Rabu, 18 Desember 2013

Mengemas Cinta dalam Pentas Liku-Liku Hati




Judul Buku                :  Teatrikal Hati
Penulis                        :  Rantau Anggun dan Binta Al Mamba
Penerbit                      :  PT Elex Media Komputindo
Terbit                         :  Cetakan I, 2013
Tebal Buku                :  342 halaman
ISBN                           :  978-602-02-2627-9
Harga                         :  Rp. 56.800

Cinta, dengan segenap dinamikanya senantiasa berkelindan dalam kehidupan. Maka tema ini menjadi pilihan yang selalu ranum bagi para penyulam kata, penggiat pena. Dengan beragam turunannya, tema cinta tak pernah membosankan untuk dinikmati.

Adalah Rantau Anggun dan Binta Al Mamba, penulis yang menyuguhkan kisah cinta yang cukup dramatis dalam novel duet perdana mereka, berjudul Teatrikal Hati. Sebuah judul yang cukup metereng, saya kira. Begitu pun tag line-nya: perempuan, cinta, mimpi, obsesi, dedikasi, dan lika-liku perjalanan nurani. Acung jempol kepada duet ini, yang berani meracik rupa-rupa hal dalam debut pertama di dunia fiksi.

Kisah dalam novel ini menampilkan banyak tokoh. Ada Setyani, seorang perempuan Jawa yang cinta mati kepada suaminya nan tampan rupawan, meski hatinya hanya menerima luka dan nista sepanjang pernikahan mereka. Harjun Notodiningrat, sang suami, menerima perjodohan dirinya dengan Setyani, tanpa perlawanan. Harjun menyadari hal tersebut sebagai misi orangtuanya. Jika ayahnya ingin menyandingkan kehormatan keluarganya yang konglomerat dengan keturunan suci keluarga pendakwah, maka ibunya berharap Setyani adalah obat bagi jiwa kelana putra semata wayangnya yang tiada berkesudahan. Harjun tidak peduli. Beberapa bulan ia bermanis-manis dengan istrinya, setelah itu rumah tangga mereka hampa, karena Harjun kembali bertualang dengan perempuan-perempuan yang memujanya.

Tokoh berikutnya ada Linda dan Gwen, putri Setyani dan Harjun. Sifat keduanya bertolak belakang. Linda, sang kakak, mewarisi sifat ibunya yang lemah lembut dan penyabar. Sedang Gwen, pemberontak dan keras kepala. Lalu tokoh lain, ada Zahra, seorang pekerja seni peran yang cerdas. Karirnya bermula dari artis, beralih menjadi sutradara, hingga menjadi produser. Kemudian ada Bagas, dokter berhati mulia, suami Linda. Dan, Hafidh, lelaki yang dijodohkan dengan Gwen.

Kesemua tokoh itu bertutur dalam porsinya, saling berinteraksi satu sama lain. Linda dan Bagas dalam kehidupan rumah tangganya yang dingin karena komunikasi yang kikuk dan kaku. Ditambah tak kunjung hadirnya buah hati yang didamba. Mereka saling mencintai dalam diam, dengan caranya masing-masing.

Gwen, mengalami trauma berat akibat perilaku ayahnya yang brengsek. Ia membenci lembaga pernikahan, dan bersikukuh tidak ingin menempuh jenjang itu. Maka melajanglah ia hingga usia melebihi kepala tiga. Ibu dan kakaknya resah. Tak ketinggalan, sahabat di kantornya pun turut memikirkan. Mereka berusaha menjodohkan. Gwen menolak keras.

Zahra, sutradara muda yang kemudian diamanahi menjadi produser. Ia mendapat tantangan untuk memproduksi film yang bertema humanis dan menyentuh. Ia berjibaku mewujudkannya. Fardan, sang sutradara, adalah kawan di masa lalunya yang memiliki hubungan rasa yang belum tersambungkan.

Begitu banyak konflik saling bersinggungan. Penulis menuturkan lewat sudut pandang PoV 1 dari masing-masing tokoh. Seperti yang disampaikan Shabrina Ws dalam endorsnya, bahwa novel ini seperti kepingan-kepingan puzzle, pelan-pelan menyatu, lalu menjadi utuh. Demikianlah, ada benang merah yang kemudian mengikat cerita ini dan berakhir pada ending tertutup. Sebuah langkah cantik dari penulis.

Konflik yang dialami para tokoh, cukup mengaduk emosi. Jalan hidup Setyani yang mengundang iba sekaligus mencengangkan atas ketabahannya. Lalu perjuangan panjang Linda dan suaminya demi hadirnya sebuah gerak kehidupan dalam rahim Linda. Selain itu, bagaimana Gwen yang berkutat dengan traumanya, cukup menimbulkan rasa penasaran.

Peristiwa demi peristiwa muncul, mengalun, mengentak, serupa pentas teatrikal. Dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti namun tak mengurangi keindahannya. Diselingi juga kalimat yang bernuansa puisi, dengan repetisi yang khas.

Bicara tentang karakter, sepertinya penulis menggerakkan tokohnya dengan karakter yang cukup ekstrim. Karakter sabar yang dimiliki Setyani adalah sabar yang sungguh tak terukur. Lalu dokter Bagas yang kikuk, benar-benar mengalahkan Paman Kikuk-nya Husin dan Asta. Linda yang lembut, boleh dibilang tak pernah marah, bahkan merajuk sekalipun, dengan pura-pura ngambek misalnya. Ketika ada pendapat yang mengatakan bahwa, bila penulis berhasil membuat sebal pembaca tersebab karakter tokoh dalam kisah fiksinya, maka ia adalah penulis yang berhasil. Dalam hal ini, penulis menunjukkan keberhasilannya. Saya dibuat sebal oleh sikap Gwen yang keras hati. Saya juga merasa Gwen itu sok cantik. Emang begitu ya, kalau jadi perempuan cantik? Sayangnya, saya belum pernah mengalami.. haha.. Gwen demikian percaya dirinya merasa bagai bidadari yang molek, sehingga setiap ada lelaki yang jatuh cinta kepadanya, dianggap hanya jatuh cinta karena paras jelitanya. Bahkan ia seperti merasa ‘terganggu’ dengan keelokan wajahnya, sehingga tidak bisa melihat kemurnian cinta dan niat lelaki yang bermaksud bersanding dengannya.

Kini, kita beralih pada bagian yang terasa sedikit kurang pas. Hal yang biasa, toh? Karena ‘tak ada gading yang tak retak’. Dengan banyaknya tokoh yang bertutur, terasa kurang tergarap kedalaman olah emosi masing-masing tokoh. Banyaknya persoalan juga membuatnya hanya tampak permukaan, belum tereksplorasi detil dan tautannya dengan problem utama. Contohnya: mimpi Gwen, yang akan tereksplorasi dengan baik bila menggunakan riset ilmu psikologi. Namun pada bagian hasil analisa psikiater, misalnya, terasa kurang tajam. Contoh lain pada profesi-profesi para tokoh: dokter, penyiar, arsitek, pekerja film, sepertinya akan lebih menarik bila ditampilkan detil yang tidak biasa, yang belum diketahui umum oleh khalayak ramai mengenai profesi tersebut.

Setting waktu pun agak ribet. Mungkin typo juga, penempatan waktu yang tidak sinkron. Pada halaman 35, Linda-23 tahun, pada tanggal 12 Maret 1971. Sementara pada halaman 113, Linda-25 tahun, pada tanggal 31 Mei 1971. Bertambah usia dua tahun, tapi tahunnya tetap sama. Perbedaan usia Setyani dengan Harjun pun sepertinya ada kekeliruan. Di bagian awal mereka terpaut usia 7 tahun, tapi di bagian akhir, Setyani meninggal pada usia 56 tahun, sedang beberapa bulan setelahnya, Harjun berusia 60 tahun. Dan membincang waktu lampau di masa kini, sepertinya potensial menimbulkan sedikit rancu, semisal ketika setting tahun 1971, apakah pada jaman itu sudah dikenal istilah cupu (halaman 27), dan spa before married (halaman 30)?

Yang menarik dari novel ini adalah pesan kuat yang tersirat di dalamnya. Bagaimana seorang artis muda yang cantik seperti Zahra, bisa istiqomah berjilbab, dengan konsekuensi surutnya tawaran main. Namun dengan niat yang lurus, Zahra berhasil membuktikan eksistensinya di dunia seni peran. 

Lalu pelajaran dari Setyani adalah, di balik kepasrahannya yang mungkin bagi sebagian wanita (termasuk saya), ‘bukan gue banget’, tapi Setyani dengan keikhlasannya, tetap menjalankan perannya sebagai ibu yang baik. Dan kebaikan yang dilakukannya dengan tulus, ternyata kembali kepada dirinya sebagai kebaikan juga. Bahwa kesetiaannya tidak sia-sia. Ia khusnul khotimah.

Sedangkan Harjun, memperlihatkan betapa kerasnya hati tercipta karena akibat dari maksiat yang dilakukannya. Berzina dan akrab dengan minum minuman keras, menjadi penghalang bagi melembutnya hati. Berbilang tahun Harjun hidup dalam gelimang dosa. Dan bahwa penyesalan itu selalu datang di akhir. Menyesal kemudian tiada berguna.

Bagi pasangan yang sulit segera mendapat momongan, kesabaran Linda dapat dijadikan teladan. Bagaimana ia menghadapi lingkungan yang selalu riuh bertanya, juga melihat teman dan saudara yang asyik bercengkrama dengan putra-putri mungil mereka, menimbulkan luka hati yang tak terjemahkan pedihnya.

Masih ada lagi yang lainnya hikmah kebaikan yang dapat dipetik dari novel ini. Sejatinya, memang sebuah karya melahirkan pencerahan bagi pembacanya, tidak sekadar kisah romansa pelipur lara. Semoga selanjutnya penulis novel ini tetap istiqomah dalam menebar kebaikan melalui jalan pena, dan saya yakin kisah yang disuguhkan nanti tentu akan jauh lebih apik. Salut untuk Rantau Anggun dan Binta Al Mamba.

# Resensi ini diikutsertakan dalam lomba resensi buku BAW dan QuantaBooks

19 komentar:

  1. salut bisa menulis dengan 4 tokoh sekaligus. ga mudah memang, mba. apalagi jika tema yang ingin diangkat ingin dieksplor lebih dalam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya btul La.. banyak tokoh dengan tidak sedikit konflik..
      langkah yg berani dari para penulis ini.. :)
      salut..

      Hapus
  2. makasih mbak linda...iyaa waktunya agak seregenje kata orang mblitar mah hihi. syukran ya mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. maapin ane yee.. kalo ada saleh-saleh kate di review 'ni..
      hihi.. bahasa blitar dibalas pake bahasa betawi.. :)
      seregenje.. mirip bahasa jakarte..

      Hapus
    2. Tidakkk, aku suka review ini (beneeerrr)
      Imbang dan santun.
      Jazakillah mbak Linda :)

      Hapus
    3. Alhamdulillah.. kalau Anggi suka.. rasanya nyess di hati.. :)
      Kebahagiaan tersendiri buat aku, kalau penulis buku yg kureview, bisa menerima dgn baik, karena aku paling sedih kalau tanpa sengaja melukai perasaann penulis, padahal tak ada setitik pun niatan itu melintas di benakku.

      Hapus
    4. :D
      kalau saya pribadi, komentar, review bahkan kritik pedas sekalipun dari pembaca adalah bahan renungan, bentuk cinta mereka dan kesyukuran bagi saya.

      Jadi kalau sedih malah aneh toh? Dikasih hadiah cinta harusnya disyukuri. Biar pahit sekalipun, toh obat ataupun jamu, dalam dosis yang tepat, insyaAllah menyehatkan :)

      Hapus
  3. Balasan
    1. first reader aku colek.. hehe.. makasiih dah mampir..

      Hapus
  4. baca resensinya jadi makin mupeng baca TH gubahan duo emak Blitar-Jombang. Makasih infonya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama makasih juga.. makasih dah mampir..
      Salam kenal.. :)

      Hapus
  5. makasiih mbak linda.. jujur sebagai penulis memang berat banget garap nopel tema konflik berlapis ini... ehehe makanya kesandung banyak bolong2 ttg setting tahun itu yak? *alasan :D tetep makasih mbak.. kritik itu sebagai bekal menulis karya selanjutnya.. :)
    eh aku ngikik saat baca gwen yg sok cantik itu qiqiqi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ya ampun aku juga ngikik ahahaha

      Hapus
    2. makanya salut buat mbak berdua nih.. punya energi tinggi ngegarap konflik berlapis.. *ekenapa aku jd keinget kue lapis yak? laperr..

      hihi.. Gwen.. cantik2 pingin ditonjok.. :D

      Hapus
  6. Resensinya apiiiiiik...as usual, selalu cakep jika yang nulisnya mba Linda ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. aiih.. Ecky nih merendaah..
      aku belom sehebat dirimu yg pernah dpt juara 1..

      Hapus
  7. eeeeaaaa teliti beut bacanya, sampe menghitung ada kekeliruan waktu. duh aku jadi deg deg plesss gini yaaa xixixi

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe.. bibi titi teliti kali ah..
      aku bacanya biasa aja kok.. :)

      Hapus
  8. ini novel yg kelupaan dibeli, kemaren mikir, novelna bawers sapa lagi gitu yg belom pernah kebaca

    BalasHapus