Jumat, 23 Agustus 2013

LARA PRILA

“Maaf, Bu Prila.. anak saya mau pindah ke kelas B saja…”

Itu masih bagus ada basa-basinya, ada juga yang langsung main tarik tangan anaknya lalu memindahkan ke kelas B. Bu Prila bergeming. Memandang diam, lalu tersenyum getir. Hatinya dirundung lara.

Ingin rasanya Bu Prila berontak dari keadaan ini. Tiba-tiba ia harus mendapati dirinya mengajar di sekolah yang masih, mohon maaf, agak kurang maju. Para orangtua murid masih memegang paradigma lama tentang model pendidikan anak usia dini. Kepala sekolah yang kurang inisiatif. Rekan kerja yang masih belum disiplin dalam menerapkan konsep. Aarrgh..

Sepanjang satu dasa warsa, Bu Prila menjadi kepala sekolah. Terbiasa memenej dan memimpin. Seketika saat ini harus menjadi pelaksana. Berhadapan dengan kondisi, di mana bila ia berada dalam kondisi tersebut di sekolah yang lama, tentu ia sudah bersegera merapikannya. Segera menginstruksikan kepada para guru tentang apa yang harus dilakukan bersama. Namun, saat ini, apa daya. Sebagai orang baru, tak elok rasanya bila terlalu banyak mengatur dan campur tangan.

Bu Prila mendapat amanah memegang kelas A di sekolah baru. Anak-anak yang masih imut. Tentu pendekatannya berbeda dengan kelas B yang dipersiapkan untuk masuk SD. Namun, di sekolah baru, usia anak-anak kelas A ternyata amat beragam. Dari yang batita hingga balita. Bayangkan, anak-anak usia kelompok bermain, bahkan ada yang masih belum 2 tahun, berada bersama-sama dalam satu kelompok di kelas. Sudah barang tentu, anak-anak yang imut itu belum bisa diharapkan untuk mampu berkonsentrasi untuk jangka waktu lama. Bukan masanya mereka duduk tenang dan diam.

Hanya dalam hitungan 1-3 hari, manalah mungkin bisa tampak hasil pada anak-anak. Mereka masih dalam proses adaptasi. Tapi orangtua murid sukanya instan. Mereka spontan mengeluh, anaknya hanya bermain-main. Lha, anak kecil memang masanya bermain, Buu..

“Kalau mengikuti kata hati, rasanya ingin aku hengkang dari sekolah itu. Aku ingin berkhidmat menjadi penulis,” gumam Bu Prila. Sayang disayang, Bu Prila masih sangat hijau sebagai penulis. Mentah tak terkira. Perlu perjuangan, butuh latihan, untuk menempatkan dirinya sebagai penulis yang berkemampuan baik. Pilihan katanya masih terbata-bata. Penguasaan tekniknya masih di bawah rata-rata. Masih harus belajar, belajar, dan belajar. Bu Prila merasa sanggup untuk memacu dirinya dalam proses belajar. Ia haus ilmu. Ia mau bersungguh-sungguh belajar.

Poor Bu Prila… dengan kondisi seperti itu, tidak tepat kiranya bila menjadikan profesi penulis sebagai matapencaharian utama. Yup! Bu Prila memiliki 5 anak yang harus ditanggungnya. Dan ibu yang mana, yang tidak sayang anaknya. Bu Prila pun rela mengorbankan hasratnya. Agar anak-anak tetap bisa makan dan bersekolah. Agar masih ada rumah untuk mereka bernaung. Ia harus membagi waktunya dengan rupa-rupa kewajiban. Mencari nafkah, mengurus rumah, menjadi upik abu, mendampingi anak-anak, dan di sela itu harus pandai mencari celah waktu untuk kesukaannya belajar menulis. Beberapa PR menulis, tersendat. Buku-buku yang akan diresensi masih berjajar. Sementara keinginan menulis novel masih terus tertunda. Hiks.. Dengan kondisi fisik yang tidak biasa bekerja keras sebelum ini, maka proses adaptasi tubuhnya butuh waktu. Hingga kini masih terhuyung dan terseok. Keinginan untuk bisa banyak menulis, harus dipendam kuat-kuat.

“Mungkin aku egois, sok tahu, atau post power sindrom..? what? Post power sindrom? Hahaha.. maksudnya ga mau menjadi bawahan? No.. no.. bukan itu!” Bu Prila memulai racauannya. Hasrat menulis yang menggebu, terus bermain di benaknya. Tapi… ingatannya hinggap pada peribahasa ‘berharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan’.

Ternyata galau bukan saja milik para abegeh. Bu Prila, yang parahnya masih suka merasa beda tipis sama abegeh, pun dihinggapi kegalauan. Mungkinkah ini tantangan baginya? Saatnya berjibaku berada jauh dari zona nyaman? Sanggupkah dirinya berpantang untuk sederet keluh kesah? Mampukah berdamai dengan takdir?

Air mata masih selalu saja menjadi kawan baik Bu Prila. Kadang hatinya serasa ingin meledak. Pita suara ingin berteriak. Mengapa di saat gundah, tak boleh bilang lelah? Mengapa di kala letih, harus menahan untuk merintih?

Jalan hidup memang misteri. Siapa nyana tiba-tiba berada di suatu ruas kehidupan yang penuh belukar? Betapa ajaib seketika digempur gelombang badai.

Bu Prila kemudian mengerti. Ini jalan yang sudah ditetapkanNya. Hanya kepadaNya segala kesah tertumpah ruah. Ia harus bersegera menujuNya. Tersungkur dalam sujud panjang di keheningan malam.


Namun sebagai manusia biasa, Bu Prila butuh jua melepas penat. Kadang hatinya bergerak memuntahkan segala rasa, yang kemudian harus ditelannya kembali. Ia pun lantas bermohon kepadaNya untuk diberi kekuatan. Berharap ditunjukkan jalan kala merasa berada di persimpangan. Maka doa-doa pun membubung menuju langit. Di antara larik-larik doa itu, adakah doa milikmu juga?

1 komentar: