Rasanya klise, ketika suatu aktivitas nggak bisa dilakukan lalu alasannya adalah sibuk. Tapi itu memang terjadi sama aku. Seharian dari pagi sampe sore, berkegiatan di sekolah, pulang ke rumah tinggal capek.
Padahal aku kangen nulis. Kangen yang sebenar-benarnya. Maka aku iri sama temen-temen yang bertaburan karyanya dimuat di media, atau menang lomba menulis ini dan itu.
Sebenernya sih nggak muluk-muluk, asal bisa rutin nulis di blog aja, aku udah seneng. Lha, ini mah blog sampe dah berdebu, berlumut, bahkan banyak sarang laba-labanya gini.
Terakhir nulis ternyata bulan September, dan sekarang November. Oh, tidak.. selama bulan Oktober samsek nggak nulis. Gimana bisa bernapas panjang ngenovel lagi. Atau bikin komik lagi.
Setiap ada yang menanyakan kapan buku baru akan terbit, rasanya tertonjoq. Kepingiin.. namun apa daya..
Pingin lanjutin novel Zia, pingin bikin komik lagi, pingin ngeresensi lagi, pingin nyerpen dewasa lagi pun..
Cuma segitu sih, tapi syussyahnyeu..
Mau nulis sekuel Zia aja, malah banyak ragu-nya. Takut mengecewakan gitu. Soalnya Zia dapet award, jadi seenggaknya kualitas tulisan nggak boleh nurun. Dan justru aku takut tulisanku malah garing.. huft..
Buat komik, aku dah siapin bahan referensinya. Bela-belain beli dengan harga berjuta-juta. Tapii.. belom mulai juga.. :(
Tapi, mungkin betul kata temenku, kadang sesuatu itu ada masanya, dan kita harus rela menerimanya. Dan aku belum bisa. Hati kecilku menolak kenyataan bahwa aku sekarang memiliki keterbatasan terkait kondisi kesehatan fisik dan psikis. Itu kadang bikin stress. Betapa nggak? pingin nuliiss, tapi mata terus memberat.
So, niat harus lebih kenceng lagi kayaknya. Kemaren itu pernah ada tugas bikin cerpen anak, dan dalam waktu relatif singkat, aku bisa menuliskannya. Langsung di-acc pula. Terbukti, kalau sungguh-sungguh mengerjakan, ada 'tangan' Tuhan yang membantu.
Senin, 21 November 2016
Jumat, 09 September 2016
Pemuda Harapan Bangsa
Kalau sekarang aku ngelihat anak-anak muda yang aktif berorganisasi, pinter bicara di hadapan publik, terampil meng-organise event-event, mumpuni dalam lomba-lomba, fasih dalam ajang debat, apalagi kalau cas-cis-cus in English.. wah, rasanya bener-bener pingin kembali ke masa lalu. Pingin banget aku menjadi bagian dari mereka. Duh, aku dulu ke mana aja, ya..? Padahal rasa-rasanya sih aku punya potensi ke arah sana, tapi sayangnya nggak tereksplor. Huft.. sudahlah, hidup dimulai saja dari sekarang.
Rasa kagumku sama anak-anak muda yang aku sebutin itu pasti langsung muncul saat melihat kiprah mereka. Otomatically gitu deh. Sambil terkagum-kagum, aku juga bahagia melihat generasi muda yang keren banget macam itu. Bukannya sok tua.. emang udah tua.. hahaa.. eits! enggaklah, I'm still young, meski bilangan usia terus merambat naik.. :P
Selain itu, selalu juga terlangitkan berjuta harap agar anakku seperti mereka. Anak-anakku, Ghulam, Zidan, Nadia, Salman, mengisi hidupnya, masa mudanya dengan beragam hal yang positif dan mendorongnya untuk berkembang menjadi pemuda muslim yang cerdas dan berkualitas. Semoga.. semoga.. semoga..
Nah, ketika sekarang aku menjadi wakasek bidang kesiswaan, aku semangat pingin mengikutsertakan anak-anak Adzkia dalam lomba-lomba, agar mereka terasah potensi dan pengalamannya. Soal menang atau kalah, urusan belakang lah. Nothing to loose.
Belum lama ini datanglah surat undangan untuk mengikuti lomba dari SMA Al-Bayan, Cibadak, Sukabumi. Itu boarding school khusus ikhwan yang aku dengar prestasinya berderet-deret. Karena penyelenggaranya sekolah tepercaya, maka aku antusias mendaftarkan anak-anak Adzkia buat ikutan lomba di sana. Nggak semua matalomba ikut sih, cuma MHQ sama nasyid aja.
Sebelum hari 'H', seperti biasanya sebuah event lomba, ada technical meetingnya dulu dong. Aku pun datang ke sana. Lokasinya agak masuk ke perkampungan gitu deh. Biasa lah ya.. pesantren/boarding school letaknya jauh dari keramaian. Kayak Lazuardi, sekolah anakku dulu.
Begitu memasuki gerbang, berjejer anak-anak SMA nya menyambut. Mereka menunaikan 5S.. senyum, sapa, salam, sopan, santun. Dari wajah-wajahnya terpancar aura positif. Enak banget ngelihatnya.
Saat aku turun dari motor, mereka sigap menunjukkan aula tempat technical meeting. Dengan ramah pula mereka mengantarkan aku. Dalam gedung aula, acara baru dimulai. Aku menyimak satu demi acara. Melihat cara anak-anak muda itu bicara. Ketua pelaksana, penanggung jawab acara, dan jajaran panitia lainnya, terampil berbicara di depan umum. Nggak semua sih, tapi yang dah bisaan itu, bagus banget. Suka ngelihatnya. Duh.. semoga anakku juga bisa kayak gitu.
Sampai akhir acara, aku merasa nyaman berada di sana. Rasa optimisme memenuhi dada. Kalaulah para pemuda kita seperti itu kebanyakannya, maka amanlah negeri ini di masa datang. Dan besar harapanku juga, mereka kelak ketika berada di dunia nyata, di tengah-tengah masyarakat, tetap menjunjung tinggi idealisme yang mereka anut sekarang.
Yuk, para guru dan orangtua, sebagai pendidik generasi yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan negeri, mari kita kawal dan beri ruang untuk anak-anak berpikir kreatif, mandiri, juga bertanggung jawab. Semoga bertumbuhlah di tengah kita, para pemuda harapan bangsa, yang membawa perubahan menuju Indonesia yang hebat dan bermartabat.
Rasa kagumku sama anak-anak muda yang aku sebutin itu pasti langsung muncul saat melihat kiprah mereka. Otomatically gitu deh. Sambil terkagum-kagum, aku juga bahagia melihat generasi muda yang keren banget macam itu. Bukannya sok tua.. emang udah tua.. hahaa.. eits! enggaklah, I'm still young, meski bilangan usia terus merambat naik.. :P
Selain itu, selalu juga terlangitkan berjuta harap agar anakku seperti mereka. Anak-anakku, Ghulam, Zidan, Nadia, Salman, mengisi hidupnya, masa mudanya dengan beragam hal yang positif dan mendorongnya untuk berkembang menjadi pemuda muslim yang cerdas dan berkualitas. Semoga.. semoga.. semoga..
Nah, ketika sekarang aku menjadi wakasek bidang kesiswaan, aku semangat pingin mengikutsertakan anak-anak Adzkia dalam lomba-lomba, agar mereka terasah potensi dan pengalamannya. Soal menang atau kalah, urusan belakang lah. Nothing to loose.
Belum lama ini datanglah surat undangan untuk mengikuti lomba dari SMA Al-Bayan, Cibadak, Sukabumi. Itu boarding school khusus ikhwan yang aku dengar prestasinya berderet-deret. Karena penyelenggaranya sekolah tepercaya, maka aku antusias mendaftarkan anak-anak Adzkia buat ikutan lomba di sana. Nggak semua matalomba ikut sih, cuma MHQ sama nasyid aja.
Sebelum hari 'H', seperti biasanya sebuah event lomba, ada technical meetingnya dulu dong. Aku pun datang ke sana. Lokasinya agak masuk ke perkampungan gitu deh. Biasa lah ya.. pesantren/boarding school letaknya jauh dari keramaian. Kayak Lazuardi, sekolah anakku dulu.
Begitu memasuki gerbang, berjejer anak-anak SMA nya menyambut. Mereka menunaikan 5S.. senyum, sapa, salam, sopan, santun. Dari wajah-wajahnya terpancar aura positif. Enak banget ngelihatnya.
Saat aku turun dari motor, mereka sigap menunjukkan aula tempat technical meeting. Dengan ramah pula mereka mengantarkan aku. Dalam gedung aula, acara baru dimulai. Aku menyimak satu demi acara. Melihat cara anak-anak muda itu bicara. Ketua pelaksana, penanggung jawab acara, dan jajaran panitia lainnya, terampil berbicara di depan umum. Nggak semua sih, tapi yang dah bisaan itu, bagus banget. Suka ngelihatnya. Duh.. semoga anakku juga bisa kayak gitu.
Sampai akhir acara, aku merasa nyaman berada di sana. Rasa optimisme memenuhi dada. Kalaulah para pemuda kita seperti itu kebanyakannya, maka amanlah negeri ini di masa datang. Dan besar harapanku juga, mereka kelak ketika berada di dunia nyata, di tengah-tengah masyarakat, tetap menjunjung tinggi idealisme yang mereka anut sekarang.
Yuk, para guru dan orangtua, sebagai pendidik generasi yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan negeri, mari kita kawal dan beri ruang untuk anak-anak berpikir kreatif, mandiri, juga bertanggung jawab. Semoga bertumbuhlah di tengah kita, para pemuda harapan bangsa, yang membawa perubahan menuju Indonesia yang hebat dan bermartabat.
gambar diambil dari sini |
Selasa, 06 September 2016
Ibu, Sang Pembela
Di sekolah tempat saya mengajar, diberlakukan aturan larangan membawa handphone. Hal ini agar anak-anak bisa terlepas dari ketergantungan pada hp, serta menumbuhkan sikap tanggung jawab dan kemandirian. Karena biasanya orangtua bersikukuh membekali hp pada anak-anaknya dengan alasan agar anak mudah dipantau, terutama saat jam pulang. Wah, kalau anak selalu dikuntit orangtua terus, kapan anak belajar mandiri dan tanggung jawab? Tanpa hp, diharapkan anak akan tumbuh sikap tanggung jawabnya untuk bersegera pulang ketika jam pulang sekolah, sehingga orangtua tidak khawatir. Maklumlah, full day school kan pulangnya sore. Kalaupun anak ada kegiatan selepas jam pulang, maka anak harus punya kesadaran untuk memberitahukannya kepada orangtua, sebelum berangkat sekolah.
Eh, bukan berarti sama sekali nggak boleh bawa hp. Kalau memang ada hal yang urgent, boleh aja bawa hp. Tapi orangtua harus meminta izin dulu kepada walikelas atau wakasek kesiswaan. Dan selama berada di sekolah, hp harus dititipkan kepada walikelas atau Kesiswaan. Baru boleh diambil ketika akan pulang.
Nah, kemarin diadakan razia hp. Saya dan Divisi Kedisiplinan OSIS bergerak memasuki kelas-kelas, saat jam sholat dzuhur dan asar. Jadi ketika kelas kosong karena anak-anak berada di masjid, kami menggeledah isi tas nya. Dan.. ditemukanlah beberapa hp.
Sebagai wakasek bid. kesiswaan, saya menyita hp-hp tersebut. Anak-anak tidak bisa langsung mengambil hp miliknya pada sore itu, saat mereka akan pulang. Tapi hp baru bisa diambil esok hari, dan yang mengambil harus orangtuanya.
Anak-anak tersebut bisa menerima konsekuensi itu, karena mereka tahu telah melanggar peraturan sekolah. Namun ada 1 anak yang sangat gelisah dan menginginkan hp-nya kembali. Anak ini memang salah satu target razia kali ini, karena beberapa hari lalu diduga sering membawa hp dan tidak dititipkan ke walikelas atau Kesiswaan.
Dia datang kepada saya sambil merengek minta diizinkan untuk mengambil hpnya. Alasannya, ibunya sedang berada di luar kota. Kalau nanti ibunya menghubungi, dia nggak angkat hp, nanti ibunya khawatir. Saya bilang, nggak masalah. Ibunya akan saya hubungi untuk dikabari bahwa hp anaknya sedang disita, jadi tidak bisa dihubungi dari sore itu hingga esok hari.
Saya pun menelpon ibunya. Tampak ibunya kaget dan reaksi spontannya langsung ingin melindungi sang anak. Sang ibu tahu, anaknya pasti sangat menginginkan hpnya kembali. Ia pun beralasan bahwa saat itu ia sedang berada di Jakarta untuk suatu urusan, maka nanti bila ingin menghubungi anaknya tentu sulit.
Duh, rempong betul, pikir saya. Padahal ayah anak itu ada di rumah, kan ibunya bisa menghubungi lewat si ayah bila ingin mengetahui keadaan putra tercintanya.
Saya tegaskan pada ibu anak itu, bahwa peraturan sekolah berlaku untuk semua anak. Jadi tidak mungkin anaknya mendapat perlakuan istimewa dengan diperbolehkan langsung mengambil hpnya sore itu, tanpa orangtua pula. Semuanya baru bisa diambil esok hari oleh orangtua.
Ibu itu pun lalu bilang, "Anak saya nggak biasa bawa hp. Cuma tadi pagi itu memang saya yang suruh, karena saya mau ke Jakarta, jadi supaya saya bisa gampang menghubunginya."
Saya tertegun. Duhai, demikanlah seorang ibu. Betapa ia langsung muncul sebagai pembela anak, padahal ia tahu anaknya bersalah.
Anak itu sudah beberapa hari lalu diduga sering bawa hp. Ada beberapa saksi mata tepercaya yang melaporkan kepada saya. Jadi tidak mungkin ketika ibunya bilang bahwa anaknya tidak biasa bawa hp. Itu mah ibunya aja yang nggak tahu. Terbukti, laporan para saksi mata itu benar, dengan ditemukannya hp sang anak di dalam tasnya.
Ibu itu masih agak berdalih lagi namun saya berusaha tetap konsisten. Kemudian ia ingin bicara dengan anaknya. Saya bilang, "Ada pesan apa, Bunda? Nanti saya sampaikan." Saya pikir, urusan akan tambah panjang kalau pake acara ngobrol dulu antara ibu dan anak tersebut. Akhirnya, sang ibu menitipkan pesan agar anaknya nanti ketika tiba di rumah, untuk segera menelpon ibunya. Lalu sang ibu meminta maaf kepada saya, dan saya pun segera menyudahi pembicaraan.
Sang anak tertunduk lesu. Lunglai ia berjalan pulang.
Begitulah para ibu. Acap menunjukkan sayang yang berlebih, namun sesungguhnya ditempatkan pada porsi yang tidak tepat.
Mari bijaksana menyayangi anak!
Eh, bukan berarti sama sekali nggak boleh bawa hp. Kalau memang ada hal yang urgent, boleh aja bawa hp. Tapi orangtua harus meminta izin dulu kepada walikelas atau wakasek kesiswaan. Dan selama berada di sekolah, hp harus dititipkan kepada walikelas atau Kesiswaan. Baru boleh diambil ketika akan pulang.
Nah, kemarin diadakan razia hp. Saya dan Divisi Kedisiplinan OSIS bergerak memasuki kelas-kelas, saat jam sholat dzuhur dan asar. Jadi ketika kelas kosong karena anak-anak berada di masjid, kami menggeledah isi tas nya. Dan.. ditemukanlah beberapa hp.
Sebagai wakasek bid. kesiswaan, saya menyita hp-hp tersebut. Anak-anak tidak bisa langsung mengambil hp miliknya pada sore itu, saat mereka akan pulang. Tapi hp baru bisa diambil esok hari, dan yang mengambil harus orangtuanya.
Anak-anak tersebut bisa menerima konsekuensi itu, karena mereka tahu telah melanggar peraturan sekolah. Namun ada 1 anak yang sangat gelisah dan menginginkan hp-nya kembali. Anak ini memang salah satu target razia kali ini, karena beberapa hari lalu diduga sering membawa hp dan tidak dititipkan ke walikelas atau Kesiswaan.
Dia datang kepada saya sambil merengek minta diizinkan untuk mengambil hpnya. Alasannya, ibunya sedang berada di luar kota. Kalau nanti ibunya menghubungi, dia nggak angkat hp, nanti ibunya khawatir. Saya bilang, nggak masalah. Ibunya akan saya hubungi untuk dikabari bahwa hp anaknya sedang disita, jadi tidak bisa dihubungi dari sore itu hingga esok hari.
Saya pun menelpon ibunya. Tampak ibunya kaget dan reaksi spontannya langsung ingin melindungi sang anak. Sang ibu tahu, anaknya pasti sangat menginginkan hpnya kembali. Ia pun beralasan bahwa saat itu ia sedang berada di Jakarta untuk suatu urusan, maka nanti bila ingin menghubungi anaknya tentu sulit.
Duh, rempong betul, pikir saya. Padahal ayah anak itu ada di rumah, kan ibunya bisa menghubungi lewat si ayah bila ingin mengetahui keadaan putra tercintanya.
Saya tegaskan pada ibu anak itu, bahwa peraturan sekolah berlaku untuk semua anak. Jadi tidak mungkin anaknya mendapat perlakuan istimewa dengan diperbolehkan langsung mengambil hpnya sore itu, tanpa orangtua pula. Semuanya baru bisa diambil esok hari oleh orangtua.
Ibu itu pun lalu bilang, "Anak saya nggak biasa bawa hp. Cuma tadi pagi itu memang saya yang suruh, karena saya mau ke Jakarta, jadi supaya saya bisa gampang menghubunginya."
Saya tertegun. Duhai, demikanlah seorang ibu. Betapa ia langsung muncul sebagai pembela anak, padahal ia tahu anaknya bersalah.
Anak itu sudah beberapa hari lalu diduga sering bawa hp. Ada beberapa saksi mata tepercaya yang melaporkan kepada saya. Jadi tidak mungkin ketika ibunya bilang bahwa anaknya tidak biasa bawa hp. Itu mah ibunya aja yang nggak tahu. Terbukti, laporan para saksi mata itu benar, dengan ditemukannya hp sang anak di dalam tasnya.
Ibu itu masih agak berdalih lagi namun saya berusaha tetap konsisten. Kemudian ia ingin bicara dengan anaknya. Saya bilang, "Ada pesan apa, Bunda? Nanti saya sampaikan." Saya pikir, urusan akan tambah panjang kalau pake acara ngobrol dulu antara ibu dan anak tersebut. Akhirnya, sang ibu menitipkan pesan agar anaknya nanti ketika tiba di rumah, untuk segera menelpon ibunya. Lalu sang ibu meminta maaf kepada saya, dan saya pun segera menyudahi pembicaraan.
Sang anak tertunduk lesu. Lunglai ia berjalan pulang.
Begitulah para ibu. Acap menunjukkan sayang yang berlebih, namun sesungguhnya ditempatkan pada porsi yang tidak tepat.
Mari bijaksana menyayangi anak!
![]() |
gambar diambil dari sini |
Rabu, 29 Juni 2016
Tentang Tangguh
Ada rekan kerja saya, namanya Bu Irma. Pembawaannya tenang, lembut, pokoknya super kalem. Amanah kerjanya cukup besar. Tanggungjawabnya adalah QA Kurikulum. Saya sungguh kagum melihat sikapnya, meski kadang greget juga sama ketenangan sikapnya. Soalnya kalau saya mungkin dah pingin mrepet sana-sini, tapi beliau tetap cool abizz..
Bu Irma nggak tau kalau saya diam-diam adalah pengagumnya. Sampai suatu ketika saat bukber, kebetulan saya dan Bu Irma lagi 'cuti', jadi tinggal kami berdua di meja karena yang lain sedang sholat magrib. Saya bilang, "Pingin lihat deh, paniknya Bu Irma kayak gimana?" Bu Irma cuma tersenyum lalu menutup muka. Ia merasa malu karena saya memujinya.
Tak lama, datanglah Ibu owner, yang juga ternyata sedang 'cuti'. Saya tanya sama beliau, "Bu, pernah melihat Bu Irma panik, nggak?"
Bu Irma lagi-lagi tersipu lalu menutup muka. Sedang Bu owner pun tersenyum bijak lalu memandang saya. "Bu Irma ini orang hebat. Beliau selalu berusaha melakukan the best that she could. Setelah segala upaya dilakukan, ia akan berserah. Jadi baginya, tak ada alasan untuk bersikap panik."
Saya tercengang. "Saya belum nyampe ke maqom itu."
Bu Irma tersenyum. "Subhanallah, sungguh betapa maha hebatnya Allah yang telah menutup aib-aib saya, sehingga yang tampak di mata Bu Linda seolah-olah saya begitu baik. Padahal mah ..."
Bu owner menanggapi. "Bu Irma pandai menyembunyikan apa yang tengah bergejolak, sehingga semua nampak adem ayem."
Pembicaraan terhenti. Teman-teman yang selesai sholat magrib mulai berdatangan. Tak lama kemudian kami selesai bukber dan keluar dari resto menuju tempat parkir. Dalam perjalanan menuju tempat parkir itu, Bu owner menjejeri saya. "Ada wanita-wanita yang diuji demikian berat. Seperti Bu Irma. Tapi beliau mampu menerimanya dengan sabar. Maka Allah menganugerahkan ketangguhan baginya."
Saya tercenung. Bu owner melanjutkan, "Selain Bu Irma, ada juga yang lain kan?" Saya mengangguk, teringat cerita beliau tentang salah seorang rekan yang mengalami perpisahan dalam rumahtangganya.
"Demikianlah setiap orang mendapat ujian yang berbeda-beda. Bukan kita yang menentukan apakah ujian si A lebih berat dari si B, atau sebaliknya. Karena masing-masing sesuai kadar beratnya dengan kesanggupan yang sudah terukur oleh Allah, nihil salah," lanjut Bu owner. "Dan Bu Linda juga. Wanita tangguh lainnya yang saya kenal." Bu owner lalu membuka pintu mobil dan duduk di balik kemudi, siap membawa kami pulang.
Saya pun mengulang kata-kata Bu Irma.. "Subhanallah, sungguh betapa maha hebatnya Allah yang telah menutup aib-aib saya.."
Semoga menjadi doa.. saya benar-benar tangguh menjalani sisa hidup ini. Mendampingi anak-anak dengan segala problematikanya. Menekuni pekerjaan dengan segudang amanah yang besar. Menjadi wanita shalihah dengan akhir yang baik...
Bu Irma nggak tau kalau saya diam-diam adalah pengagumnya. Sampai suatu ketika saat bukber, kebetulan saya dan Bu Irma lagi 'cuti', jadi tinggal kami berdua di meja karena yang lain sedang sholat magrib. Saya bilang, "Pingin lihat deh, paniknya Bu Irma kayak gimana?" Bu Irma cuma tersenyum lalu menutup muka. Ia merasa malu karena saya memujinya.
Tak lama, datanglah Ibu owner, yang juga ternyata sedang 'cuti'. Saya tanya sama beliau, "Bu, pernah melihat Bu Irma panik, nggak?"
Bu Irma lagi-lagi tersipu lalu menutup muka. Sedang Bu owner pun tersenyum bijak lalu memandang saya. "Bu Irma ini orang hebat. Beliau selalu berusaha melakukan the best that she could. Setelah segala upaya dilakukan, ia akan berserah. Jadi baginya, tak ada alasan untuk bersikap panik."
Saya tercengang. "Saya belum nyampe ke maqom itu."
Bu Irma tersenyum. "Subhanallah, sungguh betapa maha hebatnya Allah yang telah menutup aib-aib saya, sehingga yang tampak di mata Bu Linda seolah-olah saya begitu baik. Padahal mah ..."
Bu owner menanggapi. "Bu Irma pandai menyembunyikan apa yang tengah bergejolak, sehingga semua nampak adem ayem."
Pembicaraan terhenti. Teman-teman yang selesai sholat magrib mulai berdatangan. Tak lama kemudian kami selesai bukber dan keluar dari resto menuju tempat parkir. Dalam perjalanan menuju tempat parkir itu, Bu owner menjejeri saya. "Ada wanita-wanita yang diuji demikian berat. Seperti Bu Irma. Tapi beliau mampu menerimanya dengan sabar. Maka Allah menganugerahkan ketangguhan baginya."
Saya tercenung. Bu owner melanjutkan, "Selain Bu Irma, ada juga yang lain kan?" Saya mengangguk, teringat cerita beliau tentang salah seorang rekan yang mengalami perpisahan dalam rumahtangganya.
"Demikianlah setiap orang mendapat ujian yang berbeda-beda. Bukan kita yang menentukan apakah ujian si A lebih berat dari si B, atau sebaliknya. Karena masing-masing sesuai kadar beratnya dengan kesanggupan yang sudah terukur oleh Allah, nihil salah," lanjut Bu owner. "Dan Bu Linda juga. Wanita tangguh lainnya yang saya kenal." Bu owner lalu membuka pintu mobil dan duduk di balik kemudi, siap membawa kami pulang.
Saya pun mengulang kata-kata Bu Irma.. "Subhanallah, sungguh betapa maha hebatnya Allah yang telah menutup aib-aib saya.."
![]() |
sumber gambar |
Minggu, 26 Juni 2016
Perjalanan Cinta
Usiaku terpaut sepuluh tahun dengan suami. Ia seorang yang
berwibawa dan.. ganteng. Itu salah satu hal yang membuatku bersedia dijodohkan
dengannya. Maklumlah, remaja putri seusiaku biasanya masih mengandalkan wajah
rupawan untuk cowok idaman. Di penghujung masa SMA, seorang lelaki
mapan dan ganteng sudah menungguku. Siapa tak bangga? Maka tak lama selepas kelulusan
SMA-ku, segera aku beranjak ke pelaminan.
Hari-hari bergulir. Aku mulai merasakan getir karena suamiku
ternyata seorang yang kaku dan dingin. Sikapnya sangat komandan. Pendapat dan
kehendaknya harus selalu diikuti. Otoriter sekali.
Demikian seperti itu hingga tahun demi tahun berganti.
Anak-anak mulai hadir menghangatkan keluarga. Merekalah pelipur laraku.
![]() |
Gambar diambil dari sini |
![]() |
Gambar diambil dari sini |
Keinginanku untuk bisa bermanja-manja selayaknya seorang
istri kepada suami, mulai menipis. Sudahlah, suamiku memang sepertinya tak
pernah menganggap penting hal itu. Baginya, memenuhi segala kebutuhanku dan
anak-anak, sudah cukup. Kadang terlintas di benak, apakah ia mencintaiku?
Berbilang tahun kemudian, Alhamdulillah kami berkesempatan
pergi umroh ke tanah suci. Saat tiba di Mekkah, kakiku yang memang kerap
bermasalah, mulai beraksi. Ketika akan melaksanakan sa’i (lari-lari kecil
antara bukit Shafa dan Marwah), rasanya aku benar-benar nggak sanggup, bahkan
hanya untuk sekedar berjalan sekalipun. Lalu suamiku sibuk mencarikan kursi roda.
Kebetulan saat itu banyak jemaah yang menggunakan kursi roda. Sulit sekali mencari kursi roda yang kosong. Suamiku tampak
kalang kabut. Akhirnya setelah berhasil mendapatkan, ia bersungguh-sungguh mendorongku
dengan kursi roda. Ia menolak tawaran jasa pendorong kursi roda.
Selanjutnya, suamiku tiada kenal lelah, dengan setia selalu mendorongku
dengan kursi roda, kemana pun kami pergi. Kebetulan pihak hotel menyediakan. Suamiku
selalu tampak khawatir bila aku bilang ingin mencoba berjalan. Pada saat itulah
aku merasakan tatapannya yang penuh cinta. Aku bisa merasakan cintanya yang
begitu dalam. Ia sungguh menjagaku dengan segenap jiwanya. Itu membuatku meleleh. Perjalanan ibadah agung itu pun kemudian menjadi
perjalanan penuh cinta. Aku merasakan suamiku sungguh mencintaiku. Dan betapa itu sangat berarti bagiku.
Setelah pulang kembali ke tanah air, hatiku lebih cair. Aku tidak
lagi merasa kesal dengan sikap kakunya. Aku tahu, ia mencintaiku, dengan
caranya sendiri.
![]() |
Gambar diambil dari sini |
*diangkat dari kisah seorang teman baik*
Selasa, 10 Mei 2016
EUFORIA 30 JUTA
BURUNG KOLEANGKAK MINTA HUJAN *)
(Ditulis kembali dari cerita rakyat
Banten)
“Beberapa
hari ini, kulihat kau termenung saja. Mengapa?” Seekor burung koleangkak
bertanya kepada kawannya yang bertengger tak jauh darinya.
“Yaah...
ada sesuatu yang kuinginkan,” jawab burung koleangkak yang ditanya. Ia menghela
napas. Kepalanya terangkat, bulu-bulu lehernya yang putih keperakan berkilau
tertimpa cahaya matahari.
“Apa
lagi yang kau inginkan? Kau burung koleangkak paling cantik. Banyak yang iri
padamu. Hmm... terkadang aku juga.”
Burung
koleangkak cantik terdiam. Di benaknya masih terbayang sosok manusia yang
menurutnya adalah makhluk paling cantik. “Aku ingin menjadi manusia,” desahnya.
“Ah,
kau tak pernah puas dengan apa yang telah kau miliki.” Ditinggalkannya burung
koleangkak cantik itu sendiri.
Sepeninggal
kawannya, burung koleangkak cantik itu menguatkan hati untuk menghadap Dewa. Ia
kumpulkan kekuatan untuk memberanikan diri bermohon kepada Sang Dewa demi
mewujudkan keinginannya. Dan ternyata Dewa mengabulkan keinginannya. Betapa bahagia
membuncah di hati.
“Tapi
ada sesuatu yang harus kau tahu.” Dewa mengajukan syarat.
“Saya
siap mendengar,” sahut burung koleangkak. Binar matanya yang cemerlang
menunjukkan rasa ingin tahu.
“Saat
kau tiba di akhir hidupmu kelak, kau harus diperlakukan sebagaimana jenazah
manusia, dan disegerakan pengurusannya. Setelah itu kau akan kembali menjadi
burung koleangkak.”
Setelah
Dewa berucap demikian, burung koleangkak merasakan tubuhnya bergetar. Perlahan helai
demi helai sayap eloknya menghilang, dan wujudnya berubah menjadi seorang
perempuan. Burung koleangkak merasakan hatinya bergemuruh. Kini ia menjadi
seorang manusia. Tubuhnya yang semampai dengan wajah bak purnama, dihiasi oleh
bibir yang memerah delima, pipi seranum apel, dan mata bersinar secerlang
bintang kejora. Kecantikan itu semakin purna dengan rambut legam tergerai bagai
mayang terurai.
Tak
henti ucapan terima kasih disampaikannya kepada Dewa. Namun tak lama kemudian
ia kembali mengajukan permohonan. Ia ingin ditemani seorang anak. Dewa
mengabulkannya. Seorang gadis kecil hadir di hadapannya. Tapi lagi-lagi Dewa
menyebutkan sebuah syarat, berupa pantangan yang harus dihindari anak semata
wayangnya. Jelmaan burung koleangkak menyanggupi.
Setelah
itu dimulailah hari sang burung sebagai manusia. Tanah Banten menjadi tempat
hidupnya.
Ia
melihat orang-orang bekerja sebagai buruh tani untuk mendapatkan uang. Maka
ikutlah ia menjadi buruh tani. Namun karena kecantikannya, ia dimusuhi
teman-temannya sesama buruh. Ia lebih banyak dibebani pekerjaan. Tidak ada daya
baginya untuk melawan. Semua bersekongkol membuatnya susah.
Dengan
hati perih, ia pindah ke desa lain bersama anaknya. Sebuah desa nelayan. Ia
kemudian menjadi pembantu pada seorang juragan ikan. Dan keadaan yang sama
seperti di desa sebelumnya, terulang lagi. Ia dimusuhi dan dicurigai akan
merebut perhatian mandor karena kecantikannya. Maka, dengan perasaan remuk
redam, ia kembali pindah ke desa lain.
Di
desa yang baru, ia berusaha mencari pekerjaan baru. Namun ia selalu disergap
rasa takut, sehingga tak ada satu pekerjaan pun yang dilakoninya. Lantas ia
memilih mencari kayu bakar di hutan lalu menjualnya di pasar.
Dengan
pekerjaan kasar nan berat, kecantikannya kian memudar. Namun ia merasa lebih
bahagia karena tidak ada yang memusuhi. Ditambah lagi anak semata wayangnya
demikian sayang dan cinta kepadanya. Ia anak yang baik, patuh, dan rajin
membantu.
Meski
orang-orang tidak memusuhi, namun mereka tidak terlalu memedulikannya. Jelmaan burung
koleangkak itu hanya dikenal sebagai janda miskin, karena ia datang beserta
anak tanpa suami. Tetangga bersikap acuh tak acuh saja. Mereka tidak begitu
suka pada orang baru. Ditambah status janda membuat orang menjaga jarak. Tapi
ada satu tetangga yang selalu bersikap baik kepadanya. Seorang petani dan
istrinya. Keduanya kerap memberikan nasi dan lauk pauk seadanya bila dilihatnya
janda miskin itu tak punya makanan. Sayangnya, tetangga yang baik hati itu
kemudian pindah ke desa lain yang jauh, karena orangtuanya sudah renta dan
butuh ditemani.
Sekian
tahun berselang, janda miskin jelmaan burung koleangkak berjumpa lagi dengan
tetangganya yang baik itu. Petani
sederhana itu telah berubah hidupnya menjadi petani kaya raya. Bakti dan
cintanya kepada orangtua, mengantarkan usaha taninya menjadi sukses.
Keikhlasannya mengurus orangtua yang sudah renta hingga akhir hayatnya,
melahirkan keridhoan orangtua. Ridho orangtua itu berbuah kemudahan-kemudahan
dari Tuhan. Panennya melimpah dengan hasil yang baik. Hasil taninya laris di
pasaran.
“Wah,
aku hampir tidak mengenali sampeyan!1”
Janda miskin itu menatap takjub pada petani, tetangganya dulu. Matanya tak
berkedip memandang baju petani yang berhiaskan sulaman emas dan kancing perak.
Petani
itu tersenyum. Lalu matanya tertuju pada kayu bakar yang teronggok di samping
kaki si janda yang tak beralas kaki. “Masih berjualan kayu bakar?”
Janda
miskin itu mengangguk lesu. Namun secepat sambaran elang, ia menjawab, “Ya,
hidupku masih begini. Tapi aku tetap bahagia. Meski aku tak berharta, namun aku
punya satu harta yang tak ternilai.”
Sang
petani mengernyit. Sambil membetulkan letak kain sutra yang menyampir di
pundaknya, ia bertanya, “Maksudmu?”
“Anakku.
Dia harta yang paling berharga. Kelembutan hati dan keindahan perangainya
senantiasa membuatku bahagia memilikinya.”
“Aku
ingin bertemu putrimu. Tentu ia telah menjadi gadis dewasa sekarang.”
Tak
berapa lama, seorang gadis menghampiri. Tangannya yang satu memikul seikat kayu
bakar, dan satunya lagi bersiap menenteng ikatan kayu bakar yang ada di dekat
kaki si janda. “Aku bawa sekarang ya, kayu-kayu ini.”
“Nah,
ini putriku.” Ucapan tersebut menghentikan gerakan si gadis. Ia menoleh ke arah
ibunya. “Nok 2, ini
tetangga kita dulu. Tetangga yang selalu baik kepada kita.”
Si
gadis melihat sejenak, lalu bibir tipisnya melengkungkan senyum. Ia segera
mencium tangan si petani sambil mengucap salam penuh khidmat.
“Putrimu
cantik. Cocok rasanya dengan putraku.”
Semburat
merah jambu tampak di wajah gadis itu. Ia teringat putra tetangganya yang
tampan. Sambil tersipu, ia mengucap salam, kemudian berlalu seraya mengangkut
kayu bakar.
Petani
itu kembali mengutarakan niatnya. “Aku ingin mengambil menantu, anak gadismu.”
“Oh, terima kasih sudah menjatuhkan pilihan
pada putriku. Tapi bagaimana dengan putra sampeyan?”
Janda miskin itu menundukkan kepala. Kain penutup kepalanya yang usang jatuh
menjuntai.
“Aku
yakin putraku setuju dengan pilihanku. Seorang gadis cantik nan lembut dan
berbudi.”
Lega
hati Si Janda Miskin mendengar jawaban tersebut. Namun kembali mendung nampak
di wajahnya. “Bagaimana dengan keadaanku yang miskin? Kami masih tinggal di
gubuk yang dulu.”
Sebaris
senyum tulus tersungging di wajah Si Petani. “Tidak usah khawatir. Aku
memaklumi keadaanmu. Tidak penting beunghar3,
yang penting mah bageur4.”
Kesepakatan
pun dicapai. Pertunangan dilangsungkan tak berapa lama kemudian. Putra petani
jatuh cinta seketika kepada putri koleangkak. Kecantikan serta kelembutannya
telah menawan hati sang putra petani. Tanggal pernikahan ditentukan beberapa
bulan kemudian.
Setelah
kembali pulang ke desanya selepas acara pertunangan, janda miskin dan putrinya
menjalani hari-hari seperti biasa. Hingga pada suatu hari, janda miskin itu
jatuh sakit. Putrinya dengan telaten menemani dan melayani.
“Nok, Ibu ingin makan pisang.”
Gadis
yang baik itu menatap ibunya penuh kasih. Ia tidak ingin menampakkan keresahan
hatinya, karena tidak ada uang untuk membeli pisang. Namun ibunya bisa memahami arti helaan napas
panjang putrinya.
“Tidak
ada uang ya, untuk membeli pisang?”
Gadis
itu mengerjapkan mata. Setitik bulir bening membasahi pipinya. Ia ingin sekali
memenuhi keinginan ibunya tercinta. Seketika bibirnya melengkungkan senyum
manis, penyejuk hati ibunya.
“Tak
apa, Mak. Aku bisa minta kepada
tetangga. Siapa tahu ada yang punya dan mau memberikannya kepada kita.”
Ibunya
mengangguk. Matanya sendu mengiringi putrinya yang beranjak menuju keluar, menemui
tetangga.
Dari
rumah ke rumah, gadis baik hati itu berkeliling. Namun tak ada seorang pun
tetangga yang berkenan memberinya pisang. Gadis itu pun berjalan lunglai,
pulang dengan tangan hampa.
“Maafkan
aku, Mak. Tak ada pisang untuk emak. Mungkin ada baiknya aku pergi ke
rumah calon mertua. Mereka orangtua yang baik hati. Tentu tak berat bagi mereka
memberikan sebuah pisang untuk emak,”
usul gadis itu.
Ibunya
menggeleng lemah. “Jangan, Nok. Rumah
besan terlalu jauh dari sini.”
Gundah
hati gadis itu. Rumah calon mertuanya memang jauh. Bagaimanalah nanti bila ia
pergi ke sana? Siapa yang akan menemani ibunya?
Akhirnya
ibunya terlelap di atas bale-bale reyot di sudut kamarnya. Gadis itu ikut rebah
di sampingnya, menjaganya. Angin semilir menyelusup melalui lubang-lubang di
bilik kamar. Seekor cicak tanpa buntut mengendap-endap hendak memangsa nyamuk
di dekatnya.
Menjelang
tengah malam, gadis itu terjaga. Segera dilihatnya ibunya. Anehnya, napas
ibunya tak terlihat turun naik. Ia segera mengamati lebih saksama. Ternyata
tubuh ibunya telah dingin. Seketika menjalar rasa perih menusuk hati, karena
ditinggal pergi untuk selamanya oleh ibunda tercinta. Matanya mendanau.
Kemudian pipinya membasah. Airmata menderas mengiringi pilu hatinya.
“Mak, jangan pergi. Jangan tinggalkan
aku. Perpisahan ini terlalu cepat. Aku ingin emak menyaksikan pernikahanku. Aku ingin emak merasakan bahagiaku bersama suamiku nanti. Mak, aku rinduu... aku rindu belaian
sayang emak.. aku rindu nyanyian
merdu emak...”
Gadis
itu merintih dalam kesenyapan. Dengan hati hancur, ditutupnya jenazah ibunya
dengan tikar. Ia terus menangis sepanjang malam. Lalu ia mendatangi tetangga
mengabarkan wafatnya ibunya. Namun tetangga tak ada yang peduli. Gadis itu tak
berputus asa. Ia tetap berharap ada yang tergerak hatinya untuk mengurusi
jenazah ibunya, namun harapannya tak terkabul.
Saat
fajar menyingsing, gadis itu tidak mendengar suara-suara kemerosak dari tempat
jenazah ibunya dibaringkan. Ia baru pulang ketika sinar sang raja siang mulai
menampakkan diri. Gegas ia menuju jenazah ibunya. Namun betapa terkejutnya ia, saat
membuka tikar penutup jenazah, ternyata ibunya telah raib. Dengan pikiran bagai
benang kusut, ia mencari ke seluruh pojok tempat di dalam gubuknya, namun
hasilnya nihil.
Lunglai
kakinya melangkah ke luar rumah. Mendung menggelayut di wajahnya. Ia duduk
bersimpuh di dekat pohon randu besar di halaman gubuknya.
Dalam
gulana yang menyekapnya, ia mendengar suara dari atas pohon randu besar. Seekor
burung koleangkak hinggap di sana dan terus menerus bernyanyi melantunkan
kata-kata yang menyayat hati.
“Koleangkak! Anak, ulah sok ceurik cumeurik,
tuturkeun kalangkang indung.” (Koleangkak! Anak, berhentilah, jangan
menangis terus menerus. Ikutilah bayangan Ibu)
Gadis
itu menoleh ke kiri dan ke kanan, tak ada orang. Lalu nyanyian burung
koleangkak di atas dahan pohon randu kembali terdengar. Gadis itu menengadah,
mencari asal suara. Tampaklah seekor burung koleangkak yang memandang kepadanya
dengan pandangan kasih sayang seorang ibu. Sejenak ia terpaku. Dipandangnya
burung itu. Lalu yakinlah ia, bahwa burung koleangkak itu adalah jelmaan
ibunya.
Burung
koleangkak itu terus menerus bernyanyi. Ia berharap anaknya mengikuti apa yang
diucapkannya. Dan gadis itu mulai beringsut. Ia melangkah mengikuti bayangan
burung itu. Meski sang burung terus saja terbang dari pohon ke pohon, ia tetap
mengikuti tanpa menghiraukan rasa lapar dan dahaga yang menyerang.
Akhirnya,
tibalah burung koleangkak di desa petani, calon besannya. Ia hinggap di atas
pohon randu, dekat rumah bakal mertua anaknya. Di sana ia bernyanyi. “Koleangkak! Ki Warang.. Koleangkak! Nyi
warang.. Geus sakieu bagja kula. Anak mah, nyerenkeun bae.” (Koleangkak! Ki
Besan.. Koleangkak! Nyi Besan.. Telah cukup kebahagiaanku. Kuserahkan saja
anakku kepada kalian)
Suami
istri petani itu saling pandang. Keduanya merasa heran. Suara burung koleangkak
itu seperti sengaja ditujukan kepada mereka. Maka segeralah keduanya menghambur
keluar rumah, mencari asal suara burung tersebut.
Saat
dilihatnya seekor burung koleangkak bertengger di atas dahan pohon randu,
yakinlah mereka suara tadi berasal dari burung itu. Sang petani berusaha
menangkapnya, tetapi burung tersebut berhasil lolos dan terus terbang membubung
ke angkasa. Lalu hilang dari pandangan.
Pasangan
suami istri itu kebingungan. Di tengah rasa bingungnya, datanglah calon menantu
perempuannya. Gadis itu terhuyung-huyung di sela napasnya yang
tersengal-sengal. Ia berlari sepanjang jalan, mengikuti ke mana pun burung
koleangkak terbang.
“Kenapa,
Nok? Ada apa?” Istri petani bertanya
penuh rasa cemas. Suaminya memberi isyarat agar membawa gadis itu masuk ke
dalam rumah.
Setelah
minum dan duduk dengan tenang, berceritalah gadis itu tentang kepergian ibunya,
diiringi isak sedih. Calon mertuanya jatuh iba. Gadis itu sebatang kara kini.
“Nok, nggak usah kembali ke kampungmu.
Sudah, tinggallah di sini, hingga hari pernikahanmu tiba.”
Maka
tinggallah gadis itu di rumah calon mertuanya. Setelah beberapa waktu, ia
menikah dengan anak laki-laki pasangan petani itu. Mereka pun resmi menjadi
suami istri.
Kehidupan
anak perempuan janda miskin itu senantiasa bertabur kasih sayang. Suaminya
demikian cinta kepadanya.
“Aku
bersyukur kepada Tuhan, memiliki suami sepertimu.”
“Akulah
yang lebih bersyukur, karena kau adalah anugrah terindah yang Tuhan berikan
untukku. Tak ada yang lain melebihimu. Bagiku, cukup hanya dirimu.”
Selalu
kata-kata lembut nan romantis yang terucap di antara keduanya. Mereka
benar-benar pasangan mesra yang bahagia.
Duabelas
purnama berlalu. Pada sebuah sore yang tenang, kala langit membiru terang dalam
bentangannya, berkatalah si suami kepada istrinya. “Sayang, kepalaku terasa
gatal. Coba lihat sebentar!”
Demi
mendengar permintaan suaminya, si istri membeku. Di benaknya terngiang ucapan
ibunya, yang mewanti-wanti sebuah pantangan yang harus dijauhinya.
“Kenapa
diam? Sirah Akang ararateul saja5.”
Si
istri menghela napas panjang dan berat. “Kalau kita ingin hidup berdampingan
selamanya, janganlah kau minta dicarikan kutu. Itu pantangan yang tak bisa
kulanggar. Pantangan itu adalah pesan terakhir ibuku sebelum ia meninggal.”
“Ibumu
bilang apa?”
Sambil
menunduk lemas, si istri berkata, “Ibuku bilang begini: “Bila engkau bersuami
nanti, hati-hatilah, jangan sekali-kali engkau mengutui suamimu. Itu pantangan
bagimu. Bila engkau tak mengindahkan kata-kataku ini, kau akan menjadi
koleangkak, membubung tinggi ke angkasa mengikuti ibumu.”
Suaminya
menyimak kisah istrinya dengan hati masygul. Ia ingin bermanja di pangkuan
istrinya sambil dikutui. Ia bersikeras agar keinginannya dipenuhi istrinya. Maka
dengan berat hati, sang istri menuruti kehendak suaminya.
Sambil
mengutui suaminya, si istri menyenandungkan sebuah nyanyian: “Koleangkak! Indung.. Ulah mulang ka
khayangan, mun tacan reujeung kula” (Koleangkak! Ibu.. Jangan engkau pulang
dulu ke khayangan, bila tidak bersamaku)
Suaminya
menikmati betul dikutui. Apalagi sambil mendengar senandung merdu istrinya.
Saking terbuainya, ia pun tertidur. Ia tidak menyadari perubahan pada istrinya.
Perlahan-lahan tumbuh bulu pada badan istrinya. Menjelmalah ia menjadi burung
koleangkak seperti ibunya. Ia pun terbang dan hinggap di bubungan atap.
Ketika
sang suami terbangun, ia merasa heran istrinya tak ada di sampingnya. Ah, mungkin sedang membuat emping di dapur,
batinnya. Ia pun beringsut menuju dapur. Ternyata tak ada. Berpindah ke ruang
lain, tetap tak ada. Suaminya mulai merasakan jantungnya berdentam tak karuan.
Tidak pernah selama ini istrinya pergi tanpa meminta izinnya. Hatinya gundah,
khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan istrinya. Ia pun melangkah ke luar
rumah. Namun tak ada jejak istrinya di sana.
Dari
atas bubungan atap, terdengar nyanyian pilu yang disuarakan burung koleangkak
berulang-ulang. “Koleangkak Kaka..
Koleangkak Bapa.. Koleangkak Ambu.. Kula mah ulah disiar.. Deuk nuturkeun
sakadang indung” (Koleangkak Suamiku.. Koleangkak Bapak.. Koleangkak Ibu..
Aku tidak usah dicari. Aku hendak mengikuti ibuku)
Sang
suami menegakkan telinga. Matanya mengelana, berusaha menangkap sosok istrinya.
Senandung burung koleangkak itu membuatnya merasa bahwa istrinya tak jauh dari
situ. Sementara itu, sang burung koleangkak demi melihat suaminya, langsung
menghentikan senandungnya. Burung koleangkak itu memanggil suaminya. Ia
mengatakan tak akan lagi mengutui suaminya, karena akan menyusul ibunya
sekarang juga. Lalu burung koleangkak itu mengepakkan sayapnya.
Seiring
kepakan sayap burung itu, si suami terpana. Ia menatap sayap burung koleangkak
yang terus mengepak, hingga melayang semakin jauh, jauh, lalu menghilang dari
pandangan. Ia merasa terhempas. Ada yang tercerabut dari hatinya. Danau di
matanya meluruh membasahi pipi.
“Istriku..
istriku... “ suara hatinya menjerit pilu.
Dari
hari ke hari, tak ada yang bisa mengobati perih hatinya. Ia menyesali suratan
nasib yang telah menimpa. Meranalah ia sepanjang waktu.
“Istriku...
aku menyesal, tak mengindahkan pantangan ibumu..”
Apa
hendak di kata, penyesalan selalu datang terlambat. Sang suami hanya bisa
meratap. Cintanya telah hilang. Rindu yang pekat terasa mencekiknya.
Bentang
langit luas tak lepas ditatapnya, berharap istrinya akan muncul dan kembali
kepadanya. Namun hanya angin yang membalas kerinduannya.
Segala
yang ada di dalam rumah, turut berduka. Peralatan masak yang biasa digunakan
untuk membuat emping, teronggok bisu di sudut dapur. Baju-baju yang terlipat
rapi di dalam lemari, tampak muram. Suara derit pintu seperti pengantar kidung
lara bagi luka hatinya yang terus membasah.
Tak
ada daya hatinya untuk melawan nestapa. Ia tersungkur sakit. Kian hari badannya
kian lemah. Ia sungguh terpukul. Tak ada obat penyembuhnya. Akhirnya ia tak
sanggup menanggung derita hatinya. Napasnya pun terhenti. Hidupnya berakhir
dalam duka.
Sekian
waktu berlalu, dari kisah itu, dalam masyarakat Banten muncul sebuah
kepercayaan. Bila ada burung koleangkak berbunyi, itu adalah burung koleangkak
yang melanjutkan suara burung koleangkak yang dulu. Burung koleangkak yang dulu
mewujud janda miskin, saat meninggal tidak ada yang mengurusi, tidak ada yang
memandikan. Maka burung koleangkak itu terus menerus berseru minta dimandikan.
Sehingga masyarakat percaya bahwa pekikan burung koleangkak itu adalah seruan
minta hujan.
_______
GLOSARIUM
1)
Sampeyan
: Anda
2)
Nok
: panggilan kepada anak perempuan
3)
Beunghar
: Kaya
4)
Bageur
: Baik
5)
Ararateul
saja
: Gatal sekali
*) ikut serta bertarung dalam Lomba Penulisan Cerita rakyat Kemendikbud 2015
Minggu, 24 April 2016
My Children is Not Mine
Seorang teman baik bercerita tentang anak sulungnya yang sudah masuk di boarding school, namun kemudian menolak tinggal di asrama. Alhasil setiap hari sang bunda mengantarjemput si buah hati dengan jarak tempuh kurang lebih 40 km untuk satu kali perjalanan. Padahal sang bunda memiliki agenda yang padat setiap harinya. Namun di sela kesibukannya, ia rela berpayah-payah demi anaknya.
Sang bunda keukeuh menyekolahkan anaknya di sekolah yang jauh itu, karena menurutnya itulah yang terbaik buat si anak. Sekolah-sekolah di sekitar rumah dan lingkungan pergaulan di sana, tidak kondusif bagi perkembangan seorang remaja. Begitu, pendapat sang bunda. Ia tidak ingin anaknya jatuh terperangkap dalam pergaulan yang buruk. Karenanya, si anak harus dijauhkan dan ditempatkan di lingkungan yang baik.
Demikianlah naluri seorang Ibu. Selalu berusaha ingin melindungi dan memberikan yang terbaik untuk anak. Namun sayangnya, kerap niat tulus ini tak terbaca oleh anak. Ia menangkap isyarat lain. Gejolak jiwa remajanya tetap merasa bahwa bukan di sanalah pilihannya. Dan benturan pun tak terhindarkan.
Seketika aku teringat pada si sulung. Dulu, selepas SD, aku antarkan ia sepenuh cinta ke sebuah pesantren. Sejuta harap menggumpal di dada, anakku akan menjadi seorang yang shalih, cerdas, dan berkualitas. Tak tampak ada tanda-tanda perlawanan. Bahkan saat awal masuk sekolah itu, ia menjadi peserta MOS teladan. Ketika teman-teman seangkatannya riuh menangis ingin pulang, anakku tetap tegar dan bersikap manis.
Masih terekam baik dalam ingatanku, kala pertama meninggalkannya di hari aku mengantarkan ke pesantren. Rasanya ingin menangis berderai-derai, namun sekuat hati aku tahan. Anakku, cintaku, tak boleh melihat aku berurai air mata. Tampaknya aku bagai ibu yang kejam, tapi aku harus lakukan itu. Meski hatiku rasa terhimpit gunung saking beratnya meninggalkan anakku.
Hari demi hari aku lalui sambil tak sabar menunggu tiba hari Minggu. Hari dimana aku boleh menengok anakku. Saat itu kami belum punya mobil, maka aku berpayah-payah naik bis yang berderak-derak bunyinya. Kebanyakan bis-bis itu memang sudah butut. Dan aku pun harus merelakan diri berhimpitan di tengah sesaknya penumpang, sambil berdiri karena bis sudah sangat penuh.
Terkadang sebelum hari Minggu, aku tetap menuju ke pesantren. Sekadar membelikan makanan dan minuman, yang kemudian hanya bisa aku titip di Pak Satpam. Karena di luar hari Minggu, tidak diperkenankan bertemu dengan anak.
Setelah kehidupan kami membaik, dan sebuah mobil menempati garasi rumah, aku pun setiap Minggu menyetir ke pesantren. Membawa anakku jalan-jalan dan makan. Karena anak tidak boleh dibawa pulang, hanya boleh dibawa jalan-jalan hingga waktu yang telah ditentukan.
Seiring lipatan waktu, anakku terus menunjukkan prestasi. Berkali-kali ia menjadi juara dalam lomba. Lomba membuat komik berbahasa Inggris, lomba puisi, lomba membuat surat, dll. Dalam setiap acara pertemuan orangtua siswa pun, anakku selalu tampil, entah itu sebagai pembawa tashmi' maupun penampilan seni. Ah.. bahagianya hati ini.
Dari sisi akademik, anakku juga masuk 10 besar. Begitupun dalam pergaulan sosialnya, anakku terpilih sebagai kepala kamar.
Rasanya semua sempurna, bukan? Lalu, tibalah hari itu, tepatnya malam itu. Anakku tiba-tiba pulang ke rumah. Di sekolahnya sedang acara. Pengawasan melonggar. Anakku pergi tanpa ada yang mengetahui. Ia naik bis sendiri.
Bisa dibayangkan betapa remuk redam hatiku. Anakku, harapanku, cintakasihku, ternyata melakukan sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Tapi aku harus tetap hati-hati. Sekuat hati aku menahan diri untuk tidak mencecarnya. Hingga akhirnya, pengakuan darinya serasa menghantam jiwaku.
"Selama hampir setahun ini, aku udah melakukan apa yang Mama inginkan. Aku jadi juara ini itu, jadi ketua, hafal juz 1, semua demi Mama. Supaya nggak malu-maluin Mama, kan Mama sekretaris komite. Udah cukup, 1 tahun. Sekarang aku mau melakukan apa yang aku mau. Aku mau pindah sekolah, pas kelas 8."
Waktu itu memang sudah di akhir semester. Tinggal menunggu pembagian raport. Anakku sudah merencanakannya. Ia merasa saat itu adalah waktu yang tepat.
Sambil menahan gejolak rasa pedih perih, aku berpamitan pada pihak pesantren. Berterima kasih setulusnya atas segala bimbingan dan arahan untuk anakku. Ah.. rasanya ada yang tercerabut dari hatiku.
Setelah itu aku menawarkan beberapa sekolah untuk dipilih anakku. Aku tak mau lagi memilihkan. Biar semua keputusan berada di tangannya. Aku antarkan ia melihat-lihat beberapa sekolah. Hingga akhirnya pilihan jatuh pada sebuah boarding school di Sukabumi. Bukan pesantren, tapi boarding school yang islami.
Cerita tentang sekolah yang ini, nanti lagi deh. Satu yang pasti dari pengalamanku, apa pun yang kita idamkan untuk si buah hati, kadang tak selaras dengan kenyataan. Adakalanya semesta tak mendukung. Maka, selalulah berkomunikasi dengan anak. Libatkan ayahnya. Libatkan ayahnya. Libatkan ayahnya.
Anak kita bukan milik kita. Apa yang kita inginkan, harus dirundingkan bersama si anak. Karena anak pun berhak mengetahui dan turut menentukan. Setelah itu, intenslah terus membersamainya. Walau bagaimana pun, tugas kita lah untuk mengawalnya. Kerahkan segala usaha. Lalu sempurnakan dengan gempuran doa tiada putus. Mari senantiasa kita peluk erat anak-anak kita dengan doa.
Sang bunda keukeuh menyekolahkan anaknya di sekolah yang jauh itu, karena menurutnya itulah yang terbaik buat si anak. Sekolah-sekolah di sekitar rumah dan lingkungan pergaulan di sana, tidak kondusif bagi perkembangan seorang remaja. Begitu, pendapat sang bunda. Ia tidak ingin anaknya jatuh terperangkap dalam pergaulan yang buruk. Karenanya, si anak harus dijauhkan dan ditempatkan di lingkungan yang baik.
Demikianlah naluri seorang Ibu. Selalu berusaha ingin melindungi dan memberikan yang terbaik untuk anak. Namun sayangnya, kerap niat tulus ini tak terbaca oleh anak. Ia menangkap isyarat lain. Gejolak jiwa remajanya tetap merasa bahwa bukan di sanalah pilihannya. Dan benturan pun tak terhindarkan.
Seketika aku teringat pada si sulung. Dulu, selepas SD, aku antarkan ia sepenuh cinta ke sebuah pesantren. Sejuta harap menggumpal di dada, anakku akan menjadi seorang yang shalih, cerdas, dan berkualitas. Tak tampak ada tanda-tanda perlawanan. Bahkan saat awal masuk sekolah itu, ia menjadi peserta MOS teladan. Ketika teman-teman seangkatannya riuh menangis ingin pulang, anakku tetap tegar dan bersikap manis.
Masih terekam baik dalam ingatanku, kala pertama meninggalkannya di hari aku mengantarkan ke pesantren. Rasanya ingin menangis berderai-derai, namun sekuat hati aku tahan. Anakku, cintaku, tak boleh melihat aku berurai air mata. Tampaknya aku bagai ibu yang kejam, tapi aku harus lakukan itu. Meski hatiku rasa terhimpit gunung saking beratnya meninggalkan anakku.
Hari demi hari aku lalui sambil tak sabar menunggu tiba hari Minggu. Hari dimana aku boleh menengok anakku. Saat itu kami belum punya mobil, maka aku berpayah-payah naik bis yang berderak-derak bunyinya. Kebanyakan bis-bis itu memang sudah butut. Dan aku pun harus merelakan diri berhimpitan di tengah sesaknya penumpang, sambil berdiri karena bis sudah sangat penuh.
Terkadang sebelum hari Minggu, aku tetap menuju ke pesantren. Sekadar membelikan makanan dan minuman, yang kemudian hanya bisa aku titip di Pak Satpam. Karena di luar hari Minggu, tidak diperkenankan bertemu dengan anak.
Setelah kehidupan kami membaik, dan sebuah mobil menempati garasi rumah, aku pun setiap Minggu menyetir ke pesantren. Membawa anakku jalan-jalan dan makan. Karena anak tidak boleh dibawa pulang, hanya boleh dibawa jalan-jalan hingga waktu yang telah ditentukan.
Seiring lipatan waktu, anakku terus menunjukkan prestasi. Berkali-kali ia menjadi juara dalam lomba. Lomba membuat komik berbahasa Inggris, lomba puisi, lomba membuat surat, dll. Dalam setiap acara pertemuan orangtua siswa pun, anakku selalu tampil, entah itu sebagai pembawa tashmi' maupun penampilan seni. Ah.. bahagianya hati ini.
Dari sisi akademik, anakku juga masuk 10 besar. Begitupun dalam pergaulan sosialnya, anakku terpilih sebagai kepala kamar.
Rasanya semua sempurna, bukan? Lalu, tibalah hari itu, tepatnya malam itu. Anakku tiba-tiba pulang ke rumah. Di sekolahnya sedang acara. Pengawasan melonggar. Anakku pergi tanpa ada yang mengetahui. Ia naik bis sendiri.
Bisa dibayangkan betapa remuk redam hatiku. Anakku, harapanku, cintakasihku, ternyata melakukan sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Tapi aku harus tetap hati-hati. Sekuat hati aku menahan diri untuk tidak mencecarnya. Hingga akhirnya, pengakuan darinya serasa menghantam jiwaku.
"Selama hampir setahun ini, aku udah melakukan apa yang Mama inginkan. Aku jadi juara ini itu, jadi ketua, hafal juz 1, semua demi Mama. Supaya nggak malu-maluin Mama, kan Mama sekretaris komite. Udah cukup, 1 tahun. Sekarang aku mau melakukan apa yang aku mau. Aku mau pindah sekolah, pas kelas 8."
Waktu itu memang sudah di akhir semester. Tinggal menunggu pembagian raport. Anakku sudah merencanakannya. Ia merasa saat itu adalah waktu yang tepat.
Sambil menahan gejolak rasa pedih perih, aku berpamitan pada pihak pesantren. Berterima kasih setulusnya atas segala bimbingan dan arahan untuk anakku. Ah.. rasanya ada yang tercerabut dari hatiku.
Setelah itu aku menawarkan beberapa sekolah untuk dipilih anakku. Aku tak mau lagi memilihkan. Biar semua keputusan berada di tangannya. Aku antarkan ia melihat-lihat beberapa sekolah. Hingga akhirnya pilihan jatuh pada sebuah boarding school di Sukabumi. Bukan pesantren, tapi boarding school yang islami.
Cerita tentang sekolah yang ini, nanti lagi deh. Satu yang pasti dari pengalamanku, apa pun yang kita idamkan untuk si buah hati, kadang tak selaras dengan kenyataan. Adakalanya semesta tak mendukung. Maka, selalulah berkomunikasi dengan anak. Libatkan ayahnya. Libatkan ayahnya. Libatkan ayahnya.
![]() |
gambar diambil dari sini |
![]() |
gambar diambil dari sini |
Kamis, 31 Maret 2016
Sebuah Peradaban Hilang!
Maaf, judulnya agak-agak lebay.. hehe.. Tapi memang itu menunjukkan ekspresiku yang sungguh kaget bukan kepalang. Ini terjadi ketika aku berkunjung ke Jatinangor setelah lebih dari 15 tahun meninggalkan wilayah penuh kenangan itu. Wah, kenangan apa tuh..? sstt.. fokus ah.. >0<
Ketika ada ajakan temen untuk silaturahmi ke rumah seorang penulis kondang di Jatinangor, aku mengiyakan sambil berpikir pingin napak tilas juga rasanya. Aku ngebayangin mau berangkat subuuh, trus di Bandungnya naik bis damri jurusan Jatinangor yang finishnya di Unpad. Dan karena aku nanti nggak mungkin sempet sarapan dulu, jadi yang kebayang tuh mau sarapan di warung nasi Sari Bundo atau Munggaran. Walaupun kecenderungan lebih ke Munggaran. Kayaknya lebih ngangenin, dengan menunya yang sederhana tapi beragam. Trus, suasana pinuhnya yang bikin hareudang itu.
Sayang disayang, aku terlambat. Jadi boro-boro subuh, yang ada malah berangkat di saat hari mulai terang, sekitar pukul 6. Yawdah, aku nikmati ajalah. Daripada nyesel-nyesel, nggak akan mengubah waktu, toh? Termasuk ketika maceeett menghadang, aku berusaha lapang sajo.
Singkat cerita, aku tiba di Cileunyi. Rasa waas mulai merayapi hati. Apalagi aku melanjutkan perjalanan dari Cileunyi dengan naik ojeg, jadi lebih bebas menikmati pemandangan.
Yang pertama, IPDN. Wah, udah beda nih, pikirku. Selanjutnya, Ikopin.. oh, tak ada lagi wajah lamanya. Lalu, kiri kanan semakin asing. Oh my.. Oh my.. Mana tempat kost Iyiek a.k.a Inkud? Kok ada apartemen segala..?
Seiring melajunya ojeg, aku makin terbengong-bengong. Toko-toko, kios-kios, kedai-kedai tampak semarak. Jatinangor-ku.. oh, Jatinangor-ku manaa..?
Lalu, jreeng.. ada ITB. Setelah ituu.. U-eN-Pe-A-De.. is that U..? tanyaku. Huhuu.. benar-benar aneh..
Di mana gerbang Unpad yang jadi pangkalan Bis Damri..? Trus manaa jalan yang agak nanjak dikit ke arah luar gerbang menuju tempat kost aku, yang waktu malem itu aku hampir jatuh kepleset trus ditolong sama dia..? hahaayy..
Benar-benar hilaang, kawan! Tempat kost pertama aku, lalu tempat kost yang punya Pak Lurah, dan terakhir Pondok Kartika, semua hilaang.. PBB alias Pondok Babakan Bandung, tempat kost Zizi sama Emma, markas Himade, warung nasi Adi Ada Ajah.. lenyaap..
Kalo aku sebutin semua satu-satu tempat kost temen-temen sama tempat-tempat strategis lainnya, percuma deh kayaknya. Karena semua sungguh telah raib. Jadi spontan aku bilang, sebuah peradaban hilang. Sebuah masa dari sebuah generasi telah sirna. Generasi aku maksudnya, angkatan 90-an.
Entah hotel atau apartemen, tegak berdiri mentereng. Bangunan-bangunan keren lainnya menyesaki Jatinangor. Duhai, rasanya ada yang tercerabut dari hati..
Ketika ada ajakan temen untuk silaturahmi ke rumah seorang penulis kondang di Jatinangor, aku mengiyakan sambil berpikir pingin napak tilas juga rasanya. Aku ngebayangin mau berangkat subuuh, trus di Bandungnya naik bis damri jurusan Jatinangor yang finishnya di Unpad. Dan karena aku nanti nggak mungkin sempet sarapan dulu, jadi yang kebayang tuh mau sarapan di warung nasi Sari Bundo atau Munggaran. Walaupun kecenderungan lebih ke Munggaran. Kayaknya lebih ngangenin, dengan menunya yang sederhana tapi beragam. Trus, suasana pinuhnya yang bikin hareudang itu.
Sayang disayang, aku terlambat. Jadi boro-boro subuh, yang ada malah berangkat di saat hari mulai terang, sekitar pukul 6. Yawdah, aku nikmati ajalah. Daripada nyesel-nyesel, nggak akan mengubah waktu, toh? Termasuk ketika maceeett menghadang, aku berusaha lapang sajo.
Singkat cerita, aku tiba di Cileunyi. Rasa waas mulai merayapi hati. Apalagi aku melanjutkan perjalanan dari Cileunyi dengan naik ojeg, jadi lebih bebas menikmati pemandangan.
Yang pertama, IPDN. Wah, udah beda nih, pikirku. Selanjutnya, Ikopin.. oh, tak ada lagi wajah lamanya. Lalu, kiri kanan semakin asing. Oh my.. Oh my.. Mana tempat kost Iyiek a.k.a Inkud? Kok ada apartemen segala..?
Seiring melajunya ojeg, aku makin terbengong-bengong. Toko-toko, kios-kios, kedai-kedai tampak semarak. Jatinangor-ku.. oh, Jatinangor-ku manaa..?
![]() | |
Foto diambil dari Grup Reuni Sastra di Facebook |
Di mana gerbang Unpad yang jadi pangkalan Bis Damri..? Trus manaa jalan yang agak nanjak dikit ke arah luar gerbang menuju tempat kost aku, yang waktu malem itu aku hampir jatuh kepleset trus ditolong sama dia..? hahaayy..
![]() |
Foto diambil dari Grup Reuni Sastra di Facebook |
Kalo aku sebutin semua satu-satu tempat kost temen-temen sama tempat-tempat strategis lainnya, percuma deh kayaknya. Karena semua sungguh telah raib. Jadi spontan aku bilang, sebuah peradaban hilang. Sebuah masa dari sebuah generasi telah sirna. Generasi aku maksudnya, angkatan 90-an.
Entah hotel atau apartemen, tegak berdiri mentereng. Bangunan-bangunan keren lainnya menyesaki Jatinangor. Duhai, rasanya ada yang tercerabut dari hati..
![]() |
Foto diambil dari sini |
Langganan:
Postingan (Atom)