Sabtu, 20 April 2013

Mengigau di Pagi Buta


Sebuah sms dari sahabat dekat: Kamu harus bisa bersikap lebih sabar, terima segala apa yang menimpa dengan ikhlas. Kita harus punya prasangka bahwa sikap orang lain kepada kita , dan segala kejadian yang menimpa, mungkin akibat dari sikap kita selama ini. Kalau tidak merasa, anggap semuanya sebagai ujian.

Mak Jleb!

Sungguh aku terhenyak. Entah apa karena aku sedang sensitif atau apa, tapi aku kok merasa tertuduh. Apa setelah sebelumnya dia menerima curhatku, laku kesan yang muncul adalah, aku belum sabar? aku belum ikhlas? Sementara aku merasa telah bersusah payah melakukan itu. Lalu, lelaku macam apa yang harus dilakukan dalam kondisi seseorang terpuruk, kehilangan segala?

Sms itu terus menghantui. Aku tahu, maksud si pengirim sms adalah untuk membantu mengurai masalah yang menimpaku saat ini. Dan aku kemudian tidak pula mempertanyakan ulang makna smsnya itu. Aku hanya berucap terima kasih saja kepadanya. Tapi bunyi sms itu benar-benar tak jua beranjak dari pikiranku. Hingga rasanya semakin membuatku stress.

Sebetulnya tidak ada yang baru dari masalahku. Masih yang itu-itu juga. Namun ia terus berkelindan dalam kehidupan. Semakin lama semakin meluas, bukannya semakin berkurang. Masalah finansial, masalah anak-anak, masalah ‘orang-orang gila’ yang terus mengganggu, dan beberapa ikutan lainnya.

Dari sisi finansial, dalam kondisi job less begini, aku menahan pilu kehilangan kurleb 4,2 juta. Nyesek banget... Gila! Itu uang tunjangan sertifikasiku yang melayang dalam periode ini. Aku kira aku bersabar. Tapi jangan-jangan sesungguhnya aku belum kuasa meredakan amarah yang mengepul. Jujur, aku pingin marah rasanya. Betapa jumlah rupiah itu luar biasa bagi kami, aku dan keempat anakku. Tapi aku berusaha tetap biasa, tetap masuk sekolah, mengajar anak-anak. Meski rutinitas itu sepertinya sia-sia. Apa yang aku dapat dari sana? Gaji? Nol. Anak-anak yang manis pelipur lara? Tidak juga. Persahabatan indah dengan sesama rekan kerja? Hmm.. entahlah.

Astaghfirullah. Mungkin seharusnya aku merasakan cercah bahagia dalam aktivitas harian yang kujalani. Agar amal berbuah pahala sedekah.

Anak-anak di kelas? Oh.. mereka di sini sungguh aneh. Beberapa memang mencuri hatiku. Namun yang lainnya membuatku terperanjat dengan sikap liar dan kasarnya. Orang tua siswa betul-betul minim pengetahuan tentang parenting. Sehingga sikap si buah hati tak terkendali. Mereka tidak meng-anak. Duhai, sungguh aku prihatin dengan ini.

Hubungan dengan sesama rekan kerja? Ah, aku tak hendak membicarakannya.

Lalu di rumah, apakah aku cukup menerima sikap protes yang muncul dalam bentuk pembangkangan, yang dilakukan anakku? Aku benar-benar nyaris semaput menghadapi anakku yang kian di luar harapan. Bahkan belakangan ia ketahuan membolos sekolah. Dari adiknya lah, aku diingatkan bahwa mungkin sebetulnya si kakak sedang protes atas kepindahan ini. Duh, Nak, Mamamu ini juga tak ingin meninggalkan Bogor. Namun kita harus melakukannya.

Betapa sulitnya memahamkan kepada anak-anak bahwa garis nasib sedang terjun bebas meluncur ke bawah.

Ups! Kemana arah tulisan ini? Tak jelas, tak menentu arah. Apakah itu gambaran dari kondisiku saat ini? Tidak! Aku harus bangkit dan semangat! Sabar… Ikhlas… kemarilah, mendekat! Iringi langkahku senantiasa. Agar ringan terasa. Tiada beban menghimpit jiwa.

Ah, sudahlah.. kuhentikan saja sejenak aliran kata-kata. Semoga tidak ada yang membaca tulisan ini.. J

2 komentar:

  1. tapi aku udah terlanjur membacanya mamah :P

    BalasHapus
  2. Mbak Linda sayaaang...
    yang tegar yaa. ini ujian, ini pertanda Allah masih sayang sama mbak Linda dan anak-anak, ini proses mbaak...
    semoga sll diberi kemudahan dlm setiap urusan ya mbak. Innalaha Ma'a Sobirin...

    BalasHapus