Pada tahun 2008 Ibu Muli bagai mendapat durian runtuh. Namanya tercantum sebagai guru penerima tunjangan sertifikasi dari pemerintah. Setelah mengikuti sesi pelatihan selama kurang lebih 2 pekan, yang diakhiri dengan test tulis dan test praktik mengajar, beberapa bulan kemudian Ibu Muli memperoleh sertifikat pendidik sebagai guru profesional dengan spesifikasi: guru kelas.
Pada tahun berikutnya, senyum mengembang di bibir Ibu Muli karena rekeningnya terisi oleh dana tunjangan sertifikasi secara berkala. Nilainya setara gaji PNS Gol.IIIA. Sungguh, rasa syukur tak henti dipanjatkannya kepada Yang Maha Kuasa, atas rezeki yang tak disangka-sangka ini.
Belum lama ini, Ibu Muli pindah tempat tinggal. Semula di Kabupaten A, sekarang bermukim di Kabupaten B. Maka Ibu Muli mengurus kepindahannya, termasuk urusan sertifikasi. Dibuatnya surat pengajuan permohonan mutasi sertifikasi. Dilengkapi pula berkas lain yang mendukung.
Setelah sempat tersendat beberapa waktu, akhirnya surat pengantar dari Kabupaten A untuk Kabupaten B, diterima Ibu Muli. Dengan langkah mantap penuh harap, Ibu Muli menuju kantor kementrian tempat lembaganya bernaung di Kabupaten B. Tanpa syak wasangka, Ibu Muli berpikir tunjangan sertifikasinya akan berlanjut karena beliau mengajar di lembaga yang sejenis dengan kabupaten asal.
Seluruh dokumen disimpannya rapi dalam satu map. Ibu Muli pun menghadap pejabat yang berwenang. Disimaknya butir-butir kalimat yang meluncur dari ucapan si bapak pejabat. Ibu Muli ternganga. Terhenyak kemudian.
Dilontarkannya beberapa pertanyaan. Lalu jawaban yang membuatnya terperanjat, yang diterima. Tentu kau ingin tahu, Kawan, apa penjelasan yang didapat Ibu Muli?
Pengusulan nama Ibu Muli sebagai guru penerima tunjangan sertifikasi di Kabupaten B tidak dapat diproses pada saat itu. Apa pasal? Pendataan sertifikasi untuk non PNS seperti Ibu Muli, dihitung berdasarkan satminkal (satuan administrasi pangkalan) yang baru. Maka Ibu Muli dianggap pengalamannya masih nol tahun, sebab dihitung dari satminkal atau sekolah yang baru. Sehingga masih disebut sebagai GTT (Guru Tidak Tetap). Sedangkan menurut peraturannya, seorang guru menjadi GTY (Guru Tetap Yayasan) apabila telah mengajar selama 2 tahun secara terus menerus di sekolah yang bersangkutan. Dan konon masih menurut peraturan pula, tunjangan sertifikisasi hanya diberikan kepada GTY.
Demi mendengar penjelasan tersebut, lemaslah Ibu Muli. Harus menunggu 2 tahun untuk turunnya dana tunjangan sertifikasi bagi dirinya. Sementara di sekolah yang baru, Ibu Muli tidak menerima gaji, dengan asumsi bahwa beliau telah menerima ‘gaji’ dari pemerintah. Dan ternyata asumsi tersebut meleset.
Dengan kenyataan pahit yang diperolehnya, Ibu Muli berpesan kepadaku untuk menyampaikan hal ini kepadamu, Kawan. Berhati-hatilah bagi para pendidik yang telah tersertifikasi dan hendak bermutasi lintas kota atau kabupaten. Informasi yang jelas dari kedua pihak harus benar-benar digali. Mencari teman yang kenal baik dengan pejabat terkait, akan sangat membantu. Sang teman dapat menghubungkan langsung dengan pejabat terkait tersebut, sehingga urusan kita akan lebih mendapat perhatian.
Tapi Kawan, tak usah khawatir dengan nasib Ibu Muli selanjutnya. Insya Allah beliau tetap semangat menjalani hidup. Meski betapa Ibu Muli membutuhkan sangat, kucuran dana tunjangan sertifikasi tersebut, demi kelangsungan hidupnya dan anak-anaknya, namun berdosa bukan, bila Ibu Muli lantas merasa mendapat kiamat duluan? Maka senyum Ibu Muli tetap melengkung manis. Mungkin ini saatnya bagi Ibu Muli untuk berkarya dan berprestasi di ranah yang lain. Mohon doanya ya.
langsung aku kasih tau ibuku mbaaa, biar dishare ke guru2 yang lain
BalasHapusibunya Windi msh aktif ngajar?
BalasHapusMoga2 cm aku aja deh yg ngalamin.. tmen2 guru yg lain mah jangan..