Judul
Buku : Memori
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : GagasMedia
Terbit : 2012
Tebal
Buku : viii + 304 halaman
ISBN : 979-780-562-x
Setelah aku jatuh cinta
pada Montase, kali ini aku bertekuk lutut pada Memori. Kenapa baru sekarang ya,
aku baca novel yang keren ini. Ah, itu tidak penting. Better late than never.
Aku suka sekali judul
novel Windry. Itu juga impianku bila kelak menyelesaikan sebuah novel. Aku
ingin menggunakan hanya satu kata saja. Impianku ini sebelum mengetahui
keberadaan novel-novel Windry lho, yang kesemuanya hanya menggunakan satu kata.
Ini novelnya arsitek
banget. Dari halaman pertama sudah tercecap rasa arsitek yang kental. Deskripsi
desain interior sebuah rumah, sangat detil dan seperti terpampang di depan
mata. Dan dari halaman pertama itu, ternyata hingga akhir, pembaca tersedot ke
dalam dunia arsitek.
Adalah Mahoni, arsitek cantik,
yang menjadi tokoh sentral. Masa kecilnya tersuramkan oleh perceraian kedua
orangtuanya. Hanya sekejap ia merasakan kehangatan kasih sayang seorang ayah,
selanjutnya ia dibawa menjauh oleh ibunya. Lalu hidupnya dibayangi oleh dendam
dan nestapa yang senantiasa mewarnai hari-hari ibunya, yang seorang penulis.
Bahkan novel-novel yang ditulis ibunya selalu penuh dengan kegetiran. Dunia
yang muram itulah yang diembuskan oleh ibunya ke dalam kehidupan Mahoni.
Alur maju mundur
ditempatkan dalam porsi yang pas. Mahoni bertutur tentang masa kini, sesekali
melompat ke belakang, berganti-ganti, dari masa kecilnya, kenangan bersama
Papanya, hingga masa kuliahnya saat berinteraksi dengan teman lelakinya, Simon.
Setting selalu menarik
di tangan Windry. Detil menjadi ciri khasnya. Suatu tempat benar-benar
dibentangkan wujudnya di hadapan pembaca. Menyenangkan, jauh dari kesan sok
tahu. Virginia dan Jakarta, keduanya mendapat perlakuan sama.
Sebagai seorang
arsitek, Windry tampaknya memang berjiwa seni tinggi. Terlihat dari pilihan
katanya. Tertata artistik. Tidak terbawa arus dalam kegenitan diksi. Sepintas
kadang mirip gaya novel terjemahan. Seperti kebiasaan Mahoni memanggil ibunya,
hanya memanggil nama saja.
Konflik muncul teratur,
tidak meledak-ledak, tapi cukup mengaduk emosi. Diawali kematian Papanya,
Mahoni mulai terbentur pada masalah-masalah yang membuyarkan rencana hidupnya.
Meski ada unsur kebetulan, tiba-tiba Mahoni berjumpa dengan teman lelaki dari
kenangan lalunya, namun sama sekali tidak terasa unsur sinetronistik. Kejadiannya
terbungkus cantik. Sebuah kebetulan yang elegan.
Kesunyian yang
menyergap Mahoni, kerinduan alam bawah sadarnya akan kehangatan sebuah
keluarga, mengemuka secara kuat namun penyampaiannya halus, tidak emosionil.
Demikian pun perasaan yang berkembang antara Mahoni dan Simon, tidak straight to the point, tapi mengalun
lembut.
Munculnya Sofia, antara
Mahoni dan Simon, sangat membantu gerak cerita. Terasa manusiawi, bagaimana
cara mereka menyelesaikan masalahnya. Mahoni dengan sikap keperempuanannya yang
tentu memikirkan perasaan sesama perempuan, lalu Simon yang rasionil dan
memiliki ego khas lelaki. Kepungan masa lalu yang memenuhi pikiran Mahoni,
membuat langkahnya tersendat. Ditambah kehadiran Sigi, adik tirinya, membuat
kisah cinta dalam novel ini tidak dibikin terlalu mudah, namun terasa natural.
Yah, begitulah dalam hidup. Kadang kita menemukan hal yang selalu dihindari,
tapi ternyata hal tersebut malah melekat dalam kehidupan. Kita harus
menghadapinya dengan meluaskan jarak pandang dalam alam pikir disertai sugesti
positif. Karena hidup menjadi ceria atau suram, kita lah yang menentukan.
Yang menarik juga dari
Windry adalah, nama tokoh-tokohnya keren dan tidak biasa. Dalam Montase, ada
Rayyi (Bao), Bev (Bevani), Samuel Hardi, Sube, dll. Tapi tidak euphoria nama
aneh juga, karena ada nama yang sangat biasa, semisal: Andre, Mirna. Begitu pun
dalam Memori, selain Mahoni, ada nama Mae, Sigi, Neri, Regulus, Ni Mar, tapi
tetap ada nama Nisa, Pak Sur, yang biasa-biasa saja.
Oh ya, aku tidak merasa
perlu menceritakan sinopsis novel ini. Baca saja sendiri. Aku khawatir kalau
ada sinopsis, akan mengurangi kenikmatanmu berasyik masyuk dengan novel ini.. J
Boleh saja ada yang
berpendapat, tidak heran novel ini sangat arsitek karena Windry memang arsitek.
Tapi kukira, itu tidak berbanding lurus begitu, kan? Bahkan aku benar-benar
merasa bisa mencium aroma pelitur yang menguar dari bengkel Papa Mahoni.
Menuliskan detil, bercerita panjang lebar tentang dunia arsitek, membutuhkan
sentuhan citarasa yang berkelas. Dan.. demi Guggenheim.. Windry nyaris sempurna
melakukannya.
So, maafkan aku kalau aku
tidak berhasil menemukan bagian yang janggal atau bahkan buruk dalam novel ini.
Semuanya aku suka. Terserah, kau mau bilang aku terlalu tergila-gila pada novel
ini. Dalam hal ini mungkin benar, cinta itu buta.. J
Baiklah.. baiklah..
akhirnya aku menemukan bagian itu. Entah, apa ini menjadi khas Windry, tapi selalu
ada kissing lips yang cukup membuatku.. ehm.. sedikit jengah. Biasanya diawali
dengan kecupan kejutan yang tiba-tiba. Bukan ciuman yang direncanakan, tapi
efeknya menggetarkan. Maka, ada kecupan susulan yang lebih mengandung.. apa ya?
gairah..? yah, semacam itulah.. Nggak banyak juga sih, sekitar sekali atau dua
kali saja.
Aku berharap, setelah
ini aku bisa menemukan dua novel Windry yang lainnya, Orange dan Metropolis.
Kemarin aku menghubungi tobuk online, dan hasilnya nihil. Apakah kau mau
berbaik hati mencarikannya untukku? Atau boleh kubeli koleksimu?
resensi mbak linda selalu keren. aq belum baca novel ini dan jadi kepengen (lagi) soalnya kemarin lebih pengen baca montase... :-)
BalasHapusthanx ya Fit..
Hapuskapan dong aku ngereview novelnya Fitri..? :)
Keren sob
BalasHapuswww.kiostiket.com
Makasiih Mas Imam.. salam kenal.. :)
BalasHapusMbak Linda jadi kecanduan novelnya Windry ya. Jadi penasaran baca novelnya dia ^^
BalasHapusOya mbak, komentar disetting untuk URL biar memudahkan untuk komen balik mbak. Biar lebih ramai blognya
Btul Mbak, jadi mencandu.. hehe..
Hapusnovelnya asyik banget sih.. kereen..