Cerita kedua
Cerita ketiga
Cerita keempat
Cerita kelima
“Jiaaah..
naksir loe?”
“Sembarangan…
“ Lya mendelik sebal pada Gandhi. Sesaat kemudian wajahnya kembali serius. Kali
ini ia menatap Gandhi. “Dhi, loe nggak perhatiin kalau sohib loe, si Raga, itu
punya keanehan?”
Gandhi
mengernyitkan dahi. “Maksud loe?”
“Raga
punya dunia sendiri di luar dunia nyata-nya. Dan ia terperangkap di dalamnya.”
Pandangan Lya melayang ke arah Raga yang tengah menatap hujan dari balik
jendela restoran yang sedang sepi.
“Ya
ampun, Li… Lagak loe udah kayak psikolog beneran. Padahal kuliah baru tiga semester
malah loe tinggalin,” ledek Gandhi.
“Dia
kayaknya mengidap gangguan halusinasi. Ini suatu gejala penyakit kejiwaan yang
serius. Biasanya dialami oleh penderita schizophrenia.” Lanjut Lya, tanpa
peduli pada ekspresi Gandhi yang tampak malas mendengarkan penjelasannya.
“Haduh,
Li… jangan-jangan loe sendiri yang sakit jiwa,” ujar Gandhi sambil ngeloyor
pergi, meninggalkan Lya yang masih tampak penasaran melihat kebiasaaan Raga
berdiri di dekat jendela sambil memandang ke luar.
Sementara
itu, Raga tak menyadari dirinya sedang dibicarakan, matanya tetap menatap lurus
ke arah jalan. Hujan mulai tipis. Hati Raga bungah. Pelangi yang didambanya,
mulai samar terlihat di bentang langit. Senyumnya mengembang.
“Kalya…”
desisnya.
Tiba-tiba
pundaknya ditepuk. Raga terlonjak kaget.
“Kayaknya
kaget banget, Ga. Makanya jangan suka ngelamun,” seloroh Gandhi.
Raga memaksakan diri
menarik bibirnya untuk tersenyum. Tanpa sadar ia kembali berpaling ke luar.
Gandhi
mendekat ke arah jendela. “Kamu menunggu seseorang?”
Raga terperangah.
Gelagapan ia menjawab, “Eh, ng.. nggak kok.”
“Yup!
Kalau begitu, kamu temani aku ke daerah Kemang, yuk… Ada restoran temenku baru
buka. Ia mengundang kita. Sekalian kita sharing lah. Temenku itu udah punya
beberapa cabang. Siapa tahu pengalamannya ada yang bisa kita terapkan.”
Raga
bergeming. Ia membayangkan akan kehilangan kesempatan berjumpa dengan Kalya,
yang dirindunya. Pelangi hadir tak lama. Bagaimana mungkin ia melewatkan
kesempatan yang amat sangat dinantikannya itu. Hampir gila rasanya menahan rindu.
Aku harus ketemu Kalya, kali ini.
“Hei,
kok malah melamun lagi? Udah yuk, kita pergi sekarang!” ajak Gandhi.
“Ng..
gimana kalau Lya saja yang menemanimu?” Raga mengajukan alternatif. Ia semakin
gelisah. Pelangi semakin jelas menampakkan diri. dan retinanya menangkap sosok
perempuan tengah berjalan anggun di seberang jalan. Raga tampak panik.
“Sebentar
Dhi, sorry… aku ke luar sebentar,” ujar Raga sambil melesat ke luar, tak
memedulikan panggilan Gandhi. Nama Kalya berdentum-dentum di benaknya. Ia
merasa harus mengejar Kalya, jangan sampai hilang di tengah para pejalan kaki
yang mulai ramai hilir mudik, selepas hujan.
Raga berlari secepat yang ia bisa. Sosok Kalya dilihatnya terus berjalan menyusuri
deretan toko. Hingga sosok itu berbelok, Raga pun kehilangan jejak. Kalya
lenyap setelah berbelok. Raga berusaha memaksa matanya untuk bisa melihat lebih
jauh, namun sia-sia. Bayangan sosok Kalya tak berbekas.
Gontai
Raga kembali ke restoran. Gandhi yang masih terheran-heran, segera
memberondongnya dengan pertanyaan. “Dari mana kamu, Ga? Siapa yang kamu kejar
tadi? Temanmu?”
Pandangan
Raga kosong. Ia menjawab lemah. “Iya. Temanku.”
“Yang
mana sih tadi orangnya?” Gandhi penasaran.
“Kamu
tadi melihat perempuan memakai baju putih dengan nuansa pink muda? Rambutnya
dilepas melewati bahu.”
Gandhi
menelengkan kepalanya, berusaha mengingat. “Kayaknya nggak ada deh tadi.”
Gandhi
mulai berpikir, jangan-jangan yang dikatakan Lya tadi benar. Raga mengalami
gangguan halusinasi.
“Udah
yuk, kita berangkat saja sekarang.” Gandhi melangkahkan kaki ke pintu.
“Ok,
sebentar aku ambil jaket dulu.” Raga berbalik ke belakang. Pada saat itu
matanya bertubrukan dengan Lya yang sedang memerhatikannya. Lya salah tingkah.
Ia menutupinya dengan melemparkan senyum. Senyum termanis yang ia miliki. Raga
membalas acuh tak acuh. Sempat terlintas rasa heran, mengapa perempuan itu
memandanginya begitu rupa. Tapi segera ditepisnya.
****
Lya
menatap Gandhi antusias. Perempuan berkacamata yang memiliki garis wajah
oriental itu tampak bersemangat dengan penjelasan Gandhi. Ia tengah mengorek
keterangan tentang Raga. Naluri psikologinya muncul. Meskipun sekarang ia
sedang cuti kuliah, minatnya pada hal-hal yang berbau psikologi tetap menyala.
Ia ‘terpaksa’ memilih cuti demi mengumpulkan rupiah agar kuliahnya kelak bisa
dilanjutkan lagi.
“Sepertinya
misteri ini mulai terkuak,” cetus Lya.
Gandhi
terbahak. “Halah! Loe tuh calon psikolog tapi sok-sok jadi detektif juga , ya.”
“Eh,
tapi bener kan, Raga punya pengalaman masa lalu yang amat membekas. Tanpa
disadarinya, efek rasa dari pengalamannya itu mengendap di alam bawah sadar,
dan akan terangkat ke permukaan saat ia menemukan sesuatu yang dianggapnya
menghubungkan ia dengan seseorang atau sesuatu di masa lalunya itu,” papar Lya.
“Gile..
loe pinter juga, Li!” ledek Gandhi. “Tapi gue nggak nyangka, kalau
perpisahannya dengan Laras dulu itu sampai bikin dia aneh kayak gitu.”
“Jangan
dianggap aneh lah. Hal-hal seperti itu memang terjadi. Dan kita harus menolongnya.
Kasihan kan, kalau dia terus menerus terkungkung dengan masa lalunya itu.”
“Tapi
ngapain ya, kelakuan anehnya itu, yang selalu bengong melihat ke luar, dilakukannya
setiap habis hujan? Kayak kemarin itu, tiba-tiba lari mengejar seseorang,
padahal nggak ada.”
Mata
Lya membulat. Dia menegakkan kepala. Jari lentiknya mengetuk-ngetuk dagu
lancipnya. “Hmm.. terutama saat muncul pelangi…”
Seketika
Gandhi tertawa. “Jangan aja, loe bilang kalau Raga mencari bidadari yang turun
dari langit, meluncur pake pelangi.”
“Mungkin
Laras-nya Raga itu cantik kayak bidadari ya…” Lya setengah bertanya memandang ke
arah Gandhi.
Gandhi
tersenyum. “Iya sih… dia cantik banget, dan lembut!”
Lya
kembali mengurai analisanya. “Mungkin itu sebabnya Raga sangat terpukul. Karena
Laras yang cantik dan lembut itu ternyata mengkhianatinya. Dia nggak percaya
kalau Laras-nya sanggup berpaling ke lain hati.”
“Tapi
nggak jelas juga sih, apa memang benar waktu itu ada orang ketiga di antara
mereka,” sergah Gandhi.
*****
Raga
menyesap hot capuccino-nya yang tinggal separuh. Di depannya, Gandhi, asyik
menyendok pepperoni cheese fusilli ke
mulutnya. Raga menghela napas panjang.
“Sorry,
bukan maksudku membuka luka lama.” Suara Gandhi memecah keheningan yang tadi
sempat tercipta.
“Ah,
nggak apa-apa, kok. Aku sudah melupakan Laras. Meski kemarin aku sempat bertemu
dia,” ucap Raga. Pandangannya menerawang. Entah, apakah waktu itu sikapnya yang
membeku telah menyakiti hati Laras. Hati perempuan terkasihnya, dulu.
“Kamu
ketemu Laras?” Gandhi ingin memastikan pendengarannya.
Raga
mengangguk.
“Terus?”
Raga
terdiam. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Gandhi. Saat pertemuan
itu, ia tengah dikepung rindu kepada Kalya. Ia tak menggubris Laras.
“Ga…
kamu nggak ingin kembali kepada Laras? Apa benar… dia dulu…” Gandhi menggantung
pertanyaannya. Ia tak menemukan kata
yang pantas untuk ‘berselingkuh’ bagi Laras yang cantik dan lembut bak
bidadari.
“Aku
nggak tahu. Kemarin ia ingin menjelaskan sesuatu. Katanya tentang masa lalu.
Katanya ia selalu menungguku. Tapi… entahlah, namanya sudah tercerabut dari
hatiku.”
Kembali
hening. Tiba-tiba suara hujan masuk ke gendang telinga Raga. Spontan ia melihat
ke arah jendela. Titik-titik air berebutan turun menyentuh bumi. Raga melengkungkan
senyum. Hatinya dijalari rasa bahagia yang halus. Harapannya terbit, akan ada pelangi
nanti yang mengantarkan Kalya ke hadapannya.
“Kalya…”
desis Raga.
Gandhi
terenyak mendengar Raga menyebut sebuah nama. Kalya?
******
Alhamdulillah.. selesai sudah melanjutkan cerfet ini untuk putaran pertama. Putaran selanjutnya, saya serahkan tongkat ini kepada Mak Indah aja yaa..
DL nya hari Sabtu pukul 15.00. Makasiiih.. dan maaaf, kalau ceritaku kurang berkenan.. :)
DL nya hari Sabtu pukul 15.00. Makasiiih.. dan maaaf, kalau ceritaku kurang berkenan.. :)
Mbak Linda, tulisan Indah Juli-nya tolong dikasih link untuk memudahkan pembaca yang ingin membaca kelanjutan cerita cerfet ini
BalasHapus