MENGEMAS EKSOTIKA TANAH AIR DALAM
SEBUAH KISAH CINTA
Judul
Buku : Sunset in Weh Island
Penulis : Aida MA
Penerbit : Bentang Belia (PT Bentang Pustaka)
Terbit : Cetakan I, Januari 2013
Tebal
Buku : viii + 252 halaman
ISBN : 978-602-9397-73-4
Indonesia,
negeri dengan 13000 pulau yang terhampar dari ujung barat hingga timur,
memiliki keindahan yang mengagumkan. Sayangnya, informasi tentang keindahan
negeri sendiri kerap kurang menggaung. Sehingga wisatawan domestik masih
terkonsentrasi di tempat-tempat populer, seperti: Bali, Lombok, Jogjakarta,
dsb.
Novel
“Sunset in Weh Island” membidik keindahan pulau kecil di ujung barat Aceh, Pulau
Weh. Buku mengeksplorasi alam di sana dalam sebuah kisah cinta. Dengan segmen
pembaca remaja, cara ini sungguh efektif untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air
dan menggairahkan minat generasi muda mengunjungi wilayah-wilayah negeri
sendiri. Tokoh utama kisah ini justru seorang pemuda Jerman. Ia mengunjungi
pamannya di Pulau Weh. Axel, nama pemuda itu, meninggalkan Goettingen, Jerman,
demi menghindari konflik dengan sahabatnya, Marcel.
Dalam
perjalanan menuju Pulau Weh, terjadi perjumpaan dengan Mala, gadis Aceh,
mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Syah Kuala. Meski awal pertemuan itu
terkesan klise, yakni bertubrukan karena langkah yang tergesa, namun tidak
mengurangi keasyikan novel ini.
Pertemuan
Axel dan Mala terus berlanjut. Cottage
paman Axel, Alan Scuba Diving, ternyata
bersebelahan dengan restoran milik ayah Mala, Laguna Restaurant. Maka,
Mala dan ayahnya sudah akrab dengan paman Axel yang bernama Alan. Lucunya,
setiap pertemuan Axel dan Mala, senantiasa diwarnai adu mulut. Sehingga Axel
menganggap Mala adalah gadis yang unik, cerdas, dan tidak mau kalah dalam
berargumen.
Tokoh
lain, ada Raffi. Instruktur diving
pada Alan Scuba Diving, yang
merupakan cinta pertama Mala. Ia kakak kelas Mala ketika di SMA. Dan hingga
lima tahun berlalu, Mala belum sanggup melupakan rasanya.
Sebagaimana
kisah remaja, novel ini mengangkat percintaan remaja yang berbalut kegalauan.
Mala bingung karena Axel ternyata mencintainya. Ia sendiri tidak yakin, apakah
akan tetap bertahan pada rasa cinta pertamanya, ataukah membiarkan hatinya
terbuka menyambut Axel. Kemudian muncul Andreea, gadis Jerman yang mencintai
Axel, membuat kisah cinta ini tidak mudah ditebak pembaca.
Berbicara
setting, penulis menggarapnya maksimal.
Pembaca disuguhkan keindahan Pulau Weh dan sekitarnya. Detil Pelabuhan
Ulhee-lhee, Balohan, Ie Boih, Pulau Rubiah, Danau Aneuk Laot, Tugu Nol
Kilometer, dan tempat-tempat eksotis lainnya, dihadirkan jelas. Keindahan momen
sunset dan sunrise pun semakin melengkapi. Dan, siapa sangka di pulau
terpencil itu terdapat show room
mobil mewah import dengan harga miring? Mulai
dari Jaguar, BMW, Alphard, Lexus, Mercedes Benz dengan beragam tipe, bentuk,
dan warna, berjejer rapi (halaman 137).
Tak
ketinggalan keindahan bawah laut, pun tampil mempesona. Karang-karang yang berwarna semarak, berkibar-kibar, sesekali terlihat
mengembang mengerucut. Gerombolan ikan seperti dalam Finding Nemo, hilir mudik
di depan, belakang, kiri, dan kanan (halaman 98).
Ada
pesan tentang keseimbangan hidup. Bagaimana
laut yang tenang kemudian bergelombang, membawa ombak naik, surut, menepi, lalu
kembali lagi. Tuhan membuatmu memiliki sahabat, tapi bersamaan dengan itu Tuhan
memberimu musuh. Saat kamu senang, maka Tuhan juga memberimu sedih. Mengapa?
Agar kualitas bahagiamu lebih berlipat ganda. Ketika kamu marah, maka Tuhan
memberimu kesempatan untuk memaafkan. Untuk apa? Agar kamu belajar menjadi
dewasa dari kesalahan orang lain (halaman 192). Sisi lain, pembaca diajak
memaknai sebuah kesetiaan. Aku tahu,
separuh hatiku tertinggal di sini, karenanya aku selalu kembali, di hatimu
(hal.243).
*) dimuat di Harian Koran Jakarta, edisi Sabtu, 22 Juni 2013
Coba diinfokan sekalian cara kirim ke Koran Jakarta bagaimana, trus honornya berapa, berapa lama menunggu tulisan sampai terbit, dll. Biar bisa nyontek gitu hihi
BalasHapus