Sabtu, 14 Januari 2012

Jangan Tumbuhkan Generasi Robot

Saat pembagian raport di sekolah anak saya, ada acara ‘quality time’ sebagai bagian dari rangkaian acara sebelum pembagian raport dimulai. Salah satu pengisi acara tersebut, Bapak Munif Chatib, seorang pakar pendidikan yang juga konsultan pendidikan di sekolah tersebut.

Point utama yang disampaikan adalah tentang masalah akademis. Betapa saat ini banyak orangtua yang terjebak pada masalah akademis, dengan mengagungkannya, sehingga beranggapan bahwa prestasi akademis demikian penting lalu abai pada pencapaian prestasi lain.

Tanpa disadari, kondisi tersebut telah membuat anak terperosok pada kewajiban-kewajiban yang mengekang kreativitasnya, demi pencapaian prestasi akademis yang diabadikan dengan nama ‘ranking’.  Anak sibuk les atau berlama-lama di bimbel, agar sanggup menjawab soal-soal ulangan di sekolah dan sukses meraih nilai tinggi. Anak belajar di bawah tekanan untuk sebuah nilai istimewa.

Yang terjadi kemudian, anak-anak belajar, sekedar ‘tahu sesuatu’ dan bukan ‘bisa sesuatu’. Guru-guru berkutat dengan pencapaian kurikulum. Mereka menyampaikan ilmu berdasarkan target yang telah ditetapkan. Keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh Nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Semua bergerak berdasarkan instruksi, minim inovasi. Maka, guru dan murid bak robot yang bekerja sesuai perintah.

Ditambah dengan model Ujian Nasional yang menentukan kelulusan siswa, maka berbagai cara ditempuh siswa, juga sekolah, agar terbebas dari aib ‘tidak lulus’. Sehingga pembelajaran tidak lagi memperhitungkan proses, namun berorientasi pada hasil akhir. Padahal, justru dalam proses itulah, dapat dilihat bagaimana perkembangan siswa dalam menyerap ilmu, dan bagaimana pula kreativitas guru dalam mentransfer ilmu.

Kondisi mengagungkan akademis, diperparah dengan diskriminasi mata pelajaran. Matematika dan IPA dianggap lebih hebat daripada mata pelajaran ilmu-ilmu sosial dan bahasa. Tidak sedikit siswa yang terpaksa memilih jurusan IPA demi memenuhi keinginan orangtua, padahal minatnya lebih besar pada jurusan IPS. Maka, anak-anak itu menjelma menjadi robot yang dikendalikan oleh orangtuanya.

Sampai kapan kondisi ini akan terus berlangsung? Diperlukan kesadaran dari para pendidik, di dalamnya orangtua dan guru, dalam menyikapi hal ini. Pencapaian akademis bukan segalanya, meski bukan berarti boleh dikesampingkan. Ada potensi kecerdasan yang bisa dilihat pada anak, dari ke-9 potensi kecerdasan yang ada. Boleh jadi, seorang anak memiliki satu atau lebih potensi tersebut, yang bila dikembangkan, akan melejitkan dirinya meraih prestasi gemilang.

Kekakuan sistem yang ada, jangan hanya kita sesali dan sibuk menghujat ke sana ke mari. Sistem pendidikan di Indonesia, tidak hanya berbicara soal pendidikan, namun di dalamnya tidak terlepas dari unsur-unsur politis. Butuh kesabaran dan kesungguhan untuk memperbaiki sistem ini. InsyaAllah, menteri pendidikan kita yang sekarang ini, benar-benar berjuang ke arah perbaikan tersebut. Kita harus mendukungnya, karena sebuah proses, tidak bisa kita harapkan instant, sim salabim, berubah sesuai keinginan kita.

Menyadari semrawutnya sistem pendidikan di negeri tercinta ini, hendaknya membuat mata, hati, dan pikiran terbuka, agar tidak melestarikan lahirnya generasi robot. Jangan sampai putra-putri, generasi penerus kita, bergerak hanya mengikuti kendali. Mereka enggan berpikir kritis dan tidak punya nyali. Tapi mereka harus menjadi generasi yang cerdas dan tangguh. Bukan hanya ‘tahu sesuatu’ tetapi mereka ‘bisa sesuatu’ dengan baik.

Menurut Pak Munif, semoga ke depannya, akan hadir perguruan tinggi-perguruan tinggi yang berbasis lokal. Artinya, memanfaatkan potensi lokal untuk digali dan dipelajari menjadi suatu nilai tambah. Misal: Sidoarjo yang terkenal dengan kekayaan laut, berupa udang berkualitas baik, maka di sana didirikan perguruan tinggi yang fokus pada pengolahan dan pembudidayaan udang dengan teknologi canggih. Jangan sampai kita kalah dari Malaysia, yang memiliki universitas bamboo, yang di sana dipelajari tentang seluk beluk bambu, sedangkan bambu-bambu yang dipelajari tersebut didatangkan dari Indonesia. Seharusnya kita, Indonesia yang kaya raya dengan keanekaragaman potensi alam, mampu mendirikan perguruan tinggi yang mengeksplorasi potensi daerah masing-masing.

4 komentar:

  1. Banyak 'Hiks'-nya ya mbak kalau mau menulis ttg carut-marut sistem pendidikan kita ...

    Wah, buku mbak Linda sudah banyak ya ...

    Bundanya Fiqthiya/Mugniar

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, Subhanallah..
      tapi di Indonesia sudah ada sekolah batik, mbak..tinggal dikembangkan aja ke kurikulum sekolah

      Hapus
  2. Eh..bukannya sekarang dah ada otonomi pendidikan dimana masing2 daerah harus memasukkan budaya dan potensi lokal dlm kurikulum mereka?

    BalasHapus
  3. mbag lind, ibuku yang guru juga sering ngomongin hal kaya gini di rumah, siswa sekarang cuma mikirin yang penting lulus, apalagi ditambahan adanya UAN, tambah beratlah segala tuntutan kepada mereka. Ujung2 nya sekolah pun ikut berusaha keras agar jgn sampai ada siswa nya yang ga lulus, krn nantinya akan tercipta rantai setan, sekolah yg ga ngelulusin muridnya, calon orgtua murid akan berpikir dua kali utk mendaftarkan anaknya disitu.

    Semoga ke depannya, ada obat mujarab yg tepat utk menyehatkan sistem pendidikan kita

    BalasHapus