Pernahkah kau terjepit dalam ruang Sunyi.. terdapat pada pojok Sunyi yang tak teraba namun ada..
Melati, wanita shalehah dengan hijabnya yang luas terbentur kesunyian pada pernikahannya dengan Radit meski mereka telah dikaruniai bidadari nan cantik.
Malaya, wanita terlahir dengan sempurna yang merasa SUNYI di usia 35 tahun karena sang malaikta tak juga luruh dalam dekapannya.
Soraya, wanita shalehah yang sederhana dan bertakdirkan memiliki rahim tandus, harus berbagi hati ketika suaminya, Reza, mengajukan izin poligami.. dan ia pun terkais ke kotak SUNYI
Inikah perjalanan takdir anak manusia? Jejak-jejak kecil yang coba ditinggal dengan penuh ketidakberdayaan, asa, perjuangan itu sendiri. Lalu akan mampukah mereka memecah sunyi? Atau hidup hanya menuju takdir belaka tanpa perlawanan..
Hanya kau perlu tahu, Mala. Hidup mengarungi takdirmu, tidak berarti indah selalu.
Seperti apa yang kau lihat padaku, pada Radit.
Yang utama adalah mampu melewati segala takdir Allah dengan kerendahan hati..
Seperti apa yang kau lihat padaku, pada Radit.
Yang utama adalah mampu melewati segala takdir Allah dengan kerendahan hati..
Review:
Sebuah novel duet, bagi saya menyimpan rasa penasaran tersendiri. Bagaimana jadinya, sebuah alur cerita dengan sekian konflik yang dialami beberapa tokoh, menjadi sebuah kisah yang padu dengan digerakkan oleh dua kepala, dua pikiran, dan dua style yang sudah mendarah daging dalam gaya kepenulisannya? Ini pasti kerja luar biasa. Dan Sunyi adalah novel duet pertama yang saya baca. Puaskah saya? Mari, ikuti saya.
Novel ini boleh dibilang sederhana. Setting nggak mentereng. Nggak pake deskripsi negeri di berbagai belahan dunia, nggak juga mengusung unsur lokalitas tanah air beta. Tokoh utama adalah para wanita. Mereka biasa saja. Bukan mewakili wanita yang nganeh-nganehi. Latar ekonomi pun tidak mengangkat keluarga yang kaya raya bergelimang harta yang membuat banyak orang ternganga-nganga, dan juga tidak menampilkan kaum papa yang hidupnya nelangsa.Lalu, apa istimewanya novel ini? Nah, justru Anda baru saja mendapatkan jawabannya. Apa? Ya, kesederhanaannya itu. Memangnya sederhana itu istimewa, ya?
Ganti paragrap dulu, Kawan. Menurut saya, sebuah novel itu berhasil berbicara bila ia meninggalkan bekas di hati pembacanya. Dan Sunyi telah melakukannya, tanpa terlihat terengah-engah membangun cerita. Dalam kesunyiannya, Sunyi menyapa pembaca dengan lembut. Sangat sederhana. Tapi ia berhasil membekas. Ada yang tertinggal di hati begitu menutup lembar terakhir novel ini.
Mungkin terasa klise ya, ketika peristiwa kebetulan, terjadi dalam sebuah cerita fiksi. Ternyata si A kenal sama si B, sementara si C yang mantan pacar A jatuh hati kepada B. Ini contoh, bukan ilustrasi kisah dalam Sunyi. Namun dalam novel ini, memang tidak terlepas dari peristiwa kebetulan itu. Hanya saja, justru dari kebetulan itu, konflik bergerak dinamis, memainkan emosi pembaca. Cantik sekali.
Bagaimana kolaborasi berjalan dalam novel ini? Melarutkah atau bagai minyak bersanding dengan air? Sebagai fans sejati Ifa Avianty (jiaaahh…), saya hafal betul gayanya. Begitu pun gaya Eni Martini, yang sahabat baik saya itu, saya kenal dong. Nah, maka ketika membaca, saya bisa merasakan, “Ini pasti bagian Mbak Eni, yang itu bagian Teh Ifa”. It’s Ok, kok. Nggak berasa njomplang. Keduanya saling mengisi. Mbak Eni bisa mengiringi gaya Teh Ifa, sebaliknya Teh Ifa pun tampak nggak terlalu kental ke-Ifa Avianty-annya, tapi teuteup ng-Ifa juga.
Yang saya salut dari novel ini, meski sama sekali nggak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ini novel islami, tapi nilai-nilai islami cukup pekat. Bahkan beberapa novel dengan label di covernya ‘novel islami’ yang pernah saya baca, kalah jauh nilai islaminya dibanding novel ini. Bukan sekedar nilai islami yang berada di permukaan, tapi ruh islamnya demikian kuat menancap.
Meski novel ini membincang sunyi, tapi ia tetap memiliki sisi komikal. Di dalamnya diwarnai beberapa dialog serta narasi segar dan lucu, yang mengundang senyum bahkan tawa. Sepertinya dari sisi tersebut, kedua penulis ini memang klop.
Karakter para tokoh nggak terasa goyang. Para penulis menggerakkan tokohnya, natural. Memang di dunia nyata, ada toh orang yang seperti Melati. Wanita shalihah yang tampak memiliki bahagia paripurna, namun sesungguhnya ia memendam sembilu. Nggak ketinggalan hadir juga tokoh yang bikin geregetan macam Reza. Hadeuh.. saya ngefans sama Nicholas Cage, dan tiba-tiba ia mewujud Reza dalam novel ini. Emang di Indonesia, cowok yang mirip Nicholas Cage, ada yak? Ah, yakin ini mah imajinasinya Mbak Eni.. :)
Sekarang, saatnya kita melihat bagian yang terasa mengganjal. Tak ada gading yang tak retak, toh? Tentu novel ini pun. Melihat dari judulnya, sudah jelas bahwa novel ini pasti akan menyuguhkan sesuatu tentang sunyi. Ketiga wanita: Melati, Malaya, Soraya, dalam jalan hidup yang dijejakinya, memiliki ruang sunyi yang berbeda. Maka, sunyi menjadi benang merah kisah mereka. Sayangnya, saya merasa kata ‘sunyi’ terlalu banyak dipaksakan masuk ke dalam cerita. Misal pada halaman 14, dalam setengah halamannya berjejal lima kata ‘sunyi’. Padahal nggak usah terlalu ingin menjelaskan kaitan antara judul dengan isi, pembaca juga ngerti kok.. :)
Salah satu yang kerap menjadi ciri khas karya Ifa Avianty adalah adanya petikan-petikan lagu yang liriknya mewakili bagian cerita. Biasanya memberi efek so sweet. Dalam novel ini, entah karena penulisnya dua orang, kok rasanya kebanyakan ya? Akhirnya beberapa lagu, saya skip. Agak males juga, kalau kebanyakan.
Di bagian awal, sosok Melati masih agak sedikit membingungkan. Sebagai seorang pendiam, mungkinkah berteriak lantang di dalam Senayan City dengan orang lalu lalang di sekitarnya? Kemudian diikuti dengan tertawa-tawa heboh pula?
Lalu tentang cover, meskipun secangkir kopi cukup relevan, tapi ketika tahu bahwa Malaya piawai melukis, saya jadi membayangkan cover novel ini berupa lukisan. Lukisan yang menuansakan sunyi. Sepertinya akan tampak cantik.
Pergantian tokoh yang saling bertutur, kadang membuat satu bab memuat lebih dari satu tokoh yang bicara. Maka, dalam satu bab memiliki semacam sub-sub bab. Tapi, kenapa judul sub bab itu ditempatkan di tengah ya? Rasanya lebih enak kalau di sisi kiri.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya benar-benar jatuh cinta sama novel ini. Endingnya menarik. Tidak happy ending, namun salah juga bila dikatakan sad ending, apalagi open ending. Ia memiliki akhir yang jelas. Sebuah sentuhan akhir yang manis tapi bertenaga. Saya suka sekali, dan benar-benar mendapat pencerahan di bagian ini.
Sangat beralasan, bila dikatakan novel ini recommended. Kisahnya membumi. Tanpa kita ketahui, orang-orang di sekitar, memiliki ruang sunyi yang tak diketahui siapa pun. Ada sisi tersembunyi, di mana sunyi memerangkapnya. Mungkin Anda pun memilikinya, seperti juga saya…..
Judul Buku : Sunyi
Penulis : Eni Martini dan Ifa Avianty
Penerbit : Panser Pustaka
Terbit : Cetakan I, Oktober 2013
Tebal Buku : 240 halaman
ISBN : 978-602-7798-73-1
nice review, seperti biasanya mbaak...
BalasHapustapi belum bisa beli beli buku lagi iniii....:'(
tengkyuh Puji sayang..
Hapuseh, aku jg punya buku ini dapet haratiis.. menang kuis.. :)
Cocok nih buat yang sering merasakan kesunyian hehehe.
BalasHapusCocok bangeet.. dan solusi yg ditawarkan samsek nggak menggurui.. baguuus.. berasa jleb..
HapusMakasiih ya, Mbak Tiitis dah mampir.. Salam kenal.. :)