Sabtu, 22 Maret 2014

Bahasa Ibu

Selazimnya, orang Sunda tentu bahasa ibunya adalah bahasa Sunda. Tapi seiring waktu, ada pergeseran kelaziman itu. Orang-orang Sunda tidak lagi menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Mereka lebih suka berbahasa Indonesia ketimbang bahasa Sunda. Saya tidak tahu, apakah di daerah lain pun demikian. Orang-orang Jawa, misalnya, apakah generasi jaman kini masih juga berbahasa Jawa?

Saya lahir dan besar di sebuah kota kecil di Jawa Barat. Bapak saya sangat Sunda, dan membiasakan kami berbahasa Sunda dengan halus. Saya pun terbentuk dalam kehalusan bahasa tersebut. Maka ketika mendengar ada orang yang berbahasa Sunda kasar, saya merasa sangat risih. Saya pun terbiasa menggunakan tingkatan-tingkatan bahasa Sunda dengan benar. Kata-kata bahasa Sunda klasik yang kuno pun saya paham.

Selepas SMA, saya kuliah di Bandung. Tapi ternyata kesundaan saya mulai terkikis. Meski Bandung adalah ibukota Jawa Barat yang notabene bahasa pergaulannya adalah bahasa Sunda, namun kenyataannya dalam keseharian saya selama di Bandung, justru bahasa Sunda saya teronggok tak berdaya. Saya lebih banyak berbahasa Indonesia. Ini tersebab teman-teman kuliah seangkatan saya di Jurusan Sastra Jepang, hampir 90% anak Jakarta. Kalaupun berbahasa Sunda, ya gitu deh.. alakadarnya.

Lulus kuliah, saya mengadu nasib di Jakarta. Semakin membentang jarak saya dengan bahasa Sunda. Ini dalam arti berkomunikasi, sementara kosa kata, undak usuk basa, dan sebagainya masih tersimpan rapi dalam memori saya.

Menginjak masa emak-emak, saya tinggal di Bogor. Lagi-lagi meskipun masih berada di tanah Sunda, interaksi berbahasa Sunda sangat minim. Saya berada di kawasan agak luar dari Bogor. Di sana, bahasa Sunda sudah terkontaminasi dengan bahasa Betawi yang ala Mandra. Sementara itu, tempat tinggal saya berlokasi di komplek perumahan yang boleh dibilang warganya didominasi oleh masyarakat pendatang yang berasal dari berbagai daerah di tanah air. Bahasa sehari-hari yang digunakan tentu saja adalah bahasa pemersatu, yaitu bahasa Indonesia.

Demikian yang terjadi, sehingga lidah anak-anak saya tidak terbiasa melafalkan bahasa Sunda. Tapi di dalam rumah, saya kerap menggunakan bahasa Sunda, agar telinga anak-anak terbiasa mendengar kata-kata dalam bahasa Sunda. Jadi anak-anak saya, saeutik-saeutik mah ngartos bahasa Sunda.

Meski saya tetap menguasai bahasa Sunda dengan baik, namun memang ketika menyampaikan sesuatu yang cukup panjang, atau menanggapi sesuatu, tidak jarang secara refleks saya menggunakan bahasa Indonesia. Duh, kenapa jadi kagok ya, bicara bahasa Sunda panjang-panjang? Kecuali bila berada dalam forum atau lingkungan yang sejak awal pertemuan sudah menggunakan bahasa Sunda.

Sekarang saya tidak lagi tinggal di Bogor. Di sini dominasi bahasa Sunda masih sangat kuat dibanding ketika saya tinggal di Bogor dulu. Dan.. saya pun harus belajar membiasakan diri kembali berbahasa Sunda dalam forum atau suasana yang banyak dihadiri oleh orang-orang Sunda. Kalau percakapan sehari-hari dengan rekan kerja sih, berbahasa Sunda, karena bahasa Sundanya pun yang bahasa pergaulan biasa.

Saya baru sadar ketika belum lama diminta menjadi pembawa acara pada acara tasyakuran khitanan. Dengan tanpa dosa saya cuap-cuap menggunakan bahasa Indonesia. Lalu tiba acara pembacaan doa/hadiah untuk almarhum almarhumah para orangtua dan leluhur, sang pemimpin doa langsung berbahasa Sunda. Sejujurnya saya terkesiap, benar-benar baru sadar, kalau dari tadi saya melakukan 'kesalahan' dengan tidak menyapa pemirsa dalam bahasa Sunda. Dan ini bukan yang pertama. Sebelumnya pada acara tasyakuran milad seorang anak, saya pun mengawal acara dalam bahasa Indonesia full.

Hadeuh.. tepok jidat deh.. sekarang harus belajar ngemsi pake bahasa Sunda.. :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar