Anakku, Salman (5,5 thn), beberapa hari
terakhir selalu merengek minta disunat. Agak mengherankan juga, karena
sebelumnya dia menolak keras pada wacana ‘sunat’. Selidik punya selidik,
ternyata, sepupunya alias keponakanku alias putranya kakakku, bilang sama
Salman bahwa sunat itu lebih enak kalau masih kecil, karena kalau udah besar
bakal sakit banget sebab disunatnya menggunakan golok.
Salman bersikeras pingin segera disunat karena
khawatir dia akan keburu gede, lalu golok lah yang akan mengeksekusinya saat
disunat. Aku berusaha menenangkan bahwa dia masih kecil, masih TK, jadi tenang
saja. Tapi Salman tetap was-was tampaknya. Kubilang lagi, kalau sudah SD, itu
baru anak yang udah gede, tapi kalau masih TK mah masih kecil.
Salman: “Jadi kapan aku disunatnya?”
Aku: “Nanti ya Sayang, kalau liburan..”
Salman: “Kapan liburannya?”
Aku: “engh.. nanti bulan Juni..”
Salman: “Masih lama gak?”
Aku: “Iya sih.. masih lama..”
Salman: “Kenapa sunatnya harus lagi liburan?”
Aku: “Kan nanti Mama harus jagain Salman. Tapi karena Mama kerja, ngajar di sekolah, jadi supaya bisa temenin Salman pas disunat, kan enaknya pas liburan..”
Aku: “Nanti ya Sayang, kalau liburan..”
Salman: “Kapan liburannya?”
Aku: “engh.. nanti bulan Juni..”
Salman: “Masih lama gak?”
Aku: “Iya sih.. masih lama..”
Salman: “Kenapa sunatnya harus lagi liburan?”
Aku: “Kan nanti Mama harus jagain Salman. Tapi karena Mama kerja, ngajar di sekolah, jadi supaya bisa temenin Salman pas disunat, kan enaknya pas liburan..”
Percakapan masih terus berlanjut. Akhirnya
kucari waktu terdekat yang ada libur agak lama, dan ketemulah tgl.29 Maret.
Maka aku pikir, disunatnya tgl 28 aja. Jadi aku bisa menemani Salman 3 hari kemudian,
hari Jumat, Sabtu, dan Minggu.
Salman senang sekali jadwal sunatnya
dimajukan. Tapi tak urung setiap hari dia terus menerus bertanya, “Berapa hari
lagi aku disunat?” Duh, aku trenyuh juga mendengarnya.
Untuk sang eksekutor, aku sudah cari-cari info.
Ada teman suaminya rekan kerjaku, seorang tenaga medis di RS Assyifa, yang juga dulu mengkhitan putranya. Ok, aku sepakat,
beliau saja nanti yang mengkhitan Salman.
Tiba-tiba kakak iparku membawa info bahwa di RS Assyifa ada
khitanan massal. Temannya menjadi panitia di sana. Kupikir, mungkin ini jalan
kemudahan dariNya untuk Salman. Waktu itu hari Senin sore, sedang hari ‘H’ nya
adalah hari Jumat. Akhirnya hari Rabu aku daftar, karena Selasa aku ke Bogor
untuk suatu urusan lain yang juga sangat penting.
Tak terkira gembiranya Salman, saat tahu bahwa
disunatnya tinggal hitungan hari. Lalu.. hari itu pun tiba. Kami tiba di RS
sebelum pukul 7. Dalam surat pemberitahuan disebutkan, peserta khitanan massal
tersebut harus hadir pada pukul 7. Namun apa yang terjadi? Panitia baru
membereskan kursi-kursi untuk ruang tunggu kami. Sound system pun baru
diangkut-angkut. Termasuk kamar-kamar tempat khitanan berikut bed dan
peralatannya pun baru disiapkan.
Akhirnya acara dimulai sekitar pukul 07.50. Setelah dibuka dan
disambut oleh Bapak Direktur RS, acara khitanan pun dimulai. Peserta no.1, 2,
3, dipanggil. Salman dapat no.9.
Begitu peserta awal masuk ruangan, tak lama
terdengarlah jeritan membahana dari setiap kamar tersebut. Aku segera membawa
Salman keluar untuk berjalan-jalan. Aku khawatir, suara tangisan peserta lain
akan mempengaruhi semangatnya.
Ketika aku lihat peserta awal itu sudah
selesai dikhitan, tangisan mereka masih belum berakhir. Untunglah Salman sedang
asyik menggambar bersama kakaknya, Nadia. Jadi tidak terlalu memperhatikan.
Singkat cerita, tibalah giliran Salman. Aku
sudah siap membawa rupa-rupa hadiah yang akan kugunakan untuk mengalihkan
perhatian Salman saat dia ‘dikerjai’ oleh para tenaga medis. Tapi rupanya dari
sejak awal dan selama proses khitan berlangsung, Salman terus berteriak-teriak
kesakitan. Duh, hati ibu yang mana yang tahan melihat anaknya demikian
menderita? Aku terus berusaha
mengajaknya bercerita tentang hadiah-hadiahnya. Namun rasa sakit lebih
mendominasi Salman. Sepertinya obat bius belum bekerja, sehingga anakku selalu
menjerit histeris saat jarum jahit menusuk kulit penisnya.
Selesai dikhitan, Salman masih terus menangis.
Hal yang sama terjadi juga pada peserta lain. Bahkan sampai rumah pun tangisan Salman tak berkurang. "Sakiiit.. sakiiit.. Aku gak mau disunat..!" erangnya.
Aku tidak bisa beringsut sedikit pun dari sisi Salman. Duh.. piluu rasanya melihat anakku kesakitan sedemikian rupa.
Menjelang sore, Salman mulai menampakkan dirinya yang dulu. Celotehnya menderas, bawelnya mulai kelihatan lagi. Subhanallah.. leganya.. APalagi saat melihat senyum dan tawanya mulai menghias wajahnya. Salman pun sudah bisa menikmati permainan baru hadiah sunatnya dari aku.
Rupanya dalam hal Salman disunat berlaku peribahasa "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian." Hingga melewati magrib sampai masuk waktu Isya, tak ada lagi sisa-sisa potret tadi pagi-siang. Tidurnya pun lelap sampai pagi... Zzzzz...
Subhanallah... hebat ya, A' Salman..
BalasHapusIsmail dan Sidiq belum disunat nih, emaknya masih rempong T_T
Nunggu anaknya mau aja, Mbak..
BalasHapusThn lalu pas liburan skolah, aku bilang ke Salman spy disunat, dia menolak keras. Eh, kmrn minta sendiri.. :)
iya dong! siapa dulu teteh nya? aku!
BalasHapusiya deeh.. teteh yg baik, cantik, pandai, dan sholihah.. :)
Hapusii...hh mamah!
BalasHapus