Jumat, 21 Maret 2014

Hidup Adalah Pilihan

Sudah sangat sering ya, mendengar kalimat itu, bahwa hidup adalah pilihan. Ada satu lagi kalimat yang saya suka, hidup adalah seni memilih. Intinya sih, dalam hidup ini kita dihadapkan pada beragam pilihan, dan ketika kita menentukan pilihan tersebut akan ada konsekuensi yang mengikuti.

Ini cerita tentang hari ini. Sepulang kerja, seperti biasa saya lewat apotek. Dari beberapa hari lalu, saya berniat membeli madu, tapi ragu-ragu terus mengingat harga madu tergolong mahal untuk kondisi saat ini. Ketika apotek itu sudah nyaris terlewati, saya memutar badan, bergerak menuju apotek. Beli aja deh, ini untuk kepentingan anak-anak demi menjaga kesehatan, pikir saya.

Saat saya masuk apotek, terlihat beberapa orang staf apotek berada di ruang obat-obat yang terlihat dari jendela kecil yang terbuka yang bisa dilihat siapa pun yang berada di ruang display obat. Saya melongok-longok, berusaha menarik perhatian ibu-ibu dan mbak-mbak sekalian yang ada di ruang obat. Saya mengetuk-ngetuk meja sambil mengucap salam. Tapi tak ada yang bereaksi.

Saya berpikir mau sms apotekernya aja deh. Dia teman yang masih terbilang famili. Namanya Vivi. saya mau komplen kalau saya dicuekin di apoteknya. Lalu tiba-tiba dari arah samping, datanglah seseorang, yang ternyata.. Vivi. Lho, bukannya jadwal kunjungan dia ke apotek itu setiap Senin? Ini kan Jumat.

"Lagi kepingin aja, dateng," ucap Vivi, sambil tersenyum.

Ketika saya tanya kabar adiknya, ternyata masih belum berubah. She still single. Lalu Vivi bilang, menikah dan tidak menikah itu kan pilihan, ya. Saya mengiyakan. Kondisi jaman sudah berubah, entah ini sebuah kemajuan atau apa namanya, tapi sekarang perempuan memang menempatkan 'tidak menikah' sebagai sebuah pilihan. Jaman dulu, tentu saja tidak terpikir, karena semua perempuan harus menikah. Tak apa, menjadi istri kesekian.

Awalnya semua adalah pilihan. Apakah mau menikah atau tidak, apakah mau menikah dengan si A, si B, si C, dst. Setelah pilihan itu ditetapkan, barulah takdir berbicara. Seperti buku anak-anak di masa kecil saya, yang bertajuk PSP alias Pilih Sendiri Petualanganmu. Misal: dalam sebuah cerita, diceritakan si tokoh menjumpai sebuah gua, maka pembaca dipersilakan memilih, apakah mau masuk ke dalam gua atau mau melewati gua. Bila mau masuk ke dalam gua, buka halaman sekian. Sebaliknya, bila mau melewati gua, sila ditelusuri halaman sekian. Pada masing-masing halaman yang disebutkan itu, membentanglah petualangan yang berbeda, sesuai pilihan.

Saya menganalogikan, seperti itu juga kita dalam menjalani hidup. Ketika konflik menghampiri, bukan serta merta kita ditakdirkan akan bernasib A atau B. Tapi ada pilihan-pilihan yang kesemuanya harus dipikirkan dengan cermat. Karena itulah ada yang namanya sholat istikhoroh. Kita mohon bantuan Allah untuk menetapkan pilihan. Kita berserah kepadaNya dan berharap kebaikan dari apa yang akan kita pilih. Kalau memang nasib sudah ditentukan semua oleh Allah, untuk apa juga ada sholat istikhoroh, ada doa-doa, ada petunjuk Al-Quran, bahkan ada Rasul penerang jalan.

Demikian pun langkah yang saya pilih sekarang. Allah memberi jalan perpisahan ini. Saya-lah yang menetapkan pilihan apakah akan kembali atau tetap menjalani hidup sendiri-sendiri. Dalam prosesnya, entah kenapa, saya dipertemukan dengan beberapa orang yang mengalami hal yang sama. Seolah Allah ingin menguatkan jalan yang telah saya pilih. Kami, para perempuan, adakalanya harus tegar melangkah sendiri, mengepak dengan satu sayap.

Selanjutnya berserah kepada Allah. Satu yang pasti, saya tidak boleh sombong, bahwa saya bisa menjalani ini sendiri. Ada Allah, Sang Pengatur segala. Sayaa 'hanya' harus terus berusaha untuk berbuat kebaikan, karena kebaikan itu akan kembali kepada kita berupa kebaikan juga.

Semoga kita semua cerdas menghadapi pilihan, dan selalu melibatkan Allah di dalamnya.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar