“Maaf, Bu Prila.. anak
saya mau pindah ke kelas B saja…”
Itu masih bagus ada
basa-basinya, ada juga yang langsung main tarik tangan anaknya lalu memindahkan
ke kelas B. Bu Prila bergeming. Memandang diam, lalu tersenyum getir. Hatinya
dirundung lara.
Ingin rasanya Bu Prila berontak
dari keadaan ini. Tiba-tiba ia harus mendapati dirinya mengajar di sekolah yang
masih, mohon maaf, agak kurang maju. Para orangtua murid masih memegang paradigma
lama tentang model pendidikan anak usia dini. Kepala sekolah yang kurang inisiatif.
Rekan kerja yang masih belum disiplin dalam menerapkan konsep. Aarrgh..
Sepanjang satu dasa
warsa, Bu Prila menjadi kepala sekolah. Terbiasa memenej dan memimpin. Seketika
saat ini harus menjadi pelaksana. Berhadapan dengan kondisi, di mana bila ia
berada dalam kondisi tersebut di sekolah yang lama, tentu ia sudah bersegera merapikannya.
Segera menginstruksikan kepada para guru tentang apa yang harus dilakukan
bersama. Namun, saat ini, apa daya. Sebagai orang baru, tak elok rasanya bila
terlalu banyak mengatur dan campur tangan.
Bu Prila mendapat
amanah memegang kelas A di sekolah baru. Anak-anak yang masih imut. Tentu
pendekatannya berbeda dengan kelas B yang dipersiapkan untuk masuk SD. Namun,
di sekolah baru, usia anak-anak kelas A ternyata amat beragam. Dari yang batita
hingga balita. Bayangkan, anak-anak usia kelompok bermain, bahkan ada yang
masih belum 2 tahun, berada bersama-sama dalam satu kelompok di kelas. Sudah
barang tentu, anak-anak yang imut itu belum bisa diharapkan untuk mampu
berkonsentrasi untuk jangka waktu lama. Bukan masanya mereka duduk tenang dan
diam.
Hanya dalam hitungan
1-3 hari, manalah mungkin bisa tampak hasil pada anak-anak. Mereka masih dalam
proses adaptasi. Tapi orangtua murid sukanya instan. Mereka spontan mengeluh,
anaknya hanya bermain-main. Lha, anak kecil memang masanya bermain, Buu..
“Kalau mengikuti kata
hati, rasanya ingin aku hengkang dari sekolah itu. Aku ingin berkhidmat menjadi
penulis,” gumam Bu Prila. Sayang disayang, Bu Prila masih sangat hijau sebagai
penulis. Mentah tak terkira. Perlu perjuangan, butuh latihan, untuk menempatkan
dirinya sebagai penulis yang berkemampuan baik. Pilihan katanya masih
terbata-bata. Penguasaan tekniknya masih di bawah rata-rata. Masih harus
belajar, belajar, dan belajar. Bu Prila merasa sanggup untuk memacu dirinya
dalam proses belajar. Ia haus ilmu. Ia mau bersungguh-sungguh belajar.
Poor Bu Prila… dengan
kondisi seperti itu, tidak tepat kiranya bila menjadikan profesi penulis
sebagai matapencaharian utama. Yup! Bu Prila memiliki 5 anak yang harus
ditanggungnya. Dan ibu yang mana, yang tidak sayang anaknya. Bu Prila pun rela
mengorbankan hasratnya. Agar anak-anak tetap bisa makan dan bersekolah. Agar masih ada rumah untuk mereka bernaung. Ia harus membagi waktunya dengan rupa-rupa kewajiban.
Mencari nafkah, mengurus rumah, menjadi upik abu, mendampingi anak-anak, dan di
sela itu harus pandai mencari celah waktu untuk kesukaannya belajar menulis. Beberapa
PR menulis, tersendat. Buku-buku yang akan diresensi masih berjajar. Sementara
keinginan menulis novel masih terus tertunda. Hiks.. Dengan kondisi fisik yang
tidak biasa bekerja keras sebelum ini, maka proses adaptasi tubuhnya butuh
waktu. Hingga kini masih terhuyung dan terseok. Keinginan untuk bisa banyak
menulis, harus dipendam kuat-kuat.
“Mungkin aku egois, sok
tahu, atau post power sindrom..? what? Post power sindrom? Hahaha.. maksudnya
ga mau menjadi bawahan? No.. no.. bukan itu!” Bu Prila memulai racauannya.
Hasrat menulis yang menggebu, terus bermain di benaknya. Tapi… ingatannya
hinggap pada peribahasa ‘berharap burung terbang tinggi, punai di tangan
dilepaskan’.
Ternyata galau bukan
saja milik para abegeh. Bu Prila, yang parahnya masih suka merasa beda tipis
sama abegeh, pun dihinggapi kegalauan. Mungkinkah ini tantangan baginya?
Saatnya berjibaku berada jauh dari zona nyaman? Sanggupkah dirinya berpantang
untuk sederet keluh kesah? Mampukah berdamai dengan takdir?
Air mata masih selalu
saja menjadi kawan baik Bu Prila. Kadang hatinya serasa ingin meledak. Pita
suara ingin berteriak. Mengapa di saat gundah, tak boleh bilang lelah? Mengapa
di kala letih, harus menahan untuk merintih?
Jalan hidup memang
misteri. Siapa nyana tiba-tiba berada di suatu ruas kehidupan yang penuh belukar?
Betapa ajaib seketika digempur gelombang badai.
Bu Prila kemudian
mengerti. Ini jalan yang sudah ditetapkanNya. Hanya kepadaNya segala kesah
tertumpah ruah. Ia harus bersegera menujuNya. Tersungkur dalam sujud panjang di
keheningan malam.
Namun sebagai manusia
biasa, Bu Prila butuh jua melepas penat. Kadang hatinya bergerak memuntahkan
segala rasa, yang kemudian harus ditelannya kembali. Ia pun lantas bermohon
kepadaNya untuk diberi kekuatan. Berharap ditunjukkan jalan kala merasa berada
di persimpangan. Maka doa-doa pun membubung menuju langit. Di antara
larik-larik doa itu, adakah doa milikmu juga?
Moga bu Prila segera menemukan passionnya...
BalasHapus