Rabu, 10 April 2013

SELAMAT TINGGAL PARADIGMA LAMA



BeraniKotor Itu Baik. Slogan yang menyentak. Apa pasal? Ketika pola asuh model lama yang bersemayam di benak para orang tua adalah ‘katakan TIDAK pada kotor’, maka Rinso dengan sangat berani menggeser paradigma lama itu. Sebuah aksi kontroversi. Yup! Slogan ini potensial memicu kontroversi, karena keharusan anak menjauh dari kotor, sudah sangat melekat kuat dalam model pendidikan keluarga Indonesia.
Rinso, memiliki kepedulian tinggi pada perkembangan anak-anak. Pesan yang diusung dalam produk sabun cuci ini, tidak sekedar menawarkan keunggulan daya cucinya yang sanggup mengentaskan segala kotor dan noda. Berani Kotor Itu Baik, bermakna luas. Ia mengingatkan para orang tua, agar memaknai kotor bukan sebagai dosa. Kotor bukan sesuatu yang haram. Namun dalam kotor ada macam-macam hal. Ada keceriaan, tolong menolong, kebersamaan, proses pembelajaran, kreativitas, eksplorasi, dan aneka makna lainnya.
Kesemua makna itu terungkap dan tergambar dengan baik, dalam tuturan kisah inspiratif, yang terangkum dalam buku “Cerita di Balik Noda”. Ada 42 cerita di dalamnya. Cerita yang diberi label “Kisah Inspirasi Jiwa”. Ke-42 cerita itu dituturkan oleh para pemenang Lomba Menulis bertema “Cerita di Balik Noda” yang diselenggarakan oleh Rinso melalui facebook.
Adalah Fira Basuki, penulis kondang yang sudah sangat matang, yang kemudian diminta untuk menulis ulang dan mengembangkan kisah-kisah ini menjadi sebuah buku. Buku yang merupakan langkah cerdas Rinso dalam menggaungkan slogannya. Menggenapkan aksi kontroversinya. Rinso konsisten berdedikasi kepada para orang tua Indonesia untuk menunjukkan bahwa Berani Kotor Itu Baik.
Sebagai guru TK, saya menyaksikan tidak sedikit orang tua yang kolot, over protective, mengekang anak, untuk satu tujuan: bersih. Anak-anak mereka dipasung kreativitasnya, ditutup keran eksplorasinya, demi terhindar dari noda dan kotor. Maka ketika kami, para guru, mengajak anak-anak berkotor-kotor dalam proses bermain sambil belajar, terdengarlah suara-suara sumbang yang menentang. Disebutnya kami sebagai ‘korban iklan’. Padahal sungguh tak ada sedikit pun niatan untuk mempromosikan produk Rinso, tatkala kami bilang bahwa Berani Kotor Itu Baik.


Dengan hadirnya buku “Cerita di Balik Noda” rasanya akan menjadi lebih mudah memahamkan makna kotor. Untuk orang tua yang masih sangsi dengan model pembelajaran yang berorientasi lingkungan, bisa membaca “Hidup Baru Danu”. Keceriaan Danu yang kembali terpancar serta kemandirian dan tanggung jawab yang tampak, akan mencopot label tentang sekolah alam yang dianggap hanya bermain-main dan berkotor-kotor. Semangat hidup Danu muncul setelah sebelumnya dirundung duka karena berpulangnya ayahanda tercinta. Ternyata, berkotor-kotor saat menanam sayuran di kebun sekolah, saat menangkap lele di kolam sekolah, dan rupa-rupa pembelajaran yang bernuansa kotor, membentuk sikap positif. Empati, mandiri, kreatif, bertanggung jawab, suka menolong, adalah beberapa di antaranya.
Bagi orang tua yang sangat keras dengan disiplin kebersihan, lihatlah Innez dalam kisah “Di Antara Sampah”. Betapa ia memendam rasa takut yang sangat, ketika bajunya ternoda oleh bumbu masakan padang. Innez tidak berani pulang dan memilih bersembunyi di pos ronda. Ia super cemas bahwa ibunya akan marah besar melihat baju seragamnya kotor. Dan, lihat kemudian apa yang semestinya dilakukan oleh orang tua menghadapi kondisi demikian. Ibu Innez lalu memilih bersikap lembut. Tidak serta merta menyemprot habis-habisan dengan omelan. Hasilnya, Innez bersikap jujur serta menunjukkan tanggung jawabnya dengan mencuci sendiri baju yang tertumpah bumbu masakan padang itu. Ini artinya, kotor tidak identik dengan amarah yang meluap.
Anak yang biasa hidup dalam budaya tidak mengenal kotor, akan membuatnya merasa jijik dan takut bersentuhan dengan hal-hal yang mengandung kotor. Mereka enggan berkotor-kotor meski itu untuk kebaikan. Hal ini berlaku sebaliknya. Sebut saja Farhan dalam “Nasi Bungkus Cinta”. Ia tulus membantu korban banjir, walau untuk itu ia harus bergelut dengan lumpur. Lalu ada Deva dalam “Celengan” yang terbiasa mencari uang dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan kotor, seperti: membersihkan selokan, mengurusi taman, mengangkut karung tepung. Uang tabungan hasil kerjanya itu kemudian diberikan kepada kakeknya yang tertimpa musibah kebakaran. Padahal sebelumnya Deva memimpikan sepeda lipat bisa dibelinya dengan uang tabungan tersebut. Juga Ali dalam “Siluman Tikus” yang ringan tangan menolong Mak Sa membersihkan rumahnya yang kotor dan bau, karena nenek itu sakit. Serupa dengan Ali, ada Tesla dalam “Untuk Bu Guru” yang memiliki inisiatif mengkoordinir teman-temannya untuk kerja bakti membersihkan rumah ibu guru mereka yang sedang sakit flu berat. Terbukti, betapa pentingnya anak terbiasa berkotor-kotor dalam koridor kebaikan, membuat mereka tidak segan menolong sesama.
Resiko kotor memang adakalanya tak terelakkan saat anak-anak berkreasi. Di sekolah kami, anak-anak riang gembira di sentra kreasi. Mereka bereksplorasi dengan cat air, membuat pewarna alami dari bahan-bahan alam, mencipta bentuk dengan tanah liat, dan berbagai kegiatan lainnya. Suasananya seru, penuh suka dan tawa. Kreativitas pun berkembang tiada kekang. Seperti Ivan dalam “Batik Kreasi Ivan”. Kreasi batik dari daun yang diciptanya dengan gembira bersama teman-temannya, menginspirasi seorang desainer sehingga menjuarai Lomba Desain Batik pada Pekan Batik Nasional. Ada lagi Aninda dalam “Master Piece”. Sejak kecil orang tuanya membebaskan ia berkreasi mencoret-coret apa saja. Aninda selalu tertawa-tawa dalam kesenangannya menggambar. Ketika awalnya selimut, seprai, sofa, tembok, hingga bajunya sendiri tak luput dari coretannya, namun setelah diarahkan dengan baik, Aninda berhenti mencoret sembarangan. Ia mencurahkan coretannya di kertas atau melukis di kanvas. Prestasi demi prestasi pun diraih. Menjadi juara di banyak lomba dari tingkat kecamatan hingga tingkat nasional. Lemarinya pun mulai penuh dengan piala.

Deretan kisah lain menyuguhkan beragam hikmah dan peristiwa. Semisal “Sarung Ayah” dan “Untuk Papa” tentang kehilangan orang-orang tercinta, juga “Foto” dan “Tak Jadi” tentang konflik rumah tangga, “Tulisan di Kain Seprai” dan “Harta Sebenarnya” yang mencerahkan. Juga kisah-kisah lain yang menarik. Benang merahnya tetap pada Berani Kotor Itu Baik.
Saya angkat topi pada Rinso dengan segala upayanya mengusung slogan Berani Kotor ItuBaik. Semoga tidak lagi mengundang kontroversi, seperti yang sempat terjadi di sekolah saya. Maka saya mengharapkan kemunculan buku “Cerita di Balik Noda” akan menjadi pencerahan bagi para orang tua Indonesia. Kemudian sama-sama kita mengucapkan selamat tinggal pada paradigma lama. Bukan berarti tidak bersahabat dengan bersih, namun kotor bukan pula untuk dimusuhi. Maka dalam kapasitas saya sebagai pendidik, buku “Cerita di Balik Noda is a must read book bagi para orang tua sebagai pendidik utama anak-anak.
Bravo Rinso!


#Tulisan ini diikutsertakan dalam Kontes Ngeblog Review Buku "Cerita di Balik Noda" yang diselenggarakan oleh KEB bekerjasama dengan Rinso


13 komentar:

  1. Bagus ya Lin, bukunya..mencerahkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak.. bukunya bagus. Recommended bwt keluarga Indonesia.

      Hapus
  2. masa kecil memang tidak lepas dengan main kotor, makin kotor makin asyik

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya ya.. seru banget, kotor-kotoran.. :)

      Makasiih ya, dah mampir.. salam kenal.. :)

      Hapus
  3. aaamiin... *mendoakan harapan guru TK :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiiih sdh mengamini, Mbak..
      Berhadapan langsung dgn ibu2 yg msh memegang paradigma lama itu.. duh, bikin gregetan deh.. :)

      Hapus
  4. Berani kotor itu baik ya mbak :)
    Semoga menang mbak Lindaaa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiih doanya..

      Yup! banyak lho, anak2 yg takut kotor krn tkut dimarahi Mamanya.. hadeuh..

      Hapus
  5. gutlak mbak.. sperti biasa.. reviewnya ciamik, bs ngulas dr sisi yg unik :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiih Mbak Bint.. punya njenengan jg reviewnya keren.. unik lho, ada Farah Quinn sgala.. :)

      Hapus
  6. iya, mah, memang ko! sampai sekarang teteh kadang - kadang takut dimarahin. karena kotor - kotoran. padahal, kan, main kotor - kotoran itu asyik banget!

    curang, sih! pas teteh TK gak ada bikin kerajuinan tanah liat. teteh paling suka main nya pas TK yang out bond, nagkep ikan, dan bikin tanah liat (baru pas ada).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiih ya, Teh.. dah komen.. :)

      Gpp main kotor-kotoran, asal ada baiknya, ga sekedar main kotor.

      Pas Teteh TK malah ada main kotor-kotoran di sawah, nanam padi sama mandiin kerbau..

      Hapus
  7. atuh, mamah, kan, teteh juga mau main kotor - kotoran. yang seperti, hujan - hujanan, main pasir/tanah boleh kan?

    iya ko, masih ingat. tapi, yang paling berkesannya yang tadi, tuh! yang di sawah itu. tempat nya di taman matahri ya, kan? teteh juga suka.

    BalasHapus