Minggu, 18 Desember 2011

Mulut yang Terkunci

Ketika seorang yang kau sayangi, melukai hatimu, adakah kau serta merta membencinya..?
Aku tidak! Aku tidak ingin membenci, betapa pun aku tersakiti.

Tapi tahukah kau kawan, betapa sulitnya itu? Ketika ingin menyayangi, namun entah alam bawah sadar ikut berperan, maka tampilanku seakan membencinya. Dan, seolah ia pun demikian. Betapa aku berpayah-payah memenuhi keinginannya, menyiapkan keperluannya, menyajikan masakan kesukaannya, namun ia tetap sulit tersentuh.

Setiap hari mata gerimis, hati teriris oleh sikapnya. Semua kutelan saja. Ingin rasanya aku berkoar tentang detil sikapnya yang membuatku terhempas, namun aku tak sanggup. Sahabat dan kerabat, tak ada yang tahu. Di sudut hatiku terdalam, aku tetap melindunginya. Tak ingin perilaku buruknya terungkap.

Hingga akhirnya kudatangi seorang ahli, tuk mengurai masalah ini. Ia, ahli yang kesekian yang kutemui. Kuyakinkan diri untuk memuntahkan segala sesak di dada. Mulailah aku bertutur. Namun apa yang terjadi kemudian? Saat menceritakan bagian sikap buruk yang kuterima, mulutku tetap terkunci. Bungkam.

Duhai anakku, pintaku sederhana saja.. Aku ingin engkau merasa, betapa aku menyayangimu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar