Judul
Buku : The Coffee Memory
Penulis : Riawani Elyta
Penerbit : Penerbit Bentang
Terbit : Cetakan I, Maret 2013
Tebal
Buku : vi + 226 halaman
ISBN : 978-602-7888-20-3
Sinopsis:
Ini kisah tentang jatuh
bangunnya seorang Dania, melepaskan diri dari kenangan dengan aroma kopi yang
mengepungnya, untuk menegakkan kembali usaha coffee shop yang dulu dirintis mendiang suaminya. Diawali dengan
kecelakaan yang merenggut nyawa Andro, suami Dania. Andro, yang penikmat kopi
sejati, meninggalkan sebuah kafe dengan sajian utamanya: kopi. Kafe itu, selain
sebagai sebuah usaha yang menopang kehidupan keluarga mungil Dania yang baru
dikaruniai satu balita, juga merupakan refleksi kecintaan Andro pada kopi.
Andro sangat menjaga citarasa menu kopi yang disajikan di kafenya, berikut latte art yang artistik menghiasi sajian
kopi tersebut.
Dania kemudian tertatih
menghidupkan kembali kafenya. Aneka kerikil yang merintangi jalan, dihadapinya seorang
diri. Tak kalah berat adalah melepaskan rindu yang membelenggu. Rindu pada
Andro, yang setiap jejak dan bayangnya mengisi seluruh ruang dan gerak kafe.
Namun kehadiran seorang barista baru bernama Barry, sangat membantu.
Kemahirannya nyaris menyamai Andro, dan semangatnya menyala untuk mengeksiskan
kondisi kafe yang sinarnya meredup.
Tak dinyana, Pram,
seseorang dari masa lalu Dania, muncul sebagai kompetitor. Pram, dengan konsep
kedai kopi yang lebih menarik dan inovatif, cukup menggoyahkan grafik jumlah
pengunjung bagi beberapa usaha kuliner di sekitar kawasan itu, tak terkecuali
kafe milik Dania. Kehadiran Pram, tidak saja mengusik ketenangan Dania dari
sisi bisnis, namun ternyata Pram masih menyimpan rasa yang sama, rasa cinta
semasa SMA dulu.
Bagaimana perjuangan
Dania menghadapi kerasnya persaingan bisnis? Mampukah Dania berperan sebagai single mom? Apakah kekukuhan prinsipnya
untuk menutup hati bagi semua lelaki akan bisa bertahan?
Review:
Ini novel kedua seri Love Flavour yang saya baca, setelah The Mocha Eyes. Dan untuk The Coffee Memory, aroma kopinya tercium
sangat pekat. Bila dalam The Mocha Eyes,
unsur moka mewarnai perjalanan cerita seorang Muara, maka The Coffe Memory benar-benar kisahnya tercelup dalam harumnya
cairan berwarna hitam itu. Ngopi banget deh.
Riawani Elyta mengemas
konflik dengan hati-hati. Beragam peristiwa dimunculkan dengan cermat.
Kombinasi masalah bisnis dengan masalah hati cukup proporsional. Meski dalam
beberapa hal mudah ditebak, namun ada juga kejutan-kejutan yang menyelamatkan
novel ini sehingga tidak terasa monoton.
Alur yang bergerak
sangat lambat nyaris membuat novel ini membosankan. Untunglah, berbagai
pengetahuan tentang kopi cukup menarik perhatian saya. Berbagai varian dan
topping, betul-betul saya baru tahu dari novel ini. Termasuk tentang latte art, saya juga baru tahu kalau
dalam sajian kopi ada hiasan artistik macam itu. Begitupun profesi barista,
saya baru tahu juga. Serba baru tahu deh.. :)
Makna secangkir kopi
yang tidak sekadar minuman pengisi jeda waktu, digambarkan melalui sikap Andro
dalam memperlakukan kopi. Jiwa seorang barista telah merasuk, sehingga ia tahu
persis bagaimana menghargai kopi secara layak. Passion dan care pada
kopi, bagi Andro adalah mutlak. Ia menjunjung tinggi filosofi dari eksistensi
secangkir kopi.
Bagaimana geliat sebuah
usaha coffee shop, disampaikan dengan
detil yang cermat. Jelas sekali, riset yang dilakukan penulis nggak main-main.
Seluk beluk bisnis tersebut sangat fasih dituturkan penulis. Pada bagian ini,
ditiupkan juga semangat daya juang untuk bangkit. Nilai kesungguhan dan
ketangguhan diperlihatkan oleh tim coffee
shop ‘Katjoe Manis’ di bawah pimpinan Dania. Sebuah pesan kebaikan yang
disiratkan dengan halus tanpa kesan menggurui.
Untuk melengkapi bagian
persaingan bisnis, dimunculkan pula intrik-intrik yang biasa menyertai sebuah
perjalanan bisnis, semisal: penyabotan karyawan ahli dan permainan harga. Ditambah
kehadiran kakak ipar Dania yang merongrong dengan ambisinya untuk menguasai coffee shop milik mendiang adiknya,
membuat Dania merasa gerah. Pada saat itulah, dukungan tim yang solid menjadi
senjata utama.
Deskripsi yang ciamik
membuat saya ter-wow-wow berasa benar-benar berada di dalam sebuah coffe shop, melihat aneka jenis kopi,
beragam properti perkopian, cara menggiling berikut penyajiannya. Ditambah lagi
interior unik dan inovatif di coffee shop
milik Pram, sepertinya akan menjadi ide menarik bagi para peminat dunia usaha
kuliner, khususnya coffee shop.
Seperti halnya rasa
kopi yang beraneka, dari yang paling enak hingga yang kurang sreg di lidah,
maka dalam novel ini ada juga rasa yang kurang sreg di hati. Pada sisi romance,
terasa betapa kepergian Andro untuk selamanya meninggalkan perasaan hampa dan
kehilangan yang sangat menyesakkan jiwa. Namun ternyata Dania, dalam waktu yang
boleh dibilang tidak terlalu lama, mampu melabuhkan rasa pada lelaki lain. Entah,
mungkin ini karena saya terlalu sentimentil, tapi menurut saya, kepergian Andro
yang tiba-tiba, akan membekas lara di hati dalam bilangan waktu yang panjang, apalagi
dengan segenap kenangan yang tertoreh pada kopi dan ‘Katjoe Manis’.
Lalu, kehadiran Redi,
kakak Andro, yang menjadi duri dalam daging, kurang tereksplor geraknya. Hanya
sebatas intervensi verbal. Watak culasnya dalam bisnis, sepertinya akan lebih
jleb bila ada aksi licik atau tindakan menyebalkan yang dilakukannya, yang
sayangnya itu tidak ada.
Peristiwa kebakaran
merupakan kejutan yang asyik. Saya kira ini akan dikembangkan menjadi semacam
misteri yang mengundang penasaran pembaca. Namun rupanya penulis mengambil
jalan aman, yang tenang-tenang saja. Bahwa ini merupakan musibah yang bisa
menimpa siapa saja. Maka fungsi bagian ini ‘hanya’ sebagai konflik minor biasa yang
mewarnai jalan cerita.
Mengenai typo, biasanya
saya tidak pernah mempermasalahkan. Tapi penulisan nama kafe, ‘Katjoe Manis’
yang seharusnya ‘Kajoe Manis’, tentu bukan masuk kategori typo. Sangat
disayangkan ketidaktelitian ini. Jelas sekali disebutkan pada halaman 28 bahwa
Andro menamai kafenya terinspirasi dari kayu manis, bukan kacu manis.
Dengan segala kelebihan
dan kekurangan yang menyertai novel ini, dapat tertangkap jelas pesan yang
tersirat melalui aroma kopi yang menguar tajam di dalamnya. Bahwa kopi memiliki
filosofi yang beririsan dengan kerinduan, bukan candu. Sebab candu berkonotasi
negatif, sedangkan rindu akan mendorong pada perlakuan yang penuh dengan rasa
cinta dan tidak menyia-nyiakan (tanggung jawab). Ini berkaitan erat dengan
bisnis kedai kopi yang digeluti Dania. Bahwa bisnis coffee shop tidak semata soal nominal dan profit, tetapi juga di
dalamnya ada passion (cinta),
antusias, dan rasa tanggung jawab. Penulis meramunya dalam sebuah bingkai kisah
cinta yang pekat dengan aroma rindu.
Meski sudah hadir buku
fiksi mengenai filosofi kopi, namun sebagai sebuah novel yang memuat cerita
berdurasi panjang, The Coffee Memory
merupakan novel yang recommended.
Filosofi kopi, bisnis coffee shop,
dan kisah cinta, menjadi kombinasi segitiga yang manis dan mengandung pesan
moral yang luhur. Jadi, jangan lewatkan membaca The Coffee Memory sambil menikmati segelas kopi pilihan Anda…
hmm.. what a nice moment!
Resensinya apiiiiiik...aku baca setiap kata dan kalimat.
BalasHapusAduh, gak tau lagi deh mau bikin resensi yang gimana, udah minder duluan sama resensi mb linda ini, hahaaa..
aiiih.. Ecky, dirimu kan jawara.. aku mah masih di bawah dirimu..
Hapusiya ya sayang bgt ttg katjoe manis itu.. kan berkali2 disebutin..
BalasHapusbnr2 kopi bangeeet novel ini :)
Mbak Binta ikutan jg event lomba ini kan?
HapusYuk.. ngopi bareng.. :)
kopi cuma buat saya susah tidur, belum bisa mendalami filosofisnya, kecuali bahwa kafein memang mampu memanjangkan umur, lebih panjang dari merka yg cepat tidur.. :D
BalasHapusberarti buat ayub, filosofi kopi adalah teman begadang.. hehe..
HapusAku baru mau baca bukunya udah melipir duluan mau resensi pas baca ini. Etapi, aku jadi pengen baca the mocca eyes juga jadinya
BalasHapusMbak Ika nih bissaa ajah..
Hapusayo Mbak, ikutan lombanya..
Oh iya, The Mocha Eyes baca juga, Mbak.. :)