Selasa, 21 Februari 2012

Pemburu Rembulan

Seorang teman di sebuah grup dalam komunitas penulis fesbuker, mengabarkan tentang sebuah novel istimewa. Penulisnya, juga anggota grup itu, adalah putra daerah yang berasal dari sebuah tempat nun jauh di ujung Pulau Jawa, bernama Pulau Bawean.

Dari interaksi di grup, aku menangkap sesuatu yang menarik dari penulis muda itu. Sulaman kata-katanya indah menggugah, namun kadang terselip humor segar nan menggelitik. Maka, aku pun terseret rasa penasaran untuk membaca novel hasil karyanya.

“Pemburu Rembulan” judulnya. Dengan tampilan cover yang cantik dalam paduan warna cerah, novel ini nampak ‘eye catching’. Ditambah ketebalan 416 halaman, membuat harga novel ini cukup lumayan-untuk tidak mengatakannya.. ehm, agak mahal.

Kisah dalam novel ini berpusat pada persahabatan dua orang pemuda, bernama Arul dan Amar. Mereka berpetualang di Pulau Bawean selama empat hari. Sungguh, empat hari yang berpelangi.

Amar, pengusaha muda, dengan naluri bisnisnya yang jitu, membidik Pulau Bawean, tepatnya Kampung Somor, untuk mengembangkan bisnis pembudidayaan umbi scratophy. Tanaman ini adalah salah satu dari banyak bahan baku alami yang sangat diincar perusahaan-perusahaan kesehatan internasional. Tidak sekedar ingin mengeruk laba berlimpah, Amar juga memiliki tujuan mulia, ingin membantu masyarakat setempat dalam memperbaiki tingkat kehidupan yang selama ini terpuruk. Sebuah pilihan pekerjaan yang menjanjikan, karena di Kampung Somor hanya ada pekerjaan melaut, mencari kayu, atau nguli ngeruk pasir di tebing gunung yang beresiko tinggi. Atau, menjadi TKI ke negeri jiran, yang tidak kalah riskannya.

Sedangkan Arul, pengajar cerdas, menyentuh TPA untuk menyalurkan idealismenya. Di TPA yang sederhana itu, Arul berjumpa dengan 13 murid yang polos dan menggemaskan. Juga berhadapan dengan Hirzi, ustadzah muda, guru tunggal yang membangun TPA seorang diri dengan tangan besi. Hari-hari Arul mengajar di TPA adalah hari-hari yang amat menyenangkan sekaligus mengejutkan, baik bagi anak-anak maupun bagi ustadzah.

Penulis menggulirkan pengalaman Amar menghadapi penduduk Kampung Somor yang polos dan lugu. Namun mereka punya semangat juang yang tinggi serta berhati tulus. Sementara, Arul, berupaya keras meluluhkan prinsip Ustadzah Hirzi dalam menerapkan metode pendidikan. Perjalanan keduanya tidak sendiri-sendiri. Ia menjadi rangkaian kisah yang padu dan menawan.

Jalinan cerita yang dibangun cukup apik, dibalut nuansa humor yang kental. Tidak muluk-muluk, bahkan ia sederhana tapi manis. Tokoh utama, patut dijadikan teladan karena memiliki semangat tinggi untuk membawa perubahan, namun keduanya tidak digambarkan sebagai tokoh sempurna tanpa cacat.

Novel ini pun membawa pembaca pada sebuah panorama lukisan alam yang menakjubkan. Kecantikan Pulau Bawean nan eksotis, pesisir pantai yang menenangkan, debur ombak yang mengalun manja, juga hutan liar yang masih perawan.  Tak hanya  keindahan yang tampil, pembaca pun dibenturkan pada realitas sosial betapa mengenaskan kondisi tempat yang jauh tersentuh dari pembangunan yg sering didengungkan oleh penguasa negeri tercinta ini.

Kisah romantis tetap hadir di sini. Sebuah rasa cinta yang meresahkan namun memberi sensasi dahsyat bagi si pelaku. Tak ada bumbu rayuan gombal, namun sebuah perenungan yang dalam tentang hakikat cinta. Proses yang sederhana tapi menggetarkan. Terasa indah, elegan, dan memberi kekuatan.

Sedikit catatan, ada juga yang menyembul di pikiranku. Beberapa bagian humor, kadang terasa berlebihan. Entah, karena konon orang Bawean itu memiliki sense of humour yang tinggi, mungkin humor seperti itu tergolong biasa. Tapi, hanya beberapa bagian saja, selebihnya sangat menghibur.

Aku juga ingin menggarisbawahi bagian petualangan Arul dengan murid-murid tercintanya. Saat mereka memakan sesajen, yang sangat dipegang teguh nilai kesakralannya oleh masyarakat setempat, ternyata aman-aman saja. Kupikir, akan ada konflik di sini. Lagipula, tidakkah masyarakat marah bila orang asing melanggar nilai-nilai yang dianut kuat? Apalagi, sang pemberi sesajen juga menyaksikan penjarahan makanan lezat dalam sajen itu.

Anyway, meski ini novel perdana yang dihasilkan penulis, namun sama sekali jauh dari mengecewakan. Dijamin, kalian nggak akan menyesal bila membeli dan membacanya.

Honestly, aku jatuh cinta pada novel ini. Gaya penceritaannya unik. Muatan nilai edukasi memiliki bobot tinggi. Taburan kata-kata berhikmah nan bertenaga. Pembaca dibuat tersenyum, terhanyut, terharu, tersentuh, dan terbangun. Namun jangan heran, bila kemudian kita  terbahak dan terpingkal-pingkal. Sungguh, sebuah paduan rasa yang asyik.

Judul      :  Pemburu Rembulan
Penulis    :  Arul Chandrana
Penerbit  :  Gradien Mediatama
Tebal      :  416 halaman
Cet.pertama : 2011

1 komentar:

  1. ceritanya bagus dan menarik. aku ketawa dengan apa yang dialami Amar

    BalasHapus