Rabu, 27 Juni 2012

Cinta dan Sepit


Judul      :  Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis    :  Tere Liye
Penerbit  :  PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal      :  512 halaman
Cetakan ke-1 :  2012
ISBN    :  978-979-22-7913-9
        
Mengapa ketika membicarakan novel “Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah”, cinta disandingkan dengan sepit? Karena keduanya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sama-sama tertambat di tepian Sungai Kapuas, dan sama-sama memiliki kisah yang manis tak terperi ditaburi rindu nan bertalu-talu. Bahkan kisah ini pun bermula dari sepit.
        
Baiklah, mungkin ada yang belum tahu apa itu sepit. Sepit, terambil dari kata speed, yaitu perahu kayu bermesin tempel yang ukurannya lima meter kali satu meter, dengan tempat duduk melintang. Merupakan moda transportasi vital bagi penduduk kota Pontianak untuk menyeberangi sungai Kapuas. Sebab bila menggunakan bis atau opelet, akan memutar jauh lewat Jembatan Kapuas. Maka, menumpang sepit adalah pilihan yang praktis, karena cepat dan tidak mahal.
        
Adalah Borno, pemuda lulusan SMA, bertampang Melayu dengan gurat ketampanan yang tidak mengecewakan. Ia seorang yatim, dan hidup bersahaja bersama ibunya, Saijah. Ayah Borno yang nelayan, meninggal di rumah sakit, setelah sebelumnya kejang seketika akibat sengatan ubur-ubur. Dan dalam kemuliaan hatinya, di penghujung usianya, ayah Borno masih sempat menyanggupi untuk mendonorkan jantung kepada seorang pasien gagal jantung yang sudah berminggu-minggu tak kunjung memperoleh pendonor. Borno, usianya duabelas kala itu, menjerit dan meronta, tak rela ayahnya ‘pergi’. Dalam pikiran bocahnya, ayah masih dapat siuman, mengapa dadanya harus dibelah? Pertanyaan yang membuat Borno kecil mematung dalam isak tertahan yang memilukan.
        
Selepas SMA, Borno bekerja. Bukan berarti Borno tipe pemuda yang tak setia, bila kemudian ia sering gonta-ganti pekerjaan. Namun rupa-rupa alasan yang masuk akal, memang selalu menghadangnya. Hingga akhirnya Borno memutuskan menjadi pengemudi sepit, meski melanggar wasiat ayahnya. Konon ayah Borno melarang putra semata wayangnya itu menjadi pengemudi sepit karena berkaca dari orangtuanya. Kakek Borno dulu kaya raya, mempunyai sepuluh perahu, namun tragisnya, saat meninggal mewariskan hutang yang menyesakkan.
        
Walau melanggar wasiat ayahnya, Borno memiliki tekad suci dari dalam hati. Ia berjanji, akan menjadi orang baik, setidaknya menjauhi diri dari berbohong dan mencuri, serta akan selalu bekerja keras. Duhai, tidak salah bila kelak Borno mendapat predikat ‘bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas’.
        
Hari pertama sebagai pengemudi sepit ternyata tidak semulus yang dikira. Borno diragukan kemampuannya oleh para penumpang. Tergesa mereka turun beramai-ramai meninggalkan sepit Borno. Tapi, olala, siapakah gadis yang mengenakan baju kurung berwarna kuning, yang tetap duduk anggun sambil mengembangkan payung tradisional berwarna merah? Gadis berwajah Cina peranakan itu tidak terpengaruh oleh keributan penumpang lain yang berebut turun.
        
Pertemuan Borno dengan gadis jelita berwajah Cina peranakan pemilik rambut panjang tergerai, memang terus berlanjut. Sepucuk surat bersampul merah yang ditengarai milik gadis itu, tertinggal di sepit Borno. Dengan perjuangan yang mengesankan, Borno memburu sang gadis demi mengembalikan suratnya yang tertinggal. Saat gadis itu kemudian tertangkap retina, Borno tercengang. Anak-anak SD tengah mengerubutinya, menanti pembagian angpau, berupa amplop merah yang serupa dengan amplop yang tertinggal di sepitnya. Petugas timer dermaga pun dengan riang memamerkan amplop merah berisi lembar-lembar rupiah. Alamak, ternyata amplop merah itu hanya angpau biasa yang dibagikan menjelang Imlek. Borno gontai melangkah berbalik arah.
       
“Abang mau terima angpau juga?” suara merdu itu menyapa. (hlmn 95).
 Sempurnalah Borno dirundung kecewa. Tidak ada surat spesial penghubung jalan untuk mendekati gadis berwajah sendu menawan itu, yang ada hanyalah angpau ciri khas Imlek.
       
 Selama seminggu, Borno hafal aktivitas gadis itu. Akal cerdiknya bekerja untuk selalu membuat si gadis naik sepitnya. Hari demi hari berlalu dengan kesuksesan silih berganti. Adakalanya sang gadis melangkah anggun menuju sepitnya, tapi di lain hari perhitungannya meleset.
        
Sebuah pertemuan tak terduga kembali terjadi. Suatu hari Minggu, Borno mengantar serombongan tamu ke Istana Kadariah. Saat menunggu para tamu kembali, ia berjumpa dengan gadis pujaan hatinya. Secara otomatis, para tamu yang mencarter sepit Borno, terlupakan. Tersebab sang gadis minta diajari mengemudi sepit. Amboi, manalah mungkin Borno menolak nasib baik itu?
        
 Setelah melewati sekian pagi dengan memandang gadis pujaan hati naik di sepitnya, akhirnya Borno berhasil mengetahui namanya. Ia bernama Mei, guru di sebuah SD. Sayangnya, ternyata ia guru magang. Kerja praktik dari kampus. Saat Borno menikmati sebuah sore yang manis, tatkala menemui Mei di rumahnya, pada saat itu pula menjadi sore perpisahan bagi mereka. Mei akan kembali ke Surabaya, tugas mengajarnya telah usai.
        
Apalah kemudian yang terjadi dengan Borno? Terpisah ribuan kilometer dari Mei, sanggupkah ia meredam rindu yang terus berdetak? Mampukah Borno mengenyahkan bayang Mei, si gadis berwajah sendu menawan? Ketika takdir membawanya ke Surabaya, karena mengantar Pak Tua menjalani terapi di sana, apakah Borno berhasil menemukan alamat Mei? Apakah pesona Sungai Kapuas memanggil Mei untuk kembali? Lalu apa peran dokter gigi Sarah? Pada bagian mana dokter cantik itu terhubung dengan sejarah lalu di masa kecil Borno? Apakah kemolekan parasnya sanggup menggeser posisi Mei di hati Borno?
        
Semua terjawab dalam jalinan kisah apik yang menyentuh, mengharu biru, mencerahkan, serta tidak ketinggalan bagian yang menggelitik, mengundang tawa. Sebuah kisah sederhana yang bertenaga. Tidak ada bagian yang membuat kening berkerut atau pikiran mumet, justru dalam kesederhanaannya itu, kita temukan kekuatan novel “Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah” ini.
        
Deskripsi perasaan tokoh tergambar kuat. Pembaca digiring hanyut ke dalam halusnya alunan perasaan cinta yang manis dan sederhana. Indahnya perasaan senang tatkala sembunyi-sembunyi menatap sang pujaan hati. Riuhnya debur jantung di atas kecepatan normal, saat menanti hadirnya si dia. Betapa rindu yang membuncah harus terdiam senyap karena terpisah jarak membentang panjang. Amboi, sesungguhnya ini perasaan-perasaan yang biasa muncul dalam cerita cinta di seluruh dunia, namun penulis novel ini meramu semuanya dalam sajian kisah yang istimewa.
        
Borno, sebagai tokoh utama, bertutur dengan gaya yang alami dan wajar. Tuturannya mengalir, memikat pembaca. Tokoh-tokoh di sekelilingnya, sangat pas. Saijah ibunda baik hati dan selalu berpikir terbuka, Pak Tua yang bijak bestari, Bang Togar yang sangar namun hatinya selembut salju, Andi si sahabat karib yang kadang konyol tapi tulus menolong, Cik Tulani dan Koh Acong serta tetangga-tetangga dan para pengemudi sepit yang bisa dibilang contoh teman sejati tipikal orang Indonesia tulen yang menjunjung tinggi persaudaraan serta gotong royong. Semua menunaikan perannya masing-masing dalam kadar yang pas. Suasana riang yang tercipta, menyebar hawa suka. Sebaliknya, kala mendung merundung maka gumpalan duka meliputi rasa. Pun ketika tercium aroma jenaka, tak jarang pembaca dibuat tersenyum-senyum bahkan tertawa lebar.
        
Tidak melulu bercerita tentang cinta, novel ini diselipi juga kisah inspiratif tentang membangun semangat, mengusung daya juang. Bagaimana jatuh bangunnya usaha kongsi perbengkelan antara Borno dan ayah Andi. Tentang sebuah mimpi yang ingin diwujudkan, namun tak selamanya berasa manis. Adakalanya saat harap menggunung, kenyataan yang dihadapi sungguh pahit tak terkira. Ayah Andi terpuruk dalam kecewa, semangatnya sirna. Tapi semangat anak-anak muda, Borno dan Andi, terus meletup, mencoba memanaskan gairah kerja. Kelak pembaca akan melihat bagaimana buah yang dipetik dari sebuah kebangkitan yang disirami kesabaran.
        
Yang menarik juga dari novel ini adalah bagaimana penulisnya menyuguhkan setting tempat dengan detil dan menawan. Pembaca terseret dalam keindahan tepian Kapuas yang panjang membentang. Dermaga kayu dengan sepit rapi berderet bak terpampang di depan mata. Eloknya Pontianak, si kota sungai, seolah nyata dalam benak. Menara BTS di seberang Kapuas, gedung sarang walet, kantor syahbandar, dermaga feri, tampak benar kokoh berdiri di sana. Tidak hanya penggambaran suasana kota, namun hingga ke hal-hal detil, berupa lekuk liku ruang tempat sang tokoh berpijak, sungguh terasa hadir dalam imaji pembaca.
        
Membincang novel ini, tak lepas dari sang penulis, Tere Liye. Karya-karyanya banyak mengangkat tema cinta dengan gaya penuturan yang halus dan menyentuh. Taburan kalimat bertenaga banyak menghiasi novelnya. Kisah yang disajikan bukan sekedar omong cinta lawan jenis, namun terkandung selaksa hikmah yang dalam. Sebutlah “Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”, “Ayahku (Bukan) Pembohong”, dll.
       
 Tere Liye, dalam novel-novelnya senantiasa total menjalin cerita. Suasana pendukung cerita digali dalam. Ia menguasai betul pergerakan tokoh-tokoh rekaannya. Saat si tokoh seorang montir misalnya, maka hal-hal yang berkaitan dengan ilmu mesin dan perbengkelan, benar-benar diurai panjang lebar, bukan sekedar tempelan. Begitupun kondisi masyarakat tempat tokoh berada, merasuk sempurna ke dalam cerita. Karakter tokoh, gaya bahasa, adat istiadat, tergambar utuh dalam bungkus alur yang kuat. Misal pada novel ini, dipaparkan tentang muasal nama kota Pontianak, dan kebiasaan berucap, “Ye lah.. ye lah..” terasa menjadi daya pikat bagi pembaca.
       
 Bagaimana dengan cover? Pada bagian muka, tampak ilustrasi Mei berlatar sungai Kapuas, lengkap dengan gambaran Pontianak di seberangnya, serta jejeran sepit tertambat di tepi. Cukup mewakili nuansa romansa yang syahdu. Sayangnya, Mei tidak mengenakan baju kurung berwarna kuning, juga payung yang dipegang bukan payung tradisional berwarna merah. Padahal hari bersejarah mulanya kisah Borno-Mei, diawali kostum Mei yang demikian.  Sedangkan pada sampul bagian belakang, menampilkan endorsement dari orang-orang biasa. Ada lima orang yang memberi komentar tentang novel ini. Mereka yaitu seorang calon dokter gigi, calon guru SLB, guru TK, guru, dan buruh pabrik. Luar biasa! Tidak dibutuhkan tokoh ternama atau selebritas untuk mengabarkan betapa istimewanya novel ini. Yang dibutuhkan lebih pada ungkapan jujur yang tercetus dari hati para pembaca biasa. Bahkan sinopsis cerita pun tidak dihadirkan. Pembaca dipersilakan langsung menyelami istimewanya kisah cinta nan manis dan sederhana ini.
        
Berbicara tentang kekurangan novel “Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah”, artinya berbicara soal selera. Bagi penyuka kisah-kisah romantis yang syahdu, tampaknya tak akan ditemukan cacat dalam kisah ini. Namun bila sensitifitas rasa sentimental Anda sedang-sedang saja, dan tidak berada di barisan orang melankolis, maka kisah ini terasa terlalu manis, dengan faktor kebetulan yang cukup sering terjadi. Sepucuk angpau merah yang menjadi kunci kisah cinta Borno-Mei, terasa kurang masuk akal. Lipatan surat dengan lipatan lembaran uang, bukankah terasa berbeda? Bagaimana Borno bisa tidak menyadarinya? Namun, kejanggalan tersebut memang tidak akan terasa, bila pembaca benar-benar terperangkap dalam pesona kisah cinta yang sendu menawan ini. Tere Liye sangat pandai menyulam kata menjadi untaian kalimat nan indah dan memesona. Maka, sekali lagi, soal rasa dan selera memegang peranan di sini.
        
Jadi, tidaklah usah dipertentangkan soal logis-tidaknya kisah cinta Borno dan Mei. Cukup resapi saja keindahannya, temukan kedalaman maknanya, dan renungkan hikmahnya.
         
Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya. (hlmn 194)

8 komentar: