Sabtu, 07 Desember 2013

Membersamai Kopi dalam Fiksi

Judul Buku                :  The Coffee Memory
Penulis                        :  Riawani Elyta
Penerbit                      :  Penerbit Bentang
Terbit                         :  Cetakan I, Maret 2013
Tebal Buku                :  vi + 226 halaman
ISBN                           :  978-602-7888-20-3

Sinopsis:
Ini kisah tentang jatuh bangunnya seorang Dania, melepaskan diri dari kenangan dengan aroma kopi yang mengepungnya, untuk menegakkan kembali usaha coffee shop yang dulu dirintis mendiang suaminya. Diawali dengan kecelakaan yang merenggut nyawa Andro, suami Dania. Andro, yang penikmat kopi sejati, meninggalkan sebuah kafe dengan sajian utamanya: kopi. Kafe itu, selain sebagai sebuah usaha yang menopang kehidupan keluarga mungil Dania yang baru dikaruniai satu balita, juga merupakan refleksi kecintaan Andro pada kopi. Andro sangat menjaga citarasa menu kopi yang disajikan di kafenya, berikut latte art yang artistik menghiasi sajian kopi tersebut.

Dania kemudian tertatih menghidupkan kembali kafenya. Aneka kerikil yang merintangi jalan, dihadapinya seorang diri. Tak kalah berat adalah melepaskan rindu yang membelenggu. Rindu pada Andro, yang setiap jejak dan bayangnya mengisi seluruh ruang dan gerak kafe. Namun kehadiran seorang barista baru bernama Barry, sangat membantu. Kemahirannya nyaris menyamai Andro, dan semangatnya menyala untuk mengeksiskan kondisi kafe yang sinarnya meredup.

Tak dinyana, Pram, seseorang dari masa lalu Dania, muncul sebagai kompetitor. Pram, dengan konsep kedai kopi yang lebih menarik dan inovatif, cukup menggoyahkan grafik jumlah pengunjung bagi beberapa usaha kuliner di sekitar kawasan itu, tak terkecuali kafe milik Dania. Kehadiran Pram, tidak saja mengusik ketenangan Dania dari sisi bisnis, namun ternyata Pram masih menyimpan rasa yang sama, rasa cinta semasa SMA dulu.

Bagaimana perjuangan Dania menghadapi kerasnya persaingan bisnis? Mampukah Dania berperan sebagai single mom? Apakah kekukuhan prinsipnya untuk menutup hati bagi semua lelaki akan bisa bertahan?

Review:
Ini novel kedua seri Love Flavour yang saya baca, setelah The Mocha Eyes. Dan untuk The Coffee Memory, aroma kopinya tercium sangat pekat. Bila dalam The Mocha Eyes, unsur moka mewarnai perjalanan cerita seorang Muara, maka The Coffe Memory benar-benar kisahnya tercelup dalam harumnya cairan berwarna hitam itu. Ngopi banget deh.

Riawani Elyta mengemas konflik dengan hati-hati. Beragam peristiwa dimunculkan dengan cermat. Kombinasi masalah bisnis dengan masalah hati cukup proporsional. Meski dalam beberapa hal mudah ditebak, namun ada juga kejutan-kejutan yang menyelamatkan novel ini sehingga tidak terasa monoton.

Alur yang bergerak sangat lambat nyaris membuat novel ini membosankan. Untunglah, berbagai pengetahuan tentang kopi cukup menarik perhatian saya. Berbagai varian dan topping, betul-betul saya baru tahu dari novel ini. Termasuk tentang latte art, saya juga baru tahu kalau dalam sajian kopi ada hiasan artistik macam itu. Begitupun profesi barista, saya baru tahu juga. Serba baru tahu deh.. :)

Makna secangkir kopi yang tidak sekadar minuman pengisi jeda waktu, digambarkan melalui sikap Andro dalam memperlakukan kopi. Jiwa seorang barista telah merasuk, sehingga ia tahu persis bagaimana menghargai kopi secara layak. Passion dan care pada kopi, bagi Andro adalah mutlak. Ia menjunjung tinggi filosofi dari eksistensi secangkir kopi.

Bagaimana geliat sebuah usaha coffee shop, disampaikan dengan detil yang cermat. Jelas sekali, riset yang dilakukan penulis nggak main-main. Seluk beluk bisnis tersebut sangat fasih dituturkan penulis. Pada bagian ini, ditiupkan juga semangat daya juang untuk bangkit. Nilai kesungguhan dan ketangguhan diperlihatkan oleh tim coffee shop ‘Katjoe Manis’ di bawah pimpinan Dania. Sebuah pesan kebaikan yang disiratkan dengan halus tanpa kesan menggurui.

Untuk melengkapi bagian persaingan bisnis, dimunculkan pula intrik-intrik yang biasa menyertai sebuah perjalanan bisnis, semisal: penyabotan karyawan ahli dan permainan harga. Ditambah kehadiran kakak ipar Dania yang merongrong dengan ambisinya untuk menguasai coffee shop milik mendiang adiknya, membuat Dania merasa gerah. Pada saat itulah, dukungan tim yang solid menjadi senjata utama.

Deskripsi yang ciamik membuat saya ter-wow-wow berasa benar-benar berada di dalam sebuah coffe shop, melihat aneka jenis kopi, beragam properti perkopian, cara menggiling berikut penyajiannya. Ditambah lagi interior unik dan inovatif di coffee shop milik Pram, sepertinya akan menjadi ide menarik bagi para peminat dunia usaha kuliner, khususnya coffee shop.

Seperti halnya rasa kopi yang beraneka, dari yang paling enak hingga yang kurang sreg di lidah, maka dalam novel ini ada juga rasa yang kurang sreg di hati. Pada sisi romance, terasa betapa kepergian Andro untuk selamanya meninggalkan perasaan hampa dan kehilangan yang sangat menyesakkan jiwa. Namun ternyata Dania, dalam waktu yang boleh dibilang tidak terlalu lama, mampu melabuhkan rasa pada lelaki lain. Entah, mungkin ini karena saya terlalu sentimentil, tapi menurut saya, kepergian Andro yang tiba-tiba, akan membekas lara di hati dalam bilangan waktu yang panjang, apalagi dengan segenap kenangan yang tertoreh pada kopi dan ‘Katjoe Manis’.

Lalu, kehadiran Redi, kakak Andro, yang menjadi duri dalam daging, kurang tereksplor geraknya. Hanya sebatas intervensi verbal. Watak culasnya dalam bisnis, sepertinya akan lebih jleb bila ada aksi licik atau tindakan menyebalkan yang dilakukannya, yang sayangnya itu tidak ada.

Peristiwa kebakaran merupakan kejutan yang asyik. Saya kira ini akan dikembangkan menjadi semacam misteri yang mengundang penasaran pembaca. Namun rupanya penulis mengambil jalan aman, yang tenang-tenang saja. Bahwa ini merupakan musibah yang bisa menimpa siapa saja. Maka fungsi bagian ini ‘hanya’ sebagai konflik minor biasa yang mewarnai jalan cerita.

Mengenai typo, biasanya saya tidak pernah mempermasalahkan. Tapi penulisan nama kafe, ‘Katjoe Manis’ yang seharusnya ‘Kajoe Manis’, tentu bukan masuk kategori typo. Sangat disayangkan ketidaktelitian ini. Jelas sekali disebutkan pada halaman 28 bahwa Andro menamai kafenya terinspirasi dari kayu manis, bukan kacu manis.

Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang menyertai novel ini, dapat tertangkap jelas pesan yang tersirat melalui aroma kopi yang menguar tajam di dalamnya. Bahwa kopi memiliki filosofi yang beririsan dengan kerinduan, bukan candu. Sebab candu berkonotasi negatif, sedangkan rindu akan mendorong pada perlakuan yang penuh dengan rasa cinta dan tidak menyia-nyiakan (tanggung jawab). Ini berkaitan erat dengan bisnis kedai kopi yang digeluti Dania. Bahwa bisnis coffee shop tidak semata soal nominal dan profit, tetapi juga di dalamnya ada passion (cinta), antusias, dan rasa tanggung jawab. Penulis meramunya dalam sebuah bingkai kisah cinta yang pekat dengan aroma rindu.

Meski sudah hadir buku fiksi mengenai filosofi kopi, namun sebagai sebuah novel yang memuat cerita berdurasi panjang, The Coffee Memory merupakan novel yang recommended. Filosofi kopi, bisnis coffee shop, dan kisah cinta, menjadi kombinasi segitiga yang manis dan mengandung pesan moral yang luhur. Jadi, jangan lewatkan membaca The Coffee Memory sambil menikmati segelas kopi pilihan Anda… hmm.. what a nice moment!


8 komentar:

  1. Resensinya apiiiiiik...aku baca setiap kata dan kalimat.
    Aduh, gak tau lagi deh mau bikin resensi yang gimana, udah minder duluan sama resensi mb linda ini, hahaaa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. aiiih.. Ecky, dirimu kan jawara.. aku mah masih di bawah dirimu..

      Hapus
  2. iya ya sayang bgt ttg katjoe manis itu.. kan berkali2 disebutin..
    bnr2 kopi bangeeet novel ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Binta ikutan jg event lomba ini kan?
      Yuk.. ngopi bareng.. :)

      Hapus
  3. kopi cuma buat saya susah tidur, belum bisa mendalami filosofisnya, kecuali bahwa kafein memang mampu memanjangkan umur, lebih panjang dari merka yg cepat tidur.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. berarti buat ayub, filosofi kopi adalah teman begadang.. hehe..

      Hapus
  4. Aku baru mau baca bukunya udah melipir duluan mau resensi pas baca ini. Etapi, aku jadi pengen baca the mocca eyes juga jadinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Ika nih bissaa ajah..
      ayo Mbak, ikutan lombanya..
      Oh iya, The Mocha Eyes baca juga, Mbak.. :)

      Hapus