SEWINDU, TAK MELULU BICARA RINDU
Judul
Buku : Sewindu
Penulis : Tasaro GK
Penerbit : Metagraf (creative imprint of Tiga Serangkai)
Website : http://www.tigaserangkai.com/
Tebal
Buku : x + 382 halaman
ISBN : 978-602-9212-78-5
Peresensi : Linda Satibi
Rentang
perjalanan manusia tak mungkin berada pada satu titik yang konstan. Ia
senantiasa bergerak. Memasuki fase demi fase. Sepandai apa seseorang mampu
memaknai setiap fase yang dilewatinya, bergantung dari tingkat kesiapan dan
kematangan pribadinya. Boleh jadi, dua
orang yang melampaui fase yang sama, menghasilkan kualitas hidup yang berbeda.
Yang satu, kala nasib berubah buruk,
semangatnya turut remuk, hidupnya pun jadi terpuruk. Namun yang satu
lagi, saat hidup terasa runtuh, ia berjuang bersimbah peluh, menempa jiwa menjadi
tangguh, nasib baik pun tidak lagi menjauh.
Kemampuan
memaknai lakon yang terjadi, lalu menangkap hikmah di dalamnya, dapat digali
melalui perenungan dan senantiasa mengasah hati. Keberserahan diri kepadaNya,
pun menentukan proses penerimaan setiap babak dalam kehidupan. Karena tidak ada
penerimaan, tidak ada keikhlasan, tanpa melewati sebuah proses. Sebuah proses yang dalam perjalanannya akan
memperlihatkan seberapa baik ia mampu meng-up
grade kualitas diri.
Adalah
Tasaro GK, penulis cerdas asal Gunung Kidul, menuturkan proses perjalanan
hidupnya dalam buku bertajuk “Sewindu”. Bilangan delapan tahun ini merupakan
usia pernikahannya dengan seorang bernama Alit Tuti Marta, yang dengan penuh
cinta disebut Tasaro sebagai wanita terpilih baginya. Panjang atau singkatkah
rentang usia tersebut, menjadi tidak penting, karena justru ruh dari perjalanan
itulah yang memiliki nilai lebih. Maka, “Sewindu” bukan melulu bicara tentang
rindu, ia mengajak pembaca memaknai hikmah dari setiap fragmen kehidupan, di
dalamnya memuat spirit mengisi hidup dengan semangat kebaikan. Dan semua itu
bermuara pada satu titik: Cinta.
Buku
ini terdiri dari dua bagian. Bagian Satu, mengisahkan periode awal pernikahan
Tasaro. Masa-masa beradaptasi sebagai pasangan baru, menjalani hubungan jarak
jauh, menumpang di rumah mertua, hingga akhirnya menempati rumah baru, lalu berinteraksi
dengan tetangga baru. Sedang Bagian Dua, merupakan refleksi kurun sewindu
dengan beberapa nostalgi turut mewarnai.
Pada
babak awal pernikahannya, Tasaro-Alit berjibaku dengan keterbatasan finansial.
Mereka pun beradu dalam perbedaan-perbedaan yang kemudian mendewasakan. Tanpa
aksi yang muluk, Tasaro memperlihatkan kepada pembaca bahwa pada ujungnya cinta
yang bicara, meski lewat jalan yang sederhana. Sejatinya, demikianlah cinta. Ia
menjadi payung yang meneduhkan dan melindungi.
Semangat
yang Tasaro bagi melalui episode demi episode yang dilalui, terasa menggebu dalam
derap mimpi-mimpinya. Kegigihannya belajar mengaji Quran yang dimulai pada usia
yang tak lagi muda, sungguh patut digarisbawahi. Bayangkan, ketika anak-anak
usia SD sudah lancar mengaji, Tasaro baru mulai belajar huruf hijaiyah pada
usia 22 tahun! Benar-benar mengeja ‘alif, ba, ta’. Setahun lewat, saat mengaji
mulai tertata, meski masih acap tertukar antara huruf ‘nun’ dan ‘ba’, Tasaro
mendaftar di Fakultas Syariah di sebuah sekolah tinggi agama Islam, demi
memenuhi ghirah-nya yang sedang
bergejolak. Konon seperti dagelan saja. Sementara kawan-kawannya kebanyakan
alumni pondok pesantren yang fasih berbahasa Arab, ia baru bisa bilang ‘ana’
dan ‘antum’(halaman 105).
Bahwa
lingkungan memegang peranan penting dalam pembentukan seseorang, itu yang
dipegang Tasaro. Ia tidak ambil pusing soal ketertinggalannya, namun ia nekat
masuk fakultas syariah dengan alasan agar berada di lingkungan yang pas untuk
bersemangat mempelajari Islam.
Kesadaran
beragama terus mengental. Tasaro berpikir, ia harus keras terhadap dirinya
sendiri saat menyangkut kedisiplinan beragama (halaman 106). Para suami yang selama
ini merasa tenang-tenang saja, harus tertampar dengan ini. Betapa seorang
Tasaro yang merasa keawamannya soal agama termasuk kebangetan, memiliki kesadaran penuh untuk menjadi imam dalam
keluarga. Ia ingin punya kemampuan untuk menuntun istrinya dalam ber-Islam. Ia
malu kala shalat berjamaah, hafalan Qurannya hanya berputar sekitar empat-lima
surat pendek saja. Tengok pula bagaimana Tasaro berproses kala mengaplikasikan
‘tercelup’ dalam konteks Q.S.Al-Baqarah:138.
Sisi
lain yang menarik dari pola pandang Tasaro adalah hal pendidikan. Ia bukan dari
barisan penggemar matematika. Dan kini ia mengelola lembaga pendidikan usia
dini. Maka ia amat mendorong model pendidikan yang mengeksplor potensi anak. Di
PAUD yang dikelolanya, anak-anak berinteraksi dengan buku. Belajar melalui
dongeng. Jangan sampai anak miskin imajinasi. Dan ini berkaca dari
pengalamannya. Tasaro tidak ingin standar pendidikan terlalu memuji otak kiri.
Sudah saatnya meninggalkan konsep standar kepintaran anak-anak hanya diukur
dengan angka semata (halaman 290). Tasaro membuktikan, menduduki jabatan
General Manager ‘hanya’ dengan ijazah D2-nya. Karena kemampuan dan potensinya
boleh jadi menyamai lulusan S2.
Selain
sisi-sisi yang serius, banyak bagian dalam buku ini yang menampilkan sisi humanis,
romantis dan sentimentil. Kenangan-kenangan tentang kehalusan budi serta
ketangguhan Ibunda dan Ibu Mertua. Juga serpihan masa kecil yang menyenangkan,
masa SMP yang tragis karena kerap di-bullying,
masa SMA yang mulai mengubah dirinya untuk berprestasi, masa kuliah yang
indah saat berkegiatan aneka rupa, hingga bagaimana menjadi ayah yang keren,
lalu bagaimana berinteraksi dan bersosialisasi dalam masyarakat. Kesemuanya meninggalkan jejak yang bisa
menjadi inspirasi bagi pembaca.
Tak
ketinggalan kisah-kisah dengan bumbu kocak dan konyol yang renyah. Menggelitik,
mengundang senyum dan tawa. Disebutkan pula sahabat-sahabat yang mengiringi
perjalanan hidupnya. Bagaimana mereka mengajarkan banyak hal tentang loyalitas,
kebersamaan, dan kedewasaan. Secara khusus disebut nama Kang Momo yang
mengajari tentang cinta yang total pada keluarga, dan Kanday yang
membersamainya sejak mahasiswa, lalu memasuki dunia kerja, hingga saat ini.
Sebagai
seorang yang berprofesi penulis, Tasaro bertutur tentang pilihan hidupnya untuk
‘hanya’ menjadi penulis. Ditinggalkannya dunia kerja, kantornya yang nyaman dan
fasilitas yang mengikutinya. Sungguh sebuah kisah penuh semangat yang
membangun.
Yang
paling menyentuh adalah kisah tentang Bapak. Bagaimana Tasaro bisa mendamaikan
hati dengan Bapak yang telah meninggalkan keluarga selagi usia remaja? Mengapa
ia sulit menemukan catatan menyenangkan, indah, damai, untuk dikenang antara dirinya
dan Bapak? (halaman 348) Inilah bagian yang paling menggedor jiwa.
Boleh
dibilang, buku ini komplet. Ia membuat tersenyum, tertawa, hingga berderai air
mata. Meski ada beberapa bagian yang sepertinya tidak perlu ikut serta. Semisal
tulisan yang diambil dari note facebook berjudul “Penulis! Glamour atau
Bersahaja?”, “Pembicara, Fee, dan Panitia”, “Generasi Kedua”. Bukan tersebab
buruk, toh di dalamnya tetap lebat hikmah yang ranum untuk dipetik, namun
membuat bagian tersebut menjadi terlalu berpanjang kata. Soal urutan kisah pun
terasa ada yang ngaclok. Kisah ke-10
pada bagian satu, berjudul “Tempe, Sambal, dan Lalap Sawi” akan lebih pas bila
ditaruh sebagai kisah ke-6.
