Sabtu, 26 Mei 2012

SEMESTA MENDUKUNG

Judul Film     : Semesta Mendukung
Sutradara      :  Jhon de Rantau
Penulis skenario  :  Hendrawan Wahyudianto, Jhon de Rantau
Pemain  :  Revalina S.Temat, Lukman Sardi, Helmalia Putri, Sayef Muhammad Billah, dll
Produser  :  Putut Widjanarko
Tahun Rilis  :  2011


Sebuah film produksi Mizan teranyar yang dirilis akhir Oktober ini, bisa dinikmati segala usia. Terinspirasi dari banyaknya anak-anak Indonesia yang bertarung di arena olimpiade sains Internasional. Kata “Mestakung’ sendiri diilhami dari jargon yang dipopulerkan Prof. Johanes Surya. Sang begawan sains ini menuangkan ide dan semangat dalam bukunya yang bertajuk “Mestakung”.

Berlatar pulau Madura, tepatnya Sumenep, film ini menggambarkan kisah anak SMP yang berjuang menuju laga sains Internasional. Mengambil alur mundur maju, film diawali dengan tokoh utama yang berada di dalam pesawat lalu menuturkan musabab ia mengangkasa menuju ibukota.

Adalah Arif, anak kampung yang cerdas, hidup serba kekurangan bersama ayahnya yang sopir serabutan. Ibunya pergi tujuh tahun silam, konon bekerja ke negeri tetangga, Singapura.  Penuh ketekunan Arif mengumpulkan uang demi membayar seseorang agar mencari ibunya. Orang itu, Paman Alul, tetangga yang bekerja di Malaysia. Menurut Arif, karena Malaysia berdekatan dengan Singapura, tentu Paman Alul berpeluang besar menemukan ibunya. Paman Alul memanfaatkan kesempatan tersebut dengan memasang tarif tinggi, dan Arif bertekad menyanggupi.

Di sekolah, Arif adalah murid kesayangan Bu Tari, guru Fisika. Bu Tari melihat keistimewaan Arif yang mampu menerapkan Fisika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat saat Arif berinteraksi dengan teman-temannya. Selain di sekolah, Arif pun mampu menggunakan nalarnya ketika memprediksi sapi mana yang akan menang dalam lomba karapan sapi.

Melihat potensi Arif, Bu Tari mendorongnya untuk mengikuti lomba sains tingkat propinsi. Awalnya Arif menolak. “Kalau saya ikut lomba, kapan saya mencari uang?” kilahnya. Namun Bu Tari tetap menyerahkan formulir pendaftaran berikut surat pengumumannya. Ketika membaca surat pengumuman, mata Arif terbelalak. Sontak ia mau mengikuti lomba yang berhadiah jutaan tersebut.

Perjuangan Arif yang getol berkutat dengan buku-buku Fisika bersama pendampingan Bu Tari, ternyata kandas. Bapak kepala sekolah tidak menyetujui dengan alasan klasik, tidak ada dana.

Bu Tari tidak menyerah. Ia menghubungi kawan lamanya, Pak Tio, di FUSI (Fisika Untuk Siswa Indonesia). Dikirimnya CD yang berisi kepintaran Arif saat menerapkan Fisika praktis. Rupanya, Bu Tari pun dulu aktif di FUSI namun karena terdapat perbedaan prinsip dengan salah seorang rekan, Bu Tari berkhidmat menjadi guru di kampung, membina anak-anak di pelosok agar mencintai sains.

Pak Tio, pengajar di FUSI tertarik pada Arif dan bersengaja terbang menemuinya untuk mengajak bergabung di FUSI. Di asrama FUSI, sejumlah siswa digodok sambil diseleksi untuk mengikuti lomba sains Internasional. Lagi-lagi awalnya Arif menolak, dengan alasan sama: ia harus cari uang, tidak ada waktu untuk lomba. Namun kemudian Arif berubah pikiran. Ia bertekad ingin berusaha tembus seleksi, karena ternyata lomba sains Internasional diselenggarakan di Singapura.

Tekad Arif membulat demi rindunya nan tak terperi kepada ibunda tercinta. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa Paman Alul hanya memanfaatkan dirinya untuk diperas. Alamat ibunya yang telah diberikan Paman Alul beberapa waktu lalu, membuatnya yakin bisa menelusuri sendiri bila ia berhasil menginjak Negeri Singa itu.

Paman Alul kecewa karena ‘mangsa’nya terlepas. Kemudian ia membeberkan masa lalu buruk ayahnya. Kebiasaan berjudi, telah membuat ibunya mengelana ke negeri seberang. Arif kecewa bukan buatan. Ia menanyakan kebenaran kabar tersebut. Namun ayahnya mengelak, akhirnya berang. Hubungan ayah-anak itu pun menegang.

Saat Arif hendak berangkat ke Jakarta, ayahnya luluh. Mereka berdamai, saling memeluk erat. Arif pun terbang ke Jakarta dengan restu ayahnya.

Sampai di situ, film bergerak maju. Apa yang terjadi saat Arif di asrama FUSI, bagaimana interaksi dengan siswa lain, bagaimana hasil seleksi, hingga seperti apa keinginannya berjumpa dengan ibunda, semua diramu dengan letupan konflik yang cukup. Artinya, film dibuat tidak terlalu datar, namun juga tidak terlalu bergejolak. Bila film keluarga biasanya menguras airmata, maka dalam film ini, cukup membuat hati tergetar dengan lelehan airmata tak begitu deras.

Akting para pemain tidak buruk dan tidak menonjol. Nama-nama besar seperti Fery Salim, Revalina S.Temat, dan Feby Febiola tampil biasa saja. Hanya Lukman Sardi yang tetap tampil berkarakter.

Pemain baru yang memerankan tokoh Arif, rasanya kurang pas. Untuk peran seorang anak yang hidup tanpa pengasuhan ibu, sejak usia awal SD hingga usia SMP, pertumbuhan fisik Arif terlalu pesat. Arif tampil dalam sosok remaja tinggi besar untuk ukuran seusianya.

Kekuatan dialog kurang muncul, bahkan ada yang terkesan bertele-tele.  Pemain lokal sebagai figuran, nampak agak kaku. Namun setting cukup berbicara. Ladang garam yang kerontang, karapan sapi, jembatan suramadu, sangat kuat menampilkan pesan.

Hal lain yang membuat penonton sedikit mengernyit adalah kostum Bu Tari. Sebagai guru sekolah negeri di kampung, penampilannya cenderung modis. Mungkin untuk menggambarkan bahwa guru fisika bukan model guru-guru kuno yang menyeramkan.

Ajakan untuk mencintai sains tercium kuat dari film ini. Tentang fisika, atau sains umumnya, diperlihatkan bahwa sebenarnya sains dekat dengan kehidupan. Fisika adalah pelajaran asyik dan menyenangkan. Tak perlu dibuat rumit, namun mainkan saja logika dan imajinasi.

Ok, film ini layak direkomendasi untuk ditonton keluarga. Di dalamnya juga menyuguhkan manisnya persahabatan. Pula meniupkan semangat pantang menyerah. Ia mengajak untuk terus bermimpi dan berusaha meraih impian tersebut. Jika itu dilakukan, semesta akan mendukung.

Bermimpilah, berjuanglah, maka.. mestakung!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar