Sabtu, 28 September 2013

Dari catatan Harian Freya

Mungkin bisa menjadi semacam kebanggaan tatkala orang lain melihat kita hebat. Perspektif hebat bisa beraneka rupa. Ada yang hebat tersebab peningkatan karir, kemajuan si buah hati, kesuksesan pasangan, dll. Tapi ada pula yang parameternya bukan merupakan hal yang kongkrit semacam contoh tersebut. Boleh jadi, seseorang dianggap hebat, ketika ia mampu tegar dan sabar menghadapi aneka ujian dan tantangan hidup yang teramat berat.

Seorang teman, Nyi Penengah Dewanti, gadis belia yang menjadi TKW di Hongkong, demikian berbelit liku hidupnya sehingga mengundang decak kagum sekaligus haru pada perjuangan dan pengorbanannya. Kegigihannya serta kecerdasannya mengantarkan ia menjadi seorang penulis handal. Hebat bukan? PRT di tanah air, rasanya mana ada yang bisa se-keren itu prestasi menulisnya?

Di balik kehebatannya, kekuatannya, ketegarannya, tak ada yang tahu persis kedalaman hatinya. Apakah ia se-kuat yang ditampakkannya? Rasa-rasanya sih iya. Sulit menolak praduga bahwa Nyi adalah seorang gadis yang luar biasa tegar dan sabar. Sabar dalam definisi Aa Gym, yaitu sabar yang aktif. Dalam tekanan penderitaan, baik fisik maupun mental, ia terus sabar berjuang, bertahan, ber-aksi positif, sehingga tampil dengan prestasi yang membanggakan.

Lalu, apakah aku demikian? Hoho.. rasanya jauh lah memperbandingkan aku dengan gadis itu. Namun setidaknya, bagi yang mengetahui kemelut yang kuhadapi, hampir bisa dipastikan mereka akan melontarkan puja dan puji, bahwa aku kuat menghadapi cobaan berat. Benarkah begitu?

Sayangnya tidak. Aku, di dalamku, hancur lebur. Aku bisa menangis tiba-tiba, mendadak terbahak, seketika meledak meluap emosi memarah-marahi siapa saja. Tapi tentu yang lebih sering terjadi adalah aku menangis.

Ya, aku cengeng, aku lemah, aku payah! Aku tidak kuat, aku tidak tegar, aku tidak sabar. Semua yang dilihat orang itu kamuflase. Aku sangat menyedihkan, aku sangat mengenaskan.

Aku tahu, seperti halnya semua orang juga tahu, bahwa Allah tidak akan sekali-kali menimpakan cobaan, di luar kesanggupan hambaNya. Tapi nyatanya, terbetik pikir, bahwa ini terlalu berat untukku. Aku lelah, aku capek. Dan yang paling melelahkan adalah bahwa aku tidak boleh mengatakan kalau aku lelah. Aku harus selalu kuat. Dan aku tidak kuat untuk itu.

Seorang teman, Dian Iskandar, pernah mengatakan bahwa seseorang yang berempati sesungguhnya ia tidak memahami benar apa yang dirasakan oleh orang lain, selama ia tidak mengalaminya. Seorang yang selalu lancar memberi ASI kepada bayinya, tidak akan tahu persis bagaimana duka sang ibu yang kesulitan bahkan tidak bisa memberikan ASInya kepada si buah hati. Seorang yang menikah di usia muda, tidak akan sepenuhnya merasakan apa yang berkecamuk dalam benak teman yang hingga melewati jauh usia 30 belum bertemu jodoh. Seorang yang pasca pernikahan langsung mendapat momongan, tidak juga akan memahami pedihnya hati kala mendamba kehadiran si kecil hingga hampir mendekati tahun ke-10 pernikahan.

Aku sungguh merasakan kebenaran rentetan kalimat itu. Orang-orang di sekitarku, meski dengan segala kebaikan dan perhatiannya, yang  aku sangat berterima kasih untuk itu, adakalanya mereka terlalu mudah mengucap kata ‘sabar ya’ padahal kata itu luar biasa sulit aku junjung.

Nyata bukan? Aku cengeng. Aku merasa terpuruk. Tidak punya rumah, apalagi mobil. Barang-barang semacam tv, kulkas, furniture, dll terjual sudah. Perhiasan apalagi, ludes semua. Tabungan terkuras, hingga tabungan yang paling pribadi dan sangat disayang: tabungan haji. Pun asuransi-asuransi pendidikan anak-anak, tak ada lagi yang bersisa. Pekerjaan dan karir, melayang. Maka, kujalani hari dengan rupiah yang diketat-ketat. Menerima belas kasihan dan tatapan iba dari orang-orang, sungguh menyakitkan. Ditambah anak-anak yang menjelang usia remaja, perangainya betapa membingungkan. Aku takut, sungguh takut. Bagaimana mereka menghadapi hari-hari remajanya, hanya bersama dengan seorang ibu yang limbung seperti aku.

Sejumlah tekanan yang kuterima, membuatku semakin merasa tertindih beban berton-ton beratnya. Dan yang lebih membuat sesak adalah, tidak semua beban itu bisa aku bagi. Ada hal-hal yang sangat tidak mungkin aku ceritakan kepada siapa pun. Karena itu terlalu gila. Terlalu akan membuat orang lain menganga. Dan bila sampai terdengar oleh beberapa pihak yang terkait, boleh jadi ia pingsan dalam waktu lama.

Saat suasana hati benar-benar dikepung duka yang melelahkan,dada terasa ingin meledak. Apalagi memikirkan bila semisal mengatakan kepada seseorang bahwa aku sedang gundah, lalu ia bilang, “emangnya ada apa lagi?”

What? Ada apa lagi? Pliiis deh, jadi dikira masalah yang lalu-lalu itu sudah usai, dan sekarang ‘ada apa lagi’? Maka, aku pun lebih memilih diam. Sambil membayangkan aku lari dari semua ini, dan menemukan sebuah gua yang tidak diketahui siapa pun. Aku tenang bersembunyi di dalamnya, menghilang dari dunia nyata.

Tapi ya, tentu saja itu cuma khayalan. Hidup terus berjalan. Membiarkan rumah berantakan, tak peduli segalanya kotor dan tak sedap dipandang, tak bisa terus dilakukan. Nekat kembali pada gaya hidup lama yang berbelanja segala rupa demi kesenangan anak-anak, memenuhi selera lidahnya, adalah tindakan yang akan menyulitkan kelak. Rupiah yang tersedot. Tabungan semakin menipiiis. Dan ujungnya kembali hampa yang meraja.

Aku harus tetap melengkungkan senyum, meski semu. Aku harus tetap membalas senda dan canda, walau pura-pura.

Ah, sudahlah. Mari, kita lihat waktu yang bicara. Akan kemana ia membawaku pada akhirnya.



# Saya hanya bisa melangitkan doa, semoga Freya bisa kembali menjadi dirinya, menemukan bahagianya. I love U, Freya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar