Judul Buku : Teatrikal Hati
Penulis : Rantau Anggun dan Binta Al Mamba
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
Terbit : Cetakan I, 2013
Tebal Buku : 342 halaman
ISBN : 978-602-02-2627-9
Harga : Rp. 56.800
Cinta, dengan
segenap dinamikanya senantiasa berkelindan dalam kehidupan. Maka tema ini
menjadi pilihan yang selalu ranum bagi para penyulam kata, penggiat pena.
Dengan beragam turunannya, tema cinta tak pernah membosankan untuk dinikmati.
Adalah Rantau Anggun
dan Binta Al Mamba, penulis yang menyuguhkan kisah cinta yang cukup dramatis
dalam novel duet perdana mereka, berjudul Teatrikal Hati. Sebuah judul yang
cukup metereng, saya kira. Begitu pun tag line-nya: perempuan, cinta, mimpi,
obsesi, dedikasi, dan lika-liku perjalanan nurani. Acung jempol kepada duet
ini, yang berani meracik rupa-rupa hal dalam debut pertama di dunia fiksi.
Kisah dalam
novel ini menampilkan banyak tokoh. Ada Setyani, seorang perempuan Jawa yang cinta mati kepada
suaminya nan tampan rupawan, meski hatinya hanya menerima luka dan nista
sepanjang pernikahan mereka. Harjun Notodiningrat,
sang suami, menerima perjodohan dirinya dengan Setyani, tanpa perlawanan.
Harjun menyadari hal tersebut sebagai misi orangtuanya. Jika ayahnya ingin
menyandingkan kehormatan keluarganya yang konglomerat dengan keturunan suci
keluarga pendakwah, maka ibunya berharap Setyani adalah obat bagi jiwa kelana
putra semata wayangnya yang tiada berkesudahan. Harjun tidak peduli. Beberapa
bulan ia bermanis-manis dengan istrinya, setelah itu rumah tangga mereka hampa,
karena Harjun kembali bertualang dengan perempuan-perempuan yang memujanya.
Tokoh
berikutnya ada Linda dan Gwen, putri Setyani dan Harjun. Sifat keduanya
bertolak belakang. Linda, sang kakak, mewarisi sifat ibunya yang lemah lembut
dan penyabar. Sedang Gwen, pemberontak dan keras kepala. Lalu tokoh lain, ada
Zahra, seorang pekerja seni peran yang cerdas. Karirnya bermula dari artis,
beralih menjadi sutradara, hingga menjadi produser. Kemudian ada Bagas, dokter berhati
mulia, suami Linda. Dan, Hafidh, lelaki yang dijodohkan dengan Gwen.
Kesemua
tokoh itu bertutur dalam porsinya, saling berinteraksi satu sama lain. Linda
dan Bagas dalam kehidupan rumah tangganya yang dingin karena komunikasi yang
kikuk dan kaku. Ditambah tak kunjung hadirnya buah hati yang didamba. Mereka
saling mencintai dalam diam, dengan caranya masing-masing.
Gwen,
mengalami trauma berat akibat perilaku ayahnya yang brengsek. Ia membenci
lembaga pernikahan, dan bersikukuh tidak ingin menempuh jenjang itu. Maka
melajanglah ia hingga usia melebihi kepala tiga. Ibu dan kakaknya resah. Tak
ketinggalan, sahabat di kantornya pun turut memikirkan. Mereka berusaha
menjodohkan. Gwen menolak keras.
Zahra,
sutradara muda yang kemudian diamanahi menjadi produser. Ia mendapat tantangan
untuk memproduksi film yang bertema humanis dan menyentuh. Ia berjibaku
mewujudkannya. Fardan, sang sutradara, adalah kawan di masa lalunya yang
memiliki hubungan rasa yang belum tersambungkan.
Begitu
banyak konflik saling bersinggungan. Penulis menuturkan lewat sudut pandang PoV
1 dari masing-masing tokoh. Seperti yang disampaikan Shabrina Ws dalam
endorsnya, bahwa novel ini seperti
kepingan-kepingan puzzle, pelan-pelan menyatu, lalu menjadi utuh. Demikianlah,
ada benang merah yang kemudian mengikat cerita ini dan berakhir pada ending
tertutup. Sebuah langkah cantik dari penulis.
Konflik yang dialami para tokoh, cukup
mengaduk emosi. Jalan hidup Setyani yang mengundang iba sekaligus mencengangkan
atas ketabahannya. Lalu perjuangan panjang Linda dan suaminya demi hadirnya
sebuah gerak kehidupan dalam rahim Linda. Selain itu, bagaimana Gwen yang
berkutat dengan traumanya, cukup menimbulkan rasa penasaran.
Peristiwa
demi peristiwa muncul, mengalun, mengentak, serupa pentas teatrikal. Dengan
bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti namun tak mengurangi keindahannya.
Diselingi juga kalimat yang bernuansa puisi, dengan repetisi yang khas.
Bicara
tentang karakter, sepertinya penulis menggerakkan tokohnya dengan karakter yang
cukup ekstrim. Karakter sabar yang dimiliki Setyani adalah sabar yang sungguh
tak terukur. Lalu dokter Bagas yang kikuk, benar-benar mengalahkan Paman
Kikuk-nya Husin dan Asta. Linda yang lembut, boleh dibilang tak pernah marah,
bahkan merajuk sekalipun, dengan pura-pura ngambek misalnya. Ketika ada
pendapat yang mengatakan bahwa, bila penulis berhasil membuat sebal pembaca
tersebab karakter tokoh dalam kisah fiksinya, maka ia adalah penulis yang berhasil.
Dalam hal ini, penulis menunjukkan keberhasilannya. Saya dibuat sebal oleh
sikap Gwen yang keras hati. Saya juga merasa Gwen itu sok cantik. Emang begitu
ya, kalau jadi perempuan cantik? Sayangnya, saya belum pernah mengalami..
haha.. Gwen demikian percaya dirinya merasa bagai bidadari yang molek, sehingga
setiap ada lelaki yang jatuh cinta kepadanya, dianggap hanya jatuh cinta karena
paras jelitanya. Bahkan ia seperti merasa ‘terganggu’ dengan keelokan wajahnya,
sehingga tidak bisa melihat kemurnian cinta dan niat lelaki yang bermaksud
bersanding dengannya.
Kini,
kita beralih pada bagian yang terasa sedikit kurang pas. Hal yang biasa, toh? Karena
‘tak ada gading yang tak retak’. Dengan banyaknya tokoh yang bertutur, terasa
kurang tergarap kedalaman olah emosi masing-masing tokoh. Banyaknya persoalan
juga membuatnya hanya tampak permukaan, belum tereksplorasi detil dan tautannya
dengan problem utama. Contohnya: mimpi Gwen, yang akan tereksplorasi dengan
baik bila menggunakan riset ilmu psikologi. Namun pada bagian hasil analisa
psikiater, misalnya, terasa kurang tajam. Contoh lain pada profesi-profesi para
tokoh: dokter, penyiar, arsitek, pekerja film, sepertinya akan lebih menarik
bila ditampilkan detil yang tidak biasa, yang belum diketahui umum oleh
khalayak ramai mengenai profesi tersebut.
Setting
waktu pun agak ribet. Mungkin typo juga, penempatan waktu yang tidak sinkron.
Pada halaman 35, Linda-23 tahun, pada tanggal 12 Maret 1971. Sementara pada
halaman 113, Linda-25 tahun, pada tanggal 31 Mei 1971. Bertambah usia dua
tahun, tapi tahunnya tetap sama. Perbedaan usia Setyani dengan Harjun pun
sepertinya ada kekeliruan. Di bagian awal mereka terpaut usia 7 tahun, tapi di
bagian akhir, Setyani meninggal pada usia 56 tahun, sedang beberapa bulan
setelahnya, Harjun berusia 60 tahun. Dan membincang waktu lampau di masa kini,
sepertinya potensial menimbulkan sedikit rancu, semisal ketika setting tahun
1971, apakah pada jaman itu sudah dikenal istilah cupu (halaman 27), dan spa before married (halaman 30)?
Yang
menarik dari novel ini adalah pesan kuat yang tersirat di dalamnya. Bagaimana
seorang artis muda yang cantik seperti Zahra, bisa istiqomah berjilbab, dengan
konsekuensi surutnya tawaran main. Namun dengan niat yang lurus, Zahra berhasil
membuktikan eksistensinya di dunia seni peran.
Lalu
pelajaran dari Setyani adalah, di balik kepasrahannya yang mungkin bagi
sebagian wanita (termasuk saya), ‘bukan gue banget’, tapi Setyani dengan
keikhlasannya, tetap menjalankan perannya sebagai ibu yang baik. Dan kebaikan
yang dilakukannya dengan tulus, ternyata kembali kepada dirinya sebagai
kebaikan juga. Bahwa kesetiaannya tidak sia-sia. Ia khusnul khotimah.
Sedangkan
Harjun, memperlihatkan betapa kerasnya hati tercipta karena akibat dari maksiat
yang dilakukannya. Berzina dan akrab dengan minum minuman keras, menjadi
penghalang bagi melembutnya hati. Berbilang tahun Harjun hidup dalam gelimang
dosa. Dan bahwa penyesalan itu selalu datang di akhir. Menyesal kemudian tiada
berguna.
Bagi
pasangan yang sulit segera mendapat momongan, kesabaran Linda dapat dijadikan
teladan. Bagaimana ia menghadapi lingkungan yang selalu riuh bertanya, juga
melihat teman dan saudara yang asyik bercengkrama dengan putra-putri mungil
mereka, menimbulkan luka hati yang tak terjemahkan pedihnya.
Masih
ada lagi yang lainnya hikmah kebaikan yang dapat dipetik dari novel ini.
Sejatinya, memang sebuah karya melahirkan pencerahan bagi pembacanya, tidak
sekadar kisah romansa pelipur lara. Semoga selanjutnya penulis novel ini tetap
istiqomah dalam menebar kebaikan melalui jalan pena, dan saya yakin kisah yang
disuguhkan nanti tentu akan jauh lebih apik. Salut untuk Rantau Anggun dan
Binta Al Mamba.
# Resensi ini diikutsertakan dalam lomba resensi buku BAW dan QuantaBooks
# Resensi ini diikutsertakan dalam lomba resensi buku BAW dan QuantaBooks
salut bisa menulis dengan 4 tokoh sekaligus. ga mudah memang, mba. apalagi jika tema yang ingin diangkat ingin dieksplor lebih dalam.
BalasHapusiya btul La.. banyak tokoh dengan tidak sedikit konflik..
Hapuslangkah yg berani dari para penulis ini.. :)
salut..
makasih mbak linda...iyaa waktunya agak seregenje kata orang mblitar mah hihi. syukran ya mbak :)
BalasHapusmaapin ane yee.. kalo ada saleh-saleh kate di review 'ni..
Hapushihi.. bahasa blitar dibalas pake bahasa betawi.. :)
seregenje.. mirip bahasa jakarte..
Tidakkk, aku suka review ini (beneeerrr)
HapusImbang dan santun.
Jazakillah mbak Linda :)
Alhamdulillah.. kalau Anggi suka.. rasanya nyess di hati.. :)
HapusKebahagiaan tersendiri buat aku, kalau penulis buku yg kureview, bisa menerima dgn baik, karena aku paling sedih kalau tanpa sengaja melukai perasaann penulis, padahal tak ada setitik pun niatan itu melintas di benakku.
:D
Hapuskalau saya pribadi, komentar, review bahkan kritik pedas sekalipun dari pembaca adalah bahan renungan, bentuk cinta mereka dan kesyukuran bagi saya.
Jadi kalau sedih malah aneh toh? Dikasih hadiah cinta harusnya disyukuri. Biar pahit sekalipun, toh obat ataupun jamu, dalam dosis yang tepat, insyaAllah menyehatkan :)
Resensi yang apik :)
BalasHapusfirst reader aku colek.. hehe.. makasiih dah mampir..
Hapusbaca resensinya jadi makin mupeng baca TH gubahan duo emak Blitar-Jombang. Makasih infonya :)
BalasHapusSama-sama makasih juga.. makasih dah mampir..
HapusSalam kenal.. :)
makasiih mbak linda.. jujur sebagai penulis memang berat banget garap nopel tema konflik berlapis ini... ehehe makanya kesandung banyak bolong2 ttg setting tahun itu yak? *alasan :D tetep makasih mbak.. kritik itu sebagai bekal menulis karya selanjutnya.. :)
BalasHapuseh aku ngikik saat baca gwen yg sok cantik itu qiqiqi..
Iya, ya ampun aku juga ngikik ahahaha
Hapusmakanya salut buat mbak berdua nih.. punya energi tinggi ngegarap konflik berlapis.. *ekenapa aku jd keinget kue lapis yak? laperr..
Hapushihi.. Gwen.. cantik2 pingin ditonjok.. :D
Resensinya apiiiiiik...as usual, selalu cakep jika yang nulisnya mba Linda ;)
BalasHapusaiih.. Ecky nih merendaah..
Hapusaku belom sehebat dirimu yg pernah dpt juara 1..
eeeeaaaa teliti beut bacanya, sampe menghitung ada kekeliruan waktu. duh aku jadi deg deg plesss gini yaaa xixixi
BalasHapushehe.. bibi titi teliti kali ah..
Hapusaku bacanya biasa aja kok.. :)
ini novel yg kelupaan dibeli, kemaren mikir, novelna bawers sapa lagi gitu yg belom pernah kebaca
BalasHapus