Dengan
cover berwarna hijau manis, bergambar
sebatang pohon kehidupan dihiasi delapan daun berbentuk lambang cinta, buku ini
merupakan buku inspiratif yang lezat dan bergizi. Ditulis dengan bahasa yang
segar, mengalir, diiringi sentuhan yang mengharu biru. Tasaro GK dalam karya
perdana di ranah non fiksi, tidak kalah mengasyikkan dengan buku-buku fiksinya
yang selama ini memikat banyak pembaca.
Membaca
buku ini, mengikuti sepanjang kurun delapan tahun, pembaca diajak menikmati
proses pergerakan Tasaro dalam masa bertumbuhnya menjadi pribadi yang matang.
Inilah tuturnya: Delapan tahun ini,
sebagaimana waktu mengubah dunia, saya kira, banyak pula pergeseran pemikiran
dan orientasi hidup yang menyertai kami. Jika dulu, saat rumah tangga muda
habis waktu memikirkan bagaimana kami makan, memiliki tempat tinggal, atau
berpakaian layak, kini ada kebutuhan lain yang lebih fundamental, di posisi
mana kami berada di tengah-tengah masyarakat? Peran apa yang harus kami ambil?
(halaman 166)
Energi
semangat ditransfer oleh Tasaro kepada pembaca, untuk senantiasa bergerak dalam
kebaikan atas dasar cinta, cinta kepada sesama. Seperti ide briliannya yang
bersinergi dengan istri tercinta tentang “Proyek 1000 Jamaah” dan “Kampoeng
Boekoe” yang kini dirintisnya. Juga kelas spesifik untuk kaum putri yang akan
dikelola sang istri, bertajuk “Sakola Estri”, sebuah persembahan untuk
mengenang pengabdian dua perempuan tercinta mereka, yaitu ibunda masing-masing,
Ummi dan Mih.
Pernahkah
Anda berpikir visioner semacam itu? Memikirkan peran diri bagi masyarakat? Jika
belum, mari kita mulai sekarang!
*) Resensi ini diikutsertakan dalam "Lomba Resensi Sewindu Karya Tasaro GK" yang diselenggarakan oleh Penerbit Tiga Serangkai, Solo.
sukses ya, Mbak Linda
BalasHapusMakasiiih Mbak Naqy..
HapusIni biografi ya mbak ? Btw, resensinya keren bangeet , good luck ya mbak:-)
BalasHapusKonon tidak dimaksudkan sbg auto-biografi, Mbak. Tasaro terbiasa mengikat kenangan perjalanan hidupnya dlm tulisan. Lalu kumpulan tulisan tsb mewujud sebuah buku yg diharapkn dpt menginspirasi pembaca dlm jalan kebaikan.
HapusKereeen
BalasHapusMakasiiih Kak Tus dah mampir kemari.. :)
Hapuskeren yaaah baru baca resensinya aja semangat dari Tasaro dah tertular seperti ini apa lagi baca langsung ? like fot this one ! :)
BalasHapusThanx ya Na.. dah mampir.
HapusAku ga nyangka lho, klw Tasaro se-keren itu.. :)
Semangatnya puoll..
Baca review keren ini, jadi pengin baca Sewindu
BalasHapusMakasiih dah bilang keren.. hehe..
HapusResensi dari peserta yg lain jg bagus2 lho, Mbak..
mbak lin, as usual selalu menuliskan resensi dengan manis. kalo mas TGK selalu ya nulis tuwebel2
BalasHapusIya Mbak Anik, kyknya menjadi semacam 'keharusan' buat TGK, bukunya kudu tebbel.. :)
HapusJadi pengen baca, ehm ...ada gratisan gak mb? hahaha *kebiasaan deh nguber serba gratis
BalasHapusBaca deh.. bukunya bagus! engh.. klw soal gratisan, aku ga tau.. hehe..
HapusThanx yaa dah mampir..
hwaaa... runut banget, mamah... keren keren! *baru baca setelah resensi tertunaikan juga :))
BalasHapusMakasiiih Ai..
HapusResensimu jg keren.. aku tadinya mau masukin jg ttg "Ini Wajah Cintaku, Honey", tapi aku blm baca buku itu, cuma tau ada-nya. Jadi, yo wis.. ndak kusinggung aja.. :)