunakan Bu Rahmi beraktivitas. Nah, dari sepeda motor inilah cerita ini bermula.

Aku mendengar bahwa Bu Rahmi masuk rumah sakit karena kecelakaan motor di jalan komplek, tak jauh dari gerbang depan. Ketika aku menengok bersama ibu-ibu pengajian komplek, Bu Rahmi menceritakan pengalamannya. Sebuah pengalaman yang dahsyat, namun tetap dituturkan tanpa meledak-ledak.

"Tidak ada yang istimewa dengan kejadian kecelakaan yang saya alami. Semua terjadi begitu saja. Ketika Allah menghendaki terjadi sebuah musibah, maka terjadilah. Meski tanpa latar yang mendukung. Siang itu, sekitar pukul setengah dua, sepulang sekolah seperti biasa, saya mengendarai motor saya dengan kecepatan biasa. (Bisa dibayangkan bukan, type Bu Rahmi ini jauh dari kebiasaan ngebut). Lalu tiba-tiba motor saya seperti ada yang menarik ke arah kiri, lalu saya terjatuh ke arah kanan. Waktu itu, saya tidak menghindari apa pun. Jalanan sepi. Tidak ada kendaraan lain yang melintas, tidak juga anak-anak yang bermain berlarian. Saya kaget. Tidak ada orang yang bisa dimintai tolong karena siang itu, benar-benar sepi. Namun, Alhamdulillah, dari arah warung depan, ada bapak-bapak yang menolong dan mengantar saya ke rumah."

Dan, cerita terus mengalir. Ada beberapa hal yang aku garisbawahi. Pertama, tentu kesadaran Bu Rahmi akan kuasaNya. Beliau merasa bersyukur, kecelakaan itu tidak merenggut nyawanya. Karena pada saat itu sholat dzuhur belum ditunaikannya. Maka, point penting yang ditanamkannya dalam hati adalah, sholat harus diutamakan pada awal waktu, sebab betapa meruginya bila kita meninggal dalam keadaan belum sholat.

Kedua, reaksinya atas rasa sakit. Betapa reaksi itu tetap terjaga dalam kesabaran yang kental, tanpa keluhan yang mendenging. Padahal dengan kondisi persendian yang hancur, rasa sakit yang menusuk-nusuk tentu membuat ngilu yang teramat sangat. Bu Rahmi mengajariku tentang bagaimana mengelola emosi dan rasa, tatkala menerima ujianNya.

Kerap aku merasa, ujian yang kuhadapi demikian berat. Orang lain mah ujiannya belum se-berat aku. Tapi Bu Rahmi menolongku untuk menepis rasa itu. Meski kondisi ekonomi Bu Rahmi tidak kekurangan, namun biaya rumahsakit, baik rawat inap, operasi, terapi, konsultasi, obat, alat bantu, jumlahnya amatlah besar. Dan Allah menunjukkan jalan. Bahkan dari arah yang tak diduga-duga.

Oh.. betapa aku harus yakin, bahwa setiap masalah itu pasti hadir sudah diiringi dengan jalan keluarnya. Tinggal kita yang sabar dan tawakkal untuk mencari jalan itu. Allah pasti memberikan pertolongan bagi hambaNya yang sabar dan mendirikan sholat.

Terimakasih, Bu Rahmi..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar