Mungkin
bisa menjadi semacam kebanggaan tatkala orang lain melihat kita hebat.
Perspektif hebat bisa beraneka rupa. Ada yang hebat tersebab peningkatan karir,
kemajuan si buah hati, kesuksesan pasangan, dll. Tapi ada pula yang
parameternya bukan merupakan hal yang kongkrit semacam contoh tersebut. Boleh
jadi, seseorang dianggap hebat, ketika ia mampu tegar dan sabar menghadapi
aneka ujian dan tantangan hidup yang teramat berat.
Seorang
teman, Nyi Penengah Dewanti, gadis belia yang menjadi TKW di Hongkong, demikian
berbelit liku hidupnya sehingga mengundang decak kagum sekaligus haru pada
perjuangan dan pengorbanannya. Kegigihannya serta kecerdasannya mengantarkan ia
menjadi seorang penulis handal. Hebat bukan? PRT di tanah air, rasanya mana ada
yang bisa se-keren itu prestasi menulisnya?
Di
balik kehebatannya, kekuatannya, ketegarannya, tak ada yang tahu persis
kedalaman hatinya. Apakah ia se-kuat yang ditampakkannya? Rasa-rasanya sih iya.
Sulit menolak praduga bahwa Nyi adalah seorang gadis yang luar biasa tegar dan
sabar. Sabar dalam definisi Aa Gym, yaitu sabar yang aktif. Dalam tekanan
penderitaan, baik fisik maupun mental, ia terus sabar berjuang, bertahan,
ber-aksi positif, sehingga tampil dengan prestasi yang membanggakan.
Lalu,
apakah aku demikian? Hoho.. rasanya jauh lah memperbandingkan aku dengan gadis
itu. Namun setidaknya, bagi yang mengetahui kemelut yang kuhadapi, hampir bisa
dipastikan mereka akan melontarkan puja dan puji, bahwa aku kuat menghadapi
cobaan berat. Benarkah begitu?
Sayangnya
tidak. Aku, di dalamku, hancur lebur. Aku bisa menangis tiba-tiba, mendadak
terbahak, seketika meledak meluap emosi memarah-marahi siapa saja. Tapi tentu
yang lebih sering terjadi adalah aku menangis.
Ya,
aku cengeng, aku lemah, aku payah! Aku tidak kuat, aku tidak tegar, aku tidak
sabar. Semua yang dilihat orang itu kamuflase. Aku sangat menyedihkan, aku
sangat mengenaskan.
Aku
tahu, seperti halnya semua orang juga tahu, bahwa Allah tidak akan sekali-kali
menimpakan cobaan, di luar kesanggupan hambaNya. Tapi nyatanya, terbetik pikir,
bahwa ini terlalu berat untukku. Aku lelah, aku capek. Dan yang paling
melelahkan adalah bahwa aku tidak boleh mengatakan kalau aku lelah. Aku harus
selalu kuat. Dan aku tidak kuat untuk itu.
Seorang
teman, Dian Iskandar, pernah mengatakan bahwa seseorang yang berempati
sesungguhnya ia tidak memahami benar apa yang dirasakan oleh orang lain, selama
ia tidak mengalaminya. Seorang yang selalu lancar memberi ASI kepada bayinya,
tidak akan tahu persis bagaimana duka sang ibu yang kesulitan bahkan tidak bisa
memberikan ASInya kepada si buah hati. Seorang yang menikah di usia muda, tidak
akan sepenuhnya merasakan apa yang berkecamuk dalam benak teman yang hingga melewati
jauh usia 30 belum bertemu jodoh. Seorang yang pasca pernikahan langsung
mendapat momongan, tidak juga akan memahami pedihnya hati kala mendamba
kehadiran si kecil hingga hampir mendekati tahun ke-10 pernikahan.
Aku
sungguh merasakan kebenaran rentetan kalimat itu. Orang-orang di sekitarku,
meski dengan segala kebaikan dan perhatiannya, yang aku sangat berterima kasih untuk itu, adakalanya
mereka terlalu mudah mengucap kata ‘sabar ya’ padahal kata itu luar biasa sulit
aku junjung.
Nyata
bukan? Aku cengeng. Aku merasa terpuruk. Tidak punya rumah, apalagi mobil.
Barang-barang semacam tv, kulkas, furniture, dll terjual sudah. Perhiasan
apalagi, ludes semua. Tabungan terkuras, hingga tabungan yang paling pribadi
dan sangat disayang: tabungan haji. Pun asuransi-asuransi pendidikan anak-anak,
tak ada lagi yang bersisa. Pekerjaan dan karir, melayang. Maka, kujalani hari
dengan rupiah yang diketat-ketat. Menerima belas kasihan dan tatapan iba dari
orang-orang, sungguh menyakitkan. Ditambah anak-anak yang menjelang usia
remaja, perangainya betapa membingungkan. Aku takut, sungguh takut. Bagaimana
mereka menghadapi hari-hari remajanya, hanya bersama dengan seorang ibu yang
limbung seperti aku.
Sejumlah
tekanan yang kuterima, membuatku semakin merasa tertindih beban berton-ton beratnya.
Dan yang lebih membuat sesak adalah, tidak semua beban itu bisa aku bagi. Ada
hal-hal yang sangat tidak mungkin aku ceritakan kepada siapa pun. Karena itu
terlalu gila. Terlalu akan membuat orang lain menganga. Dan bila sampai
terdengar oleh beberapa pihak yang terkait, boleh jadi ia pingsan dalam waktu
lama.
Saat
suasana hati benar-benar dikepung duka yang melelahkan,dada terasa ingin
meledak. Apalagi memikirkan bila semisal mengatakan kepada seseorang bahwa aku
sedang gundah, lalu ia bilang, “emangnya ada apa lagi?”
What?
Ada apa lagi? Pliiis deh, jadi dikira masalah yang lalu-lalu itu sudah usai,
dan sekarang ‘ada apa lagi’? Maka, aku pun lebih memilih diam. Sambil
membayangkan aku lari dari semua ini, dan menemukan sebuah gua yang tidak diketahui
siapa pun. Aku tenang bersembunyi di dalamnya, menghilang dari dunia nyata.
Tapi
ya, tentu saja itu cuma khayalan. Hidup terus berjalan. Membiarkan rumah
berantakan, tak peduli segalanya kotor dan tak sedap dipandang, tak bisa terus
dilakukan. Nekat kembali pada gaya hidup lama yang berbelanja segala rupa demi
kesenangan anak-anak, memenuhi selera lidahnya, adalah tindakan yang akan
menyulitkan kelak. Rupiah yang tersedot. Tabungan semakin menipiiis. Dan
ujungnya kembali hampa yang meraja.
Aku
harus tetap melengkungkan senyum, meski semu. Aku harus tetap membalas senda
dan canda, walau pura-pura.
Ah,
sudahlah. Mari, kita lihat waktu yang bicara. Akan kemana ia membawaku pada akhirnya.
# Saya hanya bisa
melangitkan doa, semoga Freya bisa kembali menjadi dirinya, menemukan
bahagianya. I love U, Freya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